Minggu, 03 Desember 2017

ETIKA DALAM SHALAT JUMAT

ETIKA DALAM SHALAT JUMAT

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

           
            Hari jumat adalah hari yang mulia, yang dalam istilah Nabi Saw disebut sebagai sayyidul ayyam, penghulu dari semua hari. Ibn Abd al-Mundzir meriwayatkan bahwasanya Nabi Saw bersabda:
إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ سَيِّدُ الْأَيَّامِ وَأَعْظَمُهَا عِنْدَ اللَّهِ
Artinya: “sesungguhnya hari Jumat adalah penghulu dari semua hari, dan Jumat itu adalah hari yang paling agung menurut Allah”(HR. Ibn Majah No. 1084). Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan (Shahih Wa dha’if Ibn Majah, III/84). Karena itu beribadah pada hari Jumat bernilai lebih tinggi daripada hari-hari yang lain.  Di antara ibadah penting pada hari Jumat adalah shalat Jumat yang dilaksanakan pada waktu dhuhur, dan di dalamnya berlaku etika saat melaksanakannya, yakni sebagai berikut:

Pertama, mandi besar sebelum menghadiri jum’at;

Dari Samurah bn Jundub ra., Nabi Saw besabda:
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ
Artinya: “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik, namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih utama” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091). Al-Albani: Shahih (Shahih Wa Dha’if Sunan al-Nasa-I, IV/24).

Kedua, menuju ke masjid (jumatan) dalam keadaan sudah berwudhu;
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Artinya: “Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at (saat ini) dan Jum’at (sebelumnya) ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barangsiapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela) ” (HR. Muslim, no. 857).

Ketiga, memakai minyak wangi saat menghadiri shalat Jumat;
Dari Salman al-Farisi ra, Nabi Saw besabda:
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَتَطَهَّرَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ثُمَّ ادَّهَنَ أَوْ مَسَّ مِنْ طِيبٍ ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى  
Artinya: “Barangsiapa mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya kemudian memakai wewangian lalu menuju ke mesjid dan dia tidak memisahkan antara dua orang (yang duduk di mesjid) lalu dia shalat sesuai dengan yang ditetapkan Allah (sekemampuannya) kemudian ketika imam keluar (untuk berkhutbah) dia diam mendengarkan khutbah niscaya akan diampuni dosanya yang terjadi diantara kedua Jumat” (HR. Bukhari No. 910).

Keempat, menghadiri shalat Jum’at lebih awal;
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَاحَ في السَّاعَة ِالأُولى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً
Artinya: “Siapa yang berangkat Jum’at di awal waktu, maka ia seperti berqurban dengan unta. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kedua, maka ia seperti berqurban dengan sapi. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu ketiga, maka ia seperti berqurban dengan kambing gibas yang bertanduk. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu keempat, maka ia seperti berqurban dengan ayam. Siapa yang berangkat Jum’at di waktu kelima, maka ia seperti berqurban dengan telur.” (HR. Bukhari, no. 881; Muslim, no. 850)

Kelima, melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk;

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik,
يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
Artinya: “Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khutbah, pen).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan imam berkhutbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” (HR. Bukhari, no. 930; Muslim, no. 875).

Keenam, shalat sunnah semampunya sembari menunggu khatib atau imam naik ke mimbar (shalat Intidhar);
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّىَ مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى وَفَضْلَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
Artinya: “Barangsiapa mandi kemudian datang untuk shalat Jum’at, lalu ia shalat (sunnah) semampunya kemudian ia diam mendengarkan khutbah hingga selesai, lalu ia shalat bersama imam maka akan diampuni dosanya Jum’at ini hingga Jum’at berikutnya ditambah tiga hari.” (HR.Muslim No.2024).
Ketujuh, tidak berbicara dengan temannya (diam) saat mendengar khutbah Jum’at;
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Artinya: “Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at “Diamlah”!, sedangkan khotib sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851).

Namun, seorang jamaah boleh meminta sesuatu pada khatib saat khutbah, seperti pada dalam hadits berikut ini:
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِيٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ الْعِيَالُ هَلَكَ النَّاسُ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ يَدْعُو وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ قَالَ فَمَا خَرَجْنَا مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى مُطِرْنَا

"Anas berkata: “Seorang Arab pedesaan (pegunungan) datang dan berkata (kepada Rasulullah, saat itu beliau sedang berkhutbah Jum’at): “Wahai Rasulullah, telah binasa binatang ternak, keluarga, dan banyak manusia (lantaran dilanda kekeringan), maka Rasulullah mengangkat kedua tangannya seraya berdo'a (memohon hujan), dan orang-orang pun mengangkat tangan mereka, (ikut) berdo'a bersama Rasulullah, Anas berkata: hujan turun sebelum kami keluar dari masjid"(HR. Bukhari, no. 1029).


Kedelapan, tidak memeluk lutut saat mendengar khutbah Jum’at;

Dari Sahl bin Mu’adz dari bapaknya (Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy), ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحُبْوَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang duduk dengan memeluk lutut pada saat imam sedang berkhutbah.” (HR. Tirmidzi, no. 514; Abu Daud, no. 1110. Al-Albani: hadis ini hasan (al-Tibrizi, Misykat al-Mashabih, ed. Al-Albani, II/331).

Kesembilan, tidak memisah antara dua orang yang telah duduk (melangkahi mereka) dengan maksud untuk melewatinya;

Dari Salman al-Farisi ra, Nabi Saw  besabda:

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَتَطَهَّرَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ثُمَّ ادَّهَنَ أَوْ مَسَّ مِنْ طِيبٍ ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى  
Artinya: Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya kemudian memakai wewangian lalu menuju ke mesjid dan dia tidak memisahkan antara dua orang (yang duduk di mesjid) lalu dia shalat sesuai dengan yang ditetapkan Allah (sekemampuannya) kemudian ketika imam keluar (untuk berkhutbah) ia diam mendengarkan khutbah niscaya akan diampuni dosanya yang terjadi diantara kedua Jumat” (HR. Bukhari No. 910).

Kesepuluh, tidak bermain-main (misalnya dengan tongkat, HP, dll) saat khutbah sedang berlangsung.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Artinya: Dan barangsiapa bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela) ” (HR. Muslim, no. 857).
            Termasuk dalam kategori yang dilarang adalah segala sesuatu (HP, tablet, dan lain-lain) yang dijadikan mainan atau sesuatu yang menyibukkan sehingga tidak lagi memperhatikan khutbah Jumat yang disampaikan.


 

Kamis, 16 November 2017

HUKUM MENGIDOLAKAN BINTANG KOREA

HUKUM MENGIDOLAKAN BINTANG KOREA

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr.wb!
Ustadz Zuhdi (UZ) yang dirahmati Allah!
Saya siswa sekolah menengah pertama, dan alhamdulillah sekarang sudah duduk di kelas 8. Akhir-akhir ini, banyak di kalangan remaja yang gemar dengan bintang korea. Mereka mengidolakan pemeran film/drama, penyanyi band dari negara tersebut. Bagaimana Islam memandang idola? Apa yang harusnya dilakukan para remaja sekarang agar tidak terjebak pada pengidolaan yang berlebihan? Terima kasih, ustadz !
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wr. Wb!
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu difahami dulu apa itu idola dan apa yang dimaksud dengan mengidolakan. Idola artinya orang, gambar, patung, dan sebagainya yang menjadi pujaan. Dengan demikian maka mengidolakan berarti menjadikan sesuatu sebagai idola (https://kbbi.web.id/idola). Idola juga berarti sesuatu yang dibanggakan, dipuja dan kemudian ingin ditirunya.
            Jika idola itu berupa orang, maka idola adalah seorang tokoh yang menjadi pusat perhatian dikarenakan kelebihan yang dimilikinya. Kelebihan bisa berupa prestasi di bidang olah raga, seni, pendidikan, dan lain-lain. Misalnya ada seorang siswa yang memiliki IP(indeks prestasi) tertinggi di sekolahnya, maka ia bisa menjadi idola bagi teman sekelas dan juga adik-adik kelasnya. Ketika ada anak negeri ini berhasil menjuarai bulu tangkis tingkat dunia, maka ia bisa menjadi idola banyak remaja se negaranya. Atau seorang bintang film terkenal, baik karena kecantikan atau karena ketampanannya, biasanya juga menjadi idola banyak orang. Ketika seseorang menjadi idola, maka ia akan menjadi pusat perhatian banyak orang, dan apa saja yang dilakukannya akan menarik perhatian dan kemudian ditirunya. Selanjutnya banyak orang yang ingin bertemu, minta tanda tangan, dan bahkan ingin meraih kesuksesan seperti tokoh yang diidolakannya itu. Ambil contoh  dengan kepopuleran bintang korea yang sering menghiasi layar kaca tv di Indonesia, yang banyak menyedot perhatian para remaja Indonesia untuk menjadikannya sebagai idola. Bintang korea terkenal semisal Kim Tae Hee dan Joo Won yang pernah membintangi film tv serial Yong Pal (18 episode) dua tahun lalu (2015), masing-masing telah meraih sukses luar biasa dengan mendapatkan bayaran per episode 40 juta won atau sekitar hampir setengah milyar per episode-nya. Berita terkini, untuk artis termahal Korea dipegang oleh Kim Soo Hyun yang berhasil meraup bayaran 9,8 milyar rupiah sekali tampil dalam suatu acara tv di China. Sukses luar biasa yang telah dicapai para bintang tersebut menjadikan banyak remaja, termasuk remaja Indonesia sangat nge-fans dan mengidolakannya.
            Permasalahannya, bolehkah mengidolakan bintang Korea, yang konon mereka umumnya tidak beragama Islam?
            Dalam Islam, orang yang paling layak untuk dijadikan idola hanyalah Muhammad, Nabi dan Rasul Allah. Beliau layak karena memiliki kesempurnaan dan keagungan akhlak. Allah Swt berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21).
 Tentang keagungan akhlak Rasulullah, dapat diketahui berdasarkan  riwayat sebuah hadis bahwasanya “Sa’ad bin Hisyam bin Amir berkata: “Aku pernah mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha, lalu aku bertanya: “ Wahai Ummul Mukminin, beritahukanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, beliau menjawab: “Akhlak beliau adalah Al Quran, apakah kamu tidak membaca Al Quran, Firman Allah Azza wa Jalla: (وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ) dan sesungguhnya engkau di atas budi pekerti yang agung.” (HR. Ahmad, No. 24645, dishahihkan oleh Syu’ayb al-Arnout dalam Musnad Ahmad, VI/91).
            Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan tentang makna berakhlak dengan al-Quran, yaitu beliau senantiasa beradab dan berakhlak dengan al-Quran, apa yang dipuji al-Quran maka di dalamnya terdapat kerelaan beliau dan apa saja yang dicela al-Quran maka di dalamnya terdepat kemurkaan beliau.” (Ibn Rajab, Jami’ Al-Ulum Wa Al-Hikam, XVIII/14).
            Dengan demikian, akhlak beliau adalah sejalan denga isi al-Qur’an. Karena itu, jika kita ingin meneladani beliau, caranya dengan mempelajari isi al-Qur’an dan berusaha mengamalkan dengan sebaik-baiknya.
            Apa untungnya mencintai, mengagumi, dan mengidolakan Nabi Saw?
            Sebuah hadis meriwayatkan bahwa seseorang yang benar-benar mengidolakan dan mencintai Rasulullah Saw akan mendapatkan jaminan bisa bersama Rasulullah kelak di surga. Berikut ini hadisnya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bercerita: “Pernah seorang lelaki datang menenmui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu dia bertanya: “Wahai Rasulullah, kapan hari kiamat?”, beliau bersabda: “Apa yang kamu telah persiapkan untuk menyongsong hari kiamat”? Orang tersebut menjawab: “Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya”; Beliau bersabda: “Sesungguhnya kamu akan bersama orang yang engkau cintai”(فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ). Anas berkata: “Kami tidak pernah bergembira setelah masuk Islam melebihi gembiranya disebabkan sabda nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya kamu bersama yang engkau cintai”. Maka aku mencintai Allah dan Rasul-Nya, juga mencintai Abu Bakar dan Umar, dan aku berharap bisa bersama mereka (di surga) meskipun aku tidak beramal seperti amalan mereka”. (HR. Muslim).
Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa sabda beliau “Seseorang bersama yang dia cintai”, maksudnya adalah dia akan dikumpulkan bersama orang yang dia cintai. Allah berfirman: “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan bersama orang-orang yang dianugerahkan oleh Allah nikmat atas mereka”, dan secara lahir hadits, mencakup keumuman baik untuk mencintai orang shalih atau orang yang tidak shalih, dan yang menguatkan pendapat ini adalah hadits yang berbunyi: “Seseorang sesuai dengan agama temannya”, sebagaimana yang sudah disebutkan. Maka di dalam hadits ini, terdapat motivasi (untuk berteman dengan orang shalih-pent) dan peringatan keras (untuk tidak berteman dengan orang tidak shalih-pent), di dalam hadits ini terdapat janji yang baik (bagi yang berteman dengan orang shalih-pent) dan ancaman siksa (bagi yang berteman dengan orang tidak shalih-pent).” (al-Mubarakfuri, Tuhfat Al Ahwadzi, VII/51).
Atas dasar keterangan tersebut maka mengidolakan seseorang bisa membawanya pada kehidupan di akhirat. Jika yang menjadi idolanya itu orang-orang yang baik dan shalih, insya Allah akan membawanya hidup di akhirat dalam kelompok orang-orang shalih yang ahli surga. Sebaliknya, jika yang menjadi idola itu orang-orang yang berperangai atau berakhlak buruk kemudian diikuti perangai buruknya itu, maka akan membawanya pada kelompok orang-orang buruk yang ahli neraka.
Bagaimana dengan mengidolakan bintang Korea?
Bila mengidolakan bintang korea sampai pada mengikuti akhlaknya yang tidak sesuai dengan norma Islam, misalnya ikut suka bergaul bebas tanpa batas, cara berpakaian yang tembus pandang atau ketat sehingga tampak lekuk-lekuk bagian tubuhnya atau bahkan banyak bagian tubuhnya yang terbuka, maka yang demikian ini diharamkan atau tidak diperbolehkan. Tetapi, jika pengidolaannya lebih kepada simpati karena kegigihan dalam berusaha, keseriusannya dalam meniti karir, cara aktingnya yang begitu total, dan hal-hal lain yang sifatnya mubah dan positif, maka mengidolakan yang demikian ini boleh-boleh saja.
Wallahu A’lam!



MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK

MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK
SAAT DUDUK TASYAHHUD

Oleh:



Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I



Teks Hadis  

Dari Wail Bin Hujr radhiallahu ‘Anhu, ia berkata: "Aku akan melihat bagaimana shalat Rasulullah saw, maka aku telah melihatnya dan memperhatikan gerakannya. Ia berkata: Kemudian ia duduk (tasyahud) dengan iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri yang dihamparkan dan telapak kaki kanannya ditegakkan, pen.), selanjutnya:
وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا (رواه أحمد وأبو داود والنسائي).
Dan Rasulullah meletakkan telapak tangannya yang kiri di atas paha dan lututnya yang kiri, dan meletakkan siku kanan di atas paha kanannya, kemudian dia menggenggam dua jarinya dan membentuk lingkaran. Lalu dia mengangkat jari telunjuknya, dan aku melihat dia menggerakkannya, sambil membaca doa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Nasai).

Status Hadis

Hadis tersebut dinilai shahih oleh al-Albani.[1] Selain al-Albani, yang cenderung menshahihkan hadis ini adalah Ibn Khuzaymah,[2] Imam al-Nawawi,[3] Muhammad Mushthafa al-A’dzami,[4] dan Husayn Salim Asad.[5] Sedangkan Syu’ayb al-Arnout mengatakan bahwa hadis tersebut sanadnya kuat,[6] tetapi pada kitab lain Al-Arnout mengatakan bahwa hadis tersebut syadz (ganjil, aneh), yakni perawi Zaidah ibn Qudamah meriwayatkan sendirian dengan tambahan: “dan aku melihat dia menggerakkannya, sambil membaca doa”.[7]

Pendapat ulama terhadap Makna Hadis

Menurut Syaikh Al-Albani, hadis tersebut dapat dipahami empat hal, yakni: pertama, tempat siku(kanan) adalah di paha(kanan); kedua, menggenggam dua jari dan membentuk lingkaran antara jari tengah dan jempol; ketiga, mengangkat jari telunjuk dan menggerakkannya; keempat, terus-menerus menggerakkannya sampai akhir do’a.[8]  
Pendapat  Syaikh Al Albani yang menganggap  terus-menerus menggerakkan jari telunjuknya pada saat tasyahud tersebut tidak sejalan dengan pemahaman Imam Al Baihaqi. Dalam kitabnya Sunan al-Kubra, al-Bayhaqi menulis:
فَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالْتَحْرِيكِ الإِشَارَةَ بِهَا لاَ تَكْرِيرَ تَحْرِيكِهَا ، فَيَكُونُ مُوَافِقًا لِرِوَايَةِ ابْنِ الزُّبَيْرِ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.[9]
“Mungkin yang dimaksud dengan menggerakkan itu adalah memberikan isyarat menunjuk, bukan menggerak-gerakkan secara berulang-ulang, sehingga hadits ini sesuai dengan riwayat dari Ibnu Zubair.[10]
Pendapat al-Baihaqi tersebut didukung oleh Imam al-Nawawi, baik mengenai status keshahihannya maupun pemahaman bahwa yang dimaksud dengan menggerakkan jari telunjuk itu adalah berisyarat dengan jari telunjuk, tidak mengerak-gerakkannya.[11] Lebih lanjut  Imam Nawawi Rahimahullah mengatakan:
واما الحديث المروى عن ابن عمر عن النبي صلي الله عليه وسلم ” تحريك الاصبع في الصلاة مذعرة للشيطان ” فليس بصحيح قال البيهقى تفرد به الواقدي وهو ضعيف
“Adapun hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ‘Menggerakan jari dalam shalat adalah hal yang ditakuti syetan,’ tidaklah shahih. Berkata Al Baihaqi: Al Waqidi meriwayatkannya sendiri, dan dia dha’if”.[12]
Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu berpendapat:
السنة للمصلي حال التشهد أن يقبض أصابعه كلها أعني أصابع اليمنى ويشير بالسبابة ويحركها عند الدعاء تحريكا خفيفا إشارة للتوحيد وإن شاء قبض الخنصر والبنصر وحلق الإبهام مع الوسطى وأشار بالسبابة كلتا الصفتين صحتا عن النبي صلى الله عليه وسلم
“Yang sesuai dengan sunnah bagi orang yang shalat ketika tasyahhud adalah menggenggam semua jari kanannya dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya dan menggerakkannya ketika berdoa dengan gerakan yang ringan sebagai isyarat kepada tauhid, dan kalau dia mau maka bisa menggenggamkan jari kecil dan jari manis kemudian membuat lingkaran antara jempol dengan jari tengah, dan memberi isyarat dengan jari telunjuk, kedua cara ini telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[13]
Pendapat Syekh Bin Baz tersebut senada dengan pendapat  Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbad, yakni sebagai berikut:
لا أعلم شيئاً يدل على أن الإنسان يحركها باستمرار، وإنما يحركها ويدعو بها، أي: عندما يأتي الدعاء: اللهم.. اللهم.. يحركها.
“Saya tidak tahu dalil yang menunjukkan bahwa seseorang menggerakkan jari telunjuk secara terus menerus, akan tetapi menggerakannya dan berdoa dengannya, yaitu: ketika melewati doa (Allahumma…Allahumma) sambil menggerakkannya”.[14]
Waktu memulai mengangkat jari telunjuk    

 Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وقد سئل ابن عباس عن الرجل يدعو يشير بإصبعه؟ فقال: هو الاخلاص. وقال أنس بن مالك: ذلك التضرع، وقال مجاهد: مقمعة للشيطان. ورأى الشافعية أن يشير بالاصبع مرة واحدة عند قوله (إلا الله) من الشهادة، وعند الحنفية يرفع سبابته عند النفي ويضعها عند الاثبات، وعند المالكية، يحركها يمينا وشمالا إلى أن يفرغ من الصلاة، ومذهب الحنابلة يشير بإصبعه كلما ذكر اسم الجلالة، إشارة إلى التوحيد، لا يحركها.
“Ibnu Abbas ditanya tentang seorang yang memberikan isyarat dengan telunjuknya. Beliau menjawab: ‘Itu menunjukkan ikhlas.’ Anas bin Malik berkata: ‘Itu menunjukkan ketundukan.’ Mujahid berkata: ‘Untuk memadamkan syetan.’ Sedangkan golongan Syafi’iyah memberikan isyarat dengan jari hanya sekali yakni pada ucapan Illallah (kecuali Allah) dari kalimat syahadat. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah, mengangkat jari telunjuk ketika ucapan pengingkaran (laa ilaha/tiada Tuhan) lalu meletakkan lagi ketika ucapan penetapan (Illallah/ kecuali Allah). Sedangkan menurut Malikiyah menggerak-gerakan ke kanan dan ke kiri hingga shalat selesai. Sedangkan madzhab Hanabilah (Hambali) memberikan isyarat dengan jari telunjuk ketika disebut lafzul jalalah (nama Allah) sebagai symbol tauhid, tanpa menggerak-gerakkannya”.[15]
Adapun isyarat dengan jari dan mengangkatnya serta mengarahkannya ke arah qiblat, maka pendapat yang kuat ini dilakukan dari awal tasyahhud karena dhahir hadist-hadist menunjukkan demikian. Di antara hadis yang menunjukkan disyari’atkannya isyarat dari awal tasyahhud adalah hadist Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma:
… وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim)

Nafi’ berkata:
كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ وَأَتْبَعَهَا بَصَرَهُ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَهِىَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيدِ ». يَعْنِى السَّبَّابَةَ[16]
“Abdullah bin ‘Umar apabila duduk di dalam shalat meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan memberi isyarat dengan jarinya, dan menjadikan pandangannya mengikuti jari tersebut, kemudian beliau berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ini lebih keras bagi setan dari pada (pukulan)besi, yaitu jari telunjuk.'” (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Al-Albani).
 Berdasarkan hadis tersebut, Al-Mubarakfuri berpendapat:
ظَاهِرُ الْأَحَادِيثِ يَدُلُّ عَلَى الْإِشَارَةِ مِنْ اِبْتِدَاءِ الْجُلُوسِ [17]
“Dhahir hadist-hadist menunjukkan bahwa isyarat (jari telunjuk pada saat duduk tasyahud) itu dilakukan semenjak awal duduk”.

Kesimpulan:
1.    Sejumlah ulama menilai status hadis tentang menggerakkan jari telunjuk tersebut adalah shahih, sementara yang lain mempermasalahkan kesahihannya karena ada periwayatan yang syadz dari Zaidah Ibn Qudamah;
2.    Ulama berbeda pendapat tentang makna menggerakkan jari telunjuk saat tasyahud. Sebagian ulama memahami menggerakkan jari telunjuk dalam arti mengisyaratkan tanpa menggerak-gerakkan, sebagian yg lain memahami dengan menggerak-gerakkan dari awal sampai akhir, dan yang lain berpendapat menggerakkan saat berdoa atau menyebut nama Allah;
3.    Waktu mengangkat jari telunjuk saat tasyahud, ulama juga berbeda pendapat. Sebagaian ulama(Syafiiyah) memulai saat membaca illallah sampai akhir, sebagaian yang lain(Hanafiyah) berpendapat mulai membaca laa....dan berakhir dengan illallah, dan sebagaian ulama berpendapat bahwa mengangkat jari telunjuk tersebut dimulai semenjak awal duduk tasyahud (al-Mubarakfuri).

Wallahu A’lam!



[1]Muhammad Nashiruddin al-Albani, Mukhtashar Irwa al-Ghalil, Vol. I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985), 74.
[2] Ibn Khuzaymah, Shahih Ibn Khuzaymah, Tahqiq al-A’dzami, Vol. I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1970), 354.
[3] Imam al-Nawawi, al-Majmu’, Vol. III/ 454.
[4] Ibn Khuzaymah, Shahih Ibn Khuzaymah, Tahqiq al-A’dzami, Vol. I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1970), 354.
[5] Abu Muhammad al-Darimi, Sunan al-Darimi, Vol. I (Bayrut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1407 H), 362.
[6] Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, tahqiq Syu’ayb al-Arnout, Vol. V (Bayrut: Muassasah al-Risalah, 1993), 17.
[7] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq Syu’ayb al-Arnot, Vol. IV (al-Qahirah, Muassasah Qurthubah, t.th), 418.
[8]Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany, Tamam Al Minnah, Vol. (T.tp: al-Maktabah al-Islamiyah, 1409 H), 221. Selengkapnya, teks Arabnya adalah sebagai berikut:
أولا: مكان المرفق على الفخذ. ثانيا: قبض إصبعيه والتحليق بالوسطى والإبهام. ثالثا: رفع السبابة وتحريكها .رابعا:  الاستمرار بالتحريك إلى آخر الدعاء
[9] Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, Vol. II (Makkah al-Mukarramah, Maktabah Dar al-Baz, 1994), 132.
[10] Dalam riwayat Muslim dari Ibn Zubair diterangkan bahwa Nabi Saw ketika duduk tasyahud meletakkan tanagan kiri di atas lutut kirinya dan meletakkan tangan kanan di atas paha kanannya dan mengisyaratkan jari telunjuknya. (وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ).
[11] Imam al-Nawawi, al-Majmu’, Vol. III/ 454.
[12]Imam An Nawawi, Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 454-455. Darul Fikr.
[13]  Abdul Aziz bin Baz, Maj’mu Fatawa Bin Baz, XI/185.
[14] Abdul Muhsin al-‘Abbad, Syarah Sunan Abi Dawud, I/2.
[15]Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 171. Lihat juga Imam An Nawawi, Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, Juz. 3, Hal. 455.
[16] Muhammad bin Abdullah al-Tibrizi, Misykat al-Mashabih, Ed. Al Albani,  Vol. I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1885), 200.
[17] Al-Mubarakfuri, Syarh Jami’ al-Tirmidzi, Vol. II (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 159.