Jumat, 02 September 2022

SHALAT SAAT TERJADI BENCANA

 

 SHALAT SAAT TERJADI BENCANA

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

حَدَّثَنَا الأَزْرَقُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ: كُنَّا بِالأَهْوَازِ نُقَاتِلُ الْحَرُورِيَّةَ فَبَيْنَا أَنَا عَلَى جُرُفِ نَهَرٍ إِذَا رَجُلٌ يُصَلِّي، وَإِذَا لِجَامُ دَابَّتِهِ بِيَدِهِ فَجَعَلَتِ الدَّابَّةُ تُنَازِعُهُ وَجَعَلَ يَتْبَعُهَا

Al-Azraq bin Qais menceritakan: "Kami pernah berada di daerah Al-Ahwaz memerangi kelompok Haruriyyah. Ketika aku berada di tepian sungai ada seseorang yang sedang mengerjakan shalat sementara dia tetap memegang tali kekang tunggangannya. Maka hewan tunggangannya mengganggunya dengan bergerak kesana kemari hingga ia mengikuti kemana gerak hewannya itu" (HR. al-Bukhari No. 1211).

Status Hadis

              Hadis tersebut dinilai sahih oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari No. 1211. Beberapa ulama Hadis yang juga meriwayatkan hadis tersebut adalah Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad No. 19770, Imam al-Bayhaqi dalam Sunan al-Bayhaqi No. 3249, Imam Ibn al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul No. 3719, Imam al-Nawawi dalam Khulasat al-Ahkam No. 1725, dan al-Mizzi dalam Tuhfat al-Asyraf No. 11953. Al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah al-Kamilah, III/387).

Kandungan Hadis

              Hadis tersebut menjelaskan tentang seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Barzah Al-Aslamiy yang sedang melaksanakan shalat di tepi sungai. Saat sedang salat beliau sambil memegang tali kendali hewan untanya. Tiba-tiba untanya lari ke sana kemari, dan beliau terpaksa mengikuti gerak hewannya. Ia membatalkan shalatnya.

 Dalam redaksi yang lengkap telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Sahih sebagai berikut:

حَدَّثَنَا الْأَزْرَقُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ كُنَّا بِالْأَهْوَازِ نُقَاتِلُ الْحَرُورِيَّةَ فَبَيْنَا أَنَا عَلَى جُرُفِ نَهَرٍ إِذَا رَجُلٌ يُصَلِّي وَإِذَا لِجَامُ دَابَّتِهِ بِيَدِهِ فَجَعَلَتْ الدَّابَّةُ تُنَازِعُهُ وَجَعَلَ يَتْبَعُهَا قَالَ شُعْبَةُ هُوَ أَبُو بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيُّ فَجَعَلَ رَجُلٌ مِنْ الْخَوَارِجِ يَقُولُ اللَّهُمَّ افْعَلْ بِهَذَا الشَّيْخِ فَلَمَّا انْصَرَفَ الشَّيْخُ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ قَوْلَكُمْ وَإِنِّي غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّ غَزَوَاتٍ أَوْ سَبْعَ غَزَوَاتٍ وَثَمَانِيَ وَشَهِدْتُ تَيْسِيرَهُ وَإِنِّي إِنْ كُنْتُ أَنْ أُرَاجِعَ مَعَ دَابَّتِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَدَعَهَا تَرْجِعُ إِلَى مَأْلَفِهَا فَيَشُقُّ عَلَيَّ.

Artinya: Al-Azraq bin Qais menceritakan: "Kami pernah berada di daerah Al-Ahwaz ketika kami memerangi kelompok Haruriyyah. Ketika aku berada di tepian sungai ada seseorang yang sedang mengerjakan shalat sementara dia tetap memegang tali kekang tunggangannya. Maka hewan tunggangannya mengganggunya dengan bergerak kesana kemari hingga ia mengikuti kemana gerak hewannya itu". Syu'bah berkata bahwa dia adalah Abu Barzah Al-Aslamiy (Sahabat Nabi saw); Tiba-tiba seorang dari Khawarij berkata: "Ya Allah, apa yang dilakukan orang ini?" Ketika orang tadi selesai dari shalatnya, dia berkata; "Sungguh aku mendengar percakapan kalian. Sungguh aku sudah pernah ikut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak enam, tujuh atau hingga delapan kali peperangan dan aku menyaksikan kemudahan-kemudahan yang Beliau ajarkan. Bagiku mengikuti hewan tungganganku itu lebih aku sukai daripada aku memaksa kembali ke padang gembalaan tempat hewan itu biasa berkeliaran, yang nanti pasti lebih menyulitkan aku" (HR. Bukhari No. 1211).

Para ulama fikih sepakat bahwa hadis tersebut bisa dijadikan sebagai dasar atau dalil bolehnya menghentikan salat ketika terjadi musibah yang dapat membahayakan dirinya atau saat terjadi bencana alam secara mendadak. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, mengatakan:

  وَفِيهِ حُجَّةٌ لِلْفُقَهَاءِ فِي قَوْلِهِمْ: أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ يُخْشَى إِتْلَافُهُ مِنْ مَتَاعٍ وَغَيْرِهِ يَجُوزُ قَطْعُ الصَّلَاةِ لِأَجْلِهِ

 Artinya: “Hadits ini menjadi dalil para fuqaha bahwa pada segala situasi dan kondisi yang dikhawatirkan dapat merusak harta benda dan lain-lain, seseorang boleh menghentikan shalat karenanya" (al-Asqalani, Fath al-Bari, III/82).

              Pada prinsipnya, ketika seseorang sudah memulai shalatnya, ia tidak diperkenankan membatalkan shalatnya, kecuali ada uzur. Imam Syafii mengatakan:

إِذَا دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا أَوْ غَيْرِهِ حُرِمَ قَطْعُهَا بِغَيْرِ عُذْرٍ

 “Jika seseorang sudah masuk ke dalam shalat wajib, baik di awal waktu maupun tidak di awal waktu, maka ia diharamkan (dilarang) untuk menghentikan shalatnya tanpa udzur (al-Nawawi, al-Majmu’, III/74).

Keterangan Imam Syafii tersebut menegaskan bahwa apabila seseorang sudah memulai shalat maka tidak diperbolehkan atau diharamkan membatalkan shalatnya, kecuali ada udzur. Hal ini menunjukkan bahwa larangan membatalkan shalat itu berlaku apabila dalam keadaan normal. Namun, apabila ada udzur misalnya terjadi musibah atau bencana alam seperti gempa di sekitarnya atau ada sebab lainnya yang dapat membahayakan dirinya, maka membatalkan shalat saat itu diperbolehkan demi menyelamatkan diri (jiwa)nya.

Membatalkan shalat demi menyelematkan diri karena terjadi bencana tersebut telah dibenarkan oleh Allah swt dalam firman-Nya:

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al Baqarah: 195).

Juga berdasarkan sabda Nabi Saw:   لَا ضَرَرَ وَلا ضِرَارَ

“Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (untuk orang lain)” (HR. Ahmad No. 2865 dan Ibnu Majah No. 2341). Al-Albani menilai hadis ini sahih (Irwa al-Ghalil, III/408).

Ibnu Rajab dalam kitabnya Fath al-Bari mengutip beberapa pendapat ulama sebelumnya. Qatadah berkata: “Jika pakaiannya telah dicuri maka ia mengikuti pencurinya dan meninggalkan shalatnya”. Abdur Razzaq telah meriwayatkan di dalam kitabnya dari Mu’ammar dari al-Hasan dan Qatadah terkait seorang laki-laki yang saat mendirikan shalat, binatang tunggangannya pergi atau diserang oleh binatang buas? Keduanya menjawab: “Ia boleh pergi (memutus shalatnya)”.

Dari Mu’ammar, dari Qatadah, ia berkata: “Saya telah bertanya kepadanya, saya katakan: “Ada seorang laki-laki sedang shalat, lalu ia melihat seorang bayi di pinggir sumur, ia merasa khawatir bahwa bayi itu akan jatuh ke dalamnya, apakah ia boleh pergi (memutus shalatnya)?”, dia berkata: “Ya”, saya katakan: “lalu ia melihat seorang pencuri yang ingin mengambil kedua sandalnya?”, ia menjawab: ya boleh pergi (memutus shalatnya).

Menurut madzhab Sufyan: “Jika tiba-tiba terjadi sesuatu yang janggal, sementara seseorang sedang berada di dalam shalat, maka ia pun (boleh) memutus (shalatnya)”, diriwayatkan terkait hal ini dari Mu’afa. Demikian juga jika ia mengkhawatirkan ternak dan tunggangannya lepas. Menurut madzhab Malik: “Bagi orang yang binatang tunggangannya lepas, sementara ia dalam keadaan shalat, maka ia berjalan mendekatinya jika tunggangannya tersebut berada di hadapannya, atau sebelah kanan atau kirinya. Jika berada jauh dari jangkauannya maka ia mencarinya dan menghentikan shalatnya” (وإن بعدت طلبها وقطع الصَّلاة).

Menurut madzhab sahabat-sahabat kami: “Jika ia melihat orang yang tenggelam atau terbakar, atau kedua anak yang sedang berperang, atau yang serupa dengannya, sementara ia mampu untuk menyelamatkannya, maka ia boleh menghentikan shalatnya dan menyelamatkannya”. Di antara mereka ada yang membatasinya pada shalat sunnah, dan yang benar adalah mencakup pada shalat wajib dan yang lainnya.

Imam Ahmad juga berkata:  إذا رأى صبياً يقع في بئر، يقطع صلاته ويأخذه

“Jika ia melihat seorang anak jatuh ke dalam sumur, maka ia menghentikan shalatnya dan menolongnya”. Sebagian sahabat kami berkata: “Ia menghentikan shalatnya jika membutuhkan banyak pekerjaan untuk menolongnya, jika pekerjaan tersebut ringan maka tidak perlu membatalkan shalatnya”. Demikian juga perkataan Abu Bakar terkait dengan orang yang keluar (dari shalat) menyusul orang yang berutang dan lalu ia kembali dan memulai shalatnya lagi” (Ibn Rajab, Fath al-Bari, VI/400-401).

Al-Bahuti dalam kitab Kisyaf al-Qina menegaskan bahwa menyelamatkan orang yang tenggelam atau korban kebakaran hukumnya wajib. Sungguhpun ia sedang melaksanakan shalat wajib atau sunnah, ia harus membatalkan shalatnya dulu untuk bisa menolong orang yang sedang dalam bahaya tersebut. Ketentuan ini berlaku meskipun waktunya pendek. Sedangkan shalat masih tetap bisa dilakukan dengan cara qadha (dikerjakan pada waktu yang lain saat sudah aman). Berbeda dengan menolong orang tenggelam atau semacamnya yang harus disegerakan. Jika dia tidak mau membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan orang yang tenggelam atau korban lainnya, maka dia berdosa meskpiun shalatnya sah (Kasyaf al-Qi’na, 1/380).

Sikap tersebut sesuai dengan kaidah fiqh yang ditulis Al-Subki dalam kitabnya al-Asybah Wa al-Nadzair (I/476) yang berbunyi:

 درء المفاسد أولى من جلب المصالح

 “Menghindari mafsadah (potensi bahaya) lebih didahulukan (diutamakan) daripada mengambil maslahat (kebaikan).

              Dalam kondisi shalat tidak dapat dilakukan pada waktunya karena alasan darurat, maka shalat dapat dilakukan pada waktu yang memungkinkan (aman dan tidak berbahaya). Pada dasarnya tidak ada dalil yang kuat untuk menqadha shalat terutama bagi mereka yang tidak melaksanakan shalat. Akan tetapi jika ada seseorang yang tertidur atau karena lupa, maka yang bersangkitan melakukan shalat ketika ia terbangun atau ketika ingat (HPT-3 hal. 674-676).

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, baik dari al-Qur’an, al-Hadis, maupun ijtihad para ulama, dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang sedang melaksanakan shalat, kemudian tiba-tiba terjadi musibah seperti bencana alam atau musibah lainnya yang dimungkinkan dapat membahayakan dirinya apabila diteruskan shalatnya, maka saat itu ia diperbolehkan menghentikan atau membatalkan shalatnya. Selanjutnya ia bisa melaksanakan (melanjutkan) shalatnya tadi apabila situasi dan kondisi sudah aman. Wallahu A’lam!

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM JATIM edisi September 2022)