Senin, 27 Agustus 2018

PUJIAN SEBELUM SHALAT


Pujian Sebelum Shalat Jamaah

Oleh:

  

Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
 Teks Hadis
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أنْشَدْتُ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إلَى أبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أجِبْ عَنِّيْ اَللّهُمَّ أيَّدْهُ بِرُوْحِ اْلقُدُسِ قَالَ اَللّهُمَّ نَعَمْ
            Dari Sa’id bin al-Musayyib, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku pernah melantunkan syair di masjid (padahal) saat itu ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi Muhammad Saw).’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW: “Jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus”. Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya)”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain).
Status Hadis
            Dalam kitab al-Silsilah al-Shahihah, II/642, al-Albani mengatakan bahwa hadis tersebut  termuat dalam Shahih Muslim, VII/162-163, Sunan Abu Dawud, II/316, al-Thayalisi, 304, Ahmad, II/269,V/222, dari al-Zuhri, dari Sa’id, dan dari Abu Hurairah. Dalam riwayat Ahmad ada tambahan kalimat yang menjelaskan:
فانصرف عمر و هو يعرف أنه يريد رسول الله صلى الله عليه وسلم
Kemudian Umar berpaling pergi, dan ia mengetahui yang dimaksud dengan orang (yang lebih baik dari dirinya) adalah Rasulullah Saw. Kata al-Albani, sanad hadis tersebut shahih.
Kandungan Hadis
       Hadis tersebut menjelaskan bahwa suatu hari Umar bin Khattab bertemu Hassan bin Sabit (sang penyair) yang sedang melantunkan syairnya di dalam masjid. Saat itu Umar menegurnya, namun Hassan tidak terima lalu mengatakan kepada Umar bahwa dirinya pernah melantunkan syair di masjid dan Rasulullah Saw membiarkannya. Untuk meyakinkan Umar ia minta kesaksian Abu Hurairah untuk membenarkannya. Setelah itu Umar berpaling dan pergi.
            Hadis ini, oleh sebagian ulama, dijadikan dasar bolehnya puji-pujian sebelum  shalat berjamaah. Yang dimaksud dengan puji-pujian sebelum shalat berjamaah adalah membaca syair-syair dengan suara keras yang berisi puji-pujian kepada Allah, shalawat kepada Nabi Saw dan kata-kata nasihat dari orang bijak, seperti “tombo ati” dan lain sebagainya. 
                   Banyak masjid di Indonesia yang mempraktikkan pujian-pujian ini, terutama di pedesaan. Pujian-pujian ini biasanya dilakukan pada saat jeda antara adzan dan iqamah jelang shalat berjamaah. hal tersebut dilakukan sambil menunggu jamaah lain serta sang imam datang. Pujian biasanya dipimpin oleh muadzdzin dan diikuti jamaah yang sudah datang. Pujia-pujian biasanya diambil dari bacaan shalawat, dzikir, istighfar, dan terkadang syair-syair berbahasa Jawa yang mengandung nasihat dan ajaran agama dan dibaca dengan suara keras.
                Puji-pujian tersebut sudah menjadi tradisi di Indonesia sejak dulu. Tidak sedikit dari syair-syair pujian tersebut yang dibuat oleh Wali Songo. Hal tersebut dimaksudkan untuk menarik warga agar ikut hadir dan shalat berjamaah di masjid. 
            Di kalangan ulama Indonesia, puji-pujian dengan suara keras sebelum shalat jamaah telah menjadi khilafiyah (perbedaan pendapat). Sebagian ulama membolehkan bahkan cenderung menganggapnya sunnah. Sementara ulama yang lain tidak membolehkan bahkan membid’ahkannya.
            Ulama yang membolehkan dan cenderung menganggapnya sunnah antara lain beralasan sebagai berikut:
            Pertama, Syaikh Isma’il al-Zain menjelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan bolehnya melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid (Irsyadul Mu’minin ila Fadha’ili Dzikri Rabbil ‘Alamin, 16).
            Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat, selain menambah syiar agama, amaliah ini (pujian) merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat. Selain itu, dari aspek psikologis, lantunan syair yang indah dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat berjamaah.
            Ketiga, puji-pujian tersebut dapat sebagai upaya untuk mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama’ah dilaksanakan. Selain itu dimaksudkan agar para jama’ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama’ah dilaksanakan.
            Sedangkan ulama yang tidak membolehkan dan menganggapnya bid’ah antara lain beraasan sebagai berikut:
            Pertama, memang mengucapkan puji-pujian kepada Allah Swt adalah sebuah ibadah yang sangat baik dan dianjurkan. Termasuk juga membaca shalawat dan salam kepada Nabi Saw. Sebab Allah SWT dan para malaikatNya pun telah bershalawat kepadanya. Maka Allah SWT pun memerintahkan umat Islam untuk memperbanyak shalawat kepada Nabi dan Rasul termulia itu (QS. al-Ahzab, 56). Tetapi, perlu diketahui bahwa tidak terdapat satu hadis pun yang menerangkan pentingnya membaca shalawat dan salam dengan suara keras sebelum shalat jamaah. Jadi pada masa Nabi Saw dan sahabat masih hidup, tradisi puji-pujian sebelum shalat itu tidak ada atau tidak dianjurkan. Mengenai hadis riwayat Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud dari Said bin al-Musayyib yang menerangkan adanya sahabat (Hassan bin Sabit) membaca syair di masjid tersebut memang benar (shahih), tetapi tidak dibaca sebelum shalat jamaah. Jadi tidak bisa dijadikan dalil untuk bolehnya membaca puji-pujian sebelum shalat jamaah.
              Kedua, sebelum shalat jamaah dilaksanakan, biasanya ada beberapa orang yang datang duluan kemudian melaksanakan shalat sunnah qabliah/ tahiyyatul masjid. Karena itu, jika ada beberapa orang yang membaca puji-pujian dengan suara keras maka dikhawatirkan akan mengganggu kekhusyu’an orang yang sedang shalat sunnah. Agar tidak mengganggu orang yang sedang shalat, maka sambil menunggu jamaah yang lain, masing-masing dapat membaca tasbih, shalawat dan istighfar serta doa-doa dengan suara pelan atau sirr, tidak dengan suara keras seperti lazimnya puji-pujian. 

              Ketiga, Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan mereka (para sahabat) agar dzikr takbir dan tahlil yang dilakukan dengan suara keras itu ditinggalkan. Nabi bersabda  :

إِرْبَعُوْا عَلَي أَ نْفُسِكُمْ  فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَغَائِبًا إِنَّمَا تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا  (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: Sembunyikanlah (lembut dan rendahkanlah) suaramu, karena sesungguhnya kamu tidak berdoa kepada yang tuli dan ghaib (tidak ada di situ), tetapi kamu sesungguhnya berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Selain hadis tersebut, dalam al-Quran, Allah juga memerintahkan :
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ  
Artinya: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (QS.Al-A’raf, 205).
            Demikian perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai puji-pujian sebelum shalat berjamaah. Untuk lebih berhati-hati, kita dapat mengambil sikap tidak membiasakan puji-pujian dengan suara keras sebelum shalat berjamaah. Sebagai gantinya, kita bisa mengisi waktu tunggu tersebut untuk berdzikir dan berdoa dengan suara pelan dan penuh kekhusyu’an.  Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya berdo’a antara adzan dan iqomah itu tidak tertolak (mudah dikabulkan), maka pergunakanlah untuk berdo’a.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi). Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih (Irwa al-Ghalil, I/262).
              Memang masalah puji-pujian sebelum shalat berjamaah ini mash menjadi khilafiyah di kalangan ulama hingga kini. Seperti yang dipaparkan di atas, ada dua pendapat mengenai pujia-pujian, ada yang membolehkan dan ada yang tida membolehkan.  Masalah khilafiyah seperti ini sudah biasa terjadi dan sulit dihindari, dan masing-masing mempunyai argumentasi. Karena itu, untuk menjaga tetap terjaganya ukhuwwah islamiyah, kita harus bisa menghormati adanya perbedaan pendapat, dan jangan sampai hal ini menjadi penyebab terputusnya silaturrahim.
            Wallahu a’lam bishshawab !