Sabtu, 02 Desember 2023

Kreteria Pemimpin Ideal

 KRETERIA PEMIMPIN IDEAL

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan

              Tahun depan, tepatnya 14 Pebruari 2024 Pemilihan Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029 akan diselenggarakan. Beberapa pasangan calon (paslon) sudah mulai diperkenalkan. Mereka semua beragama Islam. Melalui rubrik konsultasi agama MATAN ini saya mohon kepada pengasuh untuk berkenan membahas mengenai kreteria pemimpin yang ideal menurut Islam. Atas perkenannya saya sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Widodo, Kediri).

Pembahasan

              Menjadi seorang pemimpin apalagi pemimpin bagi masyarakat yang besar seperti bangsa Indonesia ini, haruslah pemimpin yang memiliki kekuatan dan kemampuan besar yang mumpuni, baik lahir maupun batin. Tidak cukup dengan sekedar bekal popularitas dan modal yang besar. Sebab, bila pemimpin yang terpilih nanti ternyata pemimpin yang bukan ahlinya, maka masyarakatlah yang kelak menjadi korbannya dan bisa jadi pemimpinnya yang malah menjadi bulan-bulanan kritik dan celaan dari rakyat akibat tidak puas terhadap kepemimpinannya. Dalam sebuah hadis Riwayat Muslim, Nabi saw. mengingatkan:

 عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِى قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِى ثُمَّ قَالَ « يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا (رواه مسلم)

Abu Dzar berkata: Ya Rasulallah! Tidakkah kau memberikan jabatan kepadaku? Maka Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: Wahai Abu Dzar! Engkau seorang yang lemah, dan jabatan itu merupakan amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadikan seseorang mendapatkan kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mendapatkannya dengan hak dan dapat menunaikan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab (HR. Muslim No. 4823).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa amanah yang akan diemban oleh seorang pemimpin itu sungguh sangat berat. Karena itu ketika Abu Dzar meminta suatu jabatan kepada Rasulullah Saw, maka beliau tidak memberikannya, kemudian beliau mengingatkan kepada Abu Dzar bahwa pada dirinya ada kelemahan yang dimungkinkan tidak akan sanggup mengemban suatu jabatan.

Lebih lanjut Rasulullah saw. mengatakan bahwa jabatan itu merupakan amanat yang berat, dan kelak pada hari kiamat suatu jabatan hanya akan mendatangkan penyesalan bahkan kehinaan, kecuali bila orang yang mendapatkan amanah jabatan itu benar-benar memiliki kemampuan, kapasitas dan kapabilitas sehingga ia akan dapat menunaikan hak dan kewajibannya dengan baik.

Untuk menjadi seorang pemimpin handal dan ideal, Allah mengisyaratkan adanya empat kreteria yang harus dimilikinya:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ  

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka rukuk (QS. Al-Maidah, 55).

Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kewengan yang sangat besar dalam menentukan arah dan kebijakan strategis yang berdampak sangat besar bagi kehidupan umat di suatu wilayah tertentu. Karena itu seorang pemimpin harus kuat dan memiliki kemampuan yang memadai. Memilih seorang pemimpin bukan sekedar bagian dari urusan dunia, tetapi juga sekaligus urusan akhirat.  Islam tidak mengenal dikotomi atau sekulerisasi yang memisahkan antara dunia dan akhirat, termasuk dalam memilih pemimpin.

Berdasarkan Surat al-Maidah ayat 55 tersebut, ada empat kreteria seseorang yang layak menjadi pemimpin ideal.

Pertama, pemimpin ideal harus beriman kepada Allah (وَالَّذِينَ آمَنُوا), mukmin dan muslim yang baik. Dalam hal ini tidak cukup dengan pengakuan sebagai seorang muslim, tetapi harus beriman kepada Allah dan memiliki sifat serta kepribadian sebagai seorang pemimpin handal, yaitu hafidz dan alim. Dua sifat ini telah disebutkan dalam surat Yusuf ayat 55 tentang karakter yang dimiliki Nabi Yusuf ketika akan menjadi pemimpin. Nabi Yusuf menyatakan: “inni hafizhun ‘alim” (إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ).

Hafizhun”, artinya seorang yang pandai menjaga. Yakni, seorang yang punya integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur dan berakhlak mulia, sehingga patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang amanah, akan berusaha sekuat tenaga untuk menyejahterakan rakyatnya, walaupun sumber daya alamnya terbatas. Sebaliknya pemimpin yang khianat akan sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarga serta kolega-koleganya, dan membiarkan rakyatnya tak berdaya. Jabir bin Abdillah berkata:

الأَمَانَةُ تَجْلِبُ الرِّزْقَ وَالْخِيَانَةُ تَجْلِبُ الْفَقْرَ

(Kepemimpinan yang) amanah itu akan membawa kecukupan rizki (keberkahan), sedangkan yang khianat itu akan membawa kepada kefakiran (al-Manawi, Faidh al-Qadir, III/183).

Adapun “’Alim”, artinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai untuk memimpin rakyatnya dan membawa mereka pada kehidupan yang sejahtera. Masuk dalam ketegori ini adalah memiliki sifat “fathanah”, artinya cerdas dan tangkas dalam menghadapi berbagai problem yang menghadang. Bila seorang pemimpin memiliki sifat seperti ini, maka akan lebih cepat dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Kedua, pemimpin ideal harus rajin menegakkan salat (يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ). Sebab, salat adalah barometer akhlak manusia. Salat dapat menumbuhkan sikap tanggung jawab dan kedisiplinan. Salat dapat menyadarkan dirinya selalu dalam pengawasan Allah. Salat juga dapat menumbuhkan optimisme, karena dengan semakin dekatnya kepada Allah, ia akan mudah untuk mendapatkan bimbingan berupa ilham. Allah menyatakan:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Maka ingatlah kepada-Ku, pasti Aku pun akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan jangan mengingkari nikmat-Ku (QS. Al-Baqarah, 152).

              Dalam hadis qudsi, Allah berfirman: وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي

Dan Aku akan selalu bersamanya apabila ia selalu mengingat-Ku (HR. al-Bukhari No. 7405 dan Muslim No. 6981).

Ketiga, pemimpin ideal harus gemar menunaikan zakat dan sedekah (وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ). Zakat itu bukan membersihkan harta yang kotor, melainkan membersihkan harta (harta yang bersih) dari hak orang lain. Seorang pemimpin yang rajin berzakat dan berinfak dengan penuh kesadaran, ia akan berhati-hati dengan hartanya, ia tidak mau hartanya dikotori dengan yang lain, karena itu ia tidak mungkin melakukan korupsi. Sebab terhadap harta yang dimilikinya saja mau dibersihkan, buat apa korupsi yang malah akan mengotori hartanya sendiri. Allah mengingatkan:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ 

Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah, 188).

Keempat, pemimpin ideal harus suka salat berjamaah (وَهُمْ رَاكِعُونَ). Ibn Taymiyah menerangkan bahwa melakukan rukuk adalah gambaran salat berjamaah. Karena orang yang salat berjamaah dianggap mendapatkan satu rakaat apabila sempat mengikuti ruku bersama imam. Berbeda dengan orang yang hanya mendapatkan sujud saat bergabung dalam salat berjamaah, maka ia tidak mendapatkan satu rakaat (Ibn Taimiyah, al-Imamah Fi Dou’ al-Kitab Wa al-Sunnah, I/16).

Pemimpin yang suka berjamaah artinya suka bergaul dengan masyarakat, berusaha mengetahui keadaan rakyatnya dengan sebaik-baiknya, kemudian mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Sifat suka berjamaah atau memperhatikan masyarakat ini mengambil hikmah dari salat fardu berjamaah. Rasulullah setiap selesai salat fardu berjamaah biasa duduk menghadap kepada jamaah. Hal itu bertujuan untuk mengetahui kondisi jamaah, termasuk memperhatikan apakah jumlah jamaah tersebut lengkap atau tidak. Kalau ada yang tidak hadir salat berjamaah, maka ditanyakan apa penyebabnya. Kalau ternyata orang tersebut diketahui sakit, Rasulullah bersama para sahabatnya lalu menjenguk sahabat yang sakit tersebut.

Salat berjamaah juga mengandung pelajaran sikap yang demokratis, dalam arti seorang pemimpin(imam) harus siap dikoreksi kalau salah. Pemimpin juga harus memperhatikan kondisi jamaah (makmum) atau masyarakat yang dipimpinnya. Semangat berjamaah atau memperhatikan masyarakatnya inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sehingga masyarkat yang dipimpinnya merasa diperhatikan dan dilayani.

Kita bisa membayangkan betapa hebatnya bangsa dan negara ini bila pemimpin yang kita pilih memiliki empat kreteria tersebut, yakni (1) beriman kepada Allah dengan memiliki integritas yang tinggi, kredibel dan kapabel sebagai seorang pemimpin; (2) suka menegakkan salat, sehingga dalam menjalankan tugasnya senantiasa dibimbing oleh Allah Swt; (3) sadar zakat, sehingga tidak ingin korupsi dan manipulasi; dan (4) suka berjamaah, perhatian kepada masyarakat yang dipimpinnya. Allah Swt berfirman:

وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ

Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (QS. Al-Baqarah, 56).

              Empat kreteria pemimpin ideal tersebut sejalan dengan pandangan ulama Tarjih Muhammadiyah yang pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah (SM No. 24 Th. 2009). Dalam majalah tersebut disebutkan bahwa untuk mewujudkan Good Governance di Indonesia dibutuhkan kepemimpinan nasional yang adil yang memiliki kualifikasi dan kriteria: 1). Integritas: beriman dan bertaqwa, serta memiliki kekuatan moral dan intelektual; 2). Kapabilitas: kemampuan memimpin bangsa dan mampu menggalang dan mengelola keberagaman/kemajemukan menjadi kekuatan yang sinergis; 3). Populis: berjiwa kerakyatan dan mengutamakan kepentingan rakyat; 4). Visioner: memiliki visi strategis untuk membawa bangsa keluar dari krisis dan menuju kemajuan dengan bertumpu pada kemampuan sendiri (mandiri); 5). Berjiwa Negarawan dan memiliki kemampuan untuk menyiapkan proses regenerasi kepemimpinan bangsa; 6). Memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan dengan dunia internasional; 7). Berjiwa reformis: memiliki komitmen untuk melanjutkan perjuangan reformasi.

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim edisi Desember 2023)

 


 

Kamis, 09 November 2023

MATIKAN HP SAAT SALAT

 MATIKAN HP SAAT SALAT

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan

Suatu saat saya mengikuti salat berjamaah di sebuah masjid. Saya lupa tidak sempat mematikan Handphone (HP) saya. Di Tengah-tengah salat berjamaah, tiba-tiba HP saya berdering. Saya bingung, apakah saya harus mematikan HP saya, ataukah saya biarkan HP tetap berdering tetapi pasti mengganggu kekhusyukan orang yang sedang salat? Tanpa pikir Panjang, HP pun saya matikan agar tidak mengganggu orang banyak yang sedang mengukuti salat berjamaah. Atas kasus ini, mohon penjelasan dari Pengasuh Konsultasi Agama untuk membahasnya, apakah mematikan HP saat salat tersebut dibolehkan atau dapat membatalkan salat? Atas perkenannya, saya sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Muhsin, Surabaya).

Pembahasan

              Salat adalah ibadah khusus dengan gerakan dan bacaan tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam (HR. Abu Dawud No. 618, al-Tirmidzi No. 238, Ibn Majah No. 275). Sejak dimulai dengan takbiratul ihram di awal salat itu maka berlaku larangan (haram) melakukan apa saja yang bukan amalan salat. Tidak boleh berbicara atau membaca selain bacaan dalam salat, tidak boleh bergerak seperti memalingkan muka ke kanan dan ke kiri, dan tidak boleh melakukan apapun selain amalan yang disyariatkan dalam salat. Saat salat harus fokus menghadap Allah dengan khusyuk.

              Nabi saw bersabda: (إِنَّ فِي الصَّلَاةِ لَشُغْلًا), “sesungguhnya di dalam salat itu ada kesibukan” (HR. al-Bukhari No. 1216). Maksudnya, orang yang sedang salat itu harus disibukkan dengan amalan-amalan salatnya, yakni sibuk atau fokus dengan bacaan al-Qur’an, bacaan dzikir dan doa serta amalan-amalan yang disyariatkan dalam salat. Tidak boleh ada bacaan, dzikir dan doa serta amalan yang di luar salat (Abadi Abu al-Thib, Aun al-Ma’bud, III/135). Saat sedang salat harus fokus menghadap Allah dengan menghayati apa saja yang dibacanya, dan tidak boleh disibukkan dengan yang lain, juga tidak boleh menjawab salam (Badruddin al-Aini, Syarah Sunan Abi Dawud, IV/157).

Fokus dalam salat memang sangat ditekankan, karena dengan bisa fokus akan lebih memudahkan untuk menjaga koneksi spiritual antara seorang manusia dengan Allah sebagai Tuhan yang disembah. Salah satu cara untuk mendukung terciptanya salat yang khusyuk dan khidmat diperlukan tempat yang nyaman, suasana yang hening, jauh dari hingar bingar suara di sekelilingnya. Dalam hal ini termasuk membaca al-Qur’an pun tidak boleh dikeraskan saat sedang ada orang salat di dekatnya.

Suatu ketika Nabi  beriktikaf di masjid. Saat itu beliau mendengar sejumlah sahabat membaca al-Qur’an dengan keras, lalu Nabi saw membuka tabir dan bersabda:

أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقِرَاءَةِ ». أَوْ قَالَ:  فِى الصَّلاَةِ 

“Ketahuilah bahwasanya masing-masing kalian itu sedang bermunajah dengan Tuhan, maka janganlah kalian saling mengganggu satu dengan yang lain, dan jangan saling mengeraskan bacaannya, atau di dalam salat” (HR. Abu Dawud No. 1334).

              Bila bacaan al-Qur’an saja tidak boleh dikeraskan saat sedang berada dekat orang yang sedang salat, apalagi suara-suara yang lain. Tentu lebih tidak boleh lagi. Nah, sekarang bagaimana bila sedang salat tiba-tiba terdengar suara dering HP yang ada dalam saku orang yang sedang salat atau ada di depan orang yang sedang salat, apakah boleh orang yang salat tadi mematikan HP-nya?

Sudah maklum, di era modern yang serba canggih ini, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Salah satu perangkat teknologi yang paling umum dimiliki adalah telepon pintar atau smartphone. Namun, ada situasi-situasi tertentu di mana kita diharapkan untuk fokus sepenuhnya pada ibadah, salah satunya adalah saat melakukan salat. Karena itu, agar HP tidak mengganggu dalam salat maka HP harus dimatikan terlebih dahulu sebelum salat atau di-silent-kan agar saat ada panggilan masuk tidak sampai berbunyi.

Bila lupa tidak sempat mematikan HP atau tidak men-silent-kan HP kemudian di tengah-tengah salat HP berdering maka agar tidak mengganggu kekhusyukan salat, apalagi saat salat berjamaah, harus diusahakan untuk bisa mematikan bunyi dering HP-nya. Usaha untuk mematikan HP ini memang diperlukan gerakan-gerakan tertentu di luar gerakan salat. Namun, demi mendapatkan kekhusyukan dalam salat maka gerakan untuk mematikan bunyi HP tersebut dibutuhkan. Al-Hafidz Ibnu Hajar (w. 852 H/1449 M) menjelaskan:

 إِزَالَة التَّشْوِيش عَنِ الْمُصَلِّي بِكُلِّ طَرِيق مُحَافَظَة عَلَى الْخُشُوع

“Menghilangkan segala yang mengganggu orang yang salat dengan cara apapun, dapat menjaga untuk terus khusyuk.” (al-Asqalani, Fath al-Bari, II/389).

Ulama ahli Fiqh menyebutkan dalam qaidah fiqhiyahnya sebagai berikut:

 الْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً

“Kondisi hajat itu bisa menempati posisi darurat, baik bersifat umum maupun khusus (al-Suyuti, al-Asybah Wa al-Nadzair, I/162). Dalam kondisi darurat, berlaku kaidah:

اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْضُوْرَاتِ

“Kondisi darurat itu membolehkan yang (tadinya) dilarang” (al-Zarkasyi, al-Mantsur Fi al-Qawa’id, II/317). Maksudnya, dalam salat, gerakan-gerakan yang mestinya tidak boleh dilakukan, karena kondisi darurat (sangat diperlukan), maka gerakan tertentu (seperti mematikan Hp) menjadi dibolehkan.

 

Beberapa dalil yang bisa dijadikan hujjah untuk membolehkan gerakan tertentu (gerakan di luar salat) saat sedang salat, seperti mematikan HP yang sedang berdering saat sedang salat dapat dipaparkan beberapa hadis sebagai berikut:

1.      Nabi tidak keluar dari salatnya (tidak membatalkannya) ketika membuka pintu untuk Aisyah ra. bahkan beliau membukanya sementara beliau dalam kondisi salat kemudian beliau kembali ke tempatnya (melanjutkan salatnya). Diriwayatkan Imam Ahmad:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي الْبَيْتِ وَالْبَابُ عَلَيْهِ مُغْلَقٌ، فَجِئْتُ، فَمَشَى حَتَّى فَتَحَ لِي، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مَقَامِهِ، وَوَصَفَتْ أَنَّ الْبَابَ فِي الْقِبْلَةِ

“Dahulu Nabi salat di rumah sementara pintunya terkunci, maka saya datang dan beliau berjalan membuka pintu untukku kemudian kembali ke tempatnya. Ia menjelaskan bahwasanya pintunya di arah qiblat (HR. Ahmad No. 24027, Abu Dawud No. 923, al-Nasa’i, No. 3537, al-Tirmidzi No. 601). Al-Albani menilai hadis ini hasan (al-Albani, Sahih al-Tirmidzi No. 601).

Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) mengatakan, hadis tersebut menunjukkan bahwa berjalan sekedarnya (karena tuntutan) tidak membatalkan salatnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama salaf (Ibn Rajab, Fath al-Bari, VI/382). Lebih lanjut Ibn Ruslan (w. 844 H) menjelaskan bahwa berjalan yang dibolehkan adalah selangkah atau dua langkah, atau lebih dari itu tetapi dilakukan secara terpisah (al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi, III/176).

2.      Nabi pernah memerintahkan untuk membunuh ular dan kalajengking saat sedang salat. Diriwayatkan Abu Hurairah ra., Rasulullah  bersabda:

اقْتُلُوا الأَسْوَدَيْنِ فِى الصَّلاَةِ الْحَيَّةَ وَالْعَقْرَبَ

“Bunuhlah dua binatang hitam dalam salat, ular dan kalajengking” (HR. Abu Dawud No.921). Hadis ini sahih (al-Albani, Sahih Wa Dhaif Sunan Abi Dawud No. 921).

Syekh al-Utsaimin rahimahullah (w. 2001 M) mengatakan, “Orang salat diperbolehkan membunuh ular bahkan disunahkan hal itu. Karena Nabi  memerintahkan hal itu seraya bersabda: “Bunuhlah dua binatang hitam dalam salat, ular dan kalajengking. Dari sini, maka disunahkan membunuh ular. Kalau menyerangnya, maka wajib dibunuhnya untuk mempertahankan diri. Diperbolehkan membunuh kalajengking juga. Dan ini lebih sering sengatannya dibandingkan dengan sengatan ular” (al-Utsaimin, al-Syarh al-Mumti’, III/253).

3.      Nabi pernah menggendong cucunya saat menjadi imam salat.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

Dari Abu Qatadah: “Sesungguhnya Rasulullah melaksanakan salat sembari menggendong ‘Umamah binti Zainab binti Rasulullah , ‘Umamah merupakan putri Abi al-Ash bin Abd al-Syams, ketika sujud, Rasulullah meletakkannya (di lantai) dan ketika berdiri (dari sujud), Rasulullah menggendongnya kembali.” (HR. Bukhari No. 516, Muslim No.  1240).

Menurut ‘Amr bin Salim yang diriwayatkan oleh Zubair bin Bakr, Salat yang dilaksanakan oleh Rasulullah adalah salat Subuh (Badruddin al- ‘Ainy, Umdat al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, VII/285).

Para ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil bolehnya melaksanakan salat sambil menggendong anak. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M) ketika ditanya perihal salat sambil menggendong anak. Beliau menjawab: 'Iya, boleh,' dengan menjadikan hadis riwayat Abi Qatadah sebagai dalil." (Badruddin al- ‘Ainy, Syarh Sunan Abi Dawud, IV/146).

 

Berdasarkan tiga hadis tersebut dapat difahami bahwa dalam keadaan salat, selain harus memperhatikan gerakan-gerakan yang disyariatkan dalam salat, dan bacaan-bacaan dzikir dan doanya, juga boleh melakukan gerakan-gerakan tertentu (di luar salat) yang dibutuhkan demi kekhusyukan salat. Di antara gerakan-gerakan di luar salat yang diperbolehkan (dalam tiga hadis tersebut) adalah membukakan pintu, membunuh ular dan kalajengking, serta menggendong anak kecil saat sedang salat. Bila gerakan-gerakan tersebut (gerakan kaki dan tangan di luar salat) dibolehkan maka gerakan untuk mematikan HP yang berdering saat salat tentu dibolehkan. Bahkan demi kekhidmatan dan kekhusyuan salat, mematikan HP menjadi keharusan. Wallahu A’lam!

 Artikel ini pernah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi November 2023)

PENYAKIT FUTUR

 PENYAKIT FUTUR

 Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan

              Saya pernah mendengar seorang Ustadz menerangkan tentang futur. Katanya, futur itu adalah kondisi yang menimpa seseorang menjadi jenuh dan malas melakukan kebaikan, termasuk beribadah dan menuntut ilmu. Melalui majalah MATAN ini saya mohon kepada Pengasuh Konsultasi Agama berkenan membahasnya tentang apa itu futur, apa penyebabnya, apa gejalanya, dan bagaimana cara pemulihannya?

              Demikian, atas perkenannya saya sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Yusrin, Surabaya).

 

Pembahasan

              Futur berasal dari Bahasa Arab fatara-yafturu-futur (فتر يفتر فتور), yang berarti tenang, reda, lemas, lesu. Menurut istilah, futur adalah:

فَهُوَ دَاءٌ يُمْكِنُ أَنْ يُصِيْبَ بَعْضَ الْعَامِلِيْنَ بَلْ قَدْ يُصِيْبُهُمْ باِلْفِعْلِ. أَدْنَاهُ: الْكَسَلُ أَوِ التَّرَاخِي أَوِ التَّبَاطُؤِ. وَأَعْلاَهُ: الْاِنْقِطَاعُ أَوِ السُّكُوْنُ بَعْدَ النَّشَاطِ الدَّائِبِ وَالْحَرَكَةِ الْمُسْتَمِرَّةِ

(Futur) adalah penyakit (hati) yang bisa menimpa pada sebagian pegiat, aktivis atau pejuang, bahkan benar-benar menimpa mereka. Seringan-ringannya menjadi malas, lamban, dan lesu. Separah-parahnya menjadi putus, berhenti, tidak giat lagi, tidak beramal lagi yang sebelumnya rajin, giat, dan tekun beramal (al-Sayid Muhammad Nuh, Afat Ala al-Thariq, I/1).

Intinya, futur adalah kondisi malas atau mengendurnya semangat untuk beribadah atau menjalankan ajaran agama. Setiap orang terkadang mengalami pasang surut dalam mengamalkan ajaran agama. Adakalanya rajin dan giat sekali, namun suatu saat terkadang timbul rasa malas, jenuh, dan tak bersemangat. Ulama salaf mengatakan:

وَأَنَّ الإِيمَانَ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ

Bahwasanya iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang, bisa naik bisa turun. Iman bisa bertambah atau naik dengan ketaatannya yang semakin meningkat, dan imannya bisa turun dengan banyaknya kemaksiatan yang dilakukan (Ibn Abd al-Barr, al-Tamhid, IX/252).

Penyakit futur bisa menimpa pada siapa saja. Nabi saw telah mengisyaratkan tentang kemungkinan timbulnya penyakit futur ini. Dalam sebuah hadis dikisahkan bahwa Abdullah bin ‘Amr telah menikahi wanita dari Quraisy, namun ia tidaklah mendatanginya (menyetubuhinya) karena sibuk puasa dan salat (malam). Lalu ia menceritakan hal ini kepada Nabi saw., kemudian beliau bersabda: “Berpuasalah setiap bulannya selama tiga hari.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Lalu ia terus menjawab yang sama sampai Nabi saw. katakan padanya: “Puasalah sehari dan tidak berpuasa sehari”. Lalu Nabi saw. juga berkata padanya: “Khatamkanlah Al-Qur’an dalam sebulan sekali”. “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu kata Nabi saw.:Khatamkanlah Al-Qur’an setiap 15 hari”. Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu kata Nabi saw.:Khatamkanlah Al-Qur’an setiap 7 hari”. Lalu ia terus menjawab yang sama sampai Nabi saw. bersabda: “Khatamkanlah setiap 3 hari”. Nabi saw. pun bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَةً وَلِكُلِّ شِرَةٍ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ شِرَتُهُ إِلَى سُنَّتِى فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ

Sesungguhnya setiap amalan itu ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat itu ada masa malasnya (futur). Siapa yang masa semangatnya masih dalam koridor ajaranku, maka ia sungguh beruntung. Namun siapa yang masa malasnya hingga keluar dari ajaranku, maka ia akan binasa (HR. Ahmad No. 6764). Sanad hadis ini shahih sesuai syarat al-Bukhari-Muslim (al-Albani, Shifat Shalat al-Nabi, II/517).

              Hadis tersebut menegaskan bahwasanya setiap manusia ada masa semangat untuk beramal ibadah, dan pada kesempatan lain ada masa malasnya. Selama masih dalam koredor sunnah (ajaran) Nabi, maka saat masa semangatnya ia masih selamat. Namun, bila saat masa malasnya (futurnya) menyebabkan ia melenceng dari sunnahnya, maka ia akan binasa.

Futur adalah suatu penyakit (hati) yang bisa datang dan menyerang siapa saja termasuk para ahli ibadah, para da’i, para mujahid, dan para penuntut ilmu. Ada tiga kondisi orang yang mengalami penyakit futur ini. Pertama, golongan yang sudah berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini banyak. Kedua, golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih banyak lagi. Ketiga, golongan yang pulih kembali pada keadaan semula, dan golongan ini tidak banyak.

 

Gejala Futur

Gejala futur tampak pada seseorang dalam beberapa kondisi, di antaranya: 1. Bermalas-malasan dalam melaksanakan ibadah dan ketaatan, namun tidak sampai meninggalkan ibadah-ibadah fardu; 2. Merasakan kekerasan dan kekasaran hati; 3. Merasa tidak bertanggung jawab terhadap beban yang ada di pundaknya. Ia tidak mau memikul beban dakwah, cuek dengan kondisi umat yang tengah tercabik-cabik, kehilangan jati diri, dan jauh dari Allah swt.; 4. Perhatian yang besar terhadap dunia, sibuk dengan urusan-urusan duniawi dengan jalan merusak kehidupan akhiratnya. 5. Banyak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat dan menyia-nyiakan waktu tanpa faedah. Majlis orang-orang futur diketahui dengan banyaknya pembincangan tak berguna di dalamnya; 6. Meremehkan dosa-dosa kecil, padahal tidak ada dosa yang kecil jika dilakukan berkali-kali atau terus-terusan; 7. Gemar menunda-nunda pekerjaan.

 

Penyebab Futur

Di antara hal-hal yang menyebabkan munculnya penyakit futur yaitu: 1. Hilangnya keikhlasan; 2. Berlebih-lebihan dalam beramal; 3. Lemahnya ilmu agama; 4. Memisahkan diri dari jamaah; 5. Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat; 6. Masuknya barang haram ke dalam perut; 7. Hidup di tengah masyarakat yang rusak; 8. Melakukan maksiat dan dosa; 9. Tidak memiliki orientasi akhirat

 

Kiat Mengobati Penyakit Futur

Secara batin dapat dilakukan dengan:

Pertama, meluruskan niat ikhlas setiap beramal. Ikhlas yang dimaksudkan di sini adalah mengkondisikan hati saat beramal hanya berharap agar Allah meridhai amal yang dilakukan. Tidak peduli apakah dengan amalnya itu orang lain akan memujinya atau mencacinya. Yang diinginkan hanya Allah yang memperhatikannya kemudian meridhainya.

Kedua, husnudzdzan kepada Allah. Berprasangka baik kepada Allah bahwa Allah itu Maha Baik, Maha Penyanyang, dan Maha Adil. Apa pun yang terjadi dan menimpa kita, baik atau buruk, menyenangkan atau menyakitkan, semuanya sudah dengan segala pertimbangan dan kebijaksanaan Allah. Allah tidak mungkin berbuat dzalim. Allah pasti adil dan sudah punya rencana baik untuk kita.

Ketiga, sabar dalam menghadapi musibah. Sebagai kelanjutan husnudzdzan kepada Allah, maka saat Allah menguji kita suatu musibah semisal sakit, maka setelah berprasangka baik bahwa Allah pasti punya rencana baik untuk kita, berikutnya saat menerima musibah yang mungkin menyedihkan dan menyakitkan, maka kita tetap harus sabar dan tabah, kemudian berharap kepada Allah untuk memberikan kekuatan iman dan ketabahan dalam menghadapi musibah itu dan selanjutnya mohon kepada Allah agar kita diberi keringanan dan kebebasan atau lepas dan lulus dari musibah.

 Adapun secara dhahir, Ibrahim al-Khawwas memberikan rersep untuk mengobati penyakit hati (termasuk futur) dengan lima cara (al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, I/23):

Pertama, membaca al-Qur’an disertai maknanya. Prof. Hamka saat lima hari pertama dijebloskan dalam penjara, tanpa diketahui penyebabnya, beliau stress berat. Untuk menghilangkan stressnya itu beliau kemudian membaca al-Qur’an. Pagi, siang, sore, dan malam, sebagian besar waktunya digunakan untuk membaca al-Qur’an. Akhirnya Allah menenteramkan hatinya. Selanjutnya hari-hari di penjara beliau mendapatkan kemudahan melakukan berbagai hal di antaranya menulis Tafsir al-Qur’an. Dalam waktu 2 tahun 4 bulan se masa di penjara Hamka berhasil menyelesaikan Tafsir al-Qur’an yang diberi nama Tafsir Al Azhar sebanyak 30 juz dan khatam al-Qur’an lebih dari 150 kali.

Kedua, melaksanakan puasa. Berpuasa berarti belajar sabar, belajar menahan diri, dan belajar mengendalikan diri. Bila orang terbiasa puasa maka ia akan terlatih menjadi orang yang kuat mental, tahan sakit, dan bisa mengendalikan diri. Dengan demikian, ia akan menjadi orang yang sanggup mengendalikan diri dan mengontrol dirinya sendiri.

Ketiga, bangun malam salat tahajjud. Salat malam atau salat tahajjud adalah salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah. Bila seseorang sudah bisa salat tahajjud, apalagi membiasakan salat tahajjud setiap malamnya, maka ia akan menjadi semakin dekat dengan Allah, akhirnya ia mendapatkan ketenangan hati. Saat itu, ia akan menjadi kebal dari penyakit, dan bisa mengusir penyakit dari dalam tubuh (HR. al-Tirmidzi No.3472).  

Keempat, dzikir malam terutama istighfar.  Berdzikir kepada Allah terutama saat malam hari adalah saat yang paling mudah untuk mendapatkan respons dari Allah. Allah menjamin, dengan banyak dzikir maka hati akan menjadi tenteram (QS. Al-Ra’d, 28). Di antara dzikir terpenting di malam hari adalah istighfar, minta ampun kepada Allah. Nabi saw. menjanjikan, barangsiapa suka beristighfar maka Allah akan memberikan solusi dari problem yang dihadapi, kemudian memberikan kelonggaran di tengah kesempitan, dan kucuran rizki yang tak disangka-sangka datangnya (HR. Abu Dawud No. 1518 dan Ibn Majah No. 3819). Sebagian ulama menilai hadis ini dha’if tetapi maknanya sahih, selaras dengan al-Qur’an surat Hud ayat 3 (al-Utsaimin, Fatawa Nur ‘Ala al-Darb, II/245).

Kelima, bergaul dengan orang-orang shalih. Bila kita gemar duduk-duduk atau berkumpul dengan orang shalih, maka yang kita dengar adalah ucapan atau tausiyahnya yang meneteramkan hati. Gerak-gerik yang kita lihat dari beliau adalah perilaku yang santun dan menyejukkan dipandang mata. Yang lebih penting adalah doa-doanya untuk kebaikan dan kebahagiaan kita. Nabi bersabda bahwa gambaran orang duduk dengan orang shalih itu seperti dekat dengan penjual minyak wangi yang serba menguntungkan. Dalam hal ini engkau bisa membeli minyak wanginya atau jika tidak engkau pun dapat bau harumnya (HR. al-Bukhari No. 2101). 
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah MATAN edisi Oktober 2023).

Minggu, 03 September 2023

HUKUM PAKAI MASKER SAAT IHRAM

 HUKUM PAKAI MASKER SAAT IHRAM

 Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 Permasalahan:

              Saat kami menunaikan ibadah haji dan umrah, salah seorang petugas haji menjelaskan bahwa pada saat sedang ihram haji atau umrah tidak diperbolehkan memakai masker. Sementara di lapangan banyak orang yang saat berihram haji atau umrah masih memakai masker, baik dari kaum laki-laki maupun perempuan. Melalui rubrik konsultasi agama ini, kami memohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai hukum pakai masker saat ihram lengkap dengan dalil-dalinya. Atas perkenannnya, kami sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Yuni, Sukodono Sidoarjo).

 Pembahasan:

            Ihram (Arabإحرام  Ihrām) adalah keadaan seseorang yang telah berniat untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah. Orang yang sedang melakukan ihram disebut dengan istilah "muhrim". Pada saat seseorang sudah dalam suasana ihram, maka berlaku aturan mengenai larangan-larangan yang harus dijaga atau dihindari selama dalam keadaan ihram. Ihram merupakan rukun haji dan umrah yang pertama. Setiap calon jamaah haji atau umrah harus melaksanakan ihram saat memasuki miqat (tempat memulainya untuk ihram haji atau umrah).

              Di antara larangan-larangan yang harus dihindari saat ihram haji atau umrah bagi kaum laki-laki adalah tidak boleh memakai baju, imamah (penutup kepala), celana, burnus (baju yang ada penutup kepala), dan sepatu. Kecuali orang yang tidak memiliki sandal, dia boleh memakai sepatu, dan hendaknya dia potong hingga di bawah mata kaki (terbuka mata kakinya). Dan tidak boleh memakai kain yang diberi minyak wangi atau pewarna (wantek). Dalam beberapa hadis disebutkan sbb:

Dari Ibnu Umar ra. bahwa ada seseorang bertanya kepada Nabi saw.: ‘Ya Rasulullah, pakaian apa yang harus dikenakan orang yang ihram?’ jawab Nabi saw.:

لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ، وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ

Tidak boleh memakai baju, atau imamah (penutup kepala), atau celana, atau burnus (baju yang ada penutup kepala), atau sepatu. Kecuali orang yang tidak memiliki sandal, dia boleh memakai sepatu, dan hendaknya dia potong hingga di bawah mata kaki (terbuka mata kakinya). Dan tidak boleh memakai kain yang diberi minyak wangi atau pewarna (wantex) (HR. al-Bukhari 1468 dan Muslim 2848).

Riwayat lain dalam Shahih al-Bukhari dari Ibn Umar, ada tambahan bagi kaum wanita:

وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ

Wanita ihram tidak boleh memakai cadar dan tidak boleh memakai kaos tangan (HR. al-Bukhari 1838, al-Nasai 2693 dan yang lainnya).

Kemudian, hadis dari Ibnu Abbas ra. bahwa ada seorang yang terjatuh dari untanya hingga meninggal ketika ihram. Kemudian Nabi saw. berpesan:

اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِى ثَوْبَيْهِ وَلاَ تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ وَلاَ وَجْهَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا

Mandikan dengan air dan daun bidara, kafani dengan dua kainnya (kain ihram), jangan kalian tutupi kepalanya, tidak pula wajahnya. Karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat sambil bertalbiyah (HR. Muslim 2953).

              Berdasarkan beberapa hadis tersebut, ulama berbeda pendapat tentang hukum boleh atau tidaknya orang yang sedang ihram memakai penutup wajah termasuk pakai masker. Dalam hal ini ada dua pendapat:

 Masker bagi laki-laki yang sedang ihram

Pendapat pertama, orang yang ihram tidak boleh menutupi wajah dan kepala. Jika seseorang terpaksa harus menutupi wajah atau kepala, karena sakit atau gangguan lainnya, maka dia wajib membayar fidyah berupa puasa, sedekah makanan, atau meyembelih hewan, sebagaimana yang Allah sebutkan di surat al-Baqarah, 196. Ini merupakan pendapat Malikiyah dan Hanafiyah.

Alasan pendapat ini adalah hadis Ibnu Umar ra. bahwa Nabi saw. melarang para wanita memakai cadar ketika ihram (HR. al-Bukhari 1838, al-Nasai 2693 dan yang lainnya). Jika wanita yang lebih membutuhkan penutup wajah tidak diperbolehkah menutup wajahnya, tentu laki-laki lebih terlarang untuk menutup wajah. Alasan kedua adalah hadis Ibnu Abbas, di mana Nabi saw. melarang menutup kepala dan wajah jenazah yang meninggal saat sedang ihram (HR. Muslim 2953).

Syaikh al-Dardir (al-Maliki) dalam al-Syarh al-Kabir, mengatakan:

وَحَرُمَ عَلَى الرَّجُلِ سَتْرُ وَجْهٍ كُلًّا، أَوْ بَعْضًا أَوْ رَأْسٍ كَذَلِكَ بِمَا يُعَدُّ سَاتِرًا كَطِينٍ فَأَوْلَى غَيْرُهُ كَقَلَنْسُوَةٍ فَالْوَجْهُ وَالرَّأْسُ يُخَالِفَانِ سَائِرَ الْبَدَنِ إذْ يَحْرُمُ سَتْرُهُمَا بِكُلِّ مَا يُعَدُّ سَاتِرًا مُطْلَقًا

Haram bagi lelaki (yang ihram) untuk menutup wajahnya semuanya atau sebagian, demikian pula kepalanya, dengan sesuatu yang dianggap penutup, terlebih yang lainnya, seperti peci. Wajah dan kepala berbeda dengan anggota badan yang lain, di mana dua bagian ini haram untuk ditutupi dengan semua benda yang bisa dianggap penutup (al-Dardir, al-Syarh al-Kabir, II/55).

Kemudian Burhanuddin (al-Hanafi) dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidayah, menerangkan:

وَلَا يُغَطِّي وَجْهَهُ وَلَا رَأْسَهُ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ: وَلاَ تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ وَلاَ وَجْهَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا قَالَهُ فِي مُحْرِمٍ تُوُفِّيَ ، وَلِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا تُغَطِّي وَجْهَهَا مَعَ أَنَّ فِي الْكَشْفِ فِتْنَةٌ فَالرَّجُلُ بِالطَّرِيقِ الْأَوْلَى.

Tidak boleh menutupi wajah dan kepalanya, berdasarkan sabda Nabi saw.: “Jangan menutupi wajahnya dan kepalanya, karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan bertalbiyah”. Beliau sabdakan ini terkait orang yang meninggal saat sedang ihram. Alasan lainnya, karena wanita tidak boleh menutupi wajahnya, padahal membuka wajah wanita bisa menjadi sumber fitnah. Sehingga laki-laki, lebih layak untuk dilarang (Burhanuddin, al-Hidayah Syarh al-Bidayah, I/138-139).

Mengingat penutup wajah termasuk larangan ihram, maka orang yang mengenakan menutup wajah karena kebutuhan mendesak, dia berkewajiban membayar fidyah.

Pendapat kedua, lelaki yang ihram boleh menutup wajah dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, di antaranya ulama madzhab Syafii dan madzhab Hambali. Alasan pendapat ini adalah hadis Ibnu Umar ra. di atas, di mana Nabi saw. menyebut dengan rinci pakaian yang dilarang dalam ihram. Namun dalam daftar larangan yang beliau sebutkan, tidak ada penutup wajah. Sementara tradisi menutup wajah biasa dilakukan masyarakat kawasan padang pasir.

Sementara larangan menutup wajah bagi jenazah yang ihram, itu karena menutup wajah jenazah, mengharuskannya menutup kepalanya. Selain itu terdapat bebebrapa riwayat dari sahabat bahwa mereka memakai tutup muka ketika ihram.

Imam Al-Nawawi (al-Syafii) mengatakan:

مَذْهَبُنَا اَنَّهُ يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ الْمُحْرِمِ سَتْرَ وَجْهَهُ وَلاَ فِدْيَةَ عَلَيْهِ وَبِهِ قَالَ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ …  وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِرِوَايَةِ الشَّافِعِي عَنْ سُفْيَان بْنِ عُيَيْنَة عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ اَبِيْهِ (أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّان وَزَيْدَ ابْنَ ثَابِت وَمَرْوَان بْنَ الْحَكَم كَانُوْا يُخْمِرُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَهُمْ حُرُمٌ) وهذا اسناد صحيح

Madzhab kami (syafiiyah), bahwasanya dibolehkan bagi laki-laki ihram menutup wajahnya dan tidak ada kewajiban fidyah. Ini pendapat mayoritas ulama… ulama madzhab kami berdalil dengan riwayat dari Sufyan bin Uyainah dari Abdurrahman bin Qasim dari ayahnya, bahwa Usman bin Affan, Zaid bin Sabit, dan Marwan bin Hakam, mereka menutup wajahnya ketika mereka sedang ihram. Riwayat ini sanadnya shahih (al-Nawawi, al-Majmu’, VII/268).

Al-Buhuti (al-Hambali) mengatakan:

لَوْ غَطَّى الْمُحْرِمُ الذَّكَرُ وَجْهَهُ فَيَجُوزُ رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الزُّبَيْرِ وَغَيْرِهِمْ؛ وَلِأَنَّهُ لَمْ تَتَعَلَّقْ بِهِ سُنَّةُ التَّقْصِيرِ مِنْ الرَّجُلِ فَلَمْ تَتَعَلَّقْ بِهِ حُرْمَةُ التَّخْمِيرِ كَبَاقِي بَدَنِهِ .

Apabila laki-laki yang sedang ihram menutup wajahnya, hukumnya boleh. Hal ini telah diriwayatkan dari Usman, Zaid bi Sabit, Ibnu Abbas, dan Ibnu Zubair, serta ulama lainnya. Karena wajah tidak ada kaitannya dengan sunah memangkas rambut pada lelaki, sehingga tidak ada kaitannya dengan larangan untuk ditutupi, sebagaimana umumnya anggota badan (al-Buhuti, Kassyaf al-Qana’, II/425).

Abdullah al-Faqih, dalam al-Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, menjelaskan hadis riwayat al-Bukhari dari Ibnu Umar di atas sebagai berikut:

ظَاهِرُ قَوْلِهِ وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ اِخْتِصَاصُهَا بِذَلِكَ وَأَنَّ الرَّجُلَ لَيْسَ كَذَلِكَ، وَهُوَ مُقْتَضَي مَا ذَكَرَهُ أَوَّلُ الْحَدِيْثِ فِيْ مَا يَتْرَكُهُ الْمُحْرِمُ فَإِنَّهُ لَمْ يُذْكَرْ مِنْهُ سَاتِرَ الْوَجْهِ

Makna teks dari sabda beliau ‘Janganlah wanita memakai cadar’ itu khusus bagi wanita, sementara laki-laki tidak seperti itu. Dan ini sesuai degan makna bagian awal hadis tentang hal-hal yang harus ditinggalkan oleh orang yang ihram. Di sana Nabi saw. tidak menyebutkan penutup wajah (Abdullah al-Faqih, al-Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, V/7283).

              Dari dua pendapat tersebut di atas, pendapat kedua dipandang lebih kuat, yakni bagi laki-laki yang sedang ihram tidak ada larangan menutup wajah dan tidak masalah memakai masker. Pendapat ini juga dianut oleh mayoritas ulama. Hal ini lebih sesuai dengan prinsip untuk kemudahan dan kemaslahatan (li al-taysir wa al-maslahah).

 Masker Bagi Wanita Ihram

Keterangan di atas menjelaskan bahwa jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bagi laki-laki yang sedang ihram tidak ada larangan menutup wajah dan tidak masalah memakai masker. Adapun bagi wanita yang sedang ihram, ulama sepakat melarang menutup wajahnya berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dari Ibn Umar, Nabi saw. bersabda:

وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ

Wanita ihram tidak boleh memakai cadar dan tidak boleh memakai kaos tangan          (HR. al-Bukhari 1838, al-Nasai 2693 dan yang lainnya).

Ibnu Qudamah mengatakan:

وَإِنَّمَا مُنِعَتِ الْمَرْأَةُ مِنَ الْبُرْقُعِ وَالنِّقَابِ وَنَحْوِهِمَا، مِمَّا يُعَدَّ لِسَتْرِ الْوَجْهِ

Bahwasanya wanita dilarang memakai cadar, burkah atau semacamnya, karena hal itu dianggap penutup wajah (Ibn Qudamah, al-Mughni, III/311).

              Bagaimana dengan masker, apakah ia termasuk penutup wajah? Di sinilah ulama berbeda pendapat. Bagi ulama yang menganggap masker sama dengan penutup wajah, maka masker termasuk yang dilarang. Dalam hal ini MUI termasuk yang melarang wanita ihram memakai masker karena dianggap termasuk penutup wajah, kecuali dalam keadaan darurat seperti dalam usaha menghindari penularan wabah, maka hukumnya boleh dan tidak terkena fidyah (Fatwa MUI: 003/MUNAS X/ MUI/XI/2020).

            Adapun ulama yang menganggap bahwa masker itu bukan penutup wajah, maka memakai masker bagi wanita ihram tidak dilarang. Dalam hal ini Lembaga Fatwa Mesir menyatakan:

              “Tidak dipandang melanggar syariat wanita memakai masker kesehatan untuk menghindari wabah saat sedang ihram umrah atau haji, dan tidak perlu membayar fidyah. Lebih lanjut disebutkan:

لِاَنَّ الْكَمَامَةَ الطِّبِّيَّةَ لَيْسَتْ مِنَ النِّقَابِ أَوْ غِطاَءِ الْوَجْهِ الْمَنْهَى عَنْهُمَا فِى الْاِحْرَامِ اِذْ اَنَّهَا لَمْ تُعَدَّ فِى الْاَصْلِ لِسَتْرِ الْوَجْهِ

Karena sesungguhnya masker kesehatan itu tidak termasuk niqab (cadar) atau penutup wajah yang dilarang saat sedang ihram. Karena itu masker pada dasarnya tidak dianggap sebagai penutup wajah (Dar al-Ifta al-Mishriyah, 15 Pebruari 2023).

Dengan demikian, wanita yang sedang ihram dibolehkan memakai masker, apalagi demi menghindari wabah atau gangguan debu-debu yang berterbangan. Wallahu A’lam!

Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur Edisi September 2023