Kamis, 26 November 2015

TEKNIK MERUQYAH (TERAPI QUR'ANI)

TEKNIK-TEKNIK MERUQYAH (TERAPI QUR’ANI)
DAN MEDIANYA

Oleh:


 Achmad Zuhdi Dh


Dalam beberapa hadis Nabi Saw, dapat diketahui tentang cara-cara melakukan ruqyah (Terapi Qur’ani) dan media yang dipergunakan. Setidaknya ada 9 (sembilan) cara yang dapat dipraktikkan, yakni sebagai berikut:

Teknik pertama:

Ruqyah  (Terapi Qur’ani) dengan cara sekedar membaca doa atau beberapa ayat al-Qur’an.[1]

Hadis riwayat al-Bukhari dari ‘Abd al-‘Aziz, ia berkata:  “Aku dan Thabit pernah masuk ke rumah 'Anas bin Malik. Thabit berkata: “Wahai 'Abu Hamzah ('Anas bin Malik), saya telah sakit. 'Anas berkata: “Maukah kamu aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah Saw? Thabit menjawab: Ya, saya mau. 'Anas (kemudian) membaca doa:

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَأْسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شَافِيَ إِلَّا أَنْتَ اشْفِ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا  

“Ya Allah Tuhan penguasa manusia, Dhat yang menghilangkan segala penyakit, sembuhkanlah! Engkaulah yang menyembuhkan, tiada yang dapat menyembuhkan melainkan Engkau, sembuhkanlah dengan kesembuhan yang tidak menyisakan rasa sakit. (HR. Al-Bukhari No.5410  )

Hadis tersebut menjelaskan tentang ruqyah terhadap orang yang sakit, yang dalam pelaksanaannya cukup dengan membacakannya saja.   Dalam bacaan ruqyah tersebut menggunakan nama Allah al-Shafi (الشَّافِي), Yang Maha Penyembuh. 

Teknik kedua:
Ruqyah  (Terapi Qur’ani) dengan cara membaca doa atau al-Qur’an, lalu meniup kedua telapak tangan dan mengusapnya ke seluruh anggota badan.[2]
            Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘A'ishah ra: 
 أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اشْتَكَى نَفَثَ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَمَسَحَ عَنْهُ بِيَدِهِ فَلَمَّا اشْتَكَى وَجَعَهُ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ طَفِقْتُ أَنْفِثُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ الَّتِي كَانَ يَنْفِثُ وَأَمْسَحُ بِيَدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ
Bahwasanya Rasulullah Saw, dulu apabila sakit beliau meniup untuk dirinya sendiri dengan membaca surat al-Mu’awwidhat (al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas)  lalu mengusap dengan tangannya. Ketika sakitnya semakin parah, saat menjelang wafatnya, aku (‘A'ishah ra) yang meniupkan untuk dirinya dengan surat al-Mu’awwidhat sebagaimana dulu Nabi meniup untuk dirinya dan mengusap dengan tangannya (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Teknik ketiga:

Ruqyah (Terapi Qur’ani) dengan cara membaca doa atau al-Qur’an, lalu meniup dan sedikit meludah.[3]

Hadis riwayat al-Bukhari dari 'Abu Sa‘id al-Khudri, katanya: Seorang sahabat Nabi pernah melakukan ruqyah kepada kepala kampung dengan cara sebagai berikut:

...فَانْطَلَقَ فَجَعَلَ يَتْفُلُ وَيَقْرَأُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حَتَّى لَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ فَانْطَلَقَ يَمْشِي مَا بِهِ قَلَبَةٌ ...  
Seorang sahabat Nabi Saw (Abu Sa’id al-Hudri) kemudian mendatangi pemimpin kampung yang tengah sakit itu lalu meniup dengan sedikit meludah sambil membaca al-hamdulillahi rabbil ‘alamin (surat al-Faatihah). Setelah itu tidak lama kemudian pemimpin kampung itu merasa lega, terlepas dari ikatan dan selanjutnya dapat berjalan tanpa ada gangguan sama sekali...(HR. Al-Bukhari, dll).
Teknik keempat:

Ruqyah  (Terapi Qur’ani) dengan membaca doa atau al-Qur’an dan meletakkan tangan pada bagian badan yang terasa sakit serta mengusapnya.[4]

Hadis riwayat Muslim dari ‘Uthman bin 'Abi al-‘As al-Thaqafi, ia pernah mengadu kepada Rasulullah Saw  tentang rasa sakit yang ada di badannya semenjak ia masuk Islam. Maka Rasulullah Saw bersabda:
 
 « ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِى تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ بِاسْمِ اللَّهِ ثَلاَثًا وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ ».
Letakkan tanganmu di atas bagian tubuhmu yang sakit, kemudian ucapkan basmalah sebanyak tiga kali dan ucapkan “'a‘udhu billahi wa qudratihi min sharri ma ajidu wa 'uhadhiru” (aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari kejahatan atau keburukan yang menimpaku dan yang aku takuti) sebanyak tujuh kali (HR. Muslim).

Teknik kelima:
Ruqyah (Terapi Qur’ani) dengan membaca doa dan meletakkan ludah pada jari telunjuknya kemudian meletakkannya di tanah lalu meletakkannya pada tempat yang terluka.[5]
Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘A'ishah ra, katanya:
 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا اشْتَكَى الإِنْسَانُ الشَّىْءَ مِنْهُ أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جَرْحٌ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا وَوَضَعَ سُفْيَانُ سَبَّابَتَهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ رَفَعَهَا « بِاسْمِ اللَّهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا »
Bahwasanya Rasulullah Saw, apabila ada seseorang mengeluh kepada beliau tentang rasa sakit akibat bisul (bernanah) atau luka, maka Nabi Saw membaca doa sambil meletakkan jarinya di tanah seperti ini-Sufyan bin ‘Uyaynah mencontohkan dengan meletakkan jari telunjuknya di tanah kemudian mengangkatnya dan berdoa: “Bismillah turbatu 'ardina biriqati ba‘dina liyushfa bihi saqimuna bi'idhni rabbina” (Dengan nama Allah, tanah bumi kita ini, dengan ludah sebagian kami, semoga dengannya disembuhkan sakit kami dengan izin Tuhan kami).(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Teknik keenam:
Ruqyah (Terapi Qur’ani) dengan membaca doa atau al-Qur’an dan memasukkan tangan ke dalam air yang dicampur dengan garam.[6]
Hadis riwayat al-Tabrani dari Ali ra: “Pada suatu ketika Nabi Saw sedang melaksanakan salat malam. Tiba-tiba tangannya tersengat kalajengking. Setelah itu Nabi Saw mengambil air dicampur dengan garam kemudian dituangkan ke tangan yang terkena sengatan tadi sambil dibacakan al-Qur’an surat al-Kafirun, al-'Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas. Peristiwa ini terrekam dalam beberapa hadis berikut ini:
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَدَغَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقْرَبٌ وَهُوَ يُصَلِّي، فَلَمَّا فَرَغَ، قَالَ: لَعَنَ اللهُ الْعَقْرَبَ لا تَدَعُ مُصَلِّيًا وَلاَغَيْرَهُ، ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ وَمِلْحٍ، وَجَعَلَ يَمْسَحُ عَلَيْهَا وَيَقْرَأُ بِقُلْ يَأَيُّهَاالْكَافِرُونَ، وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

‘Ali bin 'Abi Talib berkata, “Ketika Rasulullah sedang salat, beliau disengat kalajengking. Setelah selesai salat, beliau bersabda, ‘Semoga Allah melaknat kalajengking yang tidak membiarkan orang yang sedang salat atau yang lainnya.’ Lalu beliau mengambil sewadah air dan garam. Kemudian beliau usap bagian anggota badan yang disengat kalajengking, seraya membaca surat al-Kafirun, al-Falaq dan al-Nas.” (HR. Tabrani No. 830). Muh}ammad Nasiruddin al-'Albani mensahihkannya (al-Silsilah al-Sahihah, Vol.II, 89).

Teknik ketujuh:

Ruqyah (Terapi Qur’ani) dengan berdoa atau membaca al-Qur’an, lalu menuangkan air zam-zam dan meminumkannya.[7]
Hadis riwayat al-Bayhaqi dari Hisham bin ‘Urwah dari ayahnya:

 أَنَّ عَائِشَةَ كَانَتْ تَحْمِلُ مَاءَ زَمْزَمَ وَتُخْبِرُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَفْعَلُهُ. وَرَوَاهُ غَيْرُهُ عَنْ أَبِى كُرَيْبٍ وَزَادَ فِيهِ : حَمَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الأَدَاوَى وَالْقِرَبِ وَكَانَ يَصُبُّ عَلَى الْمَرْضَى وَيَسْقِيهِمْ  

Bahwasanya ‘A'ishah ra pernah membawa air zam-zam. Ia mengabarkan bahwasanya Rasulullah Saw pernah juga membawanya. Perawi lain meriwayatkannya dari 'Abu Kurayb dengan tambahan: “Rasulullah Saw membawa air zam-zam di dalam kantong kulit dan geriba, kemudian beliau menuangkannya pada orang yang sakit dan meminumkannya (HR. Al-Baihaqi). Al-'Albani dalam Silsilah al-Sahihah menilai hadis ini sahih.

Teknik kedelapan:
Ruqyah (Terapi Qur’ani) dengan menulis beberapa ayat al-Qur’an atau doa pada kertas atau alat-alat yang boleh di letakkan di atas air, kemudian diminumkan atau digunakan untuk  mandi.[8]
Hadis riwayat al-Baihaqi bahwa Sa‘id bin Jubayr mendapatkan keterangan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas tentang wanita yang mengalami kesulitan saat hendak melahirkan, ia berkata:
 يكتب في قرطاس ثم  تسقى : بسم الله الذي لا إله إلا هو الحكيم الكريم ، سبحان الله وتعالى رب  العرش العظيم ، الحمد لله رب العالمين  (كأنهم يوم يرون ما يوعدون لم يلبثوا إلا ساعة من نهار بلاغ فهل يهلك إلا القوم الفاسقون)الأحقاف : 35  ! (كأنهم يوم يرونها لم يلبثوا إلا عشية أو ضحاها) النازعات :46 .هذا موقوف على ابن عباس
Hendaknya dituliskan di atas kertas (dimasukkan dalam bejana berisi air) kemudian diminumkan. Adapun yang ditulis adalah: bismillah alladhi la 'ilala 'illa huwa al-hakim al-karim, subhanallahi wa ta‘ala rabbi al-‘arsh al-‘adhim, al-hamdulillahi rabb al-‘alamin, kemudian surat al-Ahqaf ayat 35 (...ka'annahum yawma yarawna ma yu ‘aduna lam yalbathu 'illa sa’atan min naharin balaghun fahal yuhlaku 'illa al-qawmu al-fasiqun, artinya: “pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.); dan surat al-Nazi’at ayat 46 (ka'annahum yawma yarawnaha lam yalbathu 'illa ‘ashiyyatan aw duhaha, artinya: “pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari). Hadis ini mawquf pada 'Ibn ‘Abbas ra.
Jalal al-Din al-Suyuti mencatat riwayat dalam tafsirnya al-Durr al-Manthur , Vol. IV/ 598. ثُمَّ تُغْسَلُ وَتُسْقَى المَرْأَةُ مِنْهُ وَيُنْضَحُ عَلَى بَطْنِهَا وَفَرْجِهَا (Kemudian air itu digunakan untuk memandikan dan meminumkan wanita itu, lalu dipercikkan di atas perut dan kemaluannya).
‘Abdullah bin 'Ah}mad berkata: “Aku melihat ayahku ('Imam 'Ahmad) menulis doa dan ayat-ayat tersebut pada sebuah tempat minuman yang putih atau sesuatu yang bersih untuk seorang wanita yang sedang mengalami kesulitan melahirkan” (اذا عسُر عليها وِلادتهُا).   Menurut 'Ibn al-Qayyim, menulis bacaan atau doa-doa (pada bejana berisi air) untuk ruqyah itu bisa memberikan manfaat (وَكُلّ مَا تَقَدَّمَ مِنْ الرُّقَى فَإِنَّ كِتَابَته نَافِعَة). Lebih lanjut 'Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa sejumlah ulama salaf telah memberikan rukhs}ah (keringanan) mengenai bolehnya menulis beberapa ayat al-Qur’an pada sebuah gelas atau tempat minuman yang bersih lalu meminumnya. Hal itu bisa menjadi sarana pengobatan atau penyembuhan (وَجَعَلَ ذَلِكَ مِنْ الشِّفَاء الَّذِي جَعَلَ اللَّه فِيهِ).
Teknik kesembilan:
Ruqyah (Terapi Qur’ani) dengan memukul dada, menyembur mulut dengan sedikit air ludah dan mengusap wajah dengan air sambil berdoa atau membaca al-Qur’an.[9]

Matar 'Ibn ‘Abd al-Rahman al-'A'naq berkata: “Telah berkata pada saya 'Umm 'Aban binti al-Wazi‘ dari bapaknya bahwasanya kakeknya yang bernama al-Zari‘ datang kepada Rasulullah Saw bersama seorang anaknya yang mengidap penyakit gila atau anak saudara perempuannya. Kakek saya berkata: “Ketika kami sudah sampai di hadapan Rasulullah Saw di kota Madinah, saya berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya membawa seorang anak saya atau anak saudara perempuan saya yang berpenyakit gila. Saya sengaja datang kepada Engkau untuk meminta agar Engkau berdoa kepada Allah demi kesembuhannya". Rasulullah Saw berkata: "Bawalah anak itu kemari". Saya lalu mengambilnya, saat itu ia berada di atas kendaraan dan melepaskan tali pengikatnya. Lalu saya melepaskan pakaiannya yang dipakai selama perjalanan, kemudian saya berikan pakaian padanya sepasang pakaian yang indah. Lalu saya membawanya kepada Rasulullah Saw. Ketika saya sudah sampai di hadapannya, beliau berkata: “Dekatkanlah ia kepadaku dan letakkan punggungnya di hadapanku". Lalu beliau memegang ujung dan pangkal pakaiannya dan memukul punggung anak itu sehingga kelihatan putih ketiaknya. Saat itu beliau sambil mengucapkan:

اخْرُجْ عَدُوَّ اللَّهِ اخْرُجْ عَدُوَّ اللَّهِ ، فَأَقْبَلَ يَنْظُرُ نَظَرَ الصَّحِيحِ لَيْسَ بنظَرِهِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ أَقْعَدَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ يَدَيْهِ ، فَدَعَا لَهُ بِمَاءٍ ، فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَدَعَا لَهُ.
"Keluarlah wahai musuh Allah! Keluarlah wahai musuh Allah!". Lalu anak tersebut kembali dapat melihat secara normal, tidak seperti pandangan yang sebelumnya. Kemudian Rasulullah Saw mendudukkan anak itu di hadapannya. Saat itu beliau berdoa dengan membawa air dan mengusap mukanya (HR. Al-Tabrani).

Hadis tersebut menjelaskan tentang cara Rasulullah Saw melakukan ruqyah terhadap anak yang terkena sakit gila. Saat itu Rasulullah Saw melakukan ruqyah kepadanya dengan cara memegang pangkal dan ujung pakaian anak itu kemudian memukul dadanya sambil mengucapkan: 'ukhruj ‘aduwwallah, 'ukhruj ‘aduwwallah! (keluarlah wahai musuh Allah, keluarlah wahai musuh Allah). Setelah anak itu mengalami kesadaran, Rasulullah saw mendudukkannya lalu mengusap wajahnya dengan air sambil berdoa.
Mengenai bacaan doanya, Sa‘id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahtani mengatakan bahwa bacaan ruqyah yang paling agung adalah surat al-Fatihah, ayat al-Kursi, dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah, al-'Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas sambil meniup orang yang terkena penyakit gila. Selain bacaan tersebut boleh juga bacaan ayat-ayat lain yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim, karena sesungguhnya seluruh al-Qur’an itu merupakan obat atau penyembuh apa yang ada dalam dada dan menjadi petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.




[1] Lebih lengkap baca buku Achmad Zuhdi Dh, Terapi Qur’ani Tinjauan Historis, al-Qur’an-al-Hadis dan Sains Modern (Surabaya: Imtiyaz, 2015), 95-99.
[2] Selengkapnya baca Terapi Qur’ani, 99-102.
[3] Selengkapnya baca Terapi Qur’ani, 102-105.
[4] Selengkapnya baca Terapi Qur’ani, 105-108.
[5] Selengkapnya baca Terapi Qur’ani, 108-110.
[6] Selengkapnya baca Terapi Qur’ani, 110-113.
[7] Selengkapnya baca Terapi Qur’ani, 113-115.
[8] Selengkapnya baca Terapi Qur’ani, 115-118.
[9]Selengkapnya baca Terapi Qur’ani, 118-123.


Buku Terapi Qur'ani
(Tinjauan Historis, al-Qur'an-al-Hadis dan Sains Modern)
Penerbit IMTIYAZ Surabaya, Juli 2015
Tebal 358 hal
Pengantar: Prof.Dr.Abd A'la, MA (Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya)

Bagi yang berminat buku tersebut dapat menghubungi no WA berikut ini: 0817581229. 
Harga umum @ Rp.80.000;  






Zakat Profesi

ZAKAT PROFESI (KONTRAKTOR)


Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I



Pertanyaan:

Assalamualaikum wr. Wb
Ustadz Zuhdi yang dirahmati Allah, apakah seseorang yang mendapatkan penghasilan dari profesi sebagai kontraktor yang membangun perumahan, gedung-gedung perkantoran, dan profesi-profesi lainnya itu perlu dizakati ?
Jazakumullah Khairan Kasiran !

Jawab:

Wa’alaikumussalam wr wb!
            Dalam kajian zakat, ada yang disebut dengan zakat profesi. Zakat profesi sebenarnya merupakan istilah baru dalam kajian fiqih Islam. Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishab. Adapun yang dimaksud dengan profesi dalam hal ini terbagi menjadi dua macam yaitu: (1) Profesi yang penghasilannya diperoleh dengan cara usaha sendiri seperti kontraktor, dokter, pengacara, arsitek, penjahit dan lain sebagainya, dan (2) Profesi yang penghasilannya diperoleh dengan cara bekerja pada orang lain sehingga ia memperoleh gaji/imbalan, seperti pegawai negeri, karyawan BUMN, dan lain sebagainya.
Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum zakat penghasilan atau profesi. Mayoritas ulama salaf (klasik) tidak mewajibkannya, namun para ulama kontemporer seperti  Yusuf Al-Qaradhawi dan Wahbah Al-Zuhaili, menegaskan bahwa zakat penghasilan atau zakat profesi itu hukumnya wajib.
Hal ini mengacu pada pendapat sebagian sahabat yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Mu’awiyah, serta sebagian tabiin  yaitu Al-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, Makhul dan Umar bin Abdul Aziz. Adapun kewajiban zakatnya adalah 2,5%, berdasarkan keumuman nas yang mewajibkan zakat uang, baik sudah mencapai satu haul atau  ketika menerimanya. Jika sudah dikeluarkan zakatnya pada saat menerimanya, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat lagi pada akhir tahun.
Dengan demikian ada kesamaan antara pegawai yang menerima gaji secara rutin dengan petani yang wajib mengeluarkan zakat pada saat panen, tanpa ada perhitungan haul.  Menurut al-Qardhawi nishab zakat profesi senilai 85 gram emas dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5%. 
 Adapun dalil tentang adanya zakat profesi adalah firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu, dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya, melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah maha kaya lagi maha terpuji” (QS.Al-Baqarah/2: 267).
Dan firman Allah tentang peringatan terhadap orang yang menumpuk emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah. Allah berfirman :“…dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. At Taubah : 34);
Selain itu juga berdasarkan prinsip keadilan dalam Islam. Sungguh dirasakan tidak adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan Islam bila petani dan pedagang kecil yang penghasilannya kecil diwajibkan membayar zakat, sementara seorang eksekutif, kontraktor, konsultan, dan profesional lain yang penghasilannya dapat mencapai puluhan juta tidak diwajibkan membayar zakat.
Adapun nishab zakat penghasilan dan profesi adalah 85 gram emas, sama dengan nishab zakat uang. Demikian pula dengan besarnya zakat yang dikeluarkan adalah 1/40 atau (2,5%) sesuai dengan keumuman nash yang mewajibkan zakat uang sebesar itu.
Timbul persoalan tentang orang-orang yang memiliki penghasilan dari profesi. Mereka menerima pendapatan dari profesinya tersebut tidak sama, ada yang setiap hari seperti dokter, atau pada saat-saat tertentu seperti seorang advokat, kontraktor dan penjahit, atau secara regular mingguan atau bulanan seperti kebanyakan para pegawai.
Bila nishab di atas ditetapkan untuk setiap kali upah atau gaji yang diterima, maka banyak golongan profesi yang menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali cukup nisab dari kewajiban zakat. Sedangkan bila seluruh gaji itu dalam satu waktu tertentu dikumpulkan, maka akan cukup senisab bahkan lebih. Sementara waktu penyatuan dari penghasilan itu yang dimungkinkan dan dibenarkan oleh syari’at adalah satu tahun, di mana zakat dibayarkan setahun sekali. Fakta juga menunjukkan bahwa pemerintah mengatur gaji pegawainya berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan per bulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak.
Penghasilan yang diukur nishabnya adalah penghasilan bersih, yaitu penghasilan yang telah dikurangi kebutuhan biaya hidup terendah atau kebutuhan pokok seseorang berikut tanggungannya dan juga setelah dikurangi untuk pembayaran hutang (hutang bukan karena kredit barang mewah tapi karena untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer seperti bayar kredit rumah BTN, hutang nunggak bayaran sekolah anak, dan yang sejenis).
Bila penghasilan bersih itu dikumpulkan dalam setahun atau kurang dalam setahun dan telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 %. Bila seseorang telah mengeluarkan zakatnya langsung ketika menerima penghasilan (karena yakin dalam waktu setahun penghasilan bersihnya akan lebih dari senishab), maka tidak wajib lagi bagi dia mengeluarkannya di akhir tahun (karena akan berakibat double zakat).  
Mengenai cara praktis menghitung zakat profesi adalah sebagaimana contoh berikut ini:
A.Penerimaan kotor selama setahun : Rp.180.000.000;
B.Kebutuhan pokok setahun : Rp.60.000.000;
C.Hutang-hutang yang dibayar dalam setahun : Rp.15.000.000;
D.Penghasilan bersih setahun : A-(B+C) atau Rp180.000.000-(60.000.000+15.000.000=75.000.000) =  Rp. 105.000.000;

Dari penghasilan bersih tersebut (Rp. 105.000.000;) karena dipandang sudah memenuhi  jumlah nishab (senilai 85 gram emas @ Rp. 490.000= Rp.41.650.000), maka selanjutnya  dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Dengan demikian jumlah zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5 %  atau 1/40 x Rp. 105.000.000; = Rp.2.625.000;
Jika penghasilan bersih tidak mencapai jumlah nishab, maka tidak terkena wajib zakat. Sungguhpun demikian masih diharuskan mengeluarkan infak, sedekah dan pemberian lainnya yang bersifat sunnah. Ingat firman Allah: “Apapun yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia (Allah) adalah sebaik-baik pemberi rizki (QS. Saba’ 39).
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa zakat yang dikeluarkan itu dari hasil penerimaan kotor (tanpa dikurangi kebutuhan pokok). Wallahu A’lam !


Senin, 23 November 2015

Shalat Pakai Jimat

HUKUM SHALAT DI BELAKANG IMAM  YANG MEMAKAI JIMAT

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


Pertanyaan:
            Assalamu’alaikum wr wb!
Ustadz Achmad Zuhdi yang dirahmati Allah! Mohon penjelasan tentang status hukum orang yang bermakmum (shalat di belakang) imam yang memakai jimat. Apakah shalatnya tetap sah?  Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih. (Muslimah, Sidoarjo)

Jawaban:
            Wa’alaikumussalam wr wb!
            Ibu Muslimah yang dirahmati Allah! Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu difahami lebih dulu tentang apa itu jimat dan bagaimana hukum memakai jimat. Jimat adalah sesuatu (benda) yang diyakini bisa membawa kebaikan, keberkahan dan manfaat bagi yang memakainya. Jimat juga diyakini bisa menolak segala macam bahaya. Jimat bisa berupa benda-benda antik seperti keris, batu akik atau cincin, kalung, ikat pinggang, dan lain-lain. Selain itu, jimat bisa berupa benda yang dibungkus kemudian digantung di belakang pintu rumah atau toko, atau disimpan di ikat pinggang atau dikalungkan di leher.
Tentang hukum memakai jimat dapat diketahui dari beberapa hadis berikut ini:
‘Uqbah bin Amir Al-Juhani ra. Menuturkan:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ إِلَيْهِ رَهْطٌ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ وَاحِدٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ بَايَعْتَ تِسْعَةً وَتَرَكْتَ هَذَا قَالَ إِنَّ عَلَيْهِ تَمِيمَةً فَأَدْخَلَ يَدَهُ فَقَطَعَهَافَبَايَعَهُ وَقَالَ مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Bahwasannya telah datang kepada Rasulullah Saw. sepuluh orang (untuk melakukan bai’at), maka Nabi Saw. membai’at sembilan orang dan tidak membai’at satu orang. Maka mereka berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau membai’at sembilan dan meninggalkan satu orang ini?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia mengenakan jimat.” Maka orang itu memasukkan tangannya dan memotong jimat tersebut, barulah Nabi Saw. membai’atnya dan beliau bersabda, “Barangsiapa yang mengenakan jimat maka dia telah menyekutukan Allah”." (HR. Ahmad. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Isnadnya kuat,” dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 492)
Dalam riwayat lain, Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir ra. berkata, aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
Barangsiapa yang mengenakan jimat maka Allah tidak akan menyempurnakan hajatnya, dan barangsiapa yang mengenakan wada’ah (jimat batu pantai) maka Allah tidak akan memberikan ketenangan kepadanya.” (HR. Ahmad. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Hadits hasan.”)
Sahabat Imran bin Al-Hushain ra. menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ وَيْحَكَ مَا هَذِهِ قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْنًا انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا
Bahwasannya Nabi Saw. melihat di tangan seorang laki-laki terdapat gelang dari tembaga, maka beliau berkata, “Celaka engkau, apa ini?” Orang itu berkata, “Untuk menangkal penyakit yang dapat menimpa tangan.” Beliau bersabda, “Ketahuilah, benda itu tidak menambah apapun kepadamu kecuali kelemahan, keluarkanlah benda itu darimu, karena sesungguhnya jika engkau mati dan benda itu masih bersamamu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya”.”(HR. Ahmad)
            Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyebutkan di antara penjelasan ulama terhadap hadits di atas, “Bahwasannya di zaman Jahiliyah dahulu mereka memakaikan kalung-kalung busur panah keras terhadap onta mereka agar tidak terkena penyakit ‘ain (sihir) menurut sangkaan mereka. Maka Nabi Saw. memerintahkan mereka untuk memutuskan kalung-kalung tersebut sebagai pengajaran kepada mereka bahwa jimat-jimat itu tidak sedikitpun dapat menolak ketentuan Allah Swt. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik rahimahullah tentang makna hadits ini. . ." (Fathul Bari: 6/142)
Jika orang yang memakai jimat tersebut benar-benar meyakini bahwa jimat yang dipakainya akan dapat mewujudkan keinginannya, mendatangkan kemanfaatan dan menghindarkannya dari bahaya, maka ia telah terjerumus ke dalam syirik besar. Akibatnya, status keislamannya bisa batal, seluruh amal shalihnya terhapus, dan jika mati masih dalam kesyirikan maka ia akan kekal di neraka. Hal itu dikarenakan telah menyekutukan atau menyamakan Allah Swt dengan makhluk dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah.
 أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya lah bertawakal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Zumar: 38)
Ayat tersebut menunjukan bahwa hanya Allah Swt yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan bahaya, karena hal itu merupakan sifat rububiyah Allah Ta’ala yang harus diyakini oleh setiap hamba, sehingga apabila seseorang meyakini hal itu ada pada selain-Nya seperti pada malaikat, nabi, wali, jin dan jimat-jimat maka berarti dia telah menyekutukan Allah Swt.
            Tentang hukum shalat di belakang orang yang memakai jimat, yang dinilai telah berbuat kesyirikan itu, maka sejumlah ulama menghukuminya tidak sah. Berdasarkan firman Allah Swt:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka melakukan kesyirikan kepada Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan” (QS.al-An’am(6): 88)
            Dalam sebuah hadis riwayat Muslim disebutkan:
مَنْ أَتَى عَرّاَفاً فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ لمَ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً  (رواه مسلم)
Barangsiapa mendataangi tukang ramal (wong pinter) untuk menanyakan sesuatu kemudian membenarkannya, maka shalatnya tidak akan diterima oleh Allah selama 40 tahun (HR. Muslim).
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut menunjukkan bahwa orang yang telah berbuat syirik, maka amalannya tidak akan diterima oleh Allah Swt. Bahkan amal-amal yang pernah dilakukannya bisa habis atau lenyap sama sekali dikarenakan kesyirikannya itu. Karenanya, orang semacam itu (termasuk pelaku syirik karena pemuja jimat) tidak boleh dijadikan sebagai imam shalat, kecuali jika ia kemudian bertaubat dengan taubat nashuha. Apabila di sebuah masjid yang jadi imamnya sudah kita kenal sebagai pelaku syirik, maka kita harus berusaha menghindarinya. Jika terpaksa harus shalat di masjid itu, maka kita bisa shalat sebelumnya atau sesudahnya. Pendapat ini didukung oleh Syekh Abdullah bin Baz.
Wallahu A’lam Bi al-Shawab!