Senin, 19 Juni 2017

PACARAN MENURUT ISLAM

PACARAN MENURUT ISLAM

Oleh:


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr.wb !
Ustadz Zuhdi yang dirahmati Allah! Melalui rubrik konsultasi agama ini, saya ingin mengajukan pertanyaan. Banyak kasus generasi muda khususnya para remaja di negara kita yang suka berpacaran. Apakah Islam membolehkan adanya pacaran? Seberapa jauh batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan? Terima kasih. (Arrizqi Rizaldi kelas 7D SMPM-1 Sidaarjo)

Jawaban:
            Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu difahami dulu apa yang dimaksud dengan pacaran atau berpacaran. Menurut KBBI, berpacaran adalah  bercintaan; berkasih-kasihan. Misalnya, kedua remaja itu sudah berpacaran sejak mereka duduk di kelas tiga SMTA (http://kbbi.kata.web.id). Menurut definisi yang lain, pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga  yang dikenal dengan  pernikahan (https://id.wikipedia.org/wiki).
            Bila yang dimaksud berpacaran itu sebagaimana pada pengertian yang pertama, yaitu bercintaan; berkasih-kasihan, yang biasanya dilakukan dengan cara berdua-duaan, saling berpegangan, bahkan berciuman, maka berpacaran seperti itu hukumnya haram atau dilarang. Larangan ini berdasarkan dalil-dalil, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis, yakni sebagai berikut:
1. Firman Allah Swt QS. Al-Isra ayat 32:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS Al-Isra:32)
2. Hadis Nabi Saw, dari Ibn Abbas ra:
 لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري و مسلم)
 “Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat (bersepi-sepian) dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir (bepergian) kecuali beserta ada mahramnya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
3. Hadis Nabi Saw, dari Ma’qil bin Yasar:
 لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir XX/ 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

            Berdasarkan ayat al-Qur’an dan dua hadis tersebut di atas, maka jelaslah bahwa model pacaran seperti dalam pengertian pertama, yaitu bercintaan dan berkasih-kasihan,  yang mengarah kepada perbuatan zina, dengan melakukan perbuatan berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahramnya, dan  saling bersentuhan, berciuman dan seterusnya, maka pacaran seperti itu hukumnya haram.
            Sedangkan berpacaran dalam pengertian yang kedua, yaitu pacaran  sebagai proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan atau yang biasa dinamakan dalam proses “ta’aruf”, maka hal ini diperbolehkan, dengan syarat:
Pertama, tidak melakukan perbuatan yang dapat mengarahkan kepada perbuatan zina,  seperti berdua-duaan dengan lawan jenis ditempat yang sepi, bersentuhan termasuk bergandengan tangan, berciuman, dan lain sebagainya;
Kedua, harus menjaga mata atau mengendalikan pandangan yang mengarah pada timbulnya hawa nafsu. Sebab pandangan itu bisa menimbulkan fitnah yang sering membawa kepada perbuatan zina;
Ketiga, menutup aurat, terutama kaum wanita yang sering mengabaikannya atau kurang memperhatikannya. Dalam hal ini sangat diwajibkan kepada kaum wanita untuk menjaga aurat dan dilarang memakai pakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, kecuali untuk suaminya. Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah Saw bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
 “Dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu: Suatu kaum yang memiliki cambuk, seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan ini dan ini.” (HR.Muslim).
Ibnu‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan:
 أراد صلى الله عليه و سلم النساء اللواتي يلبسن من الثياب الشيء الخفيف الذي يصف ولا يستر فهن كاسيات بالاسم عاريات في الحقيقة
 “Makna yang dimaksud oleh Nabi Saw (tentang kasiyatun ‘ariyatun) adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga dapat menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (M.Nashiruddin al-Albani, Jilbab al-Mar’ah Al Muslimah, I/125-126). 
Bila berpacaran yang dilakukannya dapat menjaga batas-batas tersebut, maka pacaran atau ta’aruf yang dilakukannya dapat dibenarkan, dengan kata lain hukumnya boleh. Namun, persoalannya, sanggupkah berpacaran tanpa berpandang-pandangan, berpegangan, bercanda ria, berciuman, dan lain sebagainya….?
Bila sanggup, boleh saja. Karena betapapun, diperlukan untuk mengenali lebih jauh untuk menjadikan seseorang sebagai calon pendaming hidupnaya kelak.

            Wallahu A’lam bishshawab !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar