Kamis, 12 Juli 2012

Hisab Sebagai Penentu Awal Bulan Qamariyah


Hisab Sebagai Media Penentu Awal Bulan Qamariyah
(Awal Ramadhan)[1]

Oleh
Achmad Zuhdi Dh

Secara tradisional umat Islam menggunakan rukyat untuk menentukan masuknya bulan qamariah, khususnya bulan-bulan ibadah seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Hal itu meneruskan tradisi Nabi saw bersama para Sahabatnya di Madinah pada zaman mereka. Akan tetapi setelah ilmu astronomi berkembang dalam Islam, untuk kepraktisan sebagian umat Islam mulai menggunakan perhitungan astronomi (hisab) untuk menentukan bulan kamariah dan tidak lagi menggunakan rukyat. Ulama Islam pertama yang membolehkan penggunaan hisab astronomi untuk penetapan awal bulan kamariah adalah Muarrif Ibn ‘Abdillah Ibn as-Syikhkhir (w. 95 H/714 M), seorang ulama Tabiin Besar, kemudian Imam asy-Syafi‘i (w. 204 H/820 M), dan Ibn Suraij (w. 306 H/918 M), seorang ulama Syafiiah abad ke-3 H.

 Dasar-dasar Syar’i Penggunaan Hisab
              Di kalangan umat Islam modern, penggunaan hisab untuk penetapan awal bulan qamariah itu adalah sah secara syar’i. Dalilnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.    Al-Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 5:
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ  
Artinya: Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan (QS. ar-Rahman, 55:5)
2.    Al-Qur’an Surat Yunus ayat ,5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) (QS. Yunus, 10: 5).
 3.  Hadis riwayat  al-Bukhari  dan Muslim:
 إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَه
  (رواه البخاري ومسلم)   
Artinya: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [HR al-Bukhari dan Muslim].
4.     Hadis tentang keadaan umat yang masih ummi, yaitu sabda Nabi saw,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ  (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari  (HR al-Bukhari dan Muslim).
               Cara memahaminya (wajhul-isitdlal-nya) adalah bahwa pada surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5, Allah swt menegaskan bahwa benda-benda langit berupa matahari dan Bulan beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu peredaran benda-benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat. Penegasan kedua ayat ini tidak sekedar pernyataan informatif belaka, karena dapat dihitung dan diprediksinya peredaran benda-benda langit itu, khususnya matahari dan bulan, bisa diketahui manusia sekalipun tanpa informasi samawi. Penegasan itu justru merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran benda-benda langit itu yang akan membawa banyak kegunaan seperti untuk meresapi keagungan Sang Pencipta, dan untuk kegunaan praktis bagi manusia sendiri antara lain untuk dapat menyusun suatu sistem pengorganisasian waktu yang baik seperti dengan tegas dinyatakan oleh ayat 5 surat Yunus (... agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu).
               Pada zamannya, Nabi saw dan para Sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru qamariah, melainkan menggunakan rukyat seperti terlihat dalam hadis pada angka 3 di atas dan beberapa hadis lain yang memerintahkan melakukan rukyat. Praktik dan perintah Nabi saw agar melakukan rukyat itu adalah praktik dan perintah yang disertai ‘illat (kausa hukum). ‘Illatnya dapat difahami dalam hadis pada angka 4 di atas, yaitu keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi[2].  Keadaan ummi artinya adalah belum menguasai baca tulis dan ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin melakukan penentuan awal bulan dengan hisab seperti isyarat yang dikehendaki oleh al-Quran dalam surat ar-Rahman dan Yunus di atas. Cara yang mungkin dan dapat dilakukan pada masa itu adalah dengan melihat hilal bulan secara langsung: bila hilal terlihat secara fisik berarti bulan baru dimulai pada malam itu dan keesokan harinya dan bila hilal tidak terlihat, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa.
               Sesuai dengan kaidah fiqkih (al-qawa-‘id al-fiqhiyyah) yang berbunyi,
الحكم يدور مع علته وسببه وجودا وعدما
Artinya: Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat dan sebabnya[3]  
maka ketika ‘illat sudah tidak ada lagi, hukumnya pun tidak berlaku lagi. Artinya ketika keadaan ummi itu sudah hapus, karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab astronomi sudah maju, maka rukyat tidak diperlukan lagi dan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini kita kembali kepada semangat umum dari al-Quran, yaitu melakukan perhitungan (hisab) untuk menentukan awal bulan baru kamariah.

              Telah jelas bahwa misi al-Quran adalah untuk mencerdaskan umat manusia, dan misi ini adalah sebagian tugas pokok yang diemban oleh Nabi Muhammad saw dalam dakwahnya. Ini ditegaskan dalam firman Allah,
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ  
              Artinya: Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul yang berasal dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan kebijaksanaan. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata [Q. al-Jumu‘ah (62): 2].
Dalam rangka mewujudkan misi ini, Nabi saw menggiatkan upaya belajar baca tulis seperti terlihat dalam kebijakannya membebaskan tawanan Perang Badar dengan tebusan mengajar kaum Muslimin baca tulis, dan beliau memerintahkan umatnya agar giat belajar ilmu pengetahuan seperti tercermin dalam sabdanya,
طلب العلم فريضة على كل مسلم  (رواه ابن ماجه وغيره عن أنس)
Artinya: Menuntut itu  ilmu wajib atas setiap muslim (HR. Ibn Majah dan lain-lain dari Anas ra). Al-Albani menilai hadis ini sahih.[4]
Dalam kerangka misi ini, sementara umat masih dalam keadaan ummi, maka metode penetapan awal bulan dilakukan dengan rukyat buat sementara waktu. Namun setelah umatnya dapat dibebaskan dari keadaan ummi itu, maka kembali kepada semangat umum al-Quran agar menggunakan hisab untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
               Atas dasar itu, beberapa ulama kontemporer menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah dengan menggunakan hisab. Berikut ini pandangan beberapa ulama tentang pentingnya hisab:

 Muhammad Rasyid Ridha    
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), pembaharu Islam terkenal dan murid Muhammad Abduh, adalah pendukung kuat yang menyerukan penggunaan hisab. Menurutnya hisab lebih memberikan kepastian. “Tujuan Pembuat Syariah … … … bukan untuk menjadikan rukyat hilal itu sendiri sebagai ibadah. Pengaitan penetapan awal bulan dengan rukyat hilal atau menggenapkan bilangannya 30 hari apabila hilal tidak terlihat, ‘illatnya adalah karena keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi.”  .......Sikap membedakan antara salat di mana boleh digunakan hisab dan puasa di mana tidak boleh digunakan hisab adalah sikap yang tidak memiliki landasan syar’i. [5]
             
Az-Zarqa
Az-Zarqa (w. 1420/1999), seorang ulama terkemuka abad ke-20, menjelaskan bahwa sebab para fuqaha terdahulu menentang penggunaan hisab adalah karena (1) hisab pada zaman itu masih spekulatif, dan (2) karena hisab masih tercampur dan berbau penujuman (astrologi). Adapun pada zaman sekarang hisab telah mencapai perkembangan spektakuler dan memiliki akurasi yang tinggi serta telah terbebas dari cemaran penujuman.[6]

Yusuf al-Qaradhawi           
Yusuf al-Qaradhawi menyatakan, “Apabila terdapat sarana lain yang lebih mampu mewujudkan tujuan hadis dan lebih terhindar dari kemungkinan keliru, kesalahan dan kebohongan mengenai masuknya bulan baru, … … … yakni setelah di kalangan mereka terdapat sarjana-sarjana dan ahli-ahli astronomi, … … … maka mengapa kita masih tetap jumud dalam soal sarana yang tidak menjadi tujuan pada dirinya.” Ini adalah seruan kuat untuk menggunakan hisab. Al-Qardhawi juga mengutip Syeikh Ahmad Syakir yang menegaskan, “Kita wajib menggunakan hisab dalam segala keadaan, kecuali di tempat yang di situ tidak ada orang yang mengetahui ilmu hisab.”[7]

Wallahu a’lam bishshawab !



[1] Dikutip dari makalah Syamsul Anwar dengan judul “Mengapa Menggunakan Hisab, Tidak Menggunakan Rukyat” dengan berbagai penambahan dan pengurangan.

[2] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, II (Bairut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 2005), 152.
[3] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa wa maqalat bin Baz, VI/432.
[4] Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib, I (al-Riyad: Maktabah al-Ma'arif, tt ), 17.
[5] Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa wa maqalat bin Baz, VI/432.
[6] Al-Zarqa, “Tentang Penentuan Hilal dengan Hisab pada Zaman Sekarang” dalam Muhammad Rasyid Ridha et.al, Hisab Bulan Qamariyah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal ramadhan, Syawal dan Zul Hijjah, terj. Syamsul Anwar (Yogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2009), 40-47.
[7] Yusuf Qardhawi, “Rukyat Hilal untuk Menentukan Bulan”, dalam Muhammad Rasyid Ridha et.al, Hisab Bulan Qamariyah: Tinjauan Syar’i tentang Penrtapan Awal ramadhan, Syawal dan Zul Hijjah, 61-75.