Senin, 19 Juni 2017

HUKUM MENJUAL TANAH WAQAF

HUKUM MENJUAL TANAH WAQAF

Oleh:
 
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb. !

Pengasuh rubrik tanya jawab agama yang kami hormati! Ada dua hal yang ingin kami tanyakan:
Pertama, Ketika bulan Ramadhan tiba, banyak sekali jama’ah yang berbondong-bondong menuju tempat shalat, namun yang disayangkan, mereka memilih shaf yang dianggap nyaman, mereka tidak mau memenuhi shaf depan terlebih dahulu. Ketika kami mengingatkannya, salah satu di antara mereka menjawab: “nanti saja, nanti juga akan penuh”! Lalu bagaimana sikap kita dengan adanya hal tersebut  ustad?
Kedua, Saya memiliki teman yang ditinggal wafat orang tuanya. Orang tuanya mewasiatkan sebidang tanah dengan ukuran yang sedang yang diperuntukkan sebagai tempat shalat (mushalla). Dalam beberapa tahun, teman saya dan saudara-saudaranya belum bisa memenuhi wasiat tersebut dan tidak jauh dari tanah tersebut sekitar 200 meter ada sebuah masjid yang berada dalam tahap renovasi dan membutuhkan dana besar. Apakah boleh tanah wasiat tersebut dijual lalu hasilnya disumbangkan untuk renovasi masjid?
Mohon penjelasan untuk kedua pertanyaan tersebut.  Terima kasih dan jazakumullah khairan! (Abdullah, Sidoarjo)

Wassalamu’alaikum wr.Wb.!

Jawab:
Wa’alaikumussalam Wr Wb!
            Terima kasih atas pertanyaannya. Ada dua pertanyaan yang perlu dijawab:
            Pertama, mengenai sikap yang harus kita lakukan terhadap saudara kita yang terkesan membangkang atau tidak mau memperhatikan saran kita, maka kita harus tetap bersabar, tidak perlu marah. Bisa jadi ia belum memahami adab-adab dalam melaksanakan shalat berjamaah. Karena itu kita bisa mengusulkan kepada takmir agar ada kajian khusus di masjid tersebut tentang adab-adab berjamaah di masjid, apakah kajian saat shalat tarawih, kuliah shubuh, atau pada kesempatan lainnya. Dengan demikian diharapkan yang mengerti tentang adab-adab shalat berjamaah tidak hanya dia, tetapi seluruh jamaah yang hadir bisa memahaminya.

            Kedua, mengenai sebidang tanah warisan orang tua yang diwasiatkan untuk diwaqafkan guna mendirikan sebuah mushalla, apakah boleh dijual atau tidak untuk keperluan menambah biaya pembangunan masjid yang lebih besar yang tidak jauh dari tempatnya, maka perlu difahami dulu tentang apa itu waqaf dan hal ihwalnya.

            Wakaf atau waqaf berasal dari kata “waqf”. Secara bahasa Arab, artinya menahan. Adapun ta’rif (definisi) waqaf secara syari’at, Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi berkata: “Waqaf adalah menahan pokok/asal (harta), sehingga tidak diwariskan, tidak dijual, dan tidak dihibahkan, dan hasilnya diberikan kepada orang-orang yang diberi waqaf”. (Minhajul Muslim, 419).
Sedangkan menurut Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, ta’rif waqaf secara syari’at adalah, pemilik harta menahan hartanya yang diambil manfaatnya, bersamaan tetapnya dzat harta itu dari usaha-usaha dengan barangnya, dan manfaatnya diberikan pada sesuatu yang termasuk jenis-jenis ketaatan untuk mencari ridha Allah (Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, IV/250).
Dari keterangan di atas, kita mengetahui bahwa pada asalnya, waqaf tidak boleh dijual. Karena, jika dijual dan barang waqafnya sudah tidak ada wujudnya, maka bukan lagi waqaf (menahan pokok/asal harta). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
Dari Ibnu Umar bahwa Umar bin Al Khaththab mendapatkan tanah di kota Khaibar. Lalu dia mendatangi Nabi (untuk) meminta petunjuk kepada Beliau tentang tanah tersebut. Umar berkata: ”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku mendapatkan tanah di kota Khaibar. Aku tidak pernah mendapatkan harta sama sekali yang lebih berharga padaku darinya. Maka apakah yang Anda perintahkan tentang tanah itu?” Beliau bersabda,”Jika engkau mau, engkau menahan pokoknya, dan engkau bershadaqah dengan (hasil)nya.” Maka Umar(pun) bershadaqah dengan (hasil)nya, dengan syarat bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak diwariskan. Umar bershadaqah dengan (hasil) tanah itu untuk orang-orang miskin, karib kerabat, budak-budak, fi sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak mengapa orang yang mengurusnya (mengelolanya) memakan darinya dengan baik, juga (tidak mengapa) dia memberi makan (darinya) dengan tidak menyimpan harta. [HR Bukhari, Muslim, dll)
Kemudian, bagaimana jika tanah waqaf terbengkelai seperti kasus tersebut yang belum bisa dimanfaatkan, dan akan dijual untuk diwakafkan guna pengembangan masjid yang lebih besar yang ada di dekatnya sehingga lebih berdaya guna atau lebih maslahah? Apakah hal itu boleh? Di sini terdapat dua pendapat:
Pendapat Pertama: Tidak Boleh Dijual.

              Ini disebutkan sebagai pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i (Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, IV/257). Imam Malik rahimahullah berkata,”Barang waqaf tidak boleh dijual, walaupun telah roboh. Tetapnya barang-barang waqaf milik Salaf yang roboh, merupakan dalil terlarangnya hal itu (menjual barang waqf walaupun telah roboh).” Tetapi, Imam Malik rahimahullah juga berpendapat, jika imam (penguasa) berpendapat (bahwa) penjualan itu lebih mashlahat, (maka) hal itu boleh dan imam menjadikannya pada yang semisalnya (Ahmad Mufawi, Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyaratil Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, II/924).
Adapun Asy Syafi’iyah (orang-orang yang menyatakan sebagai pengikut Imam Asy Syafi’i) berpendapat, jika seseorang mewaqafkan masjid, lalu tempat itu roboh dan terhenti shalat di sana, (maka) barang waqf tersebut tidak dikembalikan kepada pemilik dan tidak diganti (Ahmad Mufawi, Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyaratil Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, II/924).
Pendapat Kedua: Waqaf tidak boleh dijual dan tidak boleh ditukar, kecuali jika manfaat-manfaat waqaf terbengkelai, maka boleh dijual dan boleh ditukar dengan lainnya. Demikian ini pendapat Imam Ahmad (Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, IV/257).
            Berkenaan dengan pendapat kedua ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, bahwa mengganti sesuatu yang dinadzarkan, dan sesuatu yang diwaqafkan dengan sesuatu yang lebih baik darinya, sebagaimana mengganti hewan qurban, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
Pertama: Mengganti karena kebutuhan. Seperti (waqaf) terbengkelai, lalu dijual, dan dengan uangnya dibelikan penggantinya. Ini semua boleh, karena (yang menjadi) pokoknya, jika sesuatu yang dimaksudkan itu tidak terjadi, maka gantinya (berlaku sebagai) menggantikannya.
Kedua: Mengganti untuk mashlahat yang lebih besar (kuat). Seperti mengganti hewan qurban yang lebih baik darinya. Atau ada sebuah masjid lalu dibangun masjid lain yang lebih mashlahat bagi penduduk suatu daerah daripada masjid pertama, dan masjid yang pertama dijual. Menurut (imam) Ahmad dan ulama lainnya, yang seperti itu dan semacamnya dibolehkan. Imam Ahmad berhujjah dengan (perbuatan) Umar yang memindahkan Masjid Kufah yang lama ke tempat yang lain. Dan lokasi masjid yang pertama menjadi pasar bagi para pedagang kurma. Maka (tindakan seperti) ini, (berarti) mengganti lokasi masjid (Majmu’ Fatawa, XXXI/252).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata: “Bersamaan (sesuai) dengan kebutuhan, wajib mengganti waqaf dengan yang semisalnya. Dan tanpa adanya kebutuhan, boleh (mengganti waqaf) dengan yang lebih baik darinya karena nampak mashlahatnya”. (Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, IV/258).
            Kembali kepada soal yang ditanyakan, maka permasalahan ini masuk pada point kedua, yang hukumnya boleh mengganti waqaf. Yakni boleh menjualnya dan menggantikannya dengan yang lainnya yang lebih bermanfaat.
             Untuk memberikan penjelasan pada pendapat yang kedua, yaitu bolehnya mengganti waqaf jika dibutuhkan, atau demi kemaslahatan yang lebih besar, berikut ini hadis dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا حَدَاثَةُ عَهْدِ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ فَإِنَّ قُرَيْشًا حِينَ بَنَتْ الْبَيْتَ اسْتَقْصَرَتْ وَلَجَعَلْتُ لَهَا خَلْفًا
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku: “Seandainya kaum-mu tidak baru saja meninggalkan masa kekafiran, sesungguhnya aku pasti merobohkan Ka’bah dan aku pasti membangunnya di atas fondasi Ibrahim, karena sesungguhnya suku Quraisy kurang ketika mereka membangun (memperbaiki) Ka’bah. Dan sesungguhnya aku pasti membuat pintu belakang untuk Ka’bah”. [HR Bukhari, no. 126; Muslim, no. 1.333).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Telah diketahui bahwa Ka’bah merupakan waqaf yang paling utama di muka bumi. Seandainya merubah dan menggantinya dengan apa yang dijelaskan oleh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (seperti dalam hadits di atas) itu wajib, (tentu) Beliau tidak akan meninggalkannya. Sehingga dapat diketahui, bahwa hal itu dibolehkan dan lebih mashlahat, seandainya bukan karena apa yang telah beliau sebutkan, yaitu suku Quraisy baru saja masuk Islam. Demikianlah, dalam hadits ini (bolehnya) mengganti bangunan Ka’bah dengan bangunan yang lain. Dengan demikian diketahui bahwa secara umum, demikian ini dibolehkan. Mengganti susunan (bangunan) dengan susunan yang lain adalah termasuk salah satu jenis mengganti”(Majmu’ Fatawa, XXXI/244).
Wallahu A’lam !
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar