Selasa, 16 Januari 2024

BOLEHKAN WANITA MINTA MAHAR?

 BOLEHKAN WANITA MINTA MAHAR?

 Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Pertanyaan:

              Assalamu’alikum Ustadz!

Semoga Allah senantiasa melimpahkan berkah dan rahmat kepada Ustadz dan keluarga. Amien!  Izin bertanya Ustadz! In Syaa Allah dalam beberapa bulan kedepan saya akan menikah dengan seorang laki-laki yang shalih. Terkait masalah mahar ustadz, katanya "sebaik-baik perempuan adalah yang paling sedikit maharnya", dan "sebaik-baik laki-laki adalah yang memuliakan perempuan (isterinya)". Yang saya tanyakan, bagaimana baiknya saya meminta mahar kepada calon suami saya. Bolehkah saya meminta maharnya seperti begini atau begitu?

              Demikian Ustadz, atas perkenannya saya sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Tina, Sidoarjo).

Jawaban:

              Wa’alaikumussalam! Kata mahar berasal dari bahasa arab “al-mahr”. Dalam kamus Bahasa Arab disebutkan bahwa almahr adalah sinonim dari kata al-shadaq. Bentuk jamak dari al-mahr adalah al-muhur (Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, V/184 dan al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, I/615). Al-mahr saat ini sudah menjadi kata baku dalam Bahasa Indonesia “mahar”, yang artinya maskawin, yaitu pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah (KBBI).

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Butir d).

Ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh calon suami ketika akan melangsungkan akad nikah, di antaranya adalah memberikan mahar. Ulama bersepakat bahwa hukum memberikan mahar adalah wajib karena banyaknya ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang memerintahkannya. Di antara ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan mahar antara lain QS. Al-Nisa ayat 4, 24, dan 25.

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً... فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِه مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗ ...وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (QS. Al-Nisa, 4); …Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban (QS. Al-Nisa, 24; …Dan berilah maskawin mereka menurut yang patut (QS. Al-Nisa, 25).

Sedangkan dari Nabi saw. terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang pentingnya mahar dalam perkawinan. Di antaranya adalah dari Uqbah bin Amir ra., Rasulullah saw. telah bersabda: 

خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ

Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah(HR. al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi No. 14721 dan al-Hakim, al-Mustadrak No. 2742). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, Sahih al-Jami’ al-Shaghir, I/621).

Ketika Rasulullah saw. hendak menikahkan seorang sahabat dengan perempuan yang menyerahkan dirinya, beliau bersabda:

اِلْتَمِسْ(انْظُرْ) وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ

Carilah (mahar) sekalipun (berupa) cincin yang terbuat dari besi“. ….Ketika sahabat itu tidak menemukannya, maka Rasulullah menikahkannya dengan mahar “mengajarkan beberapa surat Al-Qur’an kepada calon istrinya” (HR. al-Bukhari No. 5135; Muslim No. 3553).

          Memberikan mahar saat aqad nikah, dari calon suami kepada calon isterinya memang diperintahkan bahkan diwajibkan. Namun, mengenai nilai mahar atau besar kecilnya mahar tidak ditentukan atau tidak ditetapkan oleh syariat. Mahar boleh saja bernilai rendah dan boleh saja bernilai tinggi asalkan tidak membebani dan tidak mempersulit keduanya, atau saling ridha. Al-Nawawi menjelaskan:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث أَنَّهُ يَجُوز أَنْ يَكُون الصَّدَاق قَلِيلًا وَكَثِيرًا مِمَّا يُتَمَوَّل إِذَا تَرَاضَى بِهِ الزَّوْجَانِ، لِأَنَّ خَاتَم الْحَدِيد فِي نِهَايَة مِنْ الْقِلَّة. وَهَذَا مَذْهَب الشَّافِعِيّ، وَهُوَ مَذْهَب جَمَاهِير الْعُلَمَاء مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف

“Hadis ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah) dan boleh juga banyak (bernilai tinggi) apabila kedua pasangan saling ridha, karena cincin dari besi menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan juga pendapat jumhur ulama dari salaf dan khalaf” (Imam al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, V/134).

Rasulullah saw. bersabda:

ﺧَﻴْـﺮُ ﺍﻟﻨِّﻜَـﺎﺡِ ﺃَﻳْﺴَـﺮُﻩُ

"Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah" (HR. Abu Dawud No. 2117). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah al-Kamilah, IV/341). Dalam riwayat Ahmad, Nabi saw. bersabda:

إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا

Termasuk berkahnya seorang wanita adalah yang mudah khitbahnya (lamarannya), yang mudah maharnya, dan yang mudah keturunannya” (HR. Ahmad, No. 24478). Al-Albani menilai hadis ini hasan (al-Albani, Sahih al-Jami’ al-Shaghir, I/444).

              Jadi, dalam menentukan besar dan kecilnya mahar, yang penting calon suami tidak merasa terbebani. Sebaliknya, calon suami merasa mendapatkan keringanan dan kemudahan dalam menyiapkan maharnya. Bagi calon suami yang berkecukupan, mungkin mahar yang akan disiapkan bernilai besar, sebaliknya jika calon suaminya pas-pasan, maka mahar yang dipersiapkannya mungkin bernilai kecil. Di sinilah calon isteri yang harus memahaminya. Bila keduanya bersepakat dan ridha dengan mahar yang telah dipersiapkan, maka keberkahanlah yang akan diperoleh calon sepasang suami-isteri yang akan menikah. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan:

أَنّ الْمُغَالَاةَ فِي الْمَهْرِ مَكْرُوهَةٌ فِي النّكَاحِ وَأَنّهَا مِنْ قِلّةِ بَرَكَتِهِ وَعُسْرِهِ

 “Berlebihan-lebihan dalam mahar hukumnya makruh (dibenci) pada pernikahan. Hal ini (berlebih-lebihan dalam mahar) menunjukkan (berakibat) sedikitnya barakah dan sulitnya pernikahan tersebut” (Ibn al-Qayyim, Zaad al-Ma’ad, V/162).

              Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah berkata: “Disunnahkan meringankan mahar dan tidak melebihi mahar yang diperolah para isteri Nabi saw. dan anak-anaknya. ‘Aisyah ra. meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Wanita yang paling besar keberkahannya ialah yang paling ringan maharnya”. Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw. bersabda: “Sebaik-baik mereka (wanita) ialah yang paling mudah maharnya”. Dari al-Hasan al-Bashri, ia menuturkan: “Rasulullah saw. bersabda: “Nikahkanlah kaum wanita dengan kaum pria, tapi jangan bermahal-mahal dalam mahar”. ‘Umar bin al-Khaththab berkhutbah kepada manusia dengan pernyataannya: “Ingatlah, janganlah kalian bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab, sekiranya (bermahal-mahal dalam) mahar itu termasuk suatu kemuliaan di dunia atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, pastilah Nabi saw. orang yang paling utama di antara kalian (dalam hal ini), (namun) beliau tidak pernah memberi mahar kepada seseorang dari isteri-isterinya dan tidak pula meminta mahar untuk seseorang dari puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah (ons) perak”. Al-Tirmidzi menilainya sebagai hadis sahih” (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII /192).

Apa yang dilakukan sebagian orang yang tidak ramah, sombong dan riya’ berupa memperbanyak mahar untuk tujuan riya dan bermegah-megahan, sebenarnya mereka tidak berniat mengambilnya dari suami, dan dia tidak pula berniat memberikannya kepada mereka. Ini adalah kemunkaran yang buruk, menyelisihi Sunnah, dan keluar dari syari’at (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII/193).

Adapun yang dinukil dari sebagian Salaf bahwa mereka memperbanyak pemberian mahar kepada wanita-wanita (yang mereka nikahi), itu tidak lain karena harta mereka berlimpah. Mereka mendahulukan penyerahan seluruh mahar sebelum menggauli, mereka tidak menundanya sedikit pun. Dan siapa yang mempunyai kemudahan dan mempunyai harta lalu dia senang memberi isterinya mahar yang banyak, maka tidaklah mengapa (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII/195).

              Berdasarkan uraian tentang mahar tersebut di atas dapat difahami bahwa mahar atau maskawin adalah pemberian wajib berupa uang, barang atau jasa dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Tentang berapa besaran nilai maharnya tidak ada ketentuan yang membatasi. Karena itu mahar boleh disiapkan dengan jumlah nilai yang tinggi (mahal) bagi yang mampu dan juga boleh disiapkan dengan jumlah nilai yang rendah (murah) bagi yang pas pasan.

              Dengan demikian, wanita yang akan menjadi calon isteri boleh saja meminta kepada calon suami tentang jenis mahar seperti apa yang diinginkan, asal calon suami berkenan atau tidak keberatan, kemudian mampu dan ridha. Dengan adanya keridhaan antara calon suami dan calon isteri tentang maharnya, insya Allah akad nikahnya akan memperoleh banyak limpahan berkah.

SOLUSI HADAPI WAS-WAS

 SOLUSI HADAPI WAS-WAS

 Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan:

 Suatu saat saya sedang salat berjamaah di sebuah masjid. Seorang yang salat di sebelah saya, tidak seperti orang lain pada umumnya, ia melakukan takbir berulang-ulang, seakan-akan ada perasaan yang kurang pas, sehingga harus diulangi lagi. Lalu saya diberitahu teman bahwa orang yang semacam itu katanya terkena penyakit waswas. Bila seseorang terkena penyakit waswas seperti itu, bagaimana cara mengatasinya? Adakah petunjuk dari al-Qur’an maupun hadis cara mengatasi kasus waswas seperti itu? Demikian permasalahan yang dapat saya kemukakan, atas jawaban dan pembahasan dari Pengasuh, saya sampaikan banyak terima kasih. Jazakumullah khairan katsiran! (Mu Wae, Gresik).

 Pembahasan:

              Untuk mendapatkan gambaran komprehensip mengenai waswas, akan dibahas di sini tentang apa yang dimaksud dengan waswas, apa saja penyebabnya, dan bagaimana cara meghadapinya.

 Pengertian was-was

Waswas adalah penyakit hati yang diliputi kekhawatiran dan keragu-raguan. Penyakit ini bisa membahayakan bagi siapa saja yang terkena. Orang yang tertimpa waswas akan menjadikan seseorang tidak bisa khusyuk dalam beribadah. Lama-kelamaan bisa membuat yang bersangkutan malas melakukannya. Ibadahnya pun tidak akan optimal. Sebab, waktunya habis untuk mengulang-ulang ibadahnya karena keragu-raguannya.

Waswas bisa menimpa seseorang saat beribadah salat atau ibadah lainnya. Waswas adalah usaha setan untuk merusak ibadah seorang muslim. Setan berusaha membuat orang berhalusinasi seolah-olah apa yang dilakukannya itu salah atau rusak sehingga seseorang tidak bisa merasakan kenikmatan ibadahnya, setelah itu frustrasi, dan akhirnya tidak mau beribadah lagi (Abdullah al-Faqih, Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, VI/2723).

Waswas merupakan senjata setan (iblis) untuk merusak manusia dari kekhusyukan dan ketenangan hatinya. Penyakit ini disematkan di hati manusia untuk menimbulkan keraguan dan kekhawatiran. Dengan metode ini, setan bisa dengan mudah menggiring seorang muslim untuk mengulang-ulang ibadahnya. Dalam hal ini ada seseorang yang mandi besar sampai memakan waktu sekitar 1 jam; ada yang mengulang-ulang gerakan wudunya karena merasa ada bagian yang kering atau belum tersentuh air, ada yang berwudu berkali-kali karena merasa ada yang keluar dari duburnya, ada yang buang air kecil setengah jam karena merasa tidak tuntas, ada yang gonta-ganti celana karena merasa ada yang menetes, ada yang mengulang-ulang takbiratul ihram karena merasa belum pas niatnya, ada yang membaca Al-Fatihah berulang-ulang dengan susah karena merasa tidak benar, dan lain sebagainya.

Disebutkan dalam hadis dari Said bin Musayyab dan Ubbad bin Tamim dari pamannya, tentang seseorang yang merasakan sesuatu (di perutnya) dalam salat, lalu mengadu kepada Rasulullah saw., beliau pun bersabda:

لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

“Janganlah keluar (yakni membatalkan salat) sampai dia mendengarkan suara atau mencium angin (bau)” [HR Bukhari 137 dan Muslim 361]

Dalam riwayat yang lain, dari sahabat Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw.  bersabda:

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

“Jika seseorang di antara kalian merasakan ada sesuatu di perutnya yang membuatnya ragu, apakah ada sesuatu yang keluar darinya ataukah tidak, maka dia jangan keluar dari masjid (membatalkan salat) sebelum mendengar suara atau mencium (bau) angin” (HR Muslim 362).

              Dua hadis tersebut menunjukkan bahwa penyakit waswas pernah menimpa juga pada sahabat Nabi saw.

Sebab-Sebab Munculnya Waswas

              Waswas bisa muncul pada diri seseorang disebabkan oleh 1). Minimnya ilmu syar’i, yaitu pengetahuan tentang aqidah dan ibadah yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah; 2). Lemahnya keimanan, dan setan itu hanya mampu menguasai ahli maksiat, bukan menguasai orang yang kuat imannya; 3). Lalai dari mengingat Allah, sebab dzikir itu mampu mengusir setan dan gangguan-gangguannya; 4). Kelemahan akal, sebab yang memiliki akal sempurna akan selamat dari waswas dengan karunia Allah; 5). Tidak bergaul dengan orang-orang yang memiliki ilmu dan iman sempurna; 6). Tidak mengikuti sunnah Rasulullah saw.

Solusi Hilangkan Waswas

1.      Tidak menghiraukannya. Obat terampuh untuk menumpas waswas adalah tidak menghiraukan ketika keraguan datang. Misal, ketika melakukan takbiratul ihram, hatinya ragu apakah sah atau tidak, maka keraguan itu tidak usah dihiraukan. Lanjutkan saja salatnya. Yakinlah bahwa takbiratul ihramnya sah. Jika hal itu dilakukan, waswas sedikit demi sedikit akan hilang. Namun, apa bila dituruti, maka waswas itu akan semakin bertambah dan bertambah sehingga akan membuat empunya seperti orang gila.

Ahmad al-Haitami ketika ditanya tentang penyakit was-was, adakah obatnya? Beliau mengatakan:

 له دَوَاءٌ نَافِعٌ وهو الْإِعْرَاضُ عنها جُمْلَةً كَافِيَةً وَإِنْ كان في النَّفْسِ من التَّرَدُّدِ ما كان فإنه مَتَى لم يَلْتَفِتْ لِذَلِكَ لم يَثْبُتْ بَلْ يَذْهَبُ بَعْدَ زَمَنٍ قَلِيلٍ

Obat yang paling mujarab untuk penyakit waswas adalah tidak peduli semuanya, meskipun dalam dirinya muncul keraguan yang hebat. Karena jika dia tidak memperhatikan keraguan ini, maka keraguannya tidak akan menetap dan akan pergi (hilang) dengan sendiri dalam waktu yang tidak lama.

Lebih lanjut dikatakan: Hal ini pernah dilakukan oleh mereka yang mendapat taufiq untuk lepas dari was-was. Adapun orang yang memperhatikan keraguan yang muncul dan menuruti bisikan keraguannya, maka dorongan was-was itu akan terus bertambah, sampai menyebabkan dirinya seperti orang gila bahkan lebih parah lagi. Yang demikian ini pernah kami saksikan pada banyak orang yang mengalami cobaan keraguan ini, sementara dia memperhatikan bisikan was-wasnya dan ajakan setannya (Ibn Hajar al-Haytami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro, I/149).

2.      Sadari bahwa waswas itu sumbernya dari bisikan setan. Karena itu waswas harus dilawan dengan berlindung kepada Allah, misalnya dengan banyak membaca isti’adzah dan surat-surat al-muta’awwidzat. Allah swt. berfirman:

 وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ  

 “…. dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata” (QS. Al-Baqarah, 168).

Al-Iz bin Abdus Salam dan ulama lainnya menjelaskan: “Obat penyakit was-was, hendaknya meyakini bahwa hal itu adalah godaan setan, dan meyakini bahwa yang mendatangkan itu adalah iblis. Dengan demikian, saat itu sebenarnya ia sedang melawan iblis. Karena itu ia mendapatkan pahala sebagai orang yang berjihad, jihad memerangi musuh Allah. Jika suatu saat datang keraguan, maka ia akan segera menghindarinya...” (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro, 1:150).

3.      Yakini bahwa Islam itu agama yang mudah. Karena itu jangan mempersulit diri. Dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ  

       “Sesungguhnya agama itu mudah, tidaklah seseorang memberat-beratkan dirinya dalam beragama kecuali dia akan terkalahkan” (HR. Bukhari 39, dan Al-Nasai 5034).

Dari ‘Abdullah bin ‘Anamah, beliau berkata: “Aku pernah melihat sahabat ‘Ammar bin Yaasir masuk ke dalam masjid kemudian salat. Namun, beliau salat dengan salat yang pendek. Ketika beliau keluar, aku berkata, ‘Wahai Abu Yaqdzon, Engkau telah salat dengan salat yang ringan.’ ‘Ammar bin Yaasir mengatakan, ‘Apakah Engkau melihat saya mengurangi dari batasan-batasan salat?’ Aku berkata, ‘Tidak.’ Sahabat ‘Ammar bin Yaasir berkata, ‘Sungguh aku cepat-cepat agar aku tidak diganggu oleh setan. Aku pernah mendengar Nabi saw. bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيُصَلِّي الصَّلَاةَ مَا يُكْتَبُ لَهُ مِنْهَا إِلَّا عُشْرُهَا، تُسْعُهَا، ثُمُنُهَا، سُبُعُهَا، سُدُسُهَا، خُمُسُهَا، رُبُعُهَا، ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

“Sesungguhnya seseorang hamba salat dan tidak ditulis pahala untuk salatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau setengahnya” (HR. Ahmad 18894, Abu Dawud 796, dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).

4.  Banyak berdzikir dan membaca al-Qur’an.

Imam al-Nawawi mengutip pendapat sebagian ulama bahwa disunnahkan bagi orang yang terkena waswas untuk berwudu atau salat. Membaca laa ilaha illallah. Karena setan itu apabila mendengar suara dzikir akan menyelinap, mundur, dan menjauh. Sedangkan kalimat tauhid la ilaha illallah adalah dzikir yang utama. Mereka berpendapat bahwa:

أَنْفَعُ عِلَاجٍ في دَفْعِ الْوَسْوَسَةِ الْإِقْبَالُ على ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَالْإِكْثَارُ منه

Pengobatan yang paling bermanfaat untuk menghadapi waswas adalah  melakukan dzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya (Ibn Hajar al-Haytami, Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I/150).

 5. Membaca ta’awwudz.

وفي مُسْلِمٍ من طَرِيقِ عُثْمَانَ بن أبي الْعَاصِ أَنَّهُ قال حَالَ بَيْنِي وَبَيْنَ صَلَاتِي وَقِرَاءَتِي فقال ذلك شَيْطَانٌ يُقَالُ له خَنْزَبٌ فَتَعَوَّذْ بِاَللَّهِ منه وَاتْفُلْ عن يَسَارِك ثَلَاثًا فَفَعَلْت فَأَذْهَبَهُ اللَّهُ عَنِّي

Utsman bin abil Ash pernah bercerita kepada baginda Nabi saw bahwa setan telah mengganggu salatnya. Maka Nabi memerintahnya untuk membaca ta’awwudz dan meludah ke kiri tiga kali. Resep itu pun dilakukan. Seketika, penyakit waswas itupun hilang (HR. Muslim No. 5858).

6.  Bergaul dengan orang shalih

عَلَيْكَ بِمُجَالَسَةِ الصَّالِحِيْنَ، وَحُضُوْرِ مَجَالِسِهِمْ، وَابْتَعِدْ عَنْ مُجَالَسَةِ أَهْلِ السُّوْءِ.

Hendaklah engkau suka bergaul dengan orang-orang shalih, menghadiri majelis-majelis pengajiannya, dan menjauhi bergaul dari orang-orang jahat (lajnah al-Fatawa, Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, VI/2160).

7. Jangan menyendiri

 لاَ تَجْلِسْ مُنْفَرِداً أَوْ مُنْعَزِلاً أَوْ فَارِغاً، بَلِ اشْغِلْ نَفْسَكَ باِلصُّحْبَةِ الصَّالِحَةِ، أَوِ اشْغِلْ نَفْسَكَ بِعَمَلٍ يُلْهِيْكَ عَنِ وَسَاوِسِكَ كَقِراَءَةِ كِتَابٍ، أَوْ سَمَاعِ دَرْسٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ.

Jangan duduk menyendiri, memisahkan diri, dan menyepi. Sibukkan dirimu dengan persahabatan yang baik. Sibukkan dirimu dengan aktifitas yang dapat mengalihkan perhatianmu dari waswas seperti membaca kitab, mendengarkan ceramah, dan lain sebagainya (lajnah al-Fatawa, Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, VI/2160).

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Januari 2024