Jumat, 01 Juli 2016

IDUL FITRI DAN HALAL BI HALAL

MAKNA IDUL FITRI DAN HALAL BI HALAL

Oleh:


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan:
            Assalamu’alaikum wr wb!
            Ust. Achmad Zuhdi yang dirahmati Allah! Mohon penjelasan tentang makna Idul Fitri dan Halal Bi Halal, dan amalan apa saja yang harus dilakukan sebelum maupun sesudah Idul Fitri? Atas jawabannya kami sampaikan terima kasih. Jazakallah khairan katsiran! (Abidah, Sidiarjo)

Jawab:
            Wa’alaikumussalam wr wb!
Ada dua hari raya yang  dipandang sah dalam Islam, idul fitri dan idul adha. Sedangkan hari-hari besar Islam lain yang biasa diperingati oleh umat Islam Indonesia seperti perayaan tahun baru hijriyah, isra dan mi’raj. maulid Nabi, dan nuzulul Qur’an adalah hari raya “budaya Islam”, bukan hari raya “agama Islam”.
Jika Amerika mengenal ada perayaan “Thanksgiving Day”, yang  diperingati setiap tahun pada hari Kamis keempat bulan November, oleh rakyat negeri itu dengan bersuka-ria dan bersyukur kepada Tuhan bersama keluarga, maka di Indonesia ada perayaan “idul fitri”, di mana gerak mudik rakyat Indonesia terdorong kuat untuk bertemu keluarga, ayah-ibu, sanak-saudara yang dikemas dalam budaya silaturrahim dan halal bi halal.

Makna Idul Fitri
Idul fitri terdiri dari kata  ‘id dan al-fithr.  Kata ‘id  berasal dari akar yang sama dengan kata-kata ‘awdah  atau ‘awdatun, ‘aadah atau ‘aadatun dan isti’aadatun. Semua kata tersebut mengandung makna asal “kembali” atau “terulang”. Ungkapan bahasa  Indonesia “adat-istiadat” adalah serapan dari bahasa Arab ‘aadat wa isti’aadatun yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang dan diharapkan akan terus terulang, yakni sebagai “adat kebiasaan”. Dalam bahasa Arab, hari raya diartikan dengan ‘id, karena ia akan selalu datang kembali berulang-ulang secara periodik setiap tahun.  
Sedangkan al-fithr adalah satu akar dengan kata al-fihtrah, yang berarti “kejadian asal yang suci” atau “kesucian asal”. Secara kebahasaan, fithrah searti dengan khilqah, yaitu ciptaan atau penciptaan. Allah sebagai Maha Pencipta adalah makna dari kata al-Khaliq atau al-Fathir. Dalam perkembangannya, istilah al-fithrah kemudian berarti “penciptaan yang suci”. Dalam pengertian ini, kata Nurcholis Madjid, semua segi kehidupan seperti makan, minum, tidur dan apa saja yang wajar, tanpa berlebihan, pada manusia dan kemanusiaan adalah fithrah. Semua itu bernilai kebaikan dan kesucian karena semuanya itu berasal dari desain penciptaan Tuhan. Karena itu, berbuka puasa atau “kembali makan dan minum” setelah tadinya berpuasa juga disebut ifthar, yang secara harfiah dapat diartikan “memenuhi fitrah” yang suci dan baik. Dengan perkataan lain, makan dan minum adalah baik dan wajar pada manusia, merupakan bagian dari fitrahnya yang suci.  Dari sudut pandang ini dapat dimengerti mengapa Islam tidak membenarkan manusia berusaha menempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal yang wajar seperti makan, minum, tidur, berumah tangga dan lain sebagainya. Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Saya mendengar bahwa kamu (Abdullah bin ‘Amr bin As) puasa sepanjang siang hari dan bangun untuk selalu salat malam? Benar, Ya Rasulullah. Beliau kemudian mengingatkan dengan sabdanya: “Janganlah berbuat begitu, berpuasalah dan berbukalah, tidurlah dan bangunlah untuk salat malam, karena sesungguhnya bagi tubuhmu ada hak, bagi kedua matamu ada hak, bagi isterimu ada hak dan bagi tamu juga ada hak”. Hadis ini menerangkan bahwa segala tindakan manusia yang meninggalkan kewajaran hidup manusia adalah tindakan melawan fitrah.
Berangkat dari pemahaman tentang arti idul fitri tersebut, dalam perayaan idul fitri -setelah selesai berpuasa selama bulan Ramadan- terkandung makna kembali kepada hakikat yang wajar dari manusia dan kemanusiaan, yaitu wajar untuk memenuhi keperluan makan dan minum sampai kembalinya manusia kepada fitrah dalam arti mentauhidkan Allah dan hanya ingin berbuat yang baik dan benar. 
Fitrah terkait dengan hanif, artinya suatu sifat dalam diri manusia yang cenderung memihak kepada kebaikan dan kebenaran. Nabi saw bersabda:
  الْبِرُّ مَااطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ،
 وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ، وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ  
Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat hati dan jiwa merasa tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat hati gelisah dan menimbulkan kebimbangan dalam dada (HR. Ahmad dan lain-lain. Syekh Al-Albani menilai hadis ini hasan)   
Hadis tersebut menerangkan bahwa perbuatan dosa adalah tindakan yang bertentangan dengan hati nurani, tidak sesuai dengan fitrah yang suci. Karena itu, idul fitri dapat berarti kembali kepada hati nurani, yang hanya cenderung kepada kebaikan dan kebenaran sesuai dengan fitrahnya. Keadaan ini hanya bisa diraih oleh orang yang benar-benar telah melatih dirinya dengan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Nabi Saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melaksanakan ibadah puasa atas dasar iman dan penuh perhitungan, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat (HR. al-Bukhari dan Muslim)  
Idul fitri berarti kembali kepada kesucian. Kesucian, kata Quraish Shihab,  adalah gabungan tiga unsur: benar, baik dan indah. Sehingga, seseorang yang ber-idul fitri dalam arti “kembali ke kesuciannya” akan selalu berbuat yang indah, baik dan benar. Bahkan lewat kesuciannya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia akan selalu mencari sisi-sisi yang baik, benar dan indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika dan mencari yanag benar menimbulkan ilmu. Dengan pandangan demikian, ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Dan apabila hal itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan.

Menyambut Idul Fitri
Idul fitri adalah hari raya umat Islam setelah selesai melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Idul fitri artinya kembali berbuka, dan kembali kepada kesucian (fitrah). Setiap pribadi muslim yang telah menyelesaikan ibadah puasa dengan dasar iman dan penuh perhitungan, ia akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang pernah dilakukan, bagaikan bayi yang baru lahir dari rahim ibunya.( HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Untuk mengagungkan dan memarakkan suasana idul fitri, disunnahkan :
Pertama, mengagungkan asma Allah dengan melaksanakan “takbiran”, yakni mengumandangkan takbir, tahmid dan taqdis, mulai dari terbenamnya matahari pada malam iduli fitri hingga shalat iduli fitri dilaksanakan; Contoh lafal takbir menurut riwayat Umar dan Ibn Mas’ud (baca Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, I/275) adalah sebagai berikut:
أَللهُ اَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ  لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ  أَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
 Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada Tuhan kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Bagi Allahlah  segala puji

Kedua, Pada saat hari raya idul fitri di sunnahkan melakukan hal-hal sbb: a). Mandi besar, sebelum shalat idul fitri; b). Memakai pakaian yang baik dan sopan disertai harum-haruman; c). Makan dan minum sekedarnya sebelum berangkat menuju ke tempat shalat idul fitri, sebagai tanda bahwa hari itu sudah tidak  puasa; d). Menempuh perjalanan menuju tempat shalat dan kembali dari shalat melalui jalan yang berbeda; e). Melaksanakan shalat sunnah idul fitri dua rakaat secara berjamaah di lapangan; f). Mengadakan silaturrahim (halal bi halal) antara satu dengan yang lain, setelah  shalat idul fitri. Dan bila bertemu antara  satu dengan yang lain dianjurkan mengucapkan :
تَقَبَّلَ اللهُ مَنَّا وَمِنْكُمْ
“Semoga Allah berkenan menerima amal-amal kita”
(Sabiq, Fiqhus Sunnah, Vol. I, 274. Baca juga al-Albani, Tamamul Minnah, 335)

Idul Fitri dan Halal bi Halal
Halal bi halal adalah sebuah tradisi yang sudah mengakar di negeri ini. Pelaksanaannya biasa dilakukan setelah shalat idul fitri atau dalam suasana lebaran. Inti dari kegiatan halal bi halal ini adalah sama dengan silaturrahim.
Jika dilihat dari asal-usul istilah halal bi halal, memang tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Bahkan dalam kamus bahasa Arab pun tidak ada istilah halal bi halal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka  terdapat keterangan bahwa halal bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari lebaran. Atas dasar ini, maksud halal bihalal sesuai dengan istilah bahasa Indonesia adalah untuk menciptakan suasana saling memaafkan antara satu dengan yang lain (Tim Penyusun Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,1989 hal, 293).
Berdasarkan maksud penyelenggaraan halal bi halal tersebut, ada ulama yang berusaha melakukan identifikasi mengenai asal-usul istilah halal bi halal ini. Menurutnya, istilah halal bi halal ini mungkin diambil dari ungkapan sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sbb:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيْهِ فِى عِرْضِهِ أَوْ شَيْئٍ
فَلْيَتَحَلّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ   (رواه البخارى)
“Barangsiapa melakukan penganiayaan (kesalahan) terhadap orang lain, baik menyangkut kehormatan ataupun yang lain, maka hendaknya pada saat itu juga minta dihalalkan/dimaafkan”. (HR. Al-Bukhari)
Pada hadis tersebut terdapat ungkapan bahasa Arab “fal yatahallalhu”, yang artinya hendaknya minta dihalalkan atau dimaafkan. Kata-kata inilah yang diambil oleh ulama Indonesia tempo dulu dalam rangka menciptakan suatu momen di mana antara satu orang dengan yang lain bisa saling memaafkan. Istilah saling halal menghalalkan ini kemudian didekatkan dengan kaidah bahasa Arab sehingga menjadi halal bi halal. Dengan demikian, halal bi halal bukanlah asli istilah dari Arab, tetapi sengaja dibuat oleh ulama Indonesia dengan menggunakan kosakata Arab.
Sebenarnya perintah untuk saling halal-menghalalkan atau maaf-memaafkan antara satu dengan yang lain, bukanlah hanya pada saat lebaran atau dalam suasana idul fitri saja, akan tetapi berlaku sepanjang waktu, kapan saja, di mana saja bilamana telah melakukan kesalahan atau penganiayaan kepada orang lain. Imam al-Kahlani al-Shan’ani dalam kitabnya “Subul al-Salam” mengatakan bahwa berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari tersebut menunjukkan “wujub al-istihlal”, yakni kewajiban meminta maaf kepada orang yang didzalimi.
Mengenai ditempatkannya acara halal bi halal pada suasana lebaran atau suasana idul fitri, hal ini ada hubungannya dengan amalan ibadah puasa. Salah satu bukti orang yang berhasil melakukan ibadah puasa adalah munculnya sikap atau kepribadian yang positif, di antaranya adalah suka memaafkan kepada orang lain. Nah, dengan melakukan halal bi halal  yakni saling memaafkan antara satu dengan yang lain, diharapkan hal itu menjadi salah satu bukti keberhasilan ibadah puasanya. Orang inilah yang insya Allah akan benar-benar dapat menikmati hakikat ber-idul fitri.
Wallahu a’lam !