Sabtu, 21 Oktober 2017

MANISNYA IMAN

MANISNYA IMAN

Oleh:

Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ(رواه البخارى ومسلم)
Dari Anas, Nabi SAW bersabda: "Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim).

Banyak sekali orang yang mengaku dirinya telah beriman. Namun, tidak banyak orang yang beriman tadi bisa merasakan manisnya. Keadaan ini bisa diumpamakan dengan madu yang biasanya terasa manis, tetapi tidak semua orang bisa merasakan manisnya madu. Hanya orang yang sehat yang bisa merasakan manisnya madu, sedangkan orang yang sakit, khususnya sakit kuning, maka ia tidak bisa merasakan manisnya madu. Demikian juga dengan manisnya iman, hanya orang yang imannya sehat, kuat, dan mantap, yang bisa merasakan manisnya iman.
Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fath al-Bari, I/45) mengatakan bahwasanya manisnya iman itu hanya bisa dirasakan oleh hati. Sebagaimana makanan dan minuman yang bisa dirasakan oleh lidah. Iman adalah makanan untuk kekuatan hati, sedangkan  makanan dan minuman adalah  konsumsi untuk kekuatan tubuh. Hati baru bisa merasakan manisnya iman bilamana dalam keadaan sehat, terbebas dari keinginan rendah dan hawa nafsu yang menyesatkan dan keinginan-keinginan terlarang yang berujung kepada  kemaksiatan.
 al-Qadi‘Iyad (Ikmal al-Mu’alli Syarh Shahih Muslim, I/99) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) adalah merasakan lezatnya ketaatan dan adanya kekuatan atau daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah. Dalam hal ini lebih mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan merasakan lezatnya kecintaan kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
 Dalam hadis di atas, Nabi Saw memberikan jaminan bagi siapa saja yang memiliki tiga kreteria akan mendapatkan manisnya iman. Tiga perkara itu adalah (1) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selainnya, (2) mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan (3) benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka”.

1.   Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selainnya;
    (أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا)
             Inilah hal pertama yang membuahkan manisnya iman, yakni mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cinta kepada selainnya. Maksudnya, lebih mengutamakan ajaran-ajaranNya, perintah-perintahNya untuk dipatuhi, dan larangan-laranganNya untuk dijauhi. Cintanya kepada Allah dan Rasul menjadikan ia merasa ringan dan senang (ridha) saat melakukan amal-amal shalih. Ia tidak ingin melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh Allah dan RasulNya. Bahkan ia sudi kehilangan nyawa bila harus memilihnya dibandingkan dengan harus menjual imannya. Ia tetap kuat saat musibah harus menimpanya, demi mendapatkan ridhaNya.
             Kita ingat Bilal bin Abi Rabah (sahabat Nabi), saat dipaksa oleh tuannya untuk meninggalkan imannya. Bilal tetap bertahan, meski tubuhnya dijemur di padang pasir dengan terik matahari, dan dada ditindihi dengan batu. Bilal tetap kuat, karena cintanya kepada Allah dan Rasul di atas segala-galanya. Bilal bahkan menunjukkan cintanya kepada Allah dengan ungkapan: “ahad, ahad, ahad”.
             Hamka berkisah tentang dirinya (Tafsir Al-Azhar, al-Ankabut, 45), saat beliau dalam perlawatan ke Amerika sekitar tahun 1952. Dalam mengelilingi negeri itu, sampailah Hamka ke Denver dengan keretaapi pada sekitar pukul 9 malam. Saat itu beliau langsung bermalam di sebuah hotel. Setelah istirahat, sehabis shalat, dengan senyum simpul penuh hormat pelayan hotel itu mengetuk pintu dan menawarkan apakah beliau suka ditemani oleh seorang perempuan muda untuk tidur malamnya.
Saat itu, usia Hamka baru 44 tahun. Anak dan isteri jauh dari mata. Murid-murid dan orang-orang yang mengasihi atau simpati tidak ada yang tahu, sedang daya tarik sex sebagai seorang laki-laki sehat tentu tergetar karena tawaran itu, apatah lagi perjalanan ke Amerika ketika itu sudah hampir dua bulan lamanya. Tetapi apa yang terbayang di waktu itu? Yang teringat saat itu adalah shalat! “Kalau aku tidur pada malam ini dengan perempuan lain, bagaimana besok pagi saya akan shalat Subuh? Bagaimana aku mesti mengucapkan bacaan itu pagi-pagi? Tentu aku akan malu mengucapkannya. Tentu pagi-pagi itu aku pun akan malu mengerjakan shalat. Dan tentu kesilapanku semalam itu akan menyebabkan aku akan terus-menerus silap; akan malu meneruskan sembahyang karena telah berdosa! “No, thank you.” Ujar Hamka kepada pelayan itu dan ia pun menutup pintu kamar, lalu tidur.
Setelah Hamka bangun pagi shalat Subuh, beliau merasakan bahwa shalatnya  sepagi itu terasa lebih khusyu’ dari biasanya, hal yang jarang beliau rasakan pada shalat yang lain. Itulah manisnya iman yang dirasakan oleh Hamka saat berhasil mendahulukan Allah dan Rasul daripada hawa nafsunya.

2.   Mencintai seseorang semata-mata karena Allah
     (وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ)
             Tidak sedikit seseorang mencintai orang lain bukan karena Allah. Misalnya cinta karena menginginkan hartanya, cinta karena ingin memperoleh jabatan atau posisi penting dalam meniti karir, dan keinginan-keinginan lain yang bersifat duniawi. Cinta yang seperti ini tidak akan bisa merasakan manisnya iman. Bahkan, kemungkinan yang ia dapatkan hanyalah penderitaan dan penyesalan. Beda dengan orang yang berusaha mencintai orang lain semata-mata karena Allah, semisal mencintai orangtua karena ingin mendapatkan ridhaNya, mencinta orang miskin dan anak yatim karena ingin mendapatkan ridhaNya dan ridha RasulNya, maka cinta yang demikian ini akan membuahkan manisnya iman, yakni sebuah kepuasan dan kebahagiaan saat bisa melakukan sesuatu buat mereka.
Generasi pertama umat ini adalah generasi yang sukses dalam membina cinta karena Allah. Maka dengan cinta lillah, suku Aus dan Khazraj yang semula bermusuhan, akhirnya menjadi bersaudara di bawah satu bendera Islam(Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, I/477-478). Pada saat itu, mereka merasakan manisnya iman. Lalu, muhajirin dan anshar yang belum pernah bersua pun, tiba-tiba menjadi saling berbagi. Membagi harta menjadi dua, membagi kebun dan rumah agar bisa sama-sama hidup layak dalam perjuangan bersama. Bahkan ada yang ingin berbagi isteri. Semua itu dilakukan karena ingin mendapatkan ridhaNya(Thantawi, Tafsir al-Wasith, VI/167).
3.   Dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka  (وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ)
Pada awal dakwah Nabi Saw, banyak kalangan kaum lemah dan budak yang tertarik masuk Islam. Di antaranya adalah keluarga Yasir. Saat itu Yasir dan Sumaiyyah (isterinya) serta Ammar (anaknya) masuk Islam. Setelah ketahuan tuannya, mereka pun disiksa dan dianiaya dengan maksud agar mengurungkan niatnya masuk Islam. Yasir akhirnya disiksa sampai mati. Kemudian Sumaiyyah pun disiksa sedemikian rupa dengan siksaan yang sangat mengerikan. Sungguhpun demikian, tidak sedikit pun terbetik dalam hatinya untuk kembali kepada kekufuran. Ia tetap gigih, kuat, dan bertahan dalam iman Islam. Ia sudah merasakan manisnya iman.
Melihat kegigihan Sumaiyyah seperti itu, Abu Jahal sangat marah, kemudian mengambil tombak dan menusukkan ke perut (kemaluan) Sumaiyah hingga tembus ke punggungnya. Maka berakhirlah siksaan yang ditimpakan kepada Sumaiyyah. Ia pun wafat dengan penuh keridhaan Allah Swt, dan ia tercatat dalam sejarah sebagai wanita syahidah (wanita yang mati syahid) pertama dalam Islam (al-Dzahabi, Tarikh al-Islam, I/218).