Rabu, 31 Juli 2019

MENGALIHAKN KURBAN UNTUK BENCANA ALAM


MENGALIHAKN KURBAN UNTUK BENCANA ALAM

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr.wb!

Ustadz Zuhdi yang dirahmati Allah!
   Beberapa tahun lalu, suasana Idul Adha bersamaan dengan situasi terjadinya musibah bencana alam, seperti gempa dan sunami. Saat itu beberapa tokoh Islam menganjurkan agar anggaran yang direncanakan untuk berkurban dialihkan ke santunan untuk korban bencana alam. Pertanyaan saya, bolehkah mengalihkan dana ibadah kurban untuk santunan korban bencana alam? Mohon penjelasannya dilengkapi dengan dalil dari al-Quran dan al-Sunnah. Atas penjelasannya kami sampaikan banyak terima kasih. Jazakumullah khairan katsiran! (Syafii, Candi Sidoarjo).
Wassalamu’alaikum wr.wb!

Jawab:
   Perlu difahami dengan baik bahwa pengamalan Islam secara kaffah, tidak cukup hanya sekedar menjalankan ibadah ritual seperti salat, puasa, kurban atau ibadah lainnya, tetapi juga mencakup pelaksanaan komitmen sosial dalam wujud perkhidmatan kepada sesama, kepedulian terhadap penderitaan orang lain serta keterlibatan dalam upaya mengatasi problem sosial dan kemanusiaan. Islam memerintahkan keterlibatan total dalam kehidupan dunia sebagai panggung tempat beramal guna menunjukkan otentisitas keberagamaan. Keengganan dalam usaha mewujudkan komitmen sosial tersebut sama artinya dengan mendustakan agama itu sendiri. Hal ini sangat jelas ditegaskan dalam surat al-Maun ayat 1-7:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلاَ يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7

Artinya: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan  enggan (menolong dengan) barang berguna [QS. al-Maun (107): 1-7].

Pada bagian lain dari al-Quran, surat al-Balad (surat no. 90), perwujudan komitmen sosial ini ditegaskan pula,

فَلاَ اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ (11) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12) فَكُّ رَقَبَةٍ (13) أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (14) يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ (15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ (16) ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ (17) أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ (18

Artinya: Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan [QS. al-Balad (90): 11-18].

Dalam hadis Nabi saw diriwayatkan,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ(رواه مسلم)

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan) bahwa ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: barangsiapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesengsaraan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesengsaraan hari kiamat, dan barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang sedang mengalami kesukaran, maka Allah akan memberi kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat, dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi(aibnya) di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong sesamanya … … … (HR. Muslim No. 7028).

Berdasarkan ayat-ayat dan hadis di atas, tidak diragukan lagi bahwa melaksanakan komitmen sosial berupa membantu sesama terutama orang yang sedang mengalami kesulitan karena tertimpa musibah adalah suatu kewajiban kolektif (fardu kifayah) umat yang tidak tertimpa musibah. Bukan kebetulan bahwa beberapa peristiwa yang lalu, terjadi gempa dan sunami di berbagai daerah seperti di NTB dan Sulawesi Tengah, serta lain-lain tempat yang mengalami musibah serupa, akumulasi dari keseluruhan peristiwa alam ini menimbulkan musibah dan bencana besar bagi bangsa Indonesia, di mana banyak jatuh kurban dan menyebabkan sejumlah orang kehilangan sanak keluarga, tempat tinggal, dan mata pencaharian karena hancur akibat bencana. Dari sudut pandang agama, usaha untuk membangun kembali harapan hidup mereka yang kehidupannya telah hancur akibat bencana adalah wajib hukumnya sesuai dengan tujuan syariah hifz an-nafs (حفظ النفس)dan sesuai pula dengan semangat firman Allah:

 مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي اْلأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَّمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا  (المائدة: 32)

Artinya“… Barangsiapa yang membunuh satu jiwa, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruh manusia. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya …” [QS. al-Maidah (5): 32].

 Pada waktu bersamaan, kaum Muslimin juga disunnahkan melaksanakan ibadah kurban bersamaan dengan hadirnya Idul Adha, sebagaimana tertera dalam hadis Nabi saw:

عَنْ جُنْدَبِ بْنِ سُفْيَانَ قَالَ شَهِدْتُ الأَضْحَى مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ بِالنَّاسِ نَظَرَ إِلَى غَنَمٍ قَدْ ذُبِحَتْ فَقَالَ: مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَلْيَذْبَحْ شَاةً مَكَانَهَا وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اللهِ (رواه مسلم)

ArtinyaDari Jundab Ibn Sufyan (diwartakan bahwa) ia berkata: Saya salat Idul adha bersama Rasulullah saw. Ketika beliau telah selesai mengerjakan salat bersama masyarakat, ia melihat seekor kambing yang sudah disembelih, maka beliau bersabda: barangsiapa menyembelih kambing sebelum salat, maka hendaklah ia menyembelih kambing lain sebagai gantinya, dan barang siapa tidak menyembelihnya sebelum salat, maka hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah (HR Muslim No. 5500).
 Menghadapi dua macam keadaan, yaitu kondisi menghadapi bencana alam yang mengakibatkan banyaknya kurban yang menuntut kewajiban kolektif untuk memberikan bantuan pada satu sisi, dan momen Idul Adha di mana disunatkan melakukan ibadah kurban berupa menyembelih hewan pada sisi lain, maka dengan memperhatikan kembali Fatwa Pengalihan Dana Kurban sehubungan dengan peristiwa gempa bumi dan tsunami Aceh yang dikeluarkan tanggal 25 Zulkaidah 1425 H bertepatan dengan 1 Januari 2005 M, maka Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MTT-PPM, tarjih.or.id/kurban) memberikan fatwa, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, Mereka yang memiliki kemampuan, dapat memberikan bantuan kepada masyarakat kurban musibah (gempa, sunami, banjir, dan lain-lain) secara memadai, sekaligus dapat melaksanakan kurban secara bersamaan;
Kedua, Mereka yang karena keterbatasan kemampuan sehingga harus memilih salah satu di antara dua macam amal tersebut, hendaknya mendahulukan memberi bantuan dalam rangka menyelamatkan kehidupan mereka yang tertimpa musibah daripada melaksanakan ibadah kurban sesuai dengan kaidah  al-ahamm fa al-muhimm (الأهم فالمهم), yang lebih penting didahulukan atas yang penting (Wahbah al-Zuhayli, Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, I/22).
Ketiga, Jika dana telah diserahkan kepada Panitia Kurban dan belum dibelikan hewan kurban, hendaknya Panitia meminta kerelaan calon orang yang berkurban (shahibul-kurban) untuk mengalihkan dananya kepada bantuan penyelamatan mereka yang tertimpa musibah. Namun jika calon shahibul kurban tidak merelakan, dana itu tetap sebagai dana ibadah kurban (tarjih.or.id/kurban).

Wallahu A'lam Bi al-Shawab!



Memotong Kuku Bagi Orang yang Berkurban


MEMOTONG KUKU BAGI ORANG YANG BERKURBAN

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Setidaknya ada empat hadis yang menerangkan tentang larangan memotong rambut dan kuku saat berniat hendak berkurban, yaitu setelah memasuki tanggal 1 Dzulhijjah hingga shalat Id. Berikut ini hadis-hadisnya:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُ كُمْ أَ نْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا (رواه مسلم(

“Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi Saw. berkata: “Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzulhijjah) dan salah seorang di antara kalian hendak berkurban, hendaklah ia tidak menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun” (HR Muslim No. 5232).

عن أُمِّ سَلَمَةَ تَرْفَعُهُ قَالَ: إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا  (رواه مسلم(
“Dari Ummu Salamah yang (sanadnya) ia sambungkan (ke Rasulullah). Beliau bersabda: “Apabila 10 (Dzulhijjah) telah masuk dan seseorang memiliki hewan kurban yang akan ia sembelih, maka hendaklah ia tidak mengambil rambut dan tidak memotong kuku” (HR Muslim No. 5233).

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Apabila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih, maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim No. 5234).

سَمِعْت أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ )رواه مسلم(

“Aku mendengar Ummu 
Salamah, istri nabi Saw. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang memiliki sembelihan yang akan dia sembelih, maka apabila hilal Dzulhijjah telah muncul, hendaklah ia tidak mengambil dari rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun sampai ia berkurban” (HR. Muslim No.  5236).

Dari empat jenis  matan  (redaksi hadis) yang menyebutkan larangan memotong, keempatnya dari jalur istri nabi Ummu Salamah dan keempatnya memiliki perbedaan redaksional satu sama lain. Ada yang menggunakan redaksi “rambut dan kuku”, ada yang “rambut dan kulit”. Selain itu ada yang menggunakan kalimat “hendaklah tidak menyentuh”, ada yang “hendaklah tidak mengambil”, dan ada yang “hendaklah menahannya”, serta ada yang “janganlah memotong”.
Keempat hadis di atas adalah hadis-hadis yang tidak diragukan lagi kesahihannya, karena diriwayatkan oleh Imam Muslim dan imam-imam lainnya. Namun, karena memiliki perbedaan redaksional, maka terdapat kemungkinan terjadinya periwayatan bi al-makna (melibatkan interpretasi personal dari perawi).
Tidak ada yang eksplisit dari keempat hadis tersebut mengenai rambut atau kuku siapa yang dilarang untuk dipotong, apakah rambut-kuku milik orang yang berkurban atau milik hewan kurbannya. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama (termasuk empat Imam Madzhab) berpendapat bahwa yang dipotong adalah milik shahibul kurban (orang yang berkurban). Sungguhpun mereka sepakat bahwa rambut dan kuku yang “dilarang dipotong” adalah milik shahibul kurban, namun mereka (ulama) berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya. Sebagian ulama mengharamkannya (al. Imam Ahmad, Ishaq dan Dawud). Ulama yang mengharamkan ini berdasarkan pada hadis-hadis dari Umu Salamah tersebut di atas. Sebagian ulama yang lain memakruhkannya, al. Imam Syafi’i dan Imam Maliki(al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, VI/472; al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi, V/98). Ulama ini berdasarkan dalil berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ يُقَلِّدُهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ يَبْعَثُ بِهَا مَعَ أَبِي فَلَا يَدَعُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا أَحَلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ حَتَّى يَنْحَرَ الْهَدْيَ
Dari Aisyah, ia berkata: saya pernah menganyam kalung hewan kurban Rasulullah  Saw  dengan kedua tanganku, kemudian Rasulullah  Saw  mengalunginya  dengan  tangannya  dan  mengirimnya bersama dengan ayahku, lalu Rasulullah Saw tidak meninggalkan sesuatupun yang telah Allah ‘azza wajalla halalkan hingga beliau menyembelih hewan kurban (HR. al-Nasa’I No. 2793). Al-Albani menilai bahwa hadis ini sahih (al-Albani, Shahih Wa Dha’if Sunan al-Nasai, VI/635).
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw tidak meninggalkan kebiasaannya seperti memotong kuku dan rambut. Tetapi bukan berarti kemudian memotong rambut tidak apa-apa, adanya anjuran pada hadis Ummu Salamah (hadis-hadis sebelumnya) berarti bahwa meninggalkan pemotongan rambut dan kuku itu adalah sunnah, dan memotongnya adalah makruh.
Hikmah menahan rambut dan kuku milik shahibul kurban adalah membiarkan bagian tubuh manusia utuh sebelum hari penyembelihan, sehingga bagian tubuh manusia akan dibebaskan secara utuh pula dari api neraka kelak di hari akhir (al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, VI/472).  
Sebagian ulama yang lain lagi ada yang membolehkannya (al. Imam Hanafi). Ulama ini beralasan, kalau orang yang akan berkurban dibolehkan memakai baju dan boleh berhubungan suami isteri, tentu mencukur rambut dan memotong kuku juga boleh (al-Thahawi, Ma’ani al-Atsar, VIII/353-354).

Lain lagi pendapatnya di kalangan ulama kontemporer yang memaknai  larangan untuk memotong rambut dan kuku adalah kuku dan kulit hewan kurban, bukan sahibul kurban (orang yang berkurban). Pemahaman ini berdasarkan hadis dari Aisyah bahwa beliau menganyamkan kalung untuk kurban Rasulullah Saw. dan setelah itu tidak menjauhi apa yang dihalalkan oleh Allah selama 10 hari awal bulan Dzulhijjah (HR. al-Nasa’i No. 2793).
Kalangan sebagian ulama kontemporer ini berpendapat bahwa larangan memotong rambut dan kuku hewan kurban adalah dalam rangka memulyakan hewan yang akan dijadikan kurban, dan secara psikolosis untuk menghindarkan stress yang bisa menimpa hewan kurban. Di sisi lain Islam menganjurkan menjaga kebersihan. Jika kuku dan rambut manusia sudah saatnya dibersihkan, maka tidak harus ditunda sampai 10 hari.
   Bagi yang memaknai larangan memotong kuku dan rambut milik sahibul kurban, juga tidak sampai membawanya kepada tahap haram. Paling jauh hanyalah makruh. Sehingga, insya Allah, tidak akan mengurangi keutamaan dan pahala dari kurban yang ia lakukan. Insya Allah tidak berdosa (apalagi karena alasan kebersihan atau ketidaktahuan) tetap memotong kuku dan rambutnya sendiri (tarjih.muhammadiyah.or.id).