Sabtu, 29 Oktober 2016

BUMI BULAT ATAU DATAR

BUMI BULAT ATAU DATAR

Oleh:



Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I



Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Kepada yang terhormat Ustad Zuhdi, semoga kita senantiasa dalam lindungan Allah Swt. Sebelum saya mengajukan pertanyaan kepada Ustad Zuhdi,  saya ingin memaparkan beberapa firman Allah, sebagai berikut: (1)Surat Al-Hijr ayat 19: “Dan kami (Allah) telah menghamparkan bumi…”; (2)Surat Al-Baqarah ayat 22: “Dialah (Allah) yang telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan (Firasy) bagimu”; dan (3)Surat Al-Naba ayat 6-7 “Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak?”.
Dalam al-Quran sudah dijelaskan bahwa sesungguhnya bumi yang kita tempati adalah sebuah hamparan seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas dan mungkin masih banyak lagi ayat-ayat yang lain, lalu bagaimana dengan hasil penelitian dari Nasa yang sekarang beredar di masyarakat dan diterima dengan baik? Apakah benar bumi yang digambarkan oleh Nasa yang berbentuk bulat itu fakta atau hanya pembodohan semata? Dan jika bumi memang berbentuk hamparan maka bagaimana caranya untuk meyakinkan umat muslim yang sudah terlanjur percaya atau yakin terhadap temuan Nasa tersebut?
Atas jawabannya kami ucapkan syukran wa jazakumullah khairan katsiran!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. (Habibur – Sidoarjo)

Jawaban:

            Perbincangan mengenai bumi itu bulat atau datar, sudah berabad-abad silam menjadi bahan diskusi para ulama dan cendekiawan, baik di kalangan muslim maupun non muslim. Di kalangan non muslim Eropa sempat gempar ketika  Galileo Galilei(1546-1642 M) mengatakan dengan tegas bahwa bumi berbentuk bulat. Pernyataannya ini oleh otoritas Gereja dianggap  menyimpang sehingga dia harus dihadapkan pada hukuman mati.
            Di kalangan ilmuwan muslim sendiri juga terjadi perbedaan pendapat mengenai bentuk bumi. Sebagian ulama berpendapat bahwa bumi itu datar, dan sebagian ulama yang lain berpendapat bumi itu bulat.
Di antara ulama yang berpendapat bahwa bumi itu datar adalah penulis tafsir al-Jalalayn dan penulis tafsir al-Qurthubi. Dalam tafsir al-Jalalayn, ketika menafsirkan ayat (وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ), yang artinya: “Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Al-Ghasyiyah: 20), dijelaskan bahwa dzahir ayat bumi itu (سُطِحَتْ) “sutihat” menunjukkan bumi itu (سطحية) “sathiyyah”. Makna ‘sutihat’ zahirnya menunjukkan bahwa bumi itu datar dan dijelaskan oleh ‘ulama’, bukan bulat sebagaimana dikatakan oleh ahli astronomi” (al-Mahalli dan al-Suyuti, Tafsir al-Jalalayn, I/805). Demikian juga Imam Al-Qurthubi (1214-1273 M) dalam tafsirnya, membantah bahwa bumi bulat, ketika menafsirkan surat al-Hijr ayat 19, yang artinya: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran” (Al-Hijr: 19). Al-Qurthubi berkata: “Ini adalah bantahan bagi mereka yang menyangka bahwa bumi itu seperti bola”(al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, X/13).
            Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa bumi itu bulat. Di antara ulama Islam yang berpendapat bahwa bumi itu bulat adalah Imam Ibnu Hazm (994 M), Ibn Taymiyah (1263-1328 M), dan Ibnu Khaldun (1332 - 1406 M).
Ibnu Hazm (994 M) berkata: “Para Imam kaum muslimin yang berhak mendapat gelar al-Imam radhiyallahu ‘anhum  tidak mengingkari bahwa bumi itu bulat. Tidak pula diketahui dari mereka yang membantah sama sekali, bahkan bukti-bukti dari Al-Quran dan Sunnah membuktikan bahwa bumi itu bulat” (Ibn Hazm, al-Fishal Fi al-Milal, II/87). Kemudian Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) berkata: “Ketahuilah, bahwa mereka (para ulama) sepakat bahwa bumi berbentuk bulat. Yang ada di bawah bumi hanyalah tengah, dan paling bawahnya adalah pusat….” (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, V/150). Selanjutnya Ibnu Khaldun (1332–1406 M) berkata: “Ketahuilah, sudah jelas di kitab-kitab para ilmuwan dan peneliti tentang alam bahwa bumi berbentuk bulat….” (Ibn Khaldun, Muqaddimah, I/66). 
           Selain mereka, masih banyak ilmuwan dan ulama Islam klasik yang menyebutkan di dalam bukunya bahwa bumi berbentuk bulat. Di antara buku tersebut adalah: (1). Muruj Al-Dzahab wa Ma’adin Al-Jauhar, oleh Mas’udi Ali Husain Ali bin Husain (w. 346 H); (2). Ahsan Taqasim fi Ma’rifah Al-Aqalim, oleh Al-Maqdisi (w. 375 H); (3). Kitab Shurah Al-Ardh, oleh Ibnu Hauqal; (4). Al-Masalik wa Al-Mamalik, oleh Al-Ishthikhry; (5). Ruh Al-Ma’ani, oleh Imam Al-Alusi (ulama tafsir Al-Qur’an); (6). Mafatih Al-Ghaib, oleh Fakhru Ar-Razi (ulama tafsir Al-Qur’an); Dan lain-lain.
            Pendapat bahwa bumi itu bulat didukung oleh al-Qur’an, di antaranya surat al-Zumar ayat 5, Allah Swt berfirman:
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى أَلَا هُوَ الْعَزِيزُ الْغَفَّار
“Dia (Allah) menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah! Dialah Yang Maha Mulia, Maha Pengampun.” (QS.Al-Zumar, 5).

            Kata “at-takwir” artinya adalah menggulung. Pada ayat di atas dengan jelas Allah berfirman bahwa malam menggulung siang dan siang menggulung malam. Kalau malam dan siang dapat saling menggulung, pastilah karena keduanya berada pada satu tempat yang bulat secara bersama-sama. Bagaimana keduanya dapat saling menggulung jika berada pada tempat yang datar….? Kalau saja kejadian itu pada tempat yang datar, mestinya akan lebih tepat jika dipakai kata menimpa atau menindih.
Adapun firman Allah pada surat al-Ghasyiyah ayat 20 yang artinya: Dan bumi bagaimana dihamparkan? Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa bumi itu datar, karena sebuah benda yang bulat kalau semakin besar, maka akan semakin tidak kelihatan bulatnya dan akan nampak seperti datar.(Abd al-Karim, Hidayat al-Hayran Fi Masalat al-Dawrah, 56).
Syaikh Bin Baz mengatakan: “Keberadaan bumi itu bulat tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa permukaan bumi itu datar yang layak untuk dijadikan tempat tinggal, sebagaimana firman Allah Swt (al-Baqarah, ayat 22) yang artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan”. Juga firmanNya (al-Naba, ayat 6-7) yang artinya: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak?”. Dan firmanNya (al-Ghasyiyah, 20), yang artinya: “Dan bumi bagaimana dihamparkan?”. Bin Baz menyimpulkan bahwa bumi itu bentuknya bulat namun permukaannya datar agar bisa dijadikan tempat tinggal dan dimanfaatkan oleh manusia. Dan saya tidak menemukan dalil naqli dan hissi yang menentang masalah ini. (Syekh Bin Baz, al-Adillah al-Naqliyah wa al-Hissiyah, 103).
Demikian diskusi para cendekiawan dan ulama dari dulu hingga kini tentang apakah bumi itu bulat atau datar. Dari pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa penjelasan tentang apakah bumi datar atau bulat-bola, tidak kita dapatkan dalil yang tegas dan gamblang dari al-Qur’an maupun al-Hadis. Beberapa ayat al-Qur’an yang menyebut keadaan bumi memang memungkinkan difahami bumi itu bulat atau datar. Karena itu wajar bila di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat dalam hal tersebut.
Mana di antara dua pendapat tersebut yang benar, apakah bumi itu bulat atau datar? Karena tidak ditemukan dalil yang tegas, maka sebaiknya kita kembalikan kepada hasil penelitian ilmiah yang sudah diakui kebenarannya di kalangan ilmuwan. Jika menurut NASA bahwa bumi itu bulat, maka pendapat yang sesuai dengan fakta ilmiah inilah yang patut menjadi pegangan. Hal ini sesuai dengan sikap Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani yang meyakini bahwa bumi itu bulat dengan cara menggabungkan kedua ilmu, yaitu fakta ilmu dunia atau sains dan “yang tersirat” dalam Al-Quran maupun Sunnah (al-Albani, Kurawiyyat al-Ardl Wa Dawranuha hawla al-Syamsi, Youtube, published on Nov 24, 2012 dan Silsilah Huda wan Nur, kaset nomor 1/436).
 Wallahu A’lam!



Senin, 24 Oktober 2016

DZIKIR DENGAN UNTAIAN BIJI TASBIH

HUKUM BERDZIKIR DENGAN UNTAIAN BIJI TASBIH


Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I
Pertanyaan:

            Ustadz Zuhdi yang dirahmati Allah!
Di sekitar perumahan kami banyak kaum muslimin yang memakai untaian biji tasbih saat melakukan dzikir. Bahkan oleh-oleh haji atau umrah biasanya yang sering dijadikan hadiah adalah untaian biji tasbih. Mohon penjelasan tentang praktik berdzikir pada masa Rasulullah Saw, apakah hal itu pernah dilakukan atau terjadi pada masa Rasulullah Saw.? Sunnahkah atau bid’ahkan berdzikir dengan memakai untaian biji tasbih? Terima kasih atas jawabannya (Abdullah, Puri Surya Jaya-Sidoarjo)

Jawaban:

Dzikrullah atau ingat kepada Allah merupakan amalan penting dan bahkan paling inti dalam beragama. Karena itu setiap muslim disyariatkan melakukan dzikir setiap saat dan melakukannya sebanyak-banyaknya. Allah Swt berfirman:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (namaNya) sebanyak-banyaknya (QS. Al-Ahzab, 41).
Secara umum, dzikrullah dapat dibagi menjadi dua, yaitu dhikr mutlaq (tidak terbatas) dan dhikr muqayyad (terbatas). Dzikr mutlaq artinya dzikr yang tidak dibatasi oleh tempat, waktu, dan bilangan, seperti membaca al-Qur’an, boleh dibaca kapan saja, di mana saja, dan berapa banyak ayat atau surat yang dibaca. Sedangkan dzikr muqayyad, dibatasi dengan tempat, waktu, dan jumlah, misalnya dzikir sesudah shalat, sebagaimana yang dituntunkan dalam sabda Nabi Saw berikut ini:
مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
        “Barangsiapa yang mengucapkan tasbih (subhaanallah) setiap selesai shalat 33 kali, hamdalah (alhamdulillah) 33 kali dan takbir (Allahu Akbar) 33 kali; yang semuanya berjumlah 99 dan sempurna menjadi seratus dengan bacaan tahlil (La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, la hul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadir”), maka ia akan diampuni dosa atau kesalahannya, sekalipun sebanyak buih lautan” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
 Yang menjadi persoalan dalam pembahasan kali ini adalah tentang boleh-tidaknya berdzikir dengan memakai biji-bijian tasbih. Dalam hal ini, setidaknya ada dua hadis yang menjadi acuan.
Hadis pertama dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata:
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة
“Rasulullah Saw berkata kepada kami: “Hendaknya kalian bertasbih (membaca subhanallah), bertahlil (membaca laa ilaha illallah), dan bertaqdis (menbaca subbuhun quddusun rabbul malaikati warruh), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari kalian karena itu semua akan ditanya dan diajak  bicara, janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat Allah.” (HR. At Tirmidzi no. 3583 dan Abu Daud no. 1501 dari hadits Hani bin ‘Utsman). Al-Dhahabi: Shahih; Al-Albani: Hasan
Hadis kedua dari Saad bin Abi Waqqas:
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ
“Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih (dzikir). Rasulullah bersabda,”Maukah kuberitahu engkau dengan yang lebih mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di langit, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di bumi, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya diantara keduanya, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya sejumlah yang Dia menciptanya, dan ucapan: اللَّهُ أَكْبَرُ seperti itu, َالْحَمْدُ لِلَّهِ seperti itu, dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ seperti itu.”( Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al Hakim). Ibn Hibban: Shahih; al-Albani: Dha’if; Syu’aib al-Arnout: Sanadnya shahih.
Berangkat dari dua hadis tersebut dan beberapa hadis lain tentang dzikir dengan tangan dan buji-bijian tasbih, terdapat tiga pendapat di kalangan ulama:
 Pendapat Pertama, Sebagian Ulama secara tegas melarang dan membid’ahkan penggunaan bijian tasbih untuk berdzikir. Pendapat ini didukung oleh Syekh al-Albani dan murid-muridnya. Bahkan Syaikh Bakr Abu Zaid memiliki risalah khusus yang menegaskan larangan menggunakan biji-bijian tasbih dalam menghitung Dzikir.
Pendapat ini beralasan bahwa:
(1)   أنه مخالف للسنة ولم يشرعه رسول الله v بل هو بدعة ليس له أصل في الشرع والعبادات توقيفية لا يتعبد الله بشيء إلا بما شرع.
(2)   ما روي عن كراهة ابن مسعود وأصحابه لذلك ، وقال ابن وضاح في كتابه البدع : (عن يسار أبي الحكم ، أن عبد الله بن مسعود حدث أن أناسا بالكوفة يسبحون بالحصا في المسجد ، فأتاهم ، وقد كوم كل رجل منهم بين يديه كومة حصا ، قال : فلم يزل يحصبهم بالحصا حتى أخرجهم من المسجد ، ويقول : « لقد أحدثتم بدعة ظلما ، أو قد فضلتم أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم علما)
(1)hal itu (dzikr dengan bijian tasbih) menyalahi Sunnah Rasulullah Saw, bahkan bid’ah yang tidak memiliki asal dalam syariat, sedangkan permasalahan ibadah adalah tauqifiyah (sesuai ketentuan); oleh karena itu ibadah kepada Allah itu hanya boleh dilakukan jika ada syariatnya;
(2)adanya riwayat ketidaksukaan Ibnu Mas’ud dan Sahabat lain terhadap hal tersebut. Ibnu Waddhah berkata: Dari Yasar Abi Al-Hakam, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud menceritakan tentang orang-orang Kufah yang bertasbih dengan kerikil di dalam masjid. Kemudian beliau mendatanginya dan menaruh kerikil di kantong mereka, dan mereka dikeluarkan dari masjid. Beliau berkata, “Kamu telah melakukan bid’ah yang zhalim dan telah melebihi ilmunya para sahabat Nabi”(Ibn Wadhdhah, al-Bida’u wa al-Nahyu ‘Anha, I/18)
   Pendapat Kedua, sebagian ulama menganggapnya mustahab (disukai). Muhammad Abdurrauf Al-Munawi menjelaskan dalam kitab Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ Al-Shaghir, ketika menerangkan hadits Yusairah (hadis pertama):
وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان ذلك معروفا بين الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط فيه ألفا عقدة فلا ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر السبحة لكن نقل المؤلف عن بعض معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن عقد التسبيح بالأنامل أفضل لظاهر هذا الحديث
 “Hadits ini merupakan dasar terhadap sunahnya subhah (untaian biji tasbih) yang sudah dikenal. Hal itu dikenal pada masa sahabat. Abdullah bin Ahmad telah meriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki benang yang memiliki seribu himpunan, beliau tidaklah tidur sampai dia bertasbih dengannya. Dalam riwayat Al-Dailami: “Sebaik-baiknya dzikir adalah subhah.” Tetapi  Imam Al-Suyuthi mengutip dari sebagian ulama belakangan, Al-Jalal Al-Bulqini, dari sebagian mereka bahwa menghitung tasbih dengan jari jemari adalah lebih utama sesuai zhahir hadits.”(al-Munawi, Faidhul Qadir, IV/355). Pendapat ini banyak didukung kalangan ahli tasawwuf yang biasanya banyak berdzikir.
Pendapat ketiga, sebagian ulama membolehkan dengan syarat. Al-Imam al-Syaukani mengomentari hadis-hadis tersebut sebagai berikut:
بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن يشهدن بذلك فكان عقدهن بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى. والحديثان الآخران يدلان على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره صلى اللَّه عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي الجواز
“ … sesungguhnya ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Maka, menghimpun (menghitung) tasbih dengan jari adalah lebih utama dibanding dengan untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits yang lainnya, menunjukkan bolehnya menghitung tasbih dengan biji, kerikil, dan juga dengan untaian biji tasbih karena tidak ada bedanya, dan ini perbuatan yang ditaqrirkan (didiamkan/disetujui) oleh Rasulullah Saw terhadap dua wanita tersebut atas perbuatan itu. Dan, hal yang menunjukkan dan mengarahkan kepada hukum yang lebih utama tidak berarti menghilangkan hukum boleh.”(Al-Syaukani, Nailul Authar, 2/358).
          Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz  pernah ditanya tentang seseorang yang berdzikir setelah shalat menggunakan subhah (biji-bijian tasbih), bid’ahkah? Beliau menjawab:
 “Berzikir dengan subhah tidak patut dilakukan, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya kalau bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan subhah tersebut di rumahnya, agar orang lain tidak menirunya. Ada pun membawanya  di tangan ke masjid, sepatutnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.”(Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa Ibn Baz, XXIX/318.
Ibnu Taimiyah berpendapat:

وَعَدُّ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ : { سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ } . وَأَمَّا عَدُّهُ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَنَحْوُ ذَلِكَ فَحَسَنٌ وَكَانَ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ وَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُسَبِّحُ بِالْحَصَى وَأَقَرَّهَا عَلَى ذَلِكَ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُسَبِّحُ بِهِ .
وَأَمَّا التَّسْبِيحُ بِمَا يُجْعَلُ فِي نِظَامٍ مِنْ الْخَرَزِ وَنَحْوِهِ فَمِنْ النَّاسِ مَنْ كَرِهَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يَكْرَهْهُ وَإِذَا أُحْسِنَتْ فِيهِ النِّيَّةُ فَهُوَ حَسَنٌ غَيْرُ مَكْرُوهٍ وَأَمَّا اتِّخَاذُهُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ أَوْ إظْهَارُهُ لِلنَّاسِ مِثْلُ تَعْلِيقِهِ فِي الْعُنُقِ أَوْ جَعْلِهِ كَالسُّوَارِ فِي الْيَدِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ فَهَذَا إمَّا رِيَاءٌ لِلنَّاسِ أَوْ مَظِنَّةُ الْمُرَاءَاةِ وَمُشَابَهَةِ الْمُرَائِينَ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ : الْأَوَّلُ مُحَرَّمٌ وَالثَّانِي أَقَلُّ أَحْوَالِهِ الْكَرَاهَةُ فَإِنَّ مُرَاءَاةَ النَّاسِ فِي الْعِبَادَاتِ الْمُخْتَصَّةِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالذِّكْرِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ مِنْ أَعْظَمِ الذُّنُوبِ
“Menghitung tasbih dengan jari jemari adalah sunah, sebagaimana sabda Nabi Saw kepada kaum wanita: “Bertasbihlah dan menghitunglah dengan jari jemari, karena jari jemari itu akan ditanya dan diajak bicara”(HR.al-Tirmidzi dan Abu Dawud). Adapun menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun (Radhiallahu ‘Anhum) ada yang memakainya dan Nabi Saw telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau mendiamkan atau menyetujuinya. Diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengan batu-batu kecil tersebut. Adapun Tasbih yang dibentuk seperti manik-manik yang terangkai dan semisalnya, maka sebagian manusia ada yang membencinya dan sebagian lagi tidak membencinya. Kalau niatnya baik maka hal itu menjadi baik dan tidak makruh. Adapun menggunakannya tanpa keperluan atau memamerkannya kepada manusia, misalnya digantungkan dileher atau dijadikan gelang atau semisalnya, maka hal ini bisa saja riya terhadap manusia atau merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan riya dan menyerupai orang yang riya. Yang pertama (riya) adalah haram sedangkan yang kedua minimal makruh. Sesungguhnya riya kepada manusia dalam ibadah-ibadah khusus seperti shalat, puasa, zikir, dan membaca qur’an adalah termasuk dosa yang paling besar (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, VI/506).

            Sebagai akhir dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa di kalangan ulama ada tiga pendapat mengenai dzikir dengan memakai uintaian bijin  tasbih:
1.    Sebagian ulama memandang tidak boleh, karena hal ini dipandang bertentangan dengan Sunnah Rasul;
2.    Sebagian ulama memandang boleh, karena dapat mempermudah dalam menghitung berapa banyak dzikir yang sudah diucapkan;

3.    Sebagian ulama membolehkan tetapi berdzikir dengan memakai jari-jari tangan kanannya itu yang lebih baik dan lebih utama.