Jumat, 12 Agustus 2011

TELADAN NABI SAW

Kelembutan dan Ketegasan

Sikap Nabi Saw

Oleh: Achmad Zuhdi Dh

Hp: 081 758 1229 Blog: www.zuhdidh.blogspot.com


1. Kesabaran Nabi Saw saat dilecehkan oleh Zaid Bin Sa’nah

Suatu ketika Nabi Saw bersama Ali ra, lalu datang seorang badwi menjumpainya. Badwi itu berkata: Wahai Nabi, warga Bushra kampung Bani Fulan telah masuk Islam. Saya pernah berkata kepada mereka bahwa jika mereka masuk Islam akan dibantu untuk kesejahteraan mereka.

Saat ini mereka sedang tertimpa bencana kelaparan, saya khawatir mereka akan keluar dari Islam. Saya minta tolong agar mereka dapat dibantu untuk meringankan beban deritanya.

Nabi Saw bertanya kepada Ali barangkali ada sesuatu yang dapat diperbantukan kepada mereka. Ali berkata bahwa tidak ada yang bisa diperbantukan kepada mereka (kita dalam keadaan krismon).

Zaid bin Sa’nah, seorang Yahudi, kemudian menawarkan kepada Nabi untuk meminjamkan uang sebesar 80 mitsqal emas. Nabi setuju meminjam dari Zaid yang Yahudi itu kemudian dibelikan kurma dan diserahkan kepada orang Badwi tadi untuk diperbantukan kepada masyarakat yang telah tertimpa bencana kelaparan.

Sebelum jatuh tempo, dua atau tiga hari masa yang dijanjikan untuk kembalikan pinjaman, Zaid bin Sa’nah datang menemui Nabi yang sedang berada di tengah-tengah para sahabatnya. Saat itu Zaid langsung memegang baju dan menarik-narik selendang beliau (sampai terjatuh?) sambil berkata, Wahai Muhammad! Kapan hutangmu kau bayar? Aku kenal keturunan bani Abdil Muttalib tidak ada yang suka mengulur-ulur hutang! Melihat pemandangan seperti itu Umar bin Khattab marah dan menghunus pedangnya ingin memenggal lehar Zaid yang bertindak kurang ajar kepada sang Nabi. Saat itu, beliau dengan wajah yang tenang dan penuh kelembutan berkata kepada Umar: “Wahai Umar, kita ini diperintahakan untuk bisa melyaninya dengan baik. Tidak berlaku kasar”.

Saat itu Umar kemudian mencari dana untuk pembayaran hutangnya hingga terkumpul sejumlah yang dibutuhkan. Setelah itu Umar datang menemui Nabi saw. Kepada Umar, Nabi memerintahkan agar uang itu segera diserahkan kepada Zaid bin Sa’nah dan ditambahkan dengan 20 takar kurma.

Setelah sampai di rumah Zaid, Umar menyerahkan uang pinjamannya sambil menambahkan 20 takar kurma. Saat itu zaid bertanya, kenapa ada tambahan 20 takar kurma? Umar menjawab, Nabi yang memerintahkannya sebagai ganti saya telah berlaku kasar (membentak) kepada anda. Wahai Umar kau kenal aku? Tidak, jawab umar. Aku adalah Zaid Bin Sa’nah, pendeta yahudi yang kaya raya.

Mendengar penjelasan Zaid bin Sa’nah, Umar lalu penasaran dan bertanya: kenapa anda kemarin berlaku kasar kepada Nabi? Zaid menerangkan: “Wahai Umar, ketahuilah bahwa sebenarnya saya telah mengetahui tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad, kecuali dua hal yang belum aku saksikan, yaitu:

يَسْبِقُ حِلْمُهُ جَهْلَهُ وَلا تَزِيدُ شِدَّةُ الْجَهْلِ عَلَيْهِ إِلا حِلْمًا

(1)Kesabaran dan kelembutannya mendahului sikap kasar dan kecerobohannya, (2)semakin ia diperlakukan kasar, ia semakin bertambah lembut dan kesabarannya.”

فَقَدْ أُخْبِرْتُهُمَا، فَأُشْهِدُكَ يَا عُمَرُ أَنِّي قَدْ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا

Wahai Umar, kini aku telah mengetahui dan menyaksikan dua tanda-tanda kanabian itu padanya, karena itu saksikan bahwa saat ini aku menyatakan “Aku telah ridha, Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai nabiku.

Saksikan juga bahwa separoh hartaku atau sebagian besar dari hartaku akan aku sumbangkan untuk kepentingan umat Muhammad saw.

2. Sikap Tegas Nabi Saw Dalam Menghadapi Abu Jahal

Suatu ketika ada seorang lelaki dari kampung Irasy menuju ke kota Makkah untuk menjual seekor unta, miliknya. Sampai di Makkah, ia bertemu Abu Jahal kemudian unta itu dijual kepadanya. Abu Jahal setuju untuk membelinya, tetapi Abu Jahal menunda atau memperlambat pembayarannya.

Orang kampung itu pun mencari orang yang dapat membantu untuk mendapatkan uangnya. Saat itu ia mendatangi sekelompok orang Quraisy dan bertanya kepada mereka: “Apakah ada orang yang dapat menolong saya untuk memintakan uang (penjualan unta) saya dari Abu Jahal? Saya ini orang jauh, orang kampung. Ia (Abu jahal) telah membeli unta saya tetapi hingga sekarang belum dibayar?

Orang-orang Quraisy itu kemudian menunjuk seseorang yang sedang duduk di sisi masjid al-Haram (Nabi Muhammad Saw). Mereka menunjuk kepada Muhammad dengan maksud untuk melecehkannya, karena mereka tahu bahwa antara Nabi Muhammad Saw dengan Abu Jahal telah terjadi permusuhan.

Orang kampung itu pun mendatangi Nabi Muhammad Saw. Di hadapan Nabi Saw, ia menceritakan nasibnya yang telah didzalimi oleh Abu jahal, yaitu unta yang dibeli oleh Abu Jahal itu hingga sekarang masih belum dibayar, padahal ia ingin segera pulang ke kampungnya. Nabi Saw saat itu terharu lalu ingin membantu orang kampung Irasy itu.

Ketika orang-orang Quraisy itu melihat orang kampung menuju kepada Nabi Muhammad Saw, mereka berkata satu dengan yang lain (sambil mengejek): “coba perhatikan apa yang akan terjadi, kalau Muhammad bertemu dengan Abu Jahal? Karena antara Muhammad dengan Abu jahal telah terjadi permusuhan.”

Nabi Saw saat itu kemudian mengajak orang kampung menuju ke rumah Abu Jahal. Di depan pintu rumahnya, Nabi Saw mengetuk pintu. Abu Jahal penasaran: “Siapa itu yang mengetuk pintu?” Saya Muhammad, keluarlah wahai Abu Jahal, ada masalah penting yang harus kau selesaikan!

Mendengar suara Muhammad Saw, ia pun keluar. Saat itu tampak wajah Abu Jahal pucat, grogi dan ketakutan. Selanjutnya Nabi Muhammad Saw mengatakan: “Wahai Abu Jahal, segera berikan haknya orang ini, jangan bikin masalah, jangan kau bikin susah pada orang kampung ini!

Saat itu Abu Jahal berkata: baiklah, jangan marah, akan kuberikan haknya. Abu Jahal kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan uangnya lalu diberikan kepada orang kampung yang telah menjual untanya tadi. Setelah urusan selesai, Nabi Saw meninggalkan rumah Abu Jahal dan berkata kepada orang kampung tadi: “sekarang lanjutkan urusanmu” !

Selesai ditolong Nabi Saw, orang kampung Irasy tadi mendatangi sekelompok orang Quraisy lalu mengatakan: “semoga dia (Nabi Saw) mendapatkan balasan dari Allah karena telah berhasil membantu untuk mendapatkan hak saya”. Orang-orang Quraisy tadi jadi penasaran dan bertanya, apa yang terjadi? Orang kampung itu pun menceritakan kejadian yang amat mengagumkan. Katanya: “ketika Muhammad mendatangi rumah Abu Jahal dan mengetuk pintunya maka Abu Jahal keluar. Saat itu Nabi mengatakan: “segera berikan haknya”. Abu Jahal kemudian mengatakan: “baiklah, akan saya ambilkan uangnya dan saya berikan haknya, tolong jangan marah.”

Mendengar kisah yang aneh itu, orang-orang Quraisy menemui Abu Jahal dan bertanya kepadanya dengan penuh penasaran. Wahai Abu Jahal, apa sebenarnya yang terjadi? Tidak seperti biasanya, kamu berani bicara lantang dan menentang kepadanya. Tetapi kenapa tadi kamu begitu lemah dan tak berdaya. Apa yang sesunggunhnya terjadi?

Abu Jahal kemudian bercerita: “Demi Allah, peristiwa seperti yang terjadi tadi belum pernah kualami. Kalian tahu, saat Muhammad mengetuk pintu rumahku dan mendengar suara Muhammad, sepontan aku ketakutan, dan saat aku keluar menemui Muhammad, aku melihat di atas kepalanya tampak seekor unta jantan (yang siap merenggutku) yang tak pernah kulihat sebelumnya, baik kepalanya, ekornya maupun taringnya. Luar biasa. Demi Allah, sekiranya aku tidak menuruti apa yang diinginkan oleh Muhammad, maka unta itu akan merenggutku.

والله ما هو إلا أن ضرب علي بابي وسمعت صوته فملئت رعبا، ثم خرجت إليه وإن فوق رأسه لفحلا من الابل ما رأيت مثل هامته، ولا قصرته ولا أنيابه لفحل قط فوالله لو أبيت لاكلني

Dalam kisah lain diterangkan, ketika peristiwa Abu Jahal melihat seekor unta jantan berada di atas kepala Nabi muhammad saw disampaikan kepada beliau, Nabi Saw mengatakan bahwa dia itu adalah malaikat Jibril yang siap melindungi dirinya.

3. Hikmah yang dapat diambil dari kisah-kisah tersebut di bulan suci ini:

Momentum bulan suci Ramadhan ini adalah merupakan kesempatan yang strategis untuk berbenah diri. Kita seharusnya banyak melakukan perbaikan-perbaikan dalam diri kita, terutama perilku sehari-hari kita, baik dalam mengabdi kepada Allah Swt maupun dalam bergaul dan berkomunikasi dengan sesama. Hablun min Allah wa hablun min al-nas (QS. Ali Imran, 112)

Sebagaimana yang sudah kita fahami, tujuan disyariatkannya ibadah shiyam (puasa) Ramadhan kepada kita ini adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah, 183). Untuk mengetahui seberapa berhasil dalam meraih tujuan ibadah puasa di bulana suci ini, kiranya perlu membaca dalam diri kita, sudahkah ada tanda-tanda ketakwaan dalam diri kita.

Beberapa tanda atau indikasi adanya ketakwaan dapat dilihat dalam sikap dan prilaku seseorang seperti gemar berinfak/ bersedekah, baik pada saat lapang atau pun sempit, sanggup mengendalikan diri ketika hendak marah, mau memaafkan orang lain dan berbuat ihsan, yaitu sanggup melakukan kebaikan kepada seseorang yang pernah melakukan tidak baik pada dirinya. (QS.Ali Imran,133-134).

Dalam kisah pertama digambarkan bagaimana Nabi Saw, teladan kita, bersikap tenang, sabar dan tidak marah pada saat diperlakukan kasar oleh seorang Yahudi bernama Zaid bin Sa’nah. Beliau bahkan memaafkan dan berbuat baik kepadanya. Akhirnya Zaid tahu betul bahwa Muhammad itu memang benar-benar seorang Nabi. Dia pun masuk Islam. Sikap Nabi Saw ini adalah sikap “takwa”, yang seharusnya diteladani oleh orang yang ingin sukses ibadah puasanya.

Pada kisah yang kedua digambarkan bahwa Nabi Saw gemar membantu orang lain yang mengalami kesulitan. Ketika orang kampung Irasy didzalimi oleh Abu Jahal, Nabi terpanggil untuk membantunya, dengan berani dan tegas Nabi Saw meminta Abu Jahal agar segera memberikan hak orang kampung itu. Kepedulian kepada sesama, suka membantu merupakan sikap takwa yang harus dimiliki oleh orang yang ingin sukses ibadah puasanya.

Kita berdoa semoga di bulan suci Ramadhan ini, kita diberi kekuatan lahir dan batin untuk dapat membenahi diri kita, melalui ibadah puasa dengan baik dan benar, sehingga kelak tumbuh sifat takwa dalam diri kita, seperti sanggup mengendalikan diri ketika ingin marah dan gemar membantu orang lain, baik dengan harta, pikiran atau tenaga kita.

Disampaikan pada kegiatan Pembinaan Mental Bagi PNS

di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sidoarjo

Jumat tanggal 12 Agustus 2011 M/ 12 Ramadhan 1432 H

di Aula Kementerian Agama Kabupaten Sidoarjo

Kisah-kisah tersebut dikutip dari berbagai sumber, di antaranya:

1. Al-Dzahabi, Tarikh al-Islam, II/663.

2. Ibn Katsir, al-Sirah al-Nabawiyah, I/296.

3. Ibn Hisyam,. Al-Sirah al-Nabawiyah, I/298.

4. Muhammad Bin Hibban, Shahih Ibn Hibban, I/521

5. Mahran Mahir Utsman Nuri, Ahwal al-Nabi Saw, I/34-35.

Selasa, 09 Agustus 2011

IMAM SHALAT TARAWIH

IMAM SHALAT TARAWIH

Oleh: Achmad Zuhdi Dh

SHALAT TARAWIH

Shalat tarawih artinya shalat yang dilakukan dengan santai, dilaksanakan pada malam hari selama Ramadlan setelah Isya. Istilah ini baru populer setelah Nabi Saw wafat. Pada masa Nabi Saw masih hidup, shalat ini disebut dengan qiyam Ramadlan, artinya ibadah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadlan. Sepeninggal Nabi, para sahabat di Mekkah melaksanakan shalat dengan santai (tarwihan).[1]

Mengenai jumlah atau bilangan rakaat yang dilakukan oleh Nabi SAW dalam shalat tarawih (qiyam Ramadlan) adalah delapan rakaat ditambah dengan tiga witir.

Hadis dari Aisyah ra. menerangkan :

مَاكَانَ النَّبِىُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلىَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

Qiyamullayl yang dilakukan oleh Nabi Saw, baik pada bulan Ramadlan ataupun di luar Ramadlan, tidak lebih dari sebelas rakaat”.[2]

Yang dimaksud “sebelas rakaat” ialah delapan rakaat tarawih dan tiga rakaat witir. Hadis dari Jabir menjelaskan bahwa sesungguhnya Nabi Saw. melakukan shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian beliau shalat witir”[3]

Al-Syafi’i, dalam kitabnya Al-Umm mengatakan bahwa “untuk kegiatan qiyam Ramadlan (shalat tarawih) saya telah melihat orang-orang di Madinah mengamalkannya tiga puluh sembilan (39) rakaat, tetapi aku lebih suka mengamalkan dua puluh (20) rakaat karena sesuai dengan riwayat dari Umar ra. Demikian pula orang-orang di Makkah juga mengamalkan dua puluh (20) rakaat, dengan shalat witir tiga rakaat”.[4]

Sejumlah ulama yang berpandangan bahwa bilangan qiyam Ramadlan (shalat tarawih) itu sebanyak 20 rakaat, pada umumnya mengacu kepada riwayat yang mengatakan bahwa Umar bin al-Khattab ra pernah mengumpulkan orang-orang untuk bergabung dengan satu imam di bawah imam Ubay b. Ka’b ra.[5]

Menurut Muhammad Nasir al-Din al-Albani, tidak ada ijma’ (kesepakatan) untuk melakukan shalat tarawih (qiyam Ramadlan) sebanyak dua puluh (20) rakaat. Riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang qiyam Ramadlan dua puluh rakaat itu sanadnya “ma’lul” (cacat). Dari sekian banyak riwayat, tidak ada yang memperkuat antara satu dengan yang lain. Dasar yang dipakai oleh Al-Albani untuk melemahkan riwayat tersebut antara lain dari nama Yazid bin Khushaifah, salah seorang perawi qiyam Ramadlan dengan dua puluh (20) rakaat dari Umar b. al-Khattab. Menurut sebagian ulama, Ibn Khushaifah ini tsiqqah, tetapi Imam Ahmad dalam satu riwayat mengatakan bahwa dia itu “munkir al-hadits”.[6]

Menurut al-Albani, ada hadits yang shahih dari Umar bin al-Khattab dengan sanad shahih, sesuai dengan sunnah Nabi Saw yang diriwayatkan oleh “Aisyah ra. Imam Malik meriwayatkan hadits[7] dalam al-Muwaththa dari Saib b. Yazid ra., berkata:

أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيْ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَكَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئَيْنِ حَتَّي كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعَصَى مِنْ طُوْلِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلاَّ بُزُوْغَ الْفَجْرِ

“Umar b. al-Khattab ra memerintahkan Ubay b. Ka’b dan Tamim al-Dari untuk melaksanakan qiyam Ramadlan bersama orang-orang dengan bilangan sebelas (11) rakaat. Ia berkata bahwa imam membaca al-Qur’an sebanyak dua ratus ayat, sehingga kami berpegangan dengan tongkat karena lamanya berdiri. Dan kami tidak berpaling sebelum datangnya subuh”.

Perdebatan di kalangan ulama tentang jumlah rakaat dalam qiyam Ramadlan memang telah terjadi. Jika ditilik dari amalan Nabi Saw ketika mengimami shalat jama’ah (tarawih) selama dua malam itu[8], memang tak ada satu pun keterangan yang secara jelas dan shahih mengenai bilangan rakaatnya. Dalam kitabnya Subul al-Salam, al-Shan’ani mengatakan bahwa berita-berita tentang jumlah rakaat yang dilakukan oleh Nabi pada saat mengimami di dua malam itu, semuanya dla’if, tidak sah. Yang benar bahwa berita tentang qiyam Ramadlan pada dua malam itu tanpa menyebutkan berapa bilangan rakaatnya.[9]

Berdasarkan beberapa hadis yang sahih (HR.al-Bukhari dan Muslim), HPT Muhammadiyah[10] menetapkan bahwa shalat malam itu jumlah rakaatnya sebelas rakaat, baik di dalam Ramadlan (shalat tarawih) atau di luar Ramadlan, dan dapat dilaksanakan dengan empat rakaat sekali salam[11] atau dengan dua rakaat sekali salam[12].

Secara istilah, shalat tarawih itu identik dengan qiyam Ramadlan, shalatul-layl, qiyamul-layl dan shalat tahajjud. Disebut shalat tarawih karena shalatnya dilakukan dengan santai dan banyak istirahat. Disebut dengan qiyam Ramadlan karena salat malam tersebut dilaksanakan pada bulan Ramadlan. Disebut shalatul-layl dan qiyamul-layl karena shalatnya dilaksanakan pada waktu malam, dan disebut tahajjud karena shalatnya dilaksanakan setelah tidur malam.

SHALAT WITIR

Shalat witr adalah shalat yang dilaksanakan pada malam hari setelah usai shalat isya’. Bilangan rakaatnya ganjil. Sekurang-kurangnya satu (1) rakaat dan sebanyak-banyaknya sebelas (11) rakaat.[13]

Rasulullah Saw bersabda:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ فَلْيُوْتِرْ بِرَكْعَةٍ

“Shalat malam itu (bilangan rakaatnya) dua-dua. Apabila salah seorang di antara kamu khawatir masuk waktu shubuh, maka hendaklah ia melakukan shalat witr satu rakaat saja”.[14]

Bagi seseorang yang melakukan shalat witr sebanyak tiga rakaat, maka pada rakaat pertama disunnahkan membaca surat al-A’la setelah al-Fatihah. Kemudian pada rakaat yang kedua, setelah membaca surat al-Fatihah disunnahkan membaca surat al-Kafirun. Sedangkan pada rakaat ketiga disunnahkan membaca surat al-Ikhlas setelah membaca surat al-Fatihah. Hal ini sesuai dengan sunnah Nabi Saw. yang terdapat pada hadits riwayat Abu Dawud dari Ubay bin Ka’b, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى وَقُلْ يَاأَيُّهَاالْكَافِرُوْنَ

وَقُلْ هُوَاللهُ أَحَدٌ

Artinya: Rasulullah Saw apabila melakukan shalat witr, biasa membaca Sabbihisma rabbika al-A’la (pada rakaat pertama), kemudian membaca Qul yaa ayyuha al-Kafirun (pada rakaat kedua) dan membaca Qul Huwallahu Ahad (pada rakaat ketiga). Al-Albani menilai hadis ini shahih.

Shalat witr itu dapat dilakukan pada awal malam setelah isya, boleh juga pada pertengahan malam dan boleh juga pada akhir malam. Batas akhirnya adalah waktu sahur menjelang subuh.[15] Waktu yang paling utama adalah akhir malam, sebagai penutup shalat malam. Nabi Saw bersabda:

إِجْعَلُوْا أَخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

Artinya: “Jadikanlah akhir shalat malammu itu dengan shalat witr”.[16]

Nabi Saw biasa melaksanakan shalat witr sebanyak tiga rakaat dan dilakukan sesudah melaksanakan shalat malam (Qiyam al-Lail/ Qiyam Ramadlan/ Shalat Tarawih).

Setelah selesai melaksanakan shalat witir, disunnahkan membaca dzikr dan do’a sebagai berikut:

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ

رَبِّ الْمَلَئِكَةِ وَالرُّوْحِ

اَللّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَتِكَ وَاَعُوْذُ بِمُعَافَاتِكَ

مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَاَعُوْذُبِكَ مِنْكَ لاَاُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ اَنْتَ كَمَا اَثْنَيْتَ عَلىَ نَفْسِك

Artinya:

“Maha suci Tuhan, Raja Yang Quddus. Maha suci Tuhan, Raja Yang Quddus. Maha suci Tuhan, Raja Yang Quddus, Tuhan dari segala Malaikat dan Ruh.

Wahai Tuhan, bahwasanya aku berlindung dengan keridhaanMu dari murkaMu, dan memohon perlindungan dengan kemaafanMu dari siksaMu. Dan aku berlindung denganMu dari Engkau. Tidak patut aku hinggakan pujian dan sanjunganMu atas diriMu sendiri.[17]

KRETERIA YANG HARUS DIMILIKI SEORANG IMAM SHALAT

1. Pandai/fasih membaca al-Qur’an;

أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ, yang paling menguasai al-Qur’an, baik kefasihan, hafalan maupun pemahamannya;

2. Memahami sunnah Nabi, khususnya mengenai tata-cara salat;

فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ, yang paling menguasai sunnah Nabi Saw;

3. Pejuang/mujahid Islam;

فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً, yang lebih dulu mengikuti hijrah Nabi Saw, yang lebih dulu dan lebih besar perjuangannya dalam menegakkan Islam;

4. Dewasa/matang;

فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا أوسِنًّا, yang lebih dulu masuk Islam atau yang lebih tua usianya.

Intinya, yang diangkat menjadi imam shalat haruslah orang-orang pilihan. Kreterianya adalah mengutamakan yang paling pandai dan fasih membaca al-Qur’an, kemudian yang paling menguasai sunnah Nabi Saw terutama terkait dengan tata-cara shalat Nabi Saw, selanjutnya yang lebih dulu mengikuti hijrah (pada masa Nabi Saw), untuk masa sekarang adalah yang paling banyak berjasa dalam memperjuangkan Islam, dan yang terakhir baru dipilih yang paling tua usianya.

Dalam hadis riwayat Muslim, Abu Dawud dari Abu Mas’ud al-Anshary ra, Nabi Saw bersabda:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا اَوْسِنًّا.

“Yang menjadi imam bagi suatu kaum ialah yang lebih pandai membaca al-Quran. Sekiranya mereka sama bacaannya, maka yang lebih ’alim dalam hadis, jika dalam hadis pun sama maka yang lebih dahulu berhijrah, dan jika dalam hijrah juga mereka masih sama maka yang lebih dulu masuk Islam atau lebih tua usianya di kalangan mereka”.

ADAB-ADAB YANG HARUS DIPERHATIKAN OLEH SEORANG IMAM SHALAT

1. Menyempurnakan thaharahnya;

2. Menata hati dengan ikhlas dan berakhlak mulia;

3. Mengenakan pakaian yang baik dan sopan;

4. Sebelum memulai takbiratul ihram, hendaknya menghadap kepada jamaah untuk mengatur shaf dan menyempurnakannya; Nabi Saw bersabda:

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا وَيَقُولُ « لاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ ». وَكَانَ يَقُولُ « إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الأَوَلِ (رواه ابو دازد والنسائى)

al-Barra bin ‘Azib berkata, Rasulullah Saw memasuki shaf dari sudut ke sudut, mengusap dada-dada dan pundak-pundak kami sambil bersabda: “janganlah kamu maju-mundur yang menyebabkan maju mundurnya hati-hatimu. Dan beliau juga bersabda: “sesungguhnya Allah dan para malaikatNya bershalawat atas orang-orang yang berada pada shaf pertama” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa-i).

Al-Albani meninlai hadis ini shahih.

5. Mengeraskan suaranya ketika membaca takbiratul ihram, supaya para makmum mengetahui bahwa imam telah memulai shalatnya;

6. Berdiam agak sedikit lama setelah takbiratul ihram sebelum membaca al-Fatihah, supaya makmum juga sempat membaca doa iftitah, ta’awwudz dan basmalah;

7. Membaca doa iftitah, ta’awwudz dan basmalah dengan cara sirr (tidak terdengar orang lain);

8. Menjaharkan surat al-Fatihah, bacaan “amien” dan surat pada rakaat pertama dan kedua pada waktu shalat jahar (misalnya shalat maghrib, isya dan shubuh) dan membacanya secara sirr hal-hal tersebut pada rakaat ketiga atau keempat.

Bacaan suratnya pada rakaat yang pertama lebih panjang daripada rakaat yang kedua;

9. Melaksanakan shalat dengan hati-hati, tuma’ninah, dan khusyu’;

10. Memanjangkan shalatnya bila para jamaah siap-sedia, dan menyederhanakannya bila makmumnya hetorogin. Bahkan boleh mempercepatnya bilamana ada hajat, tetapi kecepatannya tidak sampai merusak bacaan yang semestinya;

11. Hendaklah pada rakaat yang kedua dan seterusnya, tidak mulai membaca al-Fatihah sebelum para makmum berdiri tegak;

12. Berusaha melaksanakan shalat se-sesuai mungkin dengan petunjuk dan perintah Rasulullah Saw:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian seperti kalian melihat caraku melakukan shalat”

(HR.al-Bukhari dari Malik bin al-Huwairis)

Wallahu a’lam !



[1] Al-Shan’ani, Subulus Salam,Vol. II, 10.

[2] HR. Al-Bukhari.

[3] HR. Ibnu Hibban.

[4] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir Fi Fiqh Madzhab al-Imam al-Syafi’i ra Wahuwa Syarh Mukhtashar al-Muzani, Vol.II (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), 291.

[5] Ibid.

[6] Muhammad Nashiruddin al-Al-Albani, Tamam al-Minnah Fi al-Ta’liq ‘Ala Fiqh al-Sunnah (Riyad: Dar al-Rayah, 1417H), 252-254.

[7] Al-Suyuti, Tanwir al-Hawalik Syarh ‘Ala Muwatta Malik, Vol.I (tt: Dar al-Fikr, tt). Baca juga Muhammad Ahmad Abd al-Salam. Al-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqat bi al-Adzkar wa al-Shalawat (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1980), 153.

[8] Sebagian riwayat mengatakan bahwa Nabi Saw pernah mengimami mereka selama tiga hari (malam), yaitu malam 23,25 dan 27. Kemudian pada malam ke-29 ia tidak keluar bersama mereka. Baca Ibrahim al-Bayjuri, Hashiyah al-Bayjuri ‘Ala Ibn Qasim ‘Ala Matn al-Syaikh Abi Syaja, Vol. I (tt: Dar al-Fikr, tt), 139.

[9] Ada pendapat yang barangkali cukup menyejukkan bagi semua golongan, yang ditulis oleh Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah yang mengutip ungkapan al-Zarqani bahwa menurut Ibn Hibban, pada mulanya shalat Tarawih itu hanya delapan (8) rakaat selain witr (sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Saw). Mereka memanjangkan bacaannya sehingga mereka cukup keberatan. Kemudian mereka memperingan (menyederhanakan) bacaannya tetapi menambah bilangan rakaatnya menjadi dua puluh (20) rakaat selain witr. Setelah itu mereka memperingan lagi bacaannya tetapi menambah bilangan rakaatnya menjadi tiga puluh enam (36) rakaat selain witr. Lebih lanjut Sabiq mengatakan bahwa menurut sebagian ulama, bilangan rakaat untuk qiyam Ramadlan yang sunnah itu sebelas (11) rakaat lengkap dengan witrnya (sesuai dengan amalan Nabi Saw). Sedangkan selebihnya itu dipandang mustahab (disukai).

al-Shan’ani, Subul al-Salam, Vol.II, 10.

[10] PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, hal. 340-343.

[11] HR. Al-Bukhari dan Muslim.

[12] HR.Al-Bukhari dan Muslim. Baca juga al-Shan’ani, Subulus Salam, Vol. II, 13.

[13] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 291.

[14] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Vol. I (Bairut: Dar al-Fikr,tt),198-199.

[15] Hadits yang menerangkan tentang waktu shalat witr ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan banyak dimuat dalam berbagai kitab. Baca Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I, 163. Ibn Qayyim al-Jauzi, Zad al-Ma’ad, Vol I, 86 dan al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Vol I (Bairut: Dar al-Ma’rifah,tt), 342.

[16] Muslim, Shahih Muslim, Vol.I 335. Al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Vol.II (Bairut: Dar al-Kutub al’Ilmiyah, 1992),490.

[17] Dzikr dan Doa ini diriwayatkan oleh empat orang ahli hadits yaitu Abu dawud, al-Turmudzi, al-Nasa-i dan Ibn Majah. Baca al-Nasa-i, Matn ‘Amal al-yaum Wa al-lailah (Bairut: Dar al-Fikr, 1986), 261. Ibn Qayyim, Zad al-Ma’ad, Vol I (TT: Dar al-Fikr, tt), 88. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol I, 166.