Jumat, 17 Februari 2023

KIAT MENGGAPAI IKHLAS

 

KIAT MENGGAPAI IKHLAS

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


Nabi saw. bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amal melainkan amal itu dilakukan dengan ikhlas dan hanya mencari keridhan-Nya (HR. al-Nasai No. 4348).

Status Hadis

              Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Nasai (w. 303 H/915 M) dalam al-Sunan al-Kubra No. 4348. Beberapa ulama lain yang juga meriwayatkan hadis tersebut di antaranya Imam al-Thabarani (w. 360 H/971 M) dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 7628, Imam Abu Nu’aim (w. 430 H/1038 M) dalam Hilyat al-Auliya, V/232, Imam Ibn al-Fadl al-Asbahani (w. 535 H) dalam al-Targhib Wa al-Tarhib No. 97, dan al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) dalam Jami’ al-Ahadis No. 6985.  Al-Albani menilai hadis tersebut hasan-sahih (al-Albani, Shahih Wa Dha’if Sunan al-Nasai, VII/212 No. 3140).

Kandungan Hadis

              Hadis tersebut menjelaskan bahwa amal yang akan diterima oleh Allah adalah amal-amal yang dilakukan dengan ikhlas dan semata-mata mencari keridhaan Allah. Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan ikhlas itu dan bagaimana cara menggapai ikhlas saat beramal?

Ikhlas artinya murni.  Dalam bahasa Arab air murni disebut dengan alma’ al-khalish. Amal yang ikhlas artinya amal yang dilakukan murni semata-mata karena Allah. Apabila ada sedikit saja kepentingan yang lain, misalnya ingin tampil beda, ingin dapat perhatian publik, maka amalnya itu menjadi tidak murni lagi. Artinya, keikhlasannya sudah tercemar atau dianggap tidak ikhlas lagi. Bila amalnya sudah tidak ikhlas maka tidak akan diterima oleh Allah, bahkan ia terancam masuk ke dalam neraka.

Sulaiman Bin Yasar ra meriwayatkan bahwa sekelompok pemuka penduduk Syam (Syiria) bertanya kepada Abu Hurairah. Mereka berkata, “Wahai Tuan Guru! Ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang tuan telah dengarkan langsung dari Rasulullah saw.  Abu Hurairah ra. berkata bahwa Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya orang pertama yang akan diputuskan pada hari kiamat kelak adalah seorang yang mati syahid. Ia akan dihadapkan kepada Allah dan diingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan hal itu diakuinya. Kemudian ditanya oleh Allah: ''Lalu, apa amalanmu terhadap nikmat itu?''.

Jawabnya: ''Aku telah berperang untuk-Mu hingga mati syahid''. Maka Allah menjawab: ''Dusta kamu, tetapi kamu berperang untuk dikenal sebagai pahlawan yang gagah berani''. Lalu ia diseret oleh malaikat dan diperintahkan untuk dilempar ke dalam neraka. Yang kedua dihadapkan kepada Allah adalah orang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya, serta pandai membaca al-Quran. Maka diberitakan tentang nikmat-nikmat yang telah ia peroleh dan ia mengakuinya. Kemudian ia ditanya: ''Lalu, apa amalanmu dengan nikmat itu?''. 

Jawab orang itu: ''Aku telah belajar ilmu untuk-Mu dan mengajarkannya, serta membaca al-Quran untuk-Mu.'' Allah menjawab: ''Dusta kamu, tetapi kamu belajar ilmu agar mendapat gelar alim, membaca al-Quran agar mendapat gelar qari, dan kamu sudah menikmatinya di dunia''. Kemudian diperintahkan kepada malaikat untuk mencampakkannya ke dalam neraka.

Orang yang ketiga yang dihadapkan kepada Allah adalah orang yang diluaskan rezekinya dan diberi oleh Allah berbagai kekayaan. Maka diberitakan kepadanya tentang nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, dan ia mengakuinya. Lalu ia ditanya: ''Lantas, apa amalanmu terhadap nikmat itu?'' Jawab orang itu: ''Tiada suatu jalan pun yang Engkau perintahkan mendermakan harta di dalamnya, melainkan telah saya dermakan harta di dalamnya untuk-Mu.''

Jawab Allah: ''Dusta kamu, tetapi kamu mendermakan harta itu agar disebut dermawan, dan kamu telah dikenal demikian di dunia''. Maka Allah kemudian memerintahkan malaikatnya untuk melemparkan orang itu ke dalam neraka” (Imam Muslim, Shahih Muslim, VI/47 No. 5032(.

Hadis tersebut memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya meluruskan niat dalam setiap beramal ibadah. Jangan sampai amal-amal yang kita lakukan justru sia-sia karena niat kita yang tidak lurus, sehingga membuat Allah murka.

 

Pengertian Ikhlas

Imam al-Qusyairi dalam kitabnya al-Risalah al-Qusyairiyah mengutip beberapa pandangan ulama tentang ikhlas. Menurutnya, ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Amal yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari makhluk. Lebih lanjut al-Qusyairi mengatakan: “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia”. Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yang dicari adalah ridha Allah, bukan komentar dan pujian manusia.

Hudzaifah Al-Mar’asyi mengatakan: “Ikhlas adalah kesamaan perbuatan seorang hamba antara yang zhahir (tampak) dan yang batin (tersembunyi)”. Sebaliknya, riya’ adalah amalan zhahir (yang tampak) lebih baik dari amalan batin yang tidak ditampakkan.  

Dzun Nuun al-Mishri menyebutkan ada tiga tanda ikhlas. Pertama, tetap bersikap sama antara dapat pujian dan celaan orang lain. Kedua, melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat. Ketiga, lupa terhadap hak pahala di akhirat.

Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan: “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’. Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah kamu terselamatkan dari dua hal tadi” (Imam al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, 207-210).

Dari beberapa pandangan ulama tersebut dapat difahami bahwa hakikat ikhlas itu adalah (1) meniatkan suatu amalan hanya untuk Allah. (2) Tidak mengharap-harap pujian manusia dalam beramal. (3) Kesamaan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi. (4) Melupakan akan balasan dari amalannya di akhirat.

 

Kiat Menggapai ikhlas

Pertama, banyak berdoa. Mengingat ikhlas merupakan perkara yang tidak mudah digapai, maka untuk mendapatkannya bisa dengan berdoa, memohon pertolongan kepada Allah untuk mendapatkan kemampuan bisa beramal dengan ikhlas.

Di antara doa untuk menjaga keikhlasan adalah: “Ya Muqallibal Qulubi Tsabbit Qalbi ‘Ala Dinik (يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ), “Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu” (HR.Tirmidzi No. 2140, Ahmad No. 12107,  al-Hakim No. 1926). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, Shahih Wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi, V/140).

              Kedua, Menyembunyikan amal kebaikan. Ini adalah cara jitu untuk menggapai keiklasan. Jika masih ada rasa berat untuk menyembunyikan amalan, maka sadarilah bahwa itu merupakan tanda ketidakiklasan amalan kita. Menyembunyikan amal dapat mendorong seseorang berbuat ikhlas. Amal kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain hasilnya lebih mudah mengarah ikhlas, karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah semata.

Rasulullah saw. bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya. (Di antara tujuh golongan itu adalah orang yang sangat ikhlas ketika beramal, yaitu) … seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya …” (HR. al-Bukhari No.6421 dan Muslim No. 2427).

Ketiga, menghindari ketenaran atau popularitas. Selain menyembunyikan amalan, para ulama salaf juga tidak suka dengan ketenaran dan berusaha untuk menjauhi ketenaran, karena ketenaran akan membawa kepada keangkuhan dan kesombongan. Selain itu, ketenaran akan membuat keikhlasan semakin berat untuk di raih. Kebanyakan orang seperti kita, umumnya tidak segan segan untuk mencari ketenaran, terutama di zaman sekarang yang dengan teknologi semakin memanjakan manusia, maka ketenaran akan membuat kita bangga dan sombong, jauh dari sifat tawadhu.

Al-Hasan berkata: “Suatu hari saya bersama Ibnul Mubarak mendatangi suatu mata air, sedangkan orang-orang sedang meminum air dari mata air tersebut. Lalu Ibnul Mubarak mendekat ke mata air itu untuk ikut minum, sementara orang-orang sekitar tidak mengenalnya. Mereka berdesak-desakan dengannya dan mendorongnya. Tatkala keluar, ia berkata kapadaku, “Inilah kehidupan, yaitu ketika kita tidak dikenal dan tidak disegani” (Ibn al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, IV/135).

              Keempat, tidak terpengaruh komentar orang lain. Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah saw. pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh orang lain. Beliau menjawab: (تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ), “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin” (HR. Muslim No. 6891).

Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak disukai manusia. Seorang mukmin yang ikhlas tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan ketika beramal salih. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal salih, tidaklah pujian tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu kepada Allah swt.

Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya, sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut. Tidak ada pujian yang dapat bermanfaat bagi seseorang, demikian pula tidak ada celaan yang dapat membahayakan seseorang. Semuanya hanya akan terjadi dengan kuasa Allah swt.

Kelima, bergaul dengan orang salih. Pergaulan ini sangat penting dan pergaulan ini pula yang akan banyak mempengaruhi kita dalam bertindak, bersikap dan berfikir. Jika teman atau pergaulan kita dikelilingi oleh orang-orang yang gila pujian, gemar pamer dan jauh dari agama, maka yang demikian, sadar atau tidak sadar akan mempengaruhi kita dalam mengikuti kebiasaan tersebut. Sebaliknya, jika orang-orang yang ada di sekeliling kita adalah orang-orang yang salih, suka bersikap rendah hati, dan ikhlas dalam setiap amalannya, maka sikap baik tersebut bisa mempengaruhi kehidupan kita. Nabi saw. bersabda: (الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ), seseorang itu menurut agama teman dekatnya (HR. Abu Dawud No.  4835, al-Tirmidzi No. 2378). Al-Albani: hadis ini hasan (al-Albani, Shahih Wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi, V/378).

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada edisi Pebruari 2003)