Sabtu, 25 April 2020

Menyikapi Berita Hoax


Menyikapi Berita Hoax

oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Akhir-akhir ini masalah hoax (berita bohong) sangat marak bermunculan di media social. Sebenarnya berita hoax telah ada sejak zaman khulafaur rasyidin. Peristiwa yang paling menggemparkan terjadi berkenaan dengan berita hoax adalah  peristiwa fitnah qubro (fitnah besar) yang melibatkan Khalifah Utsman bin Affan dan berakibat terbunuhnya beliau. Saat itu Khalifah Utsman dibunuh oleh seorang muslim bernama al-Ghafiqi Ibn al-Harb, yang tidak sembarang muslim. Konon, ia seorang hafidz al-Qur’an. Dia tergerak sendiri, ingin membunuh sendiri sang Khalifah, karena berita hoax.
 Mengingat sudah sedemikian hebatnya berita hoax di sekitar kita, maka perlu disikapi dengan kritis dan selektif setiap ada pemberitaan. Ada beberapa kiat bagaimana cara mengetahui sebuah berita itu hoax atau asli dan bagaimana menindak lanjutinya. Sedikitnya ada tiga langkah yang bisa ditempuh:
Pertama, periksa dulu asal-usul tulisan atau gambar tersebut dari mana. Jika asal-usulnya dari situs-situs yang tidak jelas, atau situs-situs yang selama ini dikenal sebagai situs yang sering menyebarkan berita hoax, maka waspadalah! Berita-berita  hoax di Indonesia tidak selamanya asli buatan dalam negeri; jamak terjadi berasal dari terjemahan, khususnya jika menyangkut temuan-temuan ilmiah.
Kedua, periksa juga siapa yang menulisnya. Berita hoax umumnya anonim atau bisa juga seakan-akan benar dengan menggunakan nama orang-orang yang sudah dikenal. Jika ada namanya, coba telusuri asal-usul tulisan tersebut dengan cara masuk ke blog atau web atau alamat-alamat penulis yang bisa diakses.
Ketiga, jika informasi yang hendak kita cari ada gambarnya, maka yang mesti kita lakukan adalah minta bantuan pada google image, upload gambarnya, lalu cari dari mana asal-usul gambar tersebut plus apa berita yang berkait dengan gambar tersebut. Jika sudah muncul gambarnya, periksa tanggalnya, lihat judul beritanya, dan apa isi informasinya. Dari sini akan diketahui keshahihan informasi tersebut.
Bagi kita sebagai pengguna, mulai hari ini tahan dirilah, tidak asal kirim apa yang kita dapatkan. Tabayyun dulu, jika sudah jelas shahih, boleh dikirim sebagai amal shalih. Tapi, jika kita sendiri tidak yakin keshahihannya, hendaklah melakukan tabayyun dulu. Jika tidak bisa, maka tahanlah, jangan disebar, karena dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah Saw memberi peringatan kepada umatnya:
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Artinyas: “Dari Hafsh bin Ashim, Rasulullah Saw bersabda: “Cukuplah seseorang dianggap pendusta ketika dia menceritakan (menyebarkan) apa saja yang dia dengar.” (HR. Muslim No.7).
Wallahu A’lam Bi al-Shawab !

Senin, 20 April 2020

HUKUM SHALAT MEMAKAI MASKER


HUKUM SHALAT MEMAKAI MASKER

Oleh



Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan:

Assalamu’laikum wr wb !
Ustadz Zuhdi rihimakumullah! Belakangan ini, saya biasa melakukan shalat dengan menggunakan masker, karena kondisi alam dan lingkungan yang dihantui oleh mewabahnya covid-19. Sementara ada Ustadz di Youtube yang membawakan sebuah hadis tentang larangan shalat dengan menutup mulut. Bagaimana dengan shalat yang saya lakukan dengan pakai masker ini, apakah dibolehkan? Mohon penjelasannya, Ustadz! Atas jawabannya, kami sampaikan terima kasih. Semoga bisa memberikan pencerahan kepada kami (Luluk Humaidah, Waru).
Wassalamu’alaikum wr wb!

Jawaban:
           Benar, ada sebuah hadis yang melarang orang shalat dengan menutup mulut. Berikut ini hadis dari Abu Hurairah ra, ia mengatakan:
نَهَى رَسُو لُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ
Rasulullah saw. melarang seseorang yang menutup mulutnya ketika sedang shalat.             
(HR. Abu Daud No. 643).
Status Hadis
           Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud, I/245 hadis No. 643. Selain oleh Abu Dawud, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah, I/ 310 hadis No. 966, Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban, VI/117 hadis No. 2353, al-Hakim dalam al-Mustadrak, I/384 hadis No. 931, Ibn Khuzaimah dalam Shahih Ibn Khuzaimah, II/60 hadis No. 918, dan al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubra, II/242 hadis No. 3435. Syekh al-Albani menyatakan hadis tersebut sahih (Shahih al-Jami al-Shaghir, II/1160).
Pembahasan
        Hadis tersebut menjelaskan tentang larangan menutup mulut ketika sedang melaksanakan shalat. Di sekitar kita, ada sebagian orang yang suka menutupi mulut dan hidungnya dengan masker saat dalam perjalanan yang banyak berdebu atau saat sedang terserang flu. Pemakaian masker ini bahkan dituntut atau diharuskan tatkala suatu wabah pandemic (seperti covid-19) ini terjadi. Di kalangan ahli Fiqh ada istilah yang disebut dengan al-talatstsum (التلثم), yaitu mengikatkan kain cadar pada mulut dan hidung (al-Qal’aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha, I/144).
          Menurut al-Khattabi (w. 288 H), menutup mulut dengan serban merupakan tradisi orang Arab. Tradisi ini (al-talatstsum) kemudian dilarang oleh Nabi saw. saat sedang melakukan shalat ((HR. Abu Daud No. 643). Namun larangan ini tidak  berlaku saat orang yang sedang shalat menguap, karena ada perintah dari Nabi saw. untuk menutupi mulutnya saat menguap (al-Khattabi, Ma’alim al-Sunan, I/179).  Dari Sa’id al-Khudri, Nabi saw. bersabda:
إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُل
“Apabila salah seorang di antara kalian menguap, maka hendaklah menutupi mulutnya dengan tangan, karena setan akan masuk”(HR. Muslim No. 7683).

            Hikmah larangan menutup mulut saat sedang shalat itu adalah dikarenakan perbuatan seperti itu menyerupai orang majusi saat melakukan ritual menyembah api (أنه يُشبه فعل المجوس حال عبادة النيران), tulis Badruddin al-‘Aini dalam kitabnya (Syarah Sunan Abi Dawud, III/181). Lebih lanjut al-‘Iraqi (w. 806 H) menjelaskan bahwa larangan menutup mulut dalam shalat itu dikarenakan menyerupai orang-orang jahiliyah yang suka menutup mulutnya dengan serbannya. Selain itu, menutup mulut saat sedang shalat dikhawatirkan bisa mengganggu bacaan shalatnya dan bisa juga mengganggu kesempurnaan sujudnya (al-Albani, Mashabih al-Tanwir Ala Shahih al-Jami’ al-Shaghir, I/448). Ibn Taymiyah (w. 728 H) juga menjelaskan bahwa dilarangnya menutup mulut saat shalat itu karena bisa mengganggu bacaan tajwidnya, bacaan doa dan dzikirnya terutama saat sujud(Ibn Taymiyah, Syarh al-‘Umdah, II/332).
            Berdasarkan hadis larangan menutup mulut saat shalat tersebut, ulama pada umumnya menghukumi makruh bagi orang yang menutup mulut saat melaksanakan shalat. Ibn al-Mundzir (w.319 H) mengatakan:
كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُ تَغْطِيَةَ الْفَمِ فِي الصَّلَاةِ، وَمِمَّنْ رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ ابْنُ عُمَرَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ، وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ، وَابْنُ الْمُسَيِّبِ وَالنَّخَعِيُّ، وَسَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ، وَالشَّعْبِيُّ، وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَمَالِكٌ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ وَاخْتَلَفَ فِيهِ عَنِ الْحَسَنِ فَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ، وَذَكَرَ الْأَشْعَثُ أَنَّهُ كَانَ لَا يَرَى بِهِ بَأْسًا
“Banyak ulama yang berpendapat bahwa menutup mulut ketika shalat itu dihukumi makruh. Di antara mereka yang menilai perbuatan itu makruh adalah Ibnu Umar, Abu Hurairah, Atha’, Ibnu al-Musayyib, al-Nakha-i, Salim bin Abdillah, al-Sya’bi, Hammad bin Abi Sulaiman, al-Auza’i, Malik, Ahmad, dan Ishaq. Ada perbedaan pendapat tentang ini dari al-Hasan, menurutnya perbuatan itu makruh, sedangkan al-Asy’ats berpendapat hal itu tidak apa-apa”(Ibn al-Mundzir, al-Ausath Fi al-Sunan Wa al-Ijma Wa al-Ikhtilaf, III/264-265).
            Imam al-Nawawi (w. 676 H) mengatakan:
ويكره أن يصلي الرجل متلثما أي مغطيا فاه بيده أو غيرها ويكره أن يضع يده على فمه في الصلاة إلا إذا تثاءب فإن السنة وضع اليد على فيه ففي صحيح مسلم عن أبي سعيد إن النبي صلى الله عليه وسلم … والمرأة والخنثى كالرجل في هذا وهذه كراهة تنزيه لا تمنع صحة الصلاة
“Menutup mulut dan hidung (at-talatstsum) atau menutup mulut saja dengan tangan atau yang lain ketika shalat hukumnya makruh. Dihukumi makruh juga menutup mulut dengan tangan, kecuali apabila seseorang menguap dalam shalat, maka disunnahkan menutup mulutnya dengan tangannya. Hal ini sesuai dengan hadis shahih riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri di atas (HR. Muslim No. 7683)…. Dalam hal ini wanita dan banci memiliki ketentuan yang sama dengan laki-laki. Perbuatan ini hukumnya makruh tanzih (mendekati boleh), sehingga tidak menghalangi keabsahan shalat”(al-Nawawi, Al-Majmu’, III/179).
            Istilah al-talatstsum (menutup mulut dan hidung) ditemukan dalam beberap atsar. Dalam Kitab Mushannaf Ibn Abi Syaibah hadis No. 7306, 7307, 7308, 7309, dan 7310 disebutkan bahwa beberapa ulama kalangan sahabat dan tabiin seperti Ibn Umar, Nafi, Said bin al-Musayyib, Ikrimah, Thawus, dan al-Hasan, semuanya menganggap makruh (tidak disukai) orang yang melakukan al-talatstsum (menutup mulut dan hidung) dalam shalat(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, II/130).  

Memakai masker dalam shalat saat ada wabah
         Dalam keadaan normal, umumnya ulama berpendapat bahwa shalat dengan memakai masker atau yang disebut al-talatstsum (menutup mulut dan hidung dengan kain) itu hukumnya makruh (tidak disukai). Bagaimana jika memakai masker itu terpaksa harus dilakukan untuk menghindari bahaya seperti saat terjadinya musim pandemic virus (covid-19) saat ini?
          Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan bahwa al-karahatu tazulu ‘inda al-hajah (الكراهة تزول عند الحاجة), sesuatu yang tadinya dihukumi makruh bisa hilang (tidak lagi makruh atau menjadi boleh) apabila ada kebutuhan atau tuntutan(Walid Bin Rasyid, Tadzkir al-Fuhul Bitarjihat Masail al-Ushul, I/6), dan kaidah al-hajat tazul al-karahah (الحاجة تزول الكراهة), adanya tuntutan atau kebutuhan bisa menghilangkan hukum yang tadinya makruh, menjadi boleh (Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, I/324).

          Atas dasar kaidah-kaidah fiqhiyah tersebut maka dapat difahami bahwa memakai masker dalam shalat yang tadinya oleh ulama dihukumi makruh, karena adanya tuntutan atau kebutuhan tertentu, maka memakai masker tidak lagi dihukumi makruh, tetapi mubah atau boleh. Ibnu Abdil Barr (w. 1071 M) mengatakan:
أجمعوا على أن على المرأة أن تكشف وجهها في الصلاة والإحرام، ولأن ستر الوجه يخل بمباشرة المصلي بالجبهة والأنف ويغطي الفم، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم الرجل عنه. فإن كان لحاجة كحضور أجانب فلا كراهة
“Para ulama sepakat bahwa wanita harus membuka wajahnya ketika shalat dan ihram, karena menutup wajah dapat menghalangi orang yang shalat menempelkan dahi dan hidungnya, dan menutupi mulut. Padahal Nabi saw. telah melarang lelaki melakukan hal ini. Namun jika ada kebutuhan, misalnya ada banyak lelaki yang bukan mahram, maka (menutupi wajah) hukumnya tidak lagi makruh”(Ibn Qudamah. Kasyf al-Qina’An Matn al-Iqna’, I/268).
Berdasarkan uraian di atas, maka memakai masker saat shalat di tengah kekhawatiran merebaknya bahaya pandemi (seperti saat mewabahnya Covid-19), hukumnya diperbolehkan. Memakai masker ini, dalam kondisi tertentu bukan hanya boleh dipakai dalam shalat, tetapi diharuskan terutama bagi orang yang menunjukkan gejala-gejala seperti batuk, flu, pilek, dan demam. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran wabah yang sangat membahayakan. والله اعلم
   
Lihat juga di Youtube:

https://youtu.be/Pj1DwUeSZNc