Rabu, 21 Juni 2017

SUAMI MENINGGAL, BOLEHKAH ISTERI KELUAR RUMAH?

SUAMI MENINGGAL,
BOLEHKAH ISTERI KELUAR RUMAH?

Oleh



Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


Pertanyaan:
            Asslm wr. wb!
Ustadz Zuhdi rahimakumullah! Saya mohon penjelasan tentang status seorang perempuan yang baru saja ditinggal wafat suaminya. Beberapa kawan ada yang menjelaskan bahwa seorang wanita yang baru saja ditinggal wafat suaminya tidak diperbolehkan ke luar rumah. Jika benar demikian, bagaimana cara memenuhi tuntutan keluarga seperti belanja ke pasar, bekerja mencari nafkah, dan lain sebagainya? Apa saja yang harus diperhatikan oleh wanita yang baru saja ditinggal wafat oleh suaminya? Mohon kiranya Ustadz memberikan penjelasan lengkap dengan dalil-dalilnya. Trims! (Abdullah, Surabaya).
Jawab:
Seorang yang meninggal dunia dan meninggalkan isteri, maka bagi isterinya ada masa 'iddah selama 4 bulan 10 hari. Terhitung sejak hari wafatnya sang suami.
Ketetapan masa 'iddah yang merupakan masa berkabung ini telah disebutkan di dalam Al-Quran Al-Kariem:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri menangguhkan dirinya empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(QS. Al-Baqarah: 234)
Berdasarkan ayat ini para ulama telah sepakat bahwa seorang janda tidak boleh keluar rumah selama masa iddah. Pada masa tersebut, seorang janda tidak boleh bepergian, berdandan atau pun memakai wewangian. Bahkan sekedar menerima lamaran pun tidak diperkenankan.
             Wanita yang sedang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia tidak diperbolehkan keluar rumah. Hal ini berdasarkan firman Allah:
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
“Janganlah kalian keluarkan mereka (wanita-wanita dalam masa iddah) dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang” (Q.S. Al-Thalaq, 1)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada Furai’ah, seorang wanita yang ditinggal mati suaminya:
امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
"Tinggallah di rumahmu hingga selesai masa 'iddahmu." (Sunan Abu Dawud,2300, Sunan Turmudzi, no.1204,Sunan Nasa’I, no.3530 dan Sunan Ibnu Majah, no.2031). al-Albani: Shahih.
             Kecuali apabila wanita tersebut mempunyai hajat, maka diperbolehkan baginya untuk keluar rumah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu:
طُلِّقَتْ خَالَتِي، فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا، فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ، فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «بَلَى فَجُدِّي نَخْلَكِ، فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِي، أَوْ تَفْعَلِي مَعْرُوفًا
"Bibiku dicerai oleh suaminya, lalu dia ingin memetik buah kurma, namun dia dilarang oleh seorang laki-laki untuk keluar rumah." Setelah itu istriku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menanyakan hal itu, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab; "Ya, boleh! Petiklah buah kurmamu, semoga kamu dapat bersedekah atau berbuat kebajikan." (Shahih Muslim, no.1483).
Hadis tersebut menunjukkan bolehnya wanita yang telah ditinggal mati suaminya keluar rumah karena suatu hajat (Subul al-Salam, V/247). Pendapat ini juga didukung oleh Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan lain-lain (Syarh Shahih Muslim, X/108). Hajat yang memperbolehkan bagi seorang wanita keluar rumah, yang sedang dalam masa iddah, misalnya untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya, berbelanja, mengkhawatirkan keselamatan dirinya atau harta bendanya, omongan-omongan tetangga yang sangat menyakitkan hati, lingkungan rumahnya banyak terdapat orang-orang jahat, dan sebagainya.
Diperbolehkannya wanita tersebut keluar rumah dengan catatan tetap melaksanakan “ihdad” yang wajib bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, yaitu dengan tidak menghias diri dan memakai minyak wangi ketika keluar rumah. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, dari Hafshah dari Ummu Athiyyah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
لاَ تُحِدُّ امْرَأَةٌ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلاَ تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ وَلاَ تَكْتَحِلُ وَلاَ تَمَسُّ طِيبًا إِلاَّ إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ
"Seorang wanita dilarang berkabung atas kematian seseorang di atas tiga hari, kecuali yang meninggal adalah suaminya, maka ia harus berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Ia tidak boleh memakai baju yang dicelup kecuali baju tenunan Yaman. Tidak boleh memakai celak. Dan tidak boleh memakai wangi-wangian, kecuali dia suci dari haidh kemudian mengambil sedikit dari kusti dan adzfar"(HR. Muslim)
 Secara garis besar, seorang wanita yang ditinggal mati suaminya harus memperhatikan perkara-perkara di bawah ini:
Pertama, ia harus berada di rumah atau  tempat tinggal saat suaminya meninggal dunia. Ia menetap di rumah tersebut sampai habis masa iddahnya, yaitu empat bulan sepuluh hari. Kecuali jika sedang hamil, maka ia keluar dari masa iddah ini bersama dengan kelahiran anak yang dikandungnya. Seperti difirmankan Allah dalam  QS. Ath-Thalaaq, 4;
            Ia tidak diperkenankan keluar rumah, kecuali ada keperluan yang sangat mendesak, seperti pergi ke rumah sakit untuk berobat, membeli makanan dari pasar, atau hal-hal lainnya, jika tidak ada seorangpun yang membantu dia untuk mengerjakan hal-hal tersebut. Demikian pula jika rumahnya runtuh, ia boleh keluar dari rumah itu menuju rumah yang lain. Atau jika tidak mendapati seorangpun yang menghiburnya, atau takut terhadap keselamatan dirinya. Maka dalam kondisi-kondisi seperti ini, ia boleh keluar rumah sesuai dengan kebutuhan.
Kedua, ia tidak boleh mengenakan pakaian-pakaian yang indah dan menarik perhatian, apakah pakaian itu berwarna kuning, hijau, atau warna lainnya. Ia hanya memakai baju yang sederhana, baik ia berwarna hitam, hijau, atau selain kedua warna itu. Yang penting, bajunya tidak boleh menarik perhatian laki-laki.
            Ketiga, Wanita dalam masa iddah, harus menghindari segala macam perhiasan yang terbuat dari emas, perak, permata, berlian, ataupun perhiasan-perhiasan lainnya. Sama saja, apakah perhiasan itu berbentuk kalung, gelang, cincin, dan lain sebagainya. Ia dilarang dari semua perhiasan ini hingga berakhir masa iddahnya.
Keempat, ia harus menghindari wangi-wangian. Ia tidak boleh memakai bukhur atau wangi-wangian yang lain. Kecuali ia suci dari haidh. Jika suci dari haidh ini ia boleh menggunakan bukhur itu.
Kelima, ia harus menghindari celak. Ia tidak halal memakai celak, atau benda apapun semakna dengan celak, yang digunakan untuk mempercantik wajah. Maksud kami dengan kecantikan wajah disini, yaitu khusus kecantikan wajah yang bisa menggoda laki-laki dengan kecantikan itu. Adapun mempercantik wajah yang biasa dilakukan para wanita, seperti mencuci muka dengan air dan sabun, maka tidak mengapa dilakukan. Tetapi celak yang dipergunakan para wanita untuk mempercantik kedua matanya, atau benda lain yang serupa dengan celak yang digunakan untuk mempercantik wajah, maka ini tidak boleh dilakukannya. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk menghindari fitnah.




Senin, 19 Juni 2017

PACARAN MENURUT ISLAM

PACARAN MENURUT ISLAM

Oleh:


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr.wb !
Ustadz Zuhdi yang dirahmati Allah! Melalui rubrik konsultasi agama ini, saya ingin mengajukan pertanyaan. Banyak kasus generasi muda khususnya para remaja di negara kita yang suka berpacaran. Apakah Islam membolehkan adanya pacaran? Seberapa jauh batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan? Terima kasih. (Arrizqi Rizaldi kelas 7D SMPM-1 Sidaarjo)

Jawaban:
            Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu difahami dulu apa yang dimaksud dengan pacaran atau berpacaran. Menurut KBBI, berpacaran adalah  bercintaan; berkasih-kasihan. Misalnya, kedua remaja itu sudah berpacaran sejak mereka duduk di kelas tiga SMTA (http://kbbi.kata.web.id). Menurut definisi yang lain, pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga  yang dikenal dengan  pernikahan (https://id.wikipedia.org/wiki).
            Bila yang dimaksud berpacaran itu sebagaimana pada pengertian yang pertama, yaitu bercintaan; berkasih-kasihan, yang biasanya dilakukan dengan cara berdua-duaan, saling berpegangan, bahkan berciuman, maka berpacaran seperti itu hukumnya haram atau dilarang. Larangan ini berdasarkan dalil-dalil, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis, yakni sebagai berikut:
1. Firman Allah Swt QS. Al-Isra ayat 32:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS Al-Isra:32)
2. Hadis Nabi Saw, dari Ibn Abbas ra:
 لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري و مسلم)
 “Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat (bersepi-sepian) dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir (bepergian) kecuali beserta ada mahramnya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
3. Hadis Nabi Saw, dari Ma’qil bin Yasar:
 لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir XX/ 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

            Berdasarkan ayat al-Qur’an dan dua hadis tersebut di atas, maka jelaslah bahwa model pacaran seperti dalam pengertian pertama, yaitu bercintaan dan berkasih-kasihan,  yang mengarah kepada perbuatan zina, dengan melakukan perbuatan berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahramnya, dan  saling bersentuhan, berciuman dan seterusnya, maka pacaran seperti itu hukumnya haram.
            Sedangkan berpacaran dalam pengertian yang kedua, yaitu pacaran  sebagai proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan atau yang biasa dinamakan dalam proses “ta’aruf”, maka hal ini diperbolehkan, dengan syarat:
Pertama, tidak melakukan perbuatan yang dapat mengarahkan kepada perbuatan zina,  seperti berdua-duaan dengan lawan jenis ditempat yang sepi, bersentuhan termasuk bergandengan tangan, berciuman, dan lain sebagainya;
Kedua, harus menjaga mata atau mengendalikan pandangan yang mengarah pada timbulnya hawa nafsu. Sebab pandangan itu bisa menimbulkan fitnah yang sering membawa kepada perbuatan zina;
Ketiga, menutup aurat, terutama kaum wanita yang sering mengabaikannya atau kurang memperhatikannya. Dalam hal ini sangat diwajibkan kepada kaum wanita untuk menjaga aurat dan dilarang memakai pakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, kecuali untuk suaminya. Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah Saw bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
 “Dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu: Suatu kaum yang memiliki cambuk, seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan ini dan ini.” (HR.Muslim).
Ibnu‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan:
 أراد صلى الله عليه و سلم النساء اللواتي يلبسن من الثياب الشيء الخفيف الذي يصف ولا يستر فهن كاسيات بالاسم عاريات في الحقيقة
 “Makna yang dimaksud oleh Nabi Saw (tentang kasiyatun ‘ariyatun) adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga dapat menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (M.Nashiruddin al-Albani, Jilbab al-Mar’ah Al Muslimah, I/125-126). 
Bila berpacaran yang dilakukannya dapat menjaga batas-batas tersebut, maka pacaran atau ta’aruf yang dilakukannya dapat dibenarkan, dengan kata lain hukumnya boleh. Namun, persoalannya, sanggupkah berpacaran tanpa berpandang-pandangan, berpegangan, bercanda ria, berciuman, dan lain sebagainya….?
Bila sanggup, boleh saja. Karena betapapun, diperlukan untuk mengenali lebih jauh untuk menjadikan seseorang sebagai calon pendaming hidupnaya kelak.

            Wallahu A’lam bishshawab !

HUKUM MENJUAL TANAH WAQAF

HUKUM MENJUAL TANAH WAQAF

Oleh:
 
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb. !

Pengasuh rubrik tanya jawab agama yang kami hormati! Ada dua hal yang ingin kami tanyakan:
Pertama, Ketika bulan Ramadhan tiba, banyak sekali jama’ah yang berbondong-bondong menuju tempat shalat, namun yang disayangkan, mereka memilih shaf yang dianggap nyaman, mereka tidak mau memenuhi shaf depan terlebih dahulu. Ketika kami mengingatkannya, salah satu di antara mereka menjawab: “nanti saja, nanti juga akan penuh”! Lalu bagaimana sikap kita dengan adanya hal tersebut  ustad?
Kedua, Saya memiliki teman yang ditinggal wafat orang tuanya. Orang tuanya mewasiatkan sebidang tanah dengan ukuran yang sedang yang diperuntukkan sebagai tempat shalat (mushalla). Dalam beberapa tahun, teman saya dan saudara-saudaranya belum bisa memenuhi wasiat tersebut dan tidak jauh dari tanah tersebut sekitar 200 meter ada sebuah masjid yang berada dalam tahap renovasi dan membutuhkan dana besar. Apakah boleh tanah wasiat tersebut dijual lalu hasilnya disumbangkan untuk renovasi masjid?
Mohon penjelasan untuk kedua pertanyaan tersebut.  Terima kasih dan jazakumullah khairan! (Abdullah, Sidoarjo)

Wassalamu’alaikum wr.Wb.!

Jawab:
Wa’alaikumussalam Wr Wb!
            Terima kasih atas pertanyaannya. Ada dua pertanyaan yang perlu dijawab:
            Pertama, mengenai sikap yang harus kita lakukan terhadap saudara kita yang terkesan membangkang atau tidak mau memperhatikan saran kita, maka kita harus tetap bersabar, tidak perlu marah. Bisa jadi ia belum memahami adab-adab dalam melaksanakan shalat berjamaah. Karena itu kita bisa mengusulkan kepada takmir agar ada kajian khusus di masjid tersebut tentang adab-adab berjamaah di masjid, apakah kajian saat shalat tarawih, kuliah shubuh, atau pada kesempatan lainnya. Dengan demikian diharapkan yang mengerti tentang adab-adab shalat berjamaah tidak hanya dia, tetapi seluruh jamaah yang hadir bisa memahaminya.

            Kedua, mengenai sebidang tanah warisan orang tua yang diwasiatkan untuk diwaqafkan guna mendirikan sebuah mushalla, apakah boleh dijual atau tidak untuk keperluan menambah biaya pembangunan masjid yang lebih besar yang tidak jauh dari tempatnya, maka perlu difahami dulu tentang apa itu waqaf dan hal ihwalnya.

            Wakaf atau waqaf berasal dari kata “waqf”. Secara bahasa Arab, artinya menahan. Adapun ta’rif (definisi) waqaf secara syari’at, Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi berkata: “Waqaf adalah menahan pokok/asal (harta), sehingga tidak diwariskan, tidak dijual, dan tidak dihibahkan, dan hasilnya diberikan kepada orang-orang yang diberi waqaf”. (Minhajul Muslim, 419).
Sedangkan menurut Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, ta’rif waqaf secara syari’at adalah, pemilik harta menahan hartanya yang diambil manfaatnya, bersamaan tetapnya dzat harta itu dari usaha-usaha dengan barangnya, dan manfaatnya diberikan pada sesuatu yang termasuk jenis-jenis ketaatan untuk mencari ridha Allah (Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, IV/250).
Dari keterangan di atas, kita mengetahui bahwa pada asalnya, waqaf tidak boleh dijual. Karena, jika dijual dan barang waqafnya sudah tidak ada wujudnya, maka bukan lagi waqaf (menahan pokok/asal harta). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
Dari Ibnu Umar bahwa Umar bin Al Khaththab mendapatkan tanah di kota Khaibar. Lalu dia mendatangi Nabi (untuk) meminta petunjuk kepada Beliau tentang tanah tersebut. Umar berkata: ”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku mendapatkan tanah di kota Khaibar. Aku tidak pernah mendapatkan harta sama sekali yang lebih berharga padaku darinya. Maka apakah yang Anda perintahkan tentang tanah itu?” Beliau bersabda,”Jika engkau mau, engkau menahan pokoknya, dan engkau bershadaqah dengan (hasil)nya.” Maka Umar(pun) bershadaqah dengan (hasil)nya, dengan syarat bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak diwariskan. Umar bershadaqah dengan (hasil) tanah itu untuk orang-orang miskin, karib kerabat, budak-budak, fi sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak mengapa orang yang mengurusnya (mengelolanya) memakan darinya dengan baik, juga (tidak mengapa) dia memberi makan (darinya) dengan tidak menyimpan harta. [HR Bukhari, Muslim, dll)
Kemudian, bagaimana jika tanah waqaf terbengkelai seperti kasus tersebut yang belum bisa dimanfaatkan, dan akan dijual untuk diwakafkan guna pengembangan masjid yang lebih besar yang ada di dekatnya sehingga lebih berdaya guna atau lebih maslahah? Apakah hal itu boleh? Di sini terdapat dua pendapat:
Pendapat Pertama: Tidak Boleh Dijual.

              Ini disebutkan sebagai pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i (Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, IV/257). Imam Malik rahimahullah berkata,”Barang waqaf tidak boleh dijual, walaupun telah roboh. Tetapnya barang-barang waqaf milik Salaf yang roboh, merupakan dalil terlarangnya hal itu (menjual barang waqf walaupun telah roboh).” Tetapi, Imam Malik rahimahullah juga berpendapat, jika imam (penguasa) berpendapat (bahwa) penjualan itu lebih mashlahat, (maka) hal itu boleh dan imam menjadikannya pada yang semisalnya (Ahmad Mufawi, Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyaratil Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, II/924).
Adapun Asy Syafi’iyah (orang-orang yang menyatakan sebagai pengikut Imam Asy Syafi’i) berpendapat, jika seseorang mewaqafkan masjid, lalu tempat itu roboh dan terhenti shalat di sana, (maka) barang waqf tersebut tidak dikembalikan kepada pemilik dan tidak diganti (Ahmad Mufawi, Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyaratil Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, II/924).
Pendapat Kedua: Waqaf tidak boleh dijual dan tidak boleh ditukar, kecuali jika manfaat-manfaat waqaf terbengkelai, maka boleh dijual dan boleh ditukar dengan lainnya. Demikian ini pendapat Imam Ahmad (Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, IV/257).
            Berkenaan dengan pendapat kedua ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, bahwa mengganti sesuatu yang dinadzarkan, dan sesuatu yang diwaqafkan dengan sesuatu yang lebih baik darinya, sebagaimana mengganti hewan qurban, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
Pertama: Mengganti karena kebutuhan. Seperti (waqaf) terbengkelai, lalu dijual, dan dengan uangnya dibelikan penggantinya. Ini semua boleh, karena (yang menjadi) pokoknya, jika sesuatu yang dimaksudkan itu tidak terjadi, maka gantinya (berlaku sebagai) menggantikannya.
Kedua: Mengganti untuk mashlahat yang lebih besar (kuat). Seperti mengganti hewan qurban yang lebih baik darinya. Atau ada sebuah masjid lalu dibangun masjid lain yang lebih mashlahat bagi penduduk suatu daerah daripada masjid pertama, dan masjid yang pertama dijual. Menurut (imam) Ahmad dan ulama lainnya, yang seperti itu dan semacamnya dibolehkan. Imam Ahmad berhujjah dengan (perbuatan) Umar yang memindahkan Masjid Kufah yang lama ke tempat yang lain. Dan lokasi masjid yang pertama menjadi pasar bagi para pedagang kurma. Maka (tindakan seperti) ini, (berarti) mengganti lokasi masjid (Majmu’ Fatawa, XXXI/252).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata: “Bersamaan (sesuai) dengan kebutuhan, wajib mengganti waqaf dengan yang semisalnya. Dan tanpa adanya kebutuhan, boleh (mengganti waqaf) dengan yang lebih baik darinya karena nampak mashlahatnya”. (Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, IV/258).
            Kembali kepada soal yang ditanyakan, maka permasalahan ini masuk pada point kedua, yang hukumnya boleh mengganti waqaf. Yakni boleh menjualnya dan menggantikannya dengan yang lainnya yang lebih bermanfaat.
             Untuk memberikan penjelasan pada pendapat yang kedua, yaitu bolehnya mengganti waqaf jika dibutuhkan, atau demi kemaslahatan yang lebih besar, berikut ini hadis dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا حَدَاثَةُ عَهْدِ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ فَإِنَّ قُرَيْشًا حِينَ بَنَتْ الْبَيْتَ اسْتَقْصَرَتْ وَلَجَعَلْتُ لَهَا خَلْفًا
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku: “Seandainya kaum-mu tidak baru saja meninggalkan masa kekafiran, sesungguhnya aku pasti merobohkan Ka’bah dan aku pasti membangunnya di atas fondasi Ibrahim, karena sesungguhnya suku Quraisy kurang ketika mereka membangun (memperbaiki) Ka’bah. Dan sesungguhnya aku pasti membuat pintu belakang untuk Ka’bah”. [HR Bukhari, no. 126; Muslim, no. 1.333).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Telah diketahui bahwa Ka’bah merupakan waqaf yang paling utama di muka bumi. Seandainya merubah dan menggantinya dengan apa yang dijelaskan oleh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (seperti dalam hadits di atas) itu wajib, (tentu) Beliau tidak akan meninggalkannya. Sehingga dapat diketahui, bahwa hal itu dibolehkan dan lebih mashlahat, seandainya bukan karena apa yang telah beliau sebutkan, yaitu suku Quraisy baru saja masuk Islam. Demikianlah, dalam hadits ini (bolehnya) mengganti bangunan Ka’bah dengan bangunan yang lain. Dengan demikian diketahui bahwa secara umum, demikian ini dibolehkan. Mengganti susunan (bangunan) dengan susunan yang lain adalah termasuk salah satu jenis mengganti”(Majmu’ Fatawa, XXXI/244).
Wallahu A’lam !