Kamis, 20 April 2017

DI BALIK MUSIBAH ADA HIKMAH


di balik musibah ada hikmah


Oleh:


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka Allah akan menimpakan musibah(cobaan) kepadanya
(HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah).

            Dalam hidup ini, tidak ada seorang pun di antara kita yang tidak pernah menghadapi masalah atau bahkan musibah. Semua orang pernah mengalaminya. Musibah itu sendiri sesungguhnya merupakan bagian dari cobaan, yakni cobaan dari Allah kepada kita untuk mengetahui seberapa kuat iman kita.
Cobaan yang diberikan Allah kepada kita itu bermacam-macam. Adakalanya berkenaan dengan materi seperti kemiskinan, kelaparan, kegagalan dalam usaha dan lain sebagainya. Adakalanya terkait dengan karir, yang tersendat-sendat dan lambat, bahkan terkadang macet tak ada peningkatan. Dan, terkadang terkait dengan kondisi kesehatan yang sangat rawan karena penyakit yang menggerogotinya, sehingga hidupnya sama saja dengan matinya. Tak berdaya.
Ketika cobaan(musibah) itu menimpa kita, seharusnya kita menyadari sepenuh hati bahwa saat itu Allah sedang menguji kita. Kita harus yakin bahwa Allah tidak akan membebani “musibah atau cobaan” di luar kemampuan kita. Karena itu kita mesti sabar dan tabah sambil menunggu hikmah (kemudahan atau kebaikan) yang diberikan Allah kepada kita saat musibah telah menimpa.
Allah memberikan kabar gembira kepada kita dengan firmanNya:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”(al-Insyirah, 5-6).
 Ayat tersebut menegaskan bahwa pada saat musibah atau kesulitan menimpa kita, maka pada saat yang sama ada kemudahan atau kebaikan lain yang akan diberikan kepada kita. Karena itu, di saat kita menderita sakit misalnya, maka kita bisa mencari “hikmah” yang akan Allah berikan kepada kita. Demikian pula di saat kita mengalami kebangkrutan dalam usaha, kita tidak boleh menyerah, tetapi kita harus bangkit dan mencari “hikmah” di balik kebangkrutan tersebut.
Ingat Prof.Dr.Hamka, karena perbedaan pandangan politik dengan Soekarno tentang dasar negara saat itu (1959), akhirnya oleh rezim yang berkuasa (pemerintahan Soekarno) beliau dijebloskan dalam penjara selama dua tahun empat bulan. Tentu tidak mudah bagi Hamka untuk menerima perlakuan rezim yang menzaliminya. Namun Hamka segera sadar bahwa musibah ini adalah bagian dari cobaan yang Allah berikan kepada dirinya. Pasti ada hikmahnya.
Benar sekali, bergitu bebas dari penjara, beliau merasakan bahwa mendekam di penjara selama dua tahun empat bulan itu adalah anugerah yang diberikan Allah kepadanya. Ternyata dengan mendekam dalam penjara, beliau bisa menyelesaikan karya besarnya berupa Tafsir Al Qur’an 30 Juz yang kemudian diberi nama Tafsir Azhar. “Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu”, ujar Hamka.
Inilah bukti kebenaran firman Allah Swt.: “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. Diulangi lagi firmanNya: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”(al-Insyirah, 5-6). 
Berikut ini kisah nyata yang sangat mengharukan. Kisah ini diceritakan oleh seorang istri mengenai suaminya. Ia mengisahkan: “Suamiku adalah seorang pemuda yang gagah, semangat, rajin, tampan, berakhlak mulia, taat beragama, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia menikahiku pada tahun 1390 H (1970 M). Aku tinggal bersamanya (di kota Riyadh). Kamipun dikaruniai seorang putri setelah setahun pernikahan kami.
Suamiku kerja di daerah timur Arab Saudi, sehingga ia berangkat kerja selama seminggu (di tempat kerjanya) dan pulang tinggal bersama kami seminggu.  Pada suatu hari, tanggal 9 Ramadhan tahun 1395 H (1975 M) tatkala ia dalam perjalanan dari kota kerjanya menuju rumah kami di Riyadh, ia mengalami kecelakaan, mobilnya terbalik. Akibatnya ia dimasukkan ke Rumah Sakit, dan ia dalam keadaan koma. Setelah itu para dokter spesialis mengabarkan kepada kami bahwasanya ia mengalami kelumpuhan otak. 95 persen organ otaknya telah rusak. Kejadian ini sangatlah menyedihkan kami. Dan semakin menambah kesedihanku adalah pertanyaan putri kami (Asmaa’) tentang ayahnya yang sangat ia rindukan kedatangannya. Ayahnya, saat itu sebelum berangkat kerja, telah berjanji membelikan mainan yang disenanginya.
Kami senantiasa bergantian menjenguknya di Rumah Sakit, dan ia tetap dalam kondisinya, tidak ada perubahan sama sekali. Setelah lima tahun berlalu, sebagian orang menyarankan kepadaku agar aku cerai darinya melalui pengadilan, karena suamiku telah mati otaknya, dan tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya. Yang berfatwa demikian sebagian syaikh -aku tidak ingat lagi namanya- yaitu bolehnya aku cerai dari suamiku jika memang benar otaknya telah mati. Akan tetapi aku menolaknya, benar-benar aku menolak anjuran tersebut. Aku tidak akan cerai darinya selama ia masih ada di atas muka bumi ini.
Akupun memfokuskan konsentrasiku untuk mentarbiyah putri kecilku. Aku memasukannya ke sekolah tahfiz al-Quran hingga akhirnya iapun dapat menghafal al-Qur’an 30 juz padahal umurnya kurang dari 10 tahun.  
Putriku (Asma’) adalah seorang yang taat beragama, ia senantiasa sholat pada waktunya, ia biasa sholat tahajjud sejak  umurnya belum 7 tahun. Aku memuji Allah yang telah memberi taufiq kepadaku dalam mentarbiyah putriku, demikian juga kakek dan neneknya yang sangat sayang dan dekat dengannya.
Suatu saat putriku pergi bersamaku untuk menjenguk ayahnya, ia meruqyah ayahnya, dan juga bersedekah untuk kesembuhan ayahnya. Pada suatu hari di tahun 1410 H(1990 M), putriku berkata kepadaku: “Ummi biarkanlah aku malam ini tidur bersama ayahku”. Pada awalnya aku ragu, tetapi  akhirnya akupun mengizinkannya.
Putriku bercerita, pada suatu malam, aku duduk di samping ayah, aku membaca surat Al-Baqarah hingga selesai. Lalu rasa kantukpun menguasaiku, akupun tertidur. Aku mendapati seakan-akan ada ketenangan dalam hatiku, akupun bangun dari tidurku lalu aku berwudhu dan shalat (tahajjud)–sesuai yang Allah tetapkan untukku.
Lalu sekali lagi akupun dikuasai oleh rasa kantuk, sedangkan aku masih di tempat shalatku. Seakan-akan ada seseorang yang berkata kepadaku, “Bangunlah! Bagaimana engkau tidur sementara Ar-Rahmaan (Allah) terjaga? Bagaimana engkau tidur sementara ini adalah waktu dikabulkannya doa, Allah tidak akan menolak doa seorang hamba di waktu ini?”. Akupun bangun…seakan-akan aku mengingat sesuatu yang terlupakan…lalu akupun mengangkat kedua tanganku (untuk berdoa), dan aku memandangi ayahku –sementara kedua mataku berlinang air mata-. Aku berkata dalam do’aku, “Yaa Robbi, Yaa Hayyu (Yang Maha Hidup)…Yaa ‘Adziim (Yang Maha Agung).., Yaa Jabbaar (Yang Maha Kuasa)…, Yaa Kabiir (Yang Maha Besar)…, Yaa Muta’aal (Yang Maha Tinggi)…, Yaa Rohmaan (Yang Maha Pengasih)…, Yaa Rohiim (Yang Maha Penyayang)…, ini adalah ayahku, seorang hamba dari hamba-hambaMu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah bersabar, kami Memuji Engkau…, kemi beriman dengan keputusan dan ketetapanMu baginya…
Ya Allah…, sesungguhnya ia berada dibawah kehendakMu dan kasih sayangMu.., Wahai Engkau yang telah menyembuhkan nabi Ayyub dari penderitaannya, dan telah mengembalikan nabi Musa kepada ibunya…Yang telah menyelamatkan Nabi Yunus dari perut ikan paus, Engkau Yang telah menjadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim…sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya…
Ya Allah…sesungguhnya mereka telah menyangka bahwasanya ia tidak mungkin lagi sembuh…Ya Allah milikMu-lah kekuasaan dan keagungan, sayangilah ayahku, angkatlah penderitaannya…” Lalu rasa kantukpun menguasaiku, hingga akupun tertidur sebelum subuh.
Tiba-tiba ada suara lirih menyeru.., “Siapa engkau?, apa yang kau lakukan di sini?”. Akupun bangun karena suara tersebut, lalu aku menengok ke kanan dan ke kiri, namun aku tidak melihat seorangpun. Lalu aku kembali lagi melihat ke kanan dan ke kiri…, ternyata yang bersuara tersebut adalah ayahku…
Maka akupun tak kuasa menahan diriku, lalu akupun bangun dan memeluknya karena gembira dan bahagia…, sementara ayahku berusaha menjauhkan aku darinya dan beristighfar. Ia barkata, “Ittaqillah…(Takutlah engkau kepada Allah….), engkau tidak halal bagiku…!”. Maka aku berkata kepadanya, “Aku ini putrimu Asmaa'”. Maka ayahkupun terdiam. Lalu akupun keluar untuk segera mengabarkan para dokter. Merekapun segera datang, tatkala mereka melihat apa yang terjadi merekapun keheranan.
Salah seorang dokter dari Mesir berkata, “Maha suci Allah Yang telah menghidupkan kembali tulang belulang yang telah kering…”. Sementara ayahku tidak mengetahui apa yang telah terjadi, hingga akhirnya kami mengabarkan kepadanya. Iapun menangis…dan berkata, اللهُ خُيْرًا حًافِظًا وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ Sungguh Allah adalah Penjaga Yang terbaik, dan Dialah yang Melindungi orang-orang sholeh…, demi Allah tidak ada yang kuingat sebelum kecelakaan kecuali sebelum terjadinya kecelakaan aku berniat untuk berhenti melaksanakan sholat dhuha, aku tidak tahu apakah aku jadi mengerjakan sholat duha atau tidak..??
Dengan kuasa Allah, setelah 15 tahun mengalami koma, akhirnya sang suami sembuh dan bisa kembali bersama keluarga dalam keadaan baik, sejahtera dan bahagia. Saat itu usianya hampir 46 tahun. Allahu Akbar!
            Kisah ini lagi-lagi membuktikan bahwa di balik musibah (kesulitan) itu ada hikmah, kemudahan, dan kebaikan-kebaikan lain yang akan diberikan Allah kepada kita.  (Sumber : firanda.com).