Kamis, 04 April 2024

SEDEKAH SAAT PAS PASAN

 SEDEKAH SAAT SUSAH

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fi I

Permasalahan

              Saya pernah membaca ayat al-Qur’an bahwa infak dan sedekah itu dianjurkan bagi siapa saja, baik saat sempit (susah) maupun longgar (berkelebihan). Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana ketika saya ada uang hanya mencukupi atau pas-pasan untuk kebutuhan keluarga bahkan terkadang kekurangan, kemudian ada ajakan bersedekah untuk musibah bencana alam, apakah saya boleh ikut bersedekah dengan mengurangi jatah untuk keperluan keluarga? Mohon kepada pengasuh rubrik konsultasi agama berkenan memberikan pencerahan mengenai masalah tersebut berdasarkan dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Atas perkenannya, saya sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah ahsan al-jaza’! (Salim, Sidoarjo)

Pembahasan:

              Imam al-Qusyairi menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan sikap kedermawanan. Pertama al-shakha’ (السخاء), yaitu memberikan sebagian hartanya untuk orang lain dan sebagiannya untuk dirinya sendiri. Kedua, al-Jud (الجود), yaitu memberikan sebagian besar hartanya untuk orang lain, sisanya untuk dirinya sendiri. Ketiga, al-itsar (الايثار), yaitu saat ia masih sangat membutuhkan sesuatu, tetapi sesuatu itu malah diberikan kepada orang lain, yakni mengutamakan orang lain (Imam al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, 248).

              Dalam Islam, sedekah adalah amal yang sangat baik dan bisa menjadi salah satu tanda kesalihan serta ketakwaan seseorang. Perintah bersedekah, tidak hanya berlaku bagi orang yang hartanya berlebih, tetapi juga berlaku bagi siapa saja, baik saat longgar (banyak hartanya) maupun sempit (pas-pasan bahkan kekurangan). Allah swt berfirman:

وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. Ali Imran, 133-134).

              Perintah berinfak dan bersedekah dalam ayat tersebut dapat difahami bahwa jadi manusia itu tidak boleh mementingkan diri sendiri, tetapi juga memberikan perhatian dan bantuan kepada orang lain, terutama mereka yang sangat membutuhkan.

              Perintah bersedekah saat dalam kondisi harta berlebih dan berlimpah, di antara tujuannya adalah agar seseorang bisa mensyukuri nikmat pemberian Allah dan agar terhindar dari sikap sombong, serakah, serta sikap adigung adigina, sapa sira sapa ingsun. Merasa hanya dirinya yang paling hebat.

              Sedangkan perintah bersedekah saat kondisi hartanya pas-pasan bahkan mungkin kekurangan, di antara hikmahnya adalah agar seseorang tetap punya harga diri, tidak suka memposisikan tangannya selalu di bawah (sebagai penerima) tetapi juga bisa menempatkan tangannya di atas (sebagai pemberi).

              Allah swt berfirman:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (QS. al-Thalak, 7).

Rasulullah saw. mengingatkan kita agar mengutamakan amal sedekah dan menyegerakannya. Tidak perlu menunggu kaya, meski hanya dengan sebutir kurma. Nabi saw bersabda:

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

Jauhkanlah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma. Bila tidak mendapatkan (apapun), maka sedekahlah dengan kalimat (ucapan) yang baik (HR. al-Bukhari No. 6563 dan Muslim No. 2397).

              Umumnya orang suka menumpuk harta dan terus menambah hartanya hingga berlimpah. Nabi saw tidak melarang orang menjadi kaya raya dan terus bekerja keras untuk meraih kekayaan. Namun, pada saat seperti ini, biasanya orang merasa eman untuk bersedekah dan hanya berpikir bagaimana menghimpun harta sebanyak-banyaknya. Karena itu Nabi saw mengingatkan agar seseorang tetap bisa menyempatkan bersedekah, tidak usah menunggu kaya.

              Nabi saw pernah ditanya tentang sedekah yang paling utama dan yang paling besar pahalanya. Saat itu Nabi saw menjelaskan:

 أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ وَلَا تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ

 Engkau bersedekah pada saat kamu masih sehat, masih sangat mencintai harta, masih berangan-angan menjadi kaya, dan masih takut menjadi fakir. Dan (sebagai peringatan), janganlah kamu menunda-nunda sedekah hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan, lalu kamu baru berkata: “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu sudah menjadi hak si fulan” (HR. al-Bukhari No. 2748).

              Pada hadis lain, Dari Abdullah bin Hubsyi Al Khats’ami, Nabi saw.  pernah ditanya mengenai sedekah apa yang paling utama. Saat itu beliau menjawab: “jahdul muqill (جَهْدُ الْمُقِلِّ), yaitu “Sedekah dari orang yang serba kekurangan.” (HR. Abu Dawud No. 1451 dan Al-Nasai no. 2526). Syaikh Al Albani mengatakan hadis ini sahih).

Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa sedekah adalah amal yang sangat mulia, bisa dilakukan oleh siapa saja, saat sedang berkecukupan dan berlebihan maupun sedang dalam keadaan pas-pasan atau bahkan kekurangan.

              Berikut ini kisah inspiratif tentang kemuliaan dan keberuntungan orang-orang yang bersedekah saat pas-pasan dan hidup susah. Kisah pertama terjadi pada masa Nabi saw. dan kisah kedua pada masa kita ini.

              Berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari No. 3798, dari Abu Hurairah ra.: “Ada seseorang (tamu) mendatangi Rasulullah saw. (dalam keadaan lapar), lalu beliau mengirim utusan kepada para istrinya. Saat itu para istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apa pun kecuali air”. Rasulullah saw. kemudian menemui para sahabatnya: “Siapakah di antara kalian yang mau menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshar berseru, “Saya.”

              Lalu orang Anshar ini membawa orang tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah saw.!” Istrinya menjawab, “Kami tidak memiliki apa pun kecuali jatah makanan untuk anak-anak.” Orang Anshar itu berkata, “Siapkan saja makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya.

              Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah saw. Beliau saw. bersabda:Malam ini Allah tertawa atau takjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah menurunkan ayat (QS. Al-Hasyr: 9, “…Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak…”). Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan nama orang Anshar yang melayani tamu tersebut adalah Abu Thalhah ra.  

              Kisah kedua dari orang Minang yang merantau ke Jakarta (hidayatullah.com). Tujuh tahun Abdullah merantau dari sebuah desa kecil di Padang-Sumatera ke Jakarta. Tujuannya hanya satu, mencoba peruntungan. Ia berharap bahwa Jakarta yang sering hanya dilihat di televisi bisa mengubah garis hidupnya.

Salah satu andalan yang bisa ia lakukan di kota paling besar di Negeri ini adalah berjualan kecil-kecilan. Ia memutuskan berjualan makanan Nasi Padang, khas kampungnya. Ia menetap dan tinggal di Jakarta Timur dengan menyewa sebuah tempat kecil. Ia bersyukur, meski kecil, warungnya tidak sepi. Setidaknya dengan warung itu ia bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Merantau dari desa ke Jakarta tujuannya memang untuk mengais rizki. Tentu, agar irit, semuanya ia lakukan sendiri. Mulai belanja, masak hingga menunggu warung, ia lakukan sendiri.

Suatu hari, di sebelah warung yang ia tempati ada musibah. Seorang bapak, meninggal dunia dengan meninggalkan anaknya yang masih kecil enam orang dan seorang istri. Ia memperhatikan kehidupannya pasca kematian suaminya benar-benar memprihatinkan. Entah, apa yang menggerakkan hatinya, kala itu ia ingin membantu. Namun karena kondisinya yang terbatas, yang mungkin ia lakukan adalah memberi makan mereka secara gratis. Itupun sekali dalam seminggu.

Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, itu saja yang ia kerjakan tanpa tahu makna dari itu. Boro-boro hadis Nabi tentang anak yatim, salat saja masih bolong-bolong, saat itu. Maklum, ketika datang dari desa, ia tak begitu mengenal makna hidup. Tidak terasa, anak-anak yatim yang ia santuni ternyata terus berkembang. Dari enam orang menjadi sembilan. Dan dari sembilan orang, akhirnya anak-anak yatim itu telah mencapai 150 orang.

SubhanallahKalau bukan Allah Swt, tidak mungkin bisa menggerakkan anak-anak yatim datang ke warungnya. Setiap hari Jumat, mereka datang ke warung untuk makan bersama dan pulangnya diberikan amplop sekedarnya. Sering juga muncul pertanyaan dari banyak orang, apakah dengan mengundang mereka makan, tidak menjadikan warungnya rugi? Entahlah, tapi faktanya justru terbalik. Semenjak kedatangan mereka ke warungnya, rezeki yang datang menghampirinya tidak pernah ada habisnya.

Betapa tidak, dahulu ia hanya menyewa warung kecil, kini tanah dan bangunan itu sudah ia beli dan menjadi miliknya sendiri. Tidak itu saja, ia bisa membeli rumah lagi di Jakarta, kemudian menambah beberapa warung Padang lagi untuk memperluas usaha. Dengan begitu ia bisa menambah jumlah karyawan yang semakin banyak.  Akhirnya, istri, anak dan keluarga bahkan semuanya bisa ikut hijrah ke Jakarta. 

Ia yakin benar bahwa semua itu karena karunia Allah yang dilimpahkan kepadanya semenjak ia dekat dan menyantuni serta menyayangi anak-anak yatim.

(Artikel ini telah dimuat pada Majalah MATAN PWM Jatim edisi April 2024)

 

 

             

 

 

 

Selasa, 12 Maret 2024

IMAM TARAWIH BACA MUSHAF

 IMAM TARAWIH BACA MUSHAF

Oleh:

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan

              Suatu saat saya mengikuti salat tarawih berjamaah di sebuah masjid. Imamnya membaca mushaf besar yang ada di depannya. Pada kesempatan lain saya juga melihat di youtube, seorang imam tarawih membaca al-Qur’an dengan memegang mushaf, ada yang pegang mushaf biasa (dari kertas) dan ada yang pegang mushaf digital dari Handphone (Hp). Melalui rubrik konsultasi agama ini, mohon Pengasuh berkenan membahas dengan jelas permasalahan ini. Bolehkah seorang imam tarawih membaca mushaf? Bagaimana pandangan Tarjih mengenai persoalan ini? Demikian, atas penjelasannya, saya sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Moh. Sholeh Madiun).

Pembahasan

              Masalah imam salat membaca mushaf, termasuk imam salat tarawih membaca (memegang) mushaf, sebenarnya sudah dibahas oleh ulama lebih dari 1000 tahun yang lalu. Kalangan ulama mazhab yang empat juga sudah membahasnya. Dari pembahasan para ulama, terdapat empat pendapat mengenai hukum imam salat membaca mushaf.

Pendapat pertama, mengatakan bahwa salat sambil membaca mushaf itu dapat merusak salat.  Ini adalah pendapat Abu Hanifah (al-Kasani, Bada’i al-Shana’i Fi Tartib al-Syarai’, 1/236; Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).

Al-Kasani (w. 587 H) memaparkan dua alasan mengapa Abu Hanifah (w. 150 H) menganggap hal ini membatalkan salat. Pertama, bahwa orang yang salat sambil membawa mushaf, membolak-balik halaman mushaf, melihat mushaf, dan seterusnya adalah gerakan yang terlalu banyak, padahal itu bukan bagian dari salat, dan juga tidak diperlukan ketika salat, sehingga dapat merusak salatnya. Kedua, orang yang menjadi imam sambil membawa mushaf itu berarti ia membaca teks dari mushaf. Padahal orang yang membaca teks termasuk belajar, sebagaimana dia belajar dari teks yang lain, sehingga ini bisa membatalkan salat (al-Kasani, Bada’i al-Shana’I Fi Tartib al-Syarai’, 1/236).

Pendapat pertama ini berdalil dengan hadis riwayat Abdullah bin Abi Aufa bahwasanya ada seorang sahabat yang mendatangi Rasulullah dan berkata:

إِنِّى لاَ أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْئًا فَعَلِّمْنِى مَا يُجْزِئُنِى مِنْهُ. قَالَ « قُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

 “Sesungguhnya aku tidak mampu membaca al-Qur’an sedikit pun, maka ajarkanlah bacaan yang mudah bagiku. Beliau bersabda: Bacalah subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, Allahu akbar dan la haula wa La quwwata illa billah” (Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I/308 No. 832). Al-Albani menilai hadis ini statusnya hasan (al-Albani, Sahih Wa Dha’if Sunan Abi Dawud, I/2).

Menurut pendapat pertama ini, hadis tersebut mengandung makna bahwa Nabi memerintahkan kepada orang yang tidak hafal al-Qur’an sedikit pun untuk menggantinya dengan zikir dan tidak memerintahkan untuk melihat mushaf. Ini menunjukkan bahwa melihat mushaf itu tidak sah dan merusak salat. Karena kalau hal itu diperbolehkan dan tidak merusak salat, Rasulullah pasti memerintahkannya sebelum memerintahkan untuk berzikir.

Pendapat kedua, mengatakan bahwa salat sambil membaca mushaf itu hukumnya makruh, tidak sampai merusak salat. Ini adalah pendapat Abu Yusuf (w.182 H) dan Muhammad bin Hasan (w. 189 H), keduanya sahabat Abu Hanifah. Alasannya, melihat mushaf ketika salat itu menyerupai (tasyabuh) dengan ahli kitab, sedangkan pembuat syariat (Allah Ta’ala) melarang kita untuk menyerupai mereka. Nabi saw. bersabda: (لاَ تَشَبَّهُوا بِاليَهُودِ وَلاَ بِالنَّصَارَى), “Janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi dan kaum Nasrani” (HR. Ahmad No. 7545). Syu’aib al-Arnout: Hadis ini sahih.

Salat sambil membaca mushaf ini lebih baik ditinggalkan terutama dalam salat fardu. Sedangkan dalam salat sunah seperti qiyam Ramadan (tarawih) boleh jika benar-benar dibutuhkan (al-Kasani, Bada’i al-Shana’i Fi Tartib al-Syarai’, 1/236; Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525). 

Pendapat ketiga, mengatakan bahwa salat sambil membaca mushaf itu makruh dalam salat fardu, tidak dalam salat sunah kecuali bagi yang sudah hafal al-Qur’an, ia tetap dimakruhkan membaca dengan melihat mushaf, baik dalam salat fardu maupun salat sunah. Ini pendapat mazhab Maliki (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, XXXIII/57; Fatawa al-Azhar, VIII/475).

Dalil pendapat ketiga ini adalah hadis Aisyah yang bermakmum kepada Dzakwan pada saat qiyam Ramadan:

عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-: أَنَّهَا كَانَ يَؤُمُّهَا غُلاَمُهَا ذَكْوَانُ فِى الْمُصْحَفِ فِى رَمَضَانَ

Dari Ibn Abi Mulaikah, dari Aisyah ra. isteri Nabi saw. memberitakan bahwasanya ia pernah salat di bulan Ramadan diimami oleh hamba sahayanya bernama Dzakwan dengan membaca mushaf (HR. al-Bayhaqi No. 3497). Imam al-Nawawi menilai bahwa sanad hadis tersebut sahih (al-Nawawi, Khulashat al-Ahkam, I/500 No. 1665).

Selain diriwayatkan al-Bayhaqi, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh sejumlah imam ahli hadis, di antaranya: al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari, I/321 No. 691;  Bedanya dengan pendapat kedua, pendapat ketiga ini hanya menyatakan makruh dalam salat fardu, sedangkan pada salat sunah hukumnya boleh. Namun bagi orang yang sudah hafal (hafidz), makruh juga membaca mushaf dalam salat sunah.

 

Pendapat keempat, mengatakan bahwa salat sambil membaca mushaf itu sah dan tidak makruh. Ini pendapat Syafi’iyah dan mayoritas mazhab Hambali (al-Nawawi, Al-Majmu’, IV/95; Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).

Dalil yang dipakai oleh pendapat keempat ini sama dengan dalil yang dipakai oleh pendapat yang ketiga, yaitu hadis dari Ibn Abi Mulaikah, dari Aisyah ra. isteri Nabi saw. memberitakan bahwasanya ia pernah salat di bulan Ramadan diimami oleh hamba sahayanya bernama Dzakwan dengan membaca mushaf (HR. al-Bukhari No. 691 dan al-Bayhaqi No. 3497).

Hadis tersebut menjadi petunjuk diperbolehkannya salat dengan melihat mushaf. Pendapat ini didukung oleh ulama mazhab Syafii dan Hanbali, baik dalam salat fardu maupun salat Sunah (al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina’, I/383; Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).

Badruddin al- ‘Aini (w. 855 H) mengatakan: “Zahir hadis tersebut menunjukkan bolehnya membaca mushaf ketika salat. Ini merupakan pendapat Ibnu Sirin, Hasan al-Bashri, al-Hakam, dan Atha’. Anas bin Malik (w. 93 H) juga pernah menjadi imam, sementara ada anak di belakang beliau yang membawa mushaf. Apabila beliau lupa satu ayat, maka si anak tadi membukakan mushaf untuk beliau. Imam Malik juga membolehkannya ketika qiyam Ramadan (salat tarawih). Sementara al-Nakhai, Said bin al-Musayib, dan al-Sya’bi tidak menyukainya. Mereka mengatakan bahwa hal itu menyerupai perbuatan orang Nasrani” (Badr al-Din al- ‘Aini, Umdat al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, VIII/384).

              Pendapat bahwa salat dengan membaca mushaf itu menyerupai ahli kitab, ditolak oleh Imam al-Syafii (w. 204 H). Menurut al-Syafii, salat dengan membaca mushaf itu bukan tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, karena kita juga makan apa yang mereka makan, dan itu tidak disebut meniru kebiasaan ahli kitab (al-Kasani, Bada’i al-Shana’i Fi Tartib al-Syarai’, 1/236).

Ibn Nashr al-Marwazi (w. 294 H) menegaskan bahwasanya membaca Al-Qur’an terlalu jauh untuk disebut meniru (tasyabuh) dengan ahli kitab, dibandingkan membaca buku-buku matematika. Karena membaca Al-Qur’an termasuk amal salat, sementara buku-buku berhitung tidak termasuk bagian salat. Maksud al-Marwazi, sebagaimana kita boleh membaca buku umum yang bermanfaat dan itu tidak termasuk tasyabbuh terhadap ahli kitab, maka membaca Al-Qur’an lebih layak untuk tidak disebut meniru kebiasaan orang kafir (al-Marwazi, Qiyam Ramadan, I/33; Fatwa Lajnah Daimah, 579).

Imam al-Nawawi (w. 676 H) dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhaddzzab lebih tegas mengatakan:

 لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ مِنْ الْمُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ أَمْ لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ وَلَوْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا فِي صَلَاتِهِ لَمْ تَبْطُلْ

“Apabila orang yang sedang salat membaca Al-Qur’an dari mushaf maka salatnya tidak batal, baik ia hafal Al-Qur’an atau tidak. Bahkan ia wajib melakukan hal itu jika tidak hafal surat Al-Fatihah sebagaimana keterangan yang telah dijelaskan. Apabila ia sesekali membolak balik lembaran mushaf maka salatnya tidak batal” (al-Nawawi, al-Majmu’, IV/95).

Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah pernah ditanya tentang hukum membaca mushaf saat salat wajib maupun sunah. Tim Majelis Tarjih menjelaskan bahwa orang yang salat sambil membawa dan membaca mushaf tidak ada larangan, terlebih jika dibutuhkan. Seperti sering kita temukan pada salat malam ketika Ramadan yang panjang bagi seseorang (khususnya imam) yang khawatir terjadi kesalahan bacaan al-Qur’an atau tidak hafal. Hanya saja, tentu jika orang tersebut berusaha untuk menghafalkannya akan lebih utama, sehingga tidak perlu membawa al-Qur’an ketika salat atau menjadi imam. Dalil yang dijadikan rujukan oleh Majelis Tarjih adalah hadis yang juga dipakai hujjah oleh pendapat ketiga (mazhab Maliki) dan pendapat keempat (mazhab Syafi’I dan Hanbali), yaitu hadis dari Ibn Abi Mulaikah, dari Aisyah ra. isteri Nabi saw. bahwasanya ia pernah salat di bulan Ramadan diimami oleh hamba sahayanya bernama Dzakwan dengan membaca mushaf (HR. al-Bukhari No. 691 dan al-Bayhaqi No. 3497). (SM.6, 2015).

Dari paparan beberapa pendapat tersebut, mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa membaca mushaf saat salat itu hukumnya boleh (mubah). Kebolehan ini berlaku, baik pada saat salat sunah maupun salat fardu. Imam al-Nawawi bahkan mewajibkannya apabila seseorang tidak hafal Al-Qur’an (Surat al-Fatihah), karena membaca al-Fatihah merupakan salah satu rukun dalam salat.

              Ibnu Nashr al-Marwazi dalam kitabnya Qiyam Ramadan, mengutip Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H) ketika ditanya mengenai hukum orang yang mengimami salat di bulan Ramadan sambil membaca mushaf. Al-Zuhri rahimahullah mengabarkan:

مَا زَالُوْا يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ مُنْذُ كَانَ الْإِسْلاَمُ، كَانَ خِيَارُنَا يَقْرَءُونَ فِي الْمَصَاحِفِ

 “Kaum muslimin senantiasa melakukan seperti itu (salat sambil membaca mushaf) sejak zaman Islam dahulu, dan orang-orang terbaik di antara kami juga biasa membaca Al-Qur’an dari mushaf” (al-Marwazi, Qiyam Ramadan, I/32; Ibn Qudamah, al-Syarh al-Kabir, I/638).

Keterangan al-Zuhri tersebut memperkuat pendapat bolehnya membaca mushaf saat salat. Kebolehan ini berlaku pada salat sunah maupun salat fardu. Intinya, orang yang salat sambil membawa dan membaca mushaf itu tidak dilarang, terlebih jika saat salat malam (tarawih) yang biasanya membutuhkan banyak bacaan ayat atau surat Al-Qur’an.  Namun, jika imam tarawih seorang hafidz yang mutqin (kuat fahalannya), tentu lebih utama bila saat mengimaminya tanpa membaca mushaf. Wallahu A’lam!

(Artikel ini telah dimuat dalam Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Bulan Maret 2024)

KIAT MERAIH SALAT KHUSYUK

 MERAIH SALAT KHUSYUK

 Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan

              Dalam QS. Al-Mukminun ayat 1-2, Allah menjamin orang-orang yang beriman akan memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan apabila bisa khusyuk salatnya. Namun, jarang sekali ada penjelasan tentang kiat meraih khusyuk dalam salat. Bahkan ada yang mengatakan, meraih khusyuk itu sulit sekali kalau tidak boleh dikatakan tidak mungkin. Melalui rubrik konsultasi agama ini, saya mohon Pengasuh berkenan membahas bagaimana tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah mengenai kiat-kiat meraih khusyuk dalam salat. Atas perkenannya saya ucapkan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’! (Kiswanto Gresik).

Pembahasan

              Memang sejak kecil kita sudah diajari dan dilatih bagaimana tata-cara salat, baik menyangkut gerakan-gerakannya maupun bacaan-bacaan dzikir dan doanya, tetapi hampir tidak pernah diajari bagaimana cara meraih khusyuk dalam salat. Akhirnya kebanyakan kita melakukan salat hanya dengan menghafal bacaan dan gerakan-gerakan tanpa ruh, tanpa penghayatan.

Akibat dari pelaksanaan salat yang hanya memperhatikan tata cara gerakan, bacaan dzikir dan doanya, ketika Ramadhan tiba, tidak sedikit imam salat tarawih yang adu cepat dalam menyelesaikan salatnya. Biasanya sebuah musalla atau masjid di kampung yang imamnya cepat, di situ akan banyak penggemarnya.

Apa sebenarnya khusyuk itu? Bagaimana caranya bisa meraih khusyuk? Berikut ini akan dipaparkan mengenai arti khusyuk dan bagaimana kiat-kiat untuk dapat meraih khusyuk dalam salat dengan merujuk kepada al-Qur’an, al-Sunnah, dan pandangan ulama.

Ibn Katsir mengutip pendapat ulama masa sahabat dan tabi’in tentang arti orang-orang yang khusyuk. Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas berkata, yang dimaksud orang-orang khusyuk adalah orang-orang yang mengimani apa yang diturunkan Allah. Mujahid berkata, maksudnya adalah orang-orang yang benar-benar beriman. Abu al-Aliyah berkata, maksudnya adalah orang-orang yang takut. Al-Muqatil bin Hayyan berkata, orang-orang yang khusyuk adalah orang-orang yang rendah hati. Al-Dahhak berkata, orang-orang yang khusyuk adalah orang-orang yang berserah diri untuk melakukan ketaatan kepadaNya, (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, I/253).

Abdul Qadir dalam kitabnya Bayan al-Ma’ani menerangkan makna khusyuk:

وَاعْلَمْ أَنَّ الْخُشُوْعَ هُوَ جَمْعُ الْهِمَّةِ وَالْإِعْرَاضِ عَنْ سِوَى اللَّهِ وَالتَّدَبُّرِ فِيْمَا يَجْرِيْ عَلَى لِسَانِهِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ، لِأَنَّ مَنْ لاَ يَتَدَبَّر الْقِرَاءَةَ لاَ يَعْرِف مَعْنَاهَا ، وَمَنْ لَمْ يَعْرِفْ مَعْنَاهَا لاَ يَخْشَع لهَاَ، وَمَنْ لاَ يَخْشَع لَهاَ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَقْرَأ.

Ketahuilah bahwa khusyuk itu merupakan gabungan antara niat yang kuat dan berpaling dari selain Allah, kemudian merenungkan dan menghayati bacaan serta dzikir yang dibaca melalui lisan. Karena itu, siapa yang tidak merenungkan bacaannya, ia tidak akan mengetahui maknanya; siapa yang tidak mengetahui maknanya, ia tidak akan bisa khusyuk, dan barangsiapa tidak khusyuk, ia seakan-akan tidak membacanya (Abdul Qadir Mulla Huwaysh, Bayan al-Ma’ani, IV/340).

              Al-Utsaimin mengatakan, khusyuk adalah ketika seseorang mencurahkan isi hati untuk berdoa, melupakan segalanya, tidak memikirkan apapun, dan merasa bahwa dirinya kini sedang berhadapan dengan Allah swt. yang mengetahui isi hatinya, melihat perbuatannya, dan mendengar ucapan-ucapannya (al-Utsaimin, Fatawa Nur Ala al-Darb, XIX/43).

              Nashruddin mengatakan, khusyuk merupakan anugerah dari Allah, yaitu anugerah yang diberikan kepada para hamba-Nya yang benar-benar beribadah dan Ikhlas kepada-Nya. Mengamalkan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya (Muhammad Nashruddin, Fashl al-Khithab Fi al-Zuhd Wa al-Raqa-iq Wa al-Adab, V/254).

              Dari sejumlah definisi tentang khusyuk tersebut dapat difahami bahwa khusyuk adalah tumbuhnya kesadaran ruhani bahwa dirinya ketika salat merasakan sedang bertemu, berhadapan, dan berdialog dengan Allah swt. dengan penuh ketundukan.

Allah menjanjikan bahwa orang yang berhasil khusyuk dalam salatnya akan meraih kesuksesan dan kebahagiaan.

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya (QS.al-Mukminun, 1-2).

              Masalahnya, mungkinkah seseorang bisa meraih khusyuk? Insya Allah, seseorang akan berhasil khusyuk dalam salatnya apabila berusaha dan berkeyakinan bahwa (1)setiap orang berpotensi meraih khusyuk dalam salatnya, karena tidak mungkin Allah memerintahkan dan memberi beban kepada umatNya yang tidak akan mampu melakukannya; (2)perintah salat, sebenarnya bukanlah sekedar kewajiban yang harus ditunaikan, tetapi lebih dari itu, salat sebenarnya merupakan kebutuhan dan sarana bagi manusia untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan. Allah swt. berfiman:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk; (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya (QS. al-Baqarah, 45-46).

Berikut ini beberapa petunjuk dari Rasulullah saw. tentang cara melakukan salat yang benar sehingga dapat meraih khusyuk.

Pertama, niat ikhlas karena Allah. Niat ikhlas adalah kesadaran untuk melakukan salat hanya karena Allah semata untuk mendapatkan ridha-Nya. Betapa pentingnya niat yang ikhlas, Nabi saw. bersabda:

 إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِىَ بِهِ وَجْهُهُ.

 “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan yang tidak didasari niat yang ikhlas dan semata-mata untuk mendapatkan ridha-Nya (HR. Al-Nasa-i, 3140. Syekh al-Albani menilai hadis ini hasan-sahih).

Kedua, meneladani salat Rasulullah saw. Syekh al-‘Utsaimin dalam kitabnya Fiqh al-‘Ibadat (hal.337-338), mengatakan bahwa ada dua syarat agar amal ibadah diterima Allah swt., yaitu (1) ikhlas karena Allah, dan (2) mengikuti sunnah Rasulullah. Tentang keharusan meneladani salat Rasulullah Saw., disebutkan dalam Sahih al-Bukhari sebagai berikut:

 قَالَ ... وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

Beliau bersabda: “Salatlah seperti yang kalian lihat cara saya melakukan salat” (HR. Al-Bukhari, 6008).

Ketiga, merasa seakan-akan melihat Allah. Untuk bisa meraih khusyuk dalam salat, seseorang harus menyadari bahwa ketika berdiri menghadap kiblat, sebenarnya ia sedang berhadapan dengan Allah. Kesadaran ini sangat penting untuk mencapai perhatian yang fokus, hanya Allah yang ada di hadapannya. Kesadaran ini disebut dengan istilah “ihsan”.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ مَا الإِحْسَانُ قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »

Dari Abu Hurairah ra, ia meriwayatkan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya oleh Jibril tentang apa itu ihsan, Nabi Saw. kemudian menjelaskan: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya (di hadapanmu) dan jika engkau tidak sanggup melihatNya maka sadarilah bahwa pada saat engkau salat itu sedang dilihat oleh Allah” (HR. Al-Bukhari, 4777 dan Muslim, 102).

Keempat, berdialog dengan Allah. Salah satu usaha untuk bisa meraih khusyuk dalam salat adalah menjadikan kegiatan salat sebagai media untuk berdialog dengan Allah, terutama ketika sedang membaca surat al-Fatihah. Berikut ini hadis qudsi tentang dialog manusia dengan Allah saat membaca Surat al-Fatihah. Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw. bersabda: Allah berfirman:

“…Apabila hambaKu membaca “alhamdulillahi rabbil ‘alamin”, Allah menjawab: “Hambaku telah memujiKu”. Apabila hambaKu membaca “arrahmanir rahim”, Allah menjawab: “HambaKu telah menyanjungKu”. Apabila hamabaKu membaca “maliki yaumiddin”, Allah menjawab: “Hambaku telah memuliakan Aku”, sekali waktu Allah menjawab: “HambaKu telah pasrah kepadaKu”. Apabila hambaKu membaca “iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in”, Allah menjawab: “Ini adalah antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaKu ia akan mendapatkan apa yang diminta”. Apabila hambaKu membaca “ihdinash-shirathal mustaqim, shirathal ladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdubi ‘alaihim waladdaallin”, Allah menjawab: “Ini adalah untuk hambaKu, dan bagi hambaKu ia akan mendapatkan apa yang diminta” (HR. Muslim, 904).

Kelima, berbisik-bisik dengan Allah swt. Di dalam salat, selain ada gerakan-gerakan khusus juga ada bacaan-bacaan atau doa pada setiap gerakan salat.
Untuk bisa meraih khusyuk dalam salat, setiap bacaan atau doa dalam salat harus difahami dan dihayati dengan baik. Hal ini penting agar setiap gerakan dalam salatnya dapat digunakan untuk bermunajat, berbisik-bisik dengan Allah swt. Dari Anas ra, Nabi saw. bersabda:

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ يُنَاجِى رَبَّهُ فَلاَ يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلاَ عَنْ يَمِينِهِ وَلَكِنْ عَنْ شِمَالِهِ تَحْتَ قَدَمِهِ

Apabila seseorang di antara kamu melakukan salat, sesungguhnya ia sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Tuhannya, karena itu hendaknya ia tidak meludah ke depannya dan ke sebelah kanannya, tetapi ke sebelah kiri di bawah kakinya (HR. Al-Bukhari, 405 dan Muslim, 1258).

Keenam, tumakninah setiap gerakan salat; Tumakninah adalah melakukan salat dengan tenang, tidak bergerak setiap mengganti gerakan, baik saat rukuk, iktidal, sujud, maupun duduk di antara dua sujud. Dia harus ada pada posisi tersebut, di mana setiap ruas-ruas tulang ditempatkan pada tempatnya yang sesuai. Tidak boleh terburu-buru di antara dua gerakan dalam salat, sampai dia selesai tumakninah dalam posisi tertentu sesuai waktunya. Nabi saw. bersabda kepada seseorang yang tergesa-gesa dalam salatnya:

إِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ، فَعُدْ لِصَلاتِكَ

“Sesungguhnya kamu belum salat, maka ulangi salatmu” HR. al-Baihaqi, 4168 dan al-Thabrani, 20741. Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, Irwa-il Ghalil, II/45).

Dalam hadis lain, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengajarkannya: “Apabila engkau berdiri hendak salat maka ucapkan takbir (Allahu Akbar), kemudian bacalah al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukuklah hingga engkau terasa tenang dalam keadaan rukuk, kemudian angkatlah kepalamu hingga engkau tegak berdiri, kemudian sujudlah hingga engkau terasa tenang dalam keadaan sujud, kemudian angkatlah kepalamu dari sujud hingga engkau terasa tenang dalam keadaan sujud. Lakukanlah seperti itu dalam semua salatmu” (HR. Al-Bukhari, 757 dan Muslim, 911).

Hadis tersebut dapat difahami bahwa saat salat harus memperhatikan tumakminah. Dengan adanya tumakninah, salat dapat dimanfaatkan untuk berbisik-bisik dan berdialog dengan Allah. Dari sini kita dapat memahami bahwasanya salat itu bukan sekedar untuk memenuhi kewajiban tetapi juga sebagai media untuk berkomunikasi, konsultasi dan mengadu kepadaNya. Allah berfirman:  

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku (QS. Thaha, 14).


(Artikel ini telah dimuat dalam Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Bulan Pebruari 2024)

Selasa, 16 Januari 2024

BOLEHKAN WANITA MINTA MAHAR?

 BOLEHKAN WANITA MINTA MAHAR?

 Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Pertanyaan:

              Assalamu’alikum Ustadz!

Semoga Allah senantiasa melimpahkan berkah dan rahmat kepada Ustadz dan keluarga. Amien!  Izin bertanya Ustadz! In Syaa Allah dalam beberapa bulan kedepan saya akan menikah dengan seorang laki-laki yang shalih. Terkait masalah mahar ustadz, katanya "sebaik-baik perempuan adalah yang paling sedikit maharnya", dan "sebaik-baik laki-laki adalah yang memuliakan perempuan (isterinya)". Yang saya tanyakan, bagaimana baiknya saya meminta mahar kepada calon suami saya. Bolehkah saya meminta maharnya seperti begini atau begitu?

              Demikian Ustadz, atas perkenannya saya sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Tina, Sidoarjo).

Jawaban:

              Wa’alaikumussalam! Kata mahar berasal dari bahasa arab “al-mahr”. Dalam kamus Bahasa Arab disebutkan bahwa almahr adalah sinonim dari kata al-shadaq. Bentuk jamak dari al-mahr adalah al-muhur (Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, V/184 dan al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, I/615). Al-mahr saat ini sudah menjadi kata baku dalam Bahasa Indonesia “mahar”, yang artinya maskawin, yaitu pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah (KBBI).

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Butir d).

Ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh calon suami ketika akan melangsungkan akad nikah, di antaranya adalah memberikan mahar. Ulama bersepakat bahwa hukum memberikan mahar adalah wajib karena banyaknya ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang memerintahkannya. Di antara ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan mahar antara lain QS. Al-Nisa ayat 4, 24, dan 25.

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً... فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِه مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗ ...وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (QS. Al-Nisa, 4); …Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban (QS. Al-Nisa, 24; …Dan berilah maskawin mereka menurut yang patut (QS. Al-Nisa, 25).

Sedangkan dari Nabi saw. terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang pentingnya mahar dalam perkawinan. Di antaranya adalah dari Uqbah bin Amir ra., Rasulullah saw. telah bersabda: 

خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ

Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah(HR. al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi No. 14721 dan al-Hakim, al-Mustadrak No. 2742). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, Sahih al-Jami’ al-Shaghir, I/621).

Ketika Rasulullah saw. hendak menikahkan seorang sahabat dengan perempuan yang menyerahkan dirinya, beliau bersabda:

اِلْتَمِسْ(انْظُرْ) وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ

Carilah (mahar) sekalipun (berupa) cincin yang terbuat dari besi“. ….Ketika sahabat itu tidak menemukannya, maka Rasulullah menikahkannya dengan mahar “mengajarkan beberapa surat Al-Qur’an kepada calon istrinya” (HR. al-Bukhari No. 5135; Muslim No. 3553).

          Memberikan mahar saat aqad nikah, dari calon suami kepada calon isterinya memang diperintahkan bahkan diwajibkan. Namun, mengenai nilai mahar atau besar kecilnya mahar tidak ditentukan atau tidak ditetapkan oleh syariat. Mahar boleh saja bernilai rendah dan boleh saja bernilai tinggi asalkan tidak membebani dan tidak mempersulit keduanya, atau saling ridha. Al-Nawawi menjelaskan:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث أَنَّهُ يَجُوز أَنْ يَكُون الصَّدَاق قَلِيلًا وَكَثِيرًا مِمَّا يُتَمَوَّل إِذَا تَرَاضَى بِهِ الزَّوْجَانِ، لِأَنَّ خَاتَم الْحَدِيد فِي نِهَايَة مِنْ الْقِلَّة. وَهَذَا مَذْهَب الشَّافِعِيّ، وَهُوَ مَذْهَب جَمَاهِير الْعُلَمَاء مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف

“Hadis ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah) dan boleh juga banyak (bernilai tinggi) apabila kedua pasangan saling ridha, karena cincin dari besi menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan juga pendapat jumhur ulama dari salaf dan khalaf” (Imam al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, V/134).

Rasulullah saw. bersabda:

ﺧَﻴْـﺮُ ﺍﻟﻨِّﻜَـﺎﺡِ ﺃَﻳْﺴَـﺮُﻩُ

"Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah" (HR. Abu Dawud No. 2117). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah al-Kamilah, IV/341). Dalam riwayat Ahmad, Nabi saw. bersabda:

إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا

Termasuk berkahnya seorang wanita adalah yang mudah khitbahnya (lamarannya), yang mudah maharnya, dan yang mudah keturunannya” (HR. Ahmad, No. 24478). Al-Albani menilai hadis ini hasan (al-Albani, Sahih al-Jami’ al-Shaghir, I/444).

              Jadi, dalam menentukan besar dan kecilnya mahar, yang penting calon suami tidak merasa terbebani. Sebaliknya, calon suami merasa mendapatkan keringanan dan kemudahan dalam menyiapkan maharnya. Bagi calon suami yang berkecukupan, mungkin mahar yang akan disiapkan bernilai besar, sebaliknya jika calon suaminya pas-pasan, maka mahar yang dipersiapkannya mungkin bernilai kecil. Di sinilah calon isteri yang harus memahaminya. Bila keduanya bersepakat dan ridha dengan mahar yang telah dipersiapkan, maka keberkahanlah yang akan diperoleh calon sepasang suami-isteri yang akan menikah. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan:

أَنّ الْمُغَالَاةَ فِي الْمَهْرِ مَكْرُوهَةٌ فِي النّكَاحِ وَأَنّهَا مِنْ قِلّةِ بَرَكَتِهِ وَعُسْرِهِ

 “Berlebihan-lebihan dalam mahar hukumnya makruh (dibenci) pada pernikahan. Hal ini (berlebih-lebihan dalam mahar) menunjukkan (berakibat) sedikitnya barakah dan sulitnya pernikahan tersebut” (Ibn al-Qayyim, Zaad al-Ma’ad, V/162).

              Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah berkata: “Disunnahkan meringankan mahar dan tidak melebihi mahar yang diperolah para isteri Nabi saw. dan anak-anaknya. ‘Aisyah ra. meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Wanita yang paling besar keberkahannya ialah yang paling ringan maharnya”. Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw. bersabda: “Sebaik-baik mereka (wanita) ialah yang paling mudah maharnya”. Dari al-Hasan al-Bashri, ia menuturkan: “Rasulullah saw. bersabda: “Nikahkanlah kaum wanita dengan kaum pria, tapi jangan bermahal-mahal dalam mahar”. ‘Umar bin al-Khaththab berkhutbah kepada manusia dengan pernyataannya: “Ingatlah, janganlah kalian bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab, sekiranya (bermahal-mahal dalam) mahar itu termasuk suatu kemuliaan di dunia atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, pastilah Nabi saw. orang yang paling utama di antara kalian (dalam hal ini), (namun) beliau tidak pernah memberi mahar kepada seseorang dari isteri-isterinya dan tidak pula meminta mahar untuk seseorang dari puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah (ons) perak”. Al-Tirmidzi menilainya sebagai hadis sahih” (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII /192).

Apa yang dilakukan sebagian orang yang tidak ramah, sombong dan riya’ berupa memperbanyak mahar untuk tujuan riya dan bermegah-megahan, sebenarnya mereka tidak berniat mengambilnya dari suami, dan dia tidak pula berniat memberikannya kepada mereka. Ini adalah kemunkaran yang buruk, menyelisihi Sunnah, dan keluar dari syari’at (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII/193).

Adapun yang dinukil dari sebagian Salaf bahwa mereka memperbanyak pemberian mahar kepada wanita-wanita (yang mereka nikahi), itu tidak lain karena harta mereka berlimpah. Mereka mendahulukan penyerahan seluruh mahar sebelum menggauli, mereka tidak menundanya sedikit pun. Dan siapa yang mempunyai kemudahan dan mempunyai harta lalu dia senang memberi isterinya mahar yang banyak, maka tidaklah mengapa (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII/195).

              Berdasarkan uraian tentang mahar tersebut di atas dapat difahami bahwa mahar atau maskawin adalah pemberian wajib berupa uang, barang atau jasa dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Tentang berapa besaran nilai maharnya tidak ada ketentuan yang membatasi. Karena itu mahar boleh disiapkan dengan jumlah nilai yang tinggi (mahal) bagi yang mampu dan juga boleh disiapkan dengan jumlah nilai yang rendah (murah) bagi yang pas pasan.

              Dengan demikian, wanita yang akan menjadi calon isteri boleh saja meminta kepada calon suami tentang jenis mahar seperti apa yang diinginkan, asal calon suami berkenan atau tidak keberatan, kemudian mampu dan ridha. Dengan adanya keridhaan antara calon suami dan calon isteri tentang maharnya, insya Allah akad nikahnya akan memperoleh banyak limpahan berkah.