Kamis, 08 Desember 2022

GODAAN SAKARATUL MAUT

 

SAKARATUL MAUT

Oleh

DR.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَتْ تَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ أَوْ عُلْبَةٌ فِيهَا مَاءٌ يَشُكُّ عُمَرُ فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فِي الْمَاءِ فَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ وَيَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُولُ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى حَتَّى قُبِضَ وَمَالَتْ يَدُهُ (رواه البخارى)

Aisyah ra. berkata bahwasanya di hadapan Rasulullah saw. ada satu bejana kecil dari kulit atau kotak yang berisi air (Umar ragu). Beliau memasukkan kedua tangan ke dalamnya dan membasuh muka dengannya seraya berkata: “Laa Ilaaha Illa Allah. Sesungguhnya kematian memiliki sakaratul maut (kepedihan)”. Beliau menegakkan tangannya dan berkata: “Menuju Rafiq al-A’la”. Sampai akhirnya nyawa beliau tercabut dan tangannya melemas” (HR. al-Bukhari No. 6510).

Status Hadis

            Hadis tersebut dinilai shahih oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam Sahih al-Bukhari No. 6510. Selain al-Bukhari, beberapa ulama hadis yang juga meriwayatkan hadis tersebut di antaranya al-Daynuri (w. 333 H) dalam al-Mujalasah Wa Jawahir al- ‘Ilm No. 173, al-Thabrani (w. 360 H) dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 78, Ibn ‘Asakir (w. 571 H) dalam Ittihaf al-Zair, I/117, Ibn al-Kharrath (w. 581 H) dalam al-Ahkam al-Kubra, II/557, al-Mizzi (w. 742 H) dalam Tuhfat al-Asyraf No. 16077, dan al-Suyuthi (w. 911 H) dalam Jami’ al-Ahadis No. 16978. Al-Albani juga menilai hadis tersebut shahih (al-Albani, al-Jami’ al-Shaghir No. 13131.

Kandungan Hadis

            Hadis tersebut menerangkan tentang saat-saat terakhir menjelang wafatnya Nabi saw.  Saat itu Nabi memasukkan kedua tangannya ke dalam bejana yang terbuat dari kulit atau kotak berisi air, kemudian membasuh muka dengannya seraya berkata: “Laa Ilaaha Illa Allah. Sesungguhnya kematian memiliki sakaratul maut (kepedihan)”. Setelah itu beliau menegakkan tangannya atau jarinya dan berkata: “Menuju Rafiq al-A’la”. Sampai akhirnya nyawa beliau tercabut dan tangannya melemas.

Makna Sakaratul Maut

Sakaratul maut terdiri dari dua kata, sakarat dan al-maut. Sakarat dari kata sakara yang berarti menutup. Seorang yang mabuk ditunjukkan dengan kata sakran karena akalnya tertutup. Kata sakaratul maut difahami oleh kebanykan ulama sebagai kesulitan dan rasa sakit yang dahsyat yang dialami oleh seseorang beberapa saat sebelum ruhnya meninggalkan badan. Kondisi ini dirasakan oleh semua orang yang sedang mengalami sakaratul maut, saat menghadapi kematiannya. Nabi saw juga mengalaminya.  Dalam hadis riwayat al-Bukhari, Anas ra. menceritakan bahwa tatkala kondisi Nabi semakin memburuk, Fatimah berkata: “Sungguh berat penderitaanmu wahai Ayahku”. Beliau menjawab: لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ بَعْدَ الْيَوْمِ

 “Tidak ada penderitaan atas Ayahmu setelah hari ini…” (HR. al-Bukhari No. 4446).

Selanjutnya dalam hadis riwayat al-Tirmidzi, ‘Aisyah ra. menceritakan: “Aku tidak iri kepada siapapun atas kemudahan kematian(nya), sesudah aku melihat kepedihan kematian pada Rasulullah saw.” (HR. al-Tirmidzi No. 979).

Lebih lanjut, terjadinya sakaratul maut ini dijelaskan oleh Nabi saw secara rinci pada hadis riwayat Ahmad dalam al-Musnad No. 18534 dan al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman No. 390. Nabi saw menuturkan: “Sesungguhnya bila seorang yang beriman hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Wajah mereka putih bercahaya bak matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga. Selanjutnya mereka akan duduk sejauh mata memandang dari orang tersebut. Pada saat itulah Malaikat Maut ‘alaihissalam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: “Wahai jiwa yang baik, bergegas keluarlah dari ragamu menuju kepada ampunan dan keridhaan Allah. Segera ruh orang mukmin itu keluar dengan begitu mudah dengan mengalir bagaikan air yang mengalir dari mulut guci. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangan Malaikat Maut. Para malaikat segera mengambil ruh orang mukmin itu dan membungkusnya dengan kain kafan dan wewangian yang telah mereka bawa dari surga. Dari wewangian ini akan tercium semerbak bau harum, bagaikan bau minyak misik yang paling harum yang pernah ada di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruhnya itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: “Ruh siapakah ini, begitu harum”. Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: “Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terbaik yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya)” …

Bila orang kafir, pada riwayat lain: Bila orang jahat hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Mereka berwajah hitam kelam, membawa kain yang kasar, dan selanjutnya mereka duduk darinya sejauh mata memandang. Pada saat itulah Malaikat Maut ‘alaihissalam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: “Wahai jiwa yang buruk, bergegas keluarlah dari ragamu menuju kepada kebencian dan kemurkaan Allah”. Segera ruh orang jahat itu menyebar ke seluruh raganya. Tanpa menunda-nunda malaikat maut segera mencabut ruhnya dengan keras, bagaikan mencabut kawat bergerigi dari bulu domba yang basah. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat Maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangannya. Para malaikat segera mengambil ruh orang jahat itu dan membungkusnya dengan kain kasar yang mereka bawa. Dari kain itu tercium aroma busuk bagaikan bau bangkai paling menyengat yang pernah tercium di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruh itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: “Ruh siapakah ini, begitu buruk.” Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: “Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terburuk yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya)” (HR. Ahmad dan Ibn Majah). Al-Albani: hadis ini sahih (al-Albani, Ahkam al-Jazaiz, I/156-158).

Allah memperingatkan: “Seandainya saja engkau melihat pada waktu orang-orang zalim itu (berada) dalam kesakitan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya (sembari berkata), “Keluarkanlah nyawamu!” Pada hari ini kamu akan dibalas dengan azab yang sangat menghinakan karena kamu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya” (QS. Al-An’am, 93).

Dalam Tafsir al-Qur’an al- ‘Adzim (QS. Al-Qiyamah, 26-30 dan al-Waqi’ah, 83-87), Ibn Katsir (w. 1372 M) menggambarkan suasana sakaratul maut: “Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau”.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah berita dari Allah subhanahu wata’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat. Mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, VIII/281).

            Syaikh al-Sa’di (w. 1957 M) menjelaskan: “Allah mengingatkan para hamba-Nya dengan keadaan orang yang sedang sekarat (akan tercabut nyawanya), bahwa ketika ruh sampai pada taraqi yaitu tulang-tulang yang meliputi ujung leher (kerongkongan). Maka pada saat itulah penderitaan mulai berat, (ia) mencari segala sarana yang dianggap menyebabkan kesembuhan atau kenyamanan. Karena itu Allah berfirman: “Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang akan dapat menyembuhkan?” Artinya siapa yang akan meruqyahnya (dari kata ruqyah). Pasalnya, mereka telah kehilangan segala terapi umum yang mereka pikirkan, sehingga mereka bergantung sekali pada terapi Ilahi. Namun qadha dan qadar jika telah tiba, maka tidak dapat ditolak. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan dengan dunia. Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan).

Maksudnya kesengsaraan jadi satu dan berkumpul. Urusan menjadi berbahaya, penderitaan semakin sulit, nyawa diharapkan keluar dari badan yang telah ia huni dan masih bersamanya. Maka dihalau menuju Allah Ta’ala untuk dibalasi amalannya, dan mengakui perbuatannya.

Peringatan Allah ini akan dapat mendorong hati siapa saja untuk bergegas menuju keselamatannya, dan menahannya dari perkara yang menjadi kebinasaannya. Tetapi, orang yang menantang, orang yang tidak mendapat manfaat dari ayat-ayat, senantiasa berbuat sesat dan kekufuran serta penentangan” (Abd al-Rahman al-Sa’di, Taysir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, I/900).

Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Karena itu para Nabi as. adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ

“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.”

(HR. Al-Tirmidzi No. 2398, Ibnu Majah No. 4023, dan lain-lain). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah al-Kamilah, I/142).


          Pada suatu hari sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Ka’ab al-Ahbar:

 ياكعْبُ! حَدِّثْنَا عَنِ الْمَوْتفَقَالَ يا أمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! إِنَّ الْمَوْتَ كغُصْنٍ كثِيرِ الشَّوْك أدْخِلَ في جَوْفِ رَجُلٍ، فَأخَذَتْ كلُّ شَوْكة بِعِرْقٍ، ثُمَّ جَذَبَه رَجُلٌ شَدِيدَ الْجَذْبِ، فَأخَذَ مَا أخَذَ وَأبْقَى مَا أبْقَى

“Wahai Ka’ab, ceritakan kepada kami tentang kematian (sakaratul maut)”. Ka’ab pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin! Gambaran sakitnya kematian adalah bagaikan sebatang dahan yang banyak berduri tajam, tersangkut di kerongkongan, sehingga setiap duri menancap di setiap syarafnya. Selanjutnya dahan itu sekonyong-konyong ditarik dengan sekuat tenaga oleh seorang yang gagah perkasa. Bayangkanlah, apa yang akan turut tercabut bersama dahan itu dan apa yang akan tersisa!” (HR. Abu Nu’aim Al Asbahani, Hilyatul Auliya’, V/365, Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, VII/236, dan al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, IV/463).

            Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa dahsyatnya kematian (kengerian dan penderitaan saat sakaratul maut) tidak menunjukkan berkurangnya martabat bagi orang beriman, tetapi malah menjadi tambahan kebaikannya dan terhapusnya dosa-dosanya (al-Asqalani, Fath al-Bari, XI/363).

Godaan Iblis Saat Sakaratul Maut

‘Abdullah anak Imam Ahmad bin Hambal menceritakan: “Ketika ayahku menjelang wafat, aku duduk di sampingnya sambil memegang selembar kain untuk merapatkan kedua rahangnya, saat itu beliau sedang sakaratul maut. Beliau kehilangan kesadaran, sehingga kami mengira beliau telah wafat. Kemudian beliau sadar kembali sambil berkata, tidak…! belum…! tidak…! belum…! Ia mengucapkannya hingga tiga kali. Pada ucapannya yang ketiga kali aku tanyakan kepadanya: “Wahai ayahku, apa yang engkau ucapkan di saat seperti ini?”. Beliau menjawab: “Hai anakku, apakah engkau tidak mengetahui?”. “Tidak, jawabku”. Maka ia berkata: “Iblis… terlaknat! Ia duduk dihadapanku sambil menggigit ujung-ujung jarinya seraya berkata: “Hai Ahmad! Engkau (hebat) telah selamat dariku, lalu aku menjawabnya: “Tidak… belum… (Aku belum selamat darimu) hingga aku mati” (al-Dhahabi, Siyar A'lam al-Nubala‘,  XXI/403, Ibn Asakir, Tarikh Dimasyq, V/325).

Begitu kuat dan besarnya tekad iblis dalam berusaha menyesatkan manusia hingga saat-saat terakhir kehidupan manusia. Iblis terus berusaha membangkitkan perasaan ujub terhadap amal shalihnya, bahwasanya manusia telah banyak beribadah sehingga timbul riya dan sum’ah terhadap semua kebajikan dan amal shalih yang pernah dilakukannya. Ini tipu muslihat iblis agar mampu menundukkan mukmin yang tekun beribadah pada Allah.

Doa Untuk Kemudahan Sakaratul Maut

            Agar saat sakaratul maut mengalami kemudahan atau keringanan dan selamat dari tipudaya iblis, Nabi saw. mengajarkan doa-doa sebagai berikut:

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى سَكَرَاتِ الْمَوْتِ

Ya Allah, tolonglah aku saat menghadapi sakaratul maut (HR. al-Nasai, al-Sunan al-Kubra No. 7101, al-Hakim, al-Mustadrak No.3731 dan al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir No.18613). al-Hakim dan al-Dhahabi menilai sanad hadis ini sahih.

 وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِى الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ

Dan aku berlindung kepada-Mu saat setan berusaha menyesatkan aku menjelang kematian (sakaratul maut) (HR. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud No. 1554, al-Nasai, Sunan al-Nasai No. 5531, dan lain-lain). al-Albani juga menilai hadis ini sahih (al-Albani, Shahih Abi Dawud No. 1388).

(Artikel tersebut telah dimuat di Majalah MATAN PWM-Jawa Timur pada Desember 2022)

Sabtu, 12 November 2022

PENYAKIT ‘AIN, BAGAIMANA MENGHINDARINYA?

 

PENYAKIT ‘AIN

 Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ أَوْ أَخِيهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ فَإِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ

Ketika salah seorang di antara kalian kagum saat melihat dirinya sendiri, barang miliknya atau saat melihat saudaranya, maka doakanlah dengan keberkahan, karena ‘ain itu nyata (HR. al-Nasa’i No. 10872 dan al-Hakim No. 7499). 

Status Hadis

            Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Nasai dalam Sunan al-Nasai al-Kubra No. 10872, al-Hakim dalam al-Mustadrak No. 7499, Ahmad dalam al-Musnad No. 15700, Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah No. 23594, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 5447, al-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar No. 2901, dan Abu Ya’la dalam al-Musnad No. 7195. Al-Albani menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, al-Jami al-Shaghir, I/158).

Kandungan Hadis

            Hadis tersebut menerangkan bahwa serangan (penyakit) ‘ain itu nyata dapat menimpa kepada orang yang dipandangnya, sesuai dengan qada dan takdir Allah bukan karena perbuatan orang yang melakukan ‘ain (al-Munawai, Faid al-Qadir, I/492). Karena itu apabila seseorang di antaramu melihat sesuatu yang mengagumkan, apakah saat melihat dirinya sendiri, barang-barang miliknya, atau melihat orang lain maka hendaklah berdoa untuk keberkahannya. Berikut ini akan dipaparkan tentang apa itu ‘ain, bagaimana gejala-gejalanya, apa saja penyebabnya, dan bagaimana cara mengantisipasinya.

Pengertian

Al-Lajnah Al-Daimah menerangkan bahwa ‘ain itu:

مأخوذة من عان يَعين إذا أصابه بعينه، وأصلها: من إعجاب العائن بالشيء، ثم تَتبعه كيفية نفْسه الخبيثة، ثم تستعين على تنفيذ سمها بنظرها إلى المَعِين

‘Ain dari kata ‘aana – ya’iinu yang artinya terkena sesuatu hal dari mata. Asalnya dari kekaguman orang yang melihat sesuatu, lalu diikuti oleh respons jiwa yang negatif, lalu jiwa tersebut menggunakan media pandangan mata untuk menyalurkan racunnya kepada yang dipandang tersebut (Fatawa al-Lajnah Ad Daimah, 1/271).

 

Keterangan tersebut dapat difahami bahwa ‘ain adalah kekuatan negatif yang berasal dari pandangan seseorang yang disebabkan adanya rasa kagum dan rasa dengki yang dapat membahayakan orang lain. ‘Ain disebut juga dengan mata jahat atau evil eye. 

Ibn Hajar al-Asqalani menjelaskan makna ‘ain sebagai berikut:

وَالْعَيْنُ نَظَرٌ بِاسْتِحْسَانٍ مَشُوبٍ بِحَسَدٍ مِنْ خَبِيثِ الطَّبْعِ يَحْصُلُ لِلْمَنْظُورِ مِنْهُ ضَرَرٌ

‘Ain adalah pandangan kagum atau takjub disertai dengan rasa iri dengki dari seseorang yang memiliki tabiat buruk yang mengakibatkan adanya bahaya pada orang yang dilihatnya (Ibn Hajar al- ‘Asqalani, Fath al-Bari, X/ 200).

Selanjutnya, al-Munawi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ‘ain adalah

وهي النظر إلى شيء على غلة واستحسانه والحسد عليه من غير ذكر الله

‘Ain adalah pandangan pada sesuatu dalam keadaan lalai dengan rasa kagum kepadanya dan rasa dengki tanpa disertai berdzikir kepada Allah (Al-Munawi, Faid al-Qadir, IV/397).

Dari beberapa pengertian tersebut dapat difahami bahwa ‘ain ada dua macam. Pertama, pandangan dari orang yang memiliki tabiat buruk yang dalam hatinya terdapat rasa hasud, dengki, dan ingin mencelakai terhadap orang yang dipandangnya. Kedua, pandangan kekaguman atau ketakjuban dari orang yang tidak sedang merasa dengki, tetapi kekaguman tersebut tidak disertai dengan berdzikir kepada Allah. 

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang mengisyaratkan adanya ‘ain sebagai berikut:

وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُواْ الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ

Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengarkan Al-Qur’an dan mereka berkata: Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila (QS. al-Qalam, 51).

Ibnu Katsir menerangkan maksud dari kata “pandangan” dalam ayat tersebut adalah pandangan yang disertai dengan kekuatan ‘ain. Efek dari terkena pandangan ‘ain ini bermacam-macam, yakni ada yang bisa membuat orang yang dipandangnya langsung sakit, celaka, atau bahkan bisa sampai menyebabkan kematian. Seperti kejadian di zaman Rasulullah saw., yaitu ketika sahabat Amir bin Rabiah mandi bersama Sahabat Sahl bin Hanif. Amir bin Rabiah terkagum-kagum saat melihat badan Sahl bin Hanif yang putih dan bersih. Seketika itu Sahl bin Hanif pingsan, lalu para sahabat yang lain memanggil Rasulullah . Setelah meruqyah Sahl bin Hanif, beliau bersabda:

 إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ أَوْ أَخِيهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ فَإِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ

Ketika salah seorang di antara kalian kagum saat melihat dirinya sendiri, barang miliknya atau saat melihat saudaranya, maka doakanlah dia dengan keberkahan, karena ‘ain itu nyata (HR. al-Nasa’i No. 10872 dan al-Hakim No. 7499).  Al-Albani: hadis ini sahih (al-Albani, al-Jami al-Shaghir, I/158).

Gejala penyakit ‘ain

Seperti penyakit lainnya, penyakit ‘ain juga memiliki beberapa gejala. Adapun tanda atau gejala terkena gangguan ‘ain menurut Syaikh Abdul Aziz Al-Sadhan adalah, jika bukan karena penyakit jasmani (penyakit medis), maka umumnya dalam bentuk seperti: 1. Sakit kepala yang berpindah-pindah. 2. Wajah pucat. 3. Sering berkeringat dan buang air kecil. 4. Nafsu makan lemah. 5. Mati rasa. 6. Panas atau dingin di anggota badan. 7. Detak jantung yang cepat dan tidak beraturan. 8. Rasa sakit yang berpindah dari bawah punggung dan bahu. 9. Bersedih dan merasa sempit (sesak) di dada. 10. Berkeringat di malam hari. 11. Perilaku (emosi) berlebihan. 12. Ketakutan yang tidak wajar. 13. Sering bersendawa. 14. Menguap atau terengah-engah. 15. Menyendiri atau suka mengasingkan diri. 16. Diam atau malas bergerak. 17. Senang (terlalu banyak) tidur. 18. Adanya masalah kesehatan tertentu tanpa ada sebab-sebab medis yang diketahui (Muhammad Shalih al-Munajjid, Mawqi’ al-Islam Sual Wa Jawab, I/531).

Penyebab penyakit ‘ain

Penyakit ‘ain terjadi karena adanya pandangan negatif dari orang yang memiliki rasa dengki, hasud, dan mencelakai orang yang dipandanganya. Penyakit ini dapat juga muncul ketika pandangan kagum seseorang tidak disertai dengan zikir kepada Allah swt.  Syaikh al-Utsaimin mengatakan: “Engkau terkena ‘ain bukan sebab rumahmu besar atau semisalnya. Tapi sebab kurang berdzikir”.

Dalil bahwa hasad dan orang yang hasad dapat memberikan keburukan adalah surat al-Falaq ayat 5:

وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

“… dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”.

Sedangkan untuk dalil bahwa kagum juga dapat mengakibatkan keburukan ‘ain adalah hadis dari Nabi saw. yang menerangakan bahwa pada suatu waktu ada seorang sahabat yang terkena ‘ain karena pujian dan kekaguman sahabat lainnya, kemudian Rasulullah saw. bersabda:

قَالَ عَلَامَ يَقْتُلُ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ أَلَّا بَرَّكْتَ

Atas dasar apa engkau hendak membunuh saudaramu (dengan pujian tersebut)? Mengapa engkau tidak memohonkan keberkahan untuknya?” (HR. al-Nasai No. 10036 dan Ibnu Majah No. 3509). Al-Albani: hadis ini sahih (al-Albani, Shahih Wa Dhaif Ibn Majah, VIII/9).

Jadi ketika kita memuji orang lain jangan lupa ucapkan doa keberkahan seperti “baarakallahu fiik” (semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu), dan sejenisnya.

Di balik ‘ain ada hikmah yang luar biasa. Hikmah dari ‘ain adalah agar kita tidak sombong dan pamer. Bukan masalah kita dianugerahkan kekayaan, yang menjadi masalah adalah ketika kita sombong di hadapan manusia dan kita pamerkan, di situlah bisa mengundang adanya ‘ain.

Cara menghindari penyakit ‘ain

Hal pertama yang perlu dilakukan agar terhindar dari penyakit ‘ain adalah menghindari sikap suka pamer, sebaliknya hendaknya berhias diri dengan sifat rendah hati (tawaduk). Rasulullah saw. bersabda:

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sungguh Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling berendah hati agar tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlaku zalim pada yang lain” (HR. Muslim No. 2865).

Selanjutnya, berusaha menghindari menyebut-nyebut kekayaan, kesuksesan usaha, kebahagiaan keluarga, juga memamerkan foto anak, foto diri, foto istri atau suami, dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan hasud, iri-dengki dari orang yang melihatnya. Atau juga yang bisa menyebabkan kekaguman berlebihan dari orang yang melihatnya. Karena pandangan kagum juga bisa menyebabkan ‘ain, sebagaimana sudah disebutkan tadi.

Selain itu, di antara upaya pencegahan penyakit ‘ain adalah dengan menjaga dan memelihara semua kewajiban dan menjauhi segala larangan, kemudian bertaubat dari segala macam kesalahan dan dosa, juga membentengi diri dengan banyak berdzikir, berdoa, dan ber-ta’awudz (mohon perlindungan kepada Allah) sesuai yang disyariatkan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Al-Syuura, 30).

Allah swt. juga berfirman:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Al- Ra’d, 28).

Adapun dzikir atau doa pencegah ‘ain yang bisa dibacakan kepada anak-anak agar tidak terkena ‘ain adalah sebagaimana yang ada dalam hadis Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi saw. mendoakan Hasan dan Husain dengan bacaan:

أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

  “Aku meminta perlindungan untuk kalian dengan kalimat Allah yang sempurna, dari gangguan setan dan racun, dan gangguan ‘ain yang buruk”. Lalu Nabi bersabda: “Dahulu ayah kalian (Nabi Ibrahim) meruqyah Ismail dan Ishaq dengan doa ini” (HR. Abu Daud No. 4739, al-Tirmidzi No. 2060, al-Nasai No.7762, dan Ibn Majah No. 3525). Al-Albani: hadis isi sahih (al-Albani, Shahih Wa Dhaif Ibn Majah, VIII/25).

 Artikel ini telah dimuat di majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Nopember 2022

 

 

 

 

 

Jumat, 07 Oktober 2022

KELEMBUTAN DAN KETEGASAN NABI MUHAMMAD SAW.

 

KELEMBUTAN DAN KETEGASAN

NABI MUHAMMAD SAW.

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

قَالَ زَيْدُ بن سَعْنَةَ: مَا مِنْ عَلامَاتِ النُّبُوَّةِ شَيْءٌ إِلا وَقَدْ عَرَفْتُهَا فِي وَجْهِ مُحَمَّدٍ حِينَ نَظَرْتُ إِلَيْهِ، إِلا اثْنَيْنِ لَمْ أُخْبَرْهُمَا مِنْهُ: يَسْبِقُ حِلْمُهُ جَهْلَهُ، وَلا يَزِيدُهُ شِدَّةُ الْجَهْلِ عَلَيْهِ إِلا حِلْمًا  

Zaid bin Sa’nah berkata: “Saya sudah menyaksikan tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad, kecuali dua hal yang belum kuketahui, yaitu   (1)Kesabaran dan kelembutannya mendahului sikap kasar dan kecerobohannya, (2)semakin ia diperlakukan kasar, ia semakin bertambah lembut dan kesabarannya”.

(HR. al-Thabrani No. 137 dan al-Hakim No. 6547)

 Status Hadis

            Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 137 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak No. 6547. Selain itu juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam Shahih Ibn Hibban No. 288, al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubra No. 11615, dan al-Haytsami dalam Majma’ al-Zawaid Wa al-Manba’ al-Fawaid No. 13898.

Ulama berbeda pendapat tentang status hadis tersebut. Al-Albani menilai hadis tersebut dhaif karena ada perawi bernama Hamzah bin Yusuf bin Abdillah bin Salam yang tidak dikenal (al-Albani, Silsilat al-Ahadis al-Dha’ifah Wa al-Maudu’ah, III/516).  Sedangkan Al-Hakim menilai hadis tersebut sanadnya shahih (al-Hakim, al-Mustadrak, III/700). Ibn Hibban juga mensahihkan dan memasukkannya dalam kelompok para perawi tsiqah (Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, I/521).

Hadis tersebut juga populer dalam kitab-kitab Tarikh, di antaranya Ibn Katsir dalam al-Sirah al-Nabawiyah, I/296; al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam Li al-Dzahabi, II/663; al-Kandahlawi dalam Hayat al-Shahabah, I/148; Abu Nu’aym dalam Ma’rifat al-Shahabah, III/1184; Ibn al-Atsir dalam Usud al-Ghabah, 400; dan al-Asbahani dalam Dalail al-Nubuwwah, 233.

Kandungan Hadis

            Hadis tersebut menerangkan tentang peristiwa yang dialami sahabat Nabi bernama Zaid bin Sa’nah. Sebelum masuk Islam, ia adalah pemuka agama Yahudi. Ia masuk Islam setelah berhasil membuktikan sifat Nabi yang sangat lembut dan sangat penyabar. Berikut ini kisah lengkapnya.

Kelembutan dan Kesabaran Nabi Saw.

Suatu saat Nabi Saw bersama Ali ra, lalu datang seorang badwi menjumpainya. Badwi itu berkata: Wahai Nabi, warga Bushra kampung Bani Fulan telah masuk Islam. Saya pernah berkata kepada mereka bahwa jika mereka masuk Islam akan dibantu untuk kesejahteraan mereka. Saat ini mereka sedang tertimpa bencana kelaparan, saya khawatir mereka akan keluar dari Islam. Saya minta tolong agar mereka dapat dibantu untuk meringankan beban deritanya.

Nabi Saw bertanya kepada Ali barangkali ada sesuatu yang dapat diperbantukan kepada mereka. Ali berkata bahwa tidak ada yang bisa diperbantukan kepada mereka (Baitul mal dalam keadaan menipis). Zaid bin Sa’nah, seorang Yahudi, kemudian menawarkan kepada Nabi untuk meminjamkan uang sebesar 80 mitsqal emas. Nabi setuju meminjam dari Zaid yang Yahudi itu kemudian dibelikan kurma dan diserahkan kepada orang Badwi tadi untuk diperbantukan kepada masyarakat yang telah tertimpa bencana kelaparan.

Sebelum jatuh tempo, dua atau tiga hari masa yang dijanjikan untuk mengembalikan pinjaman, Zaid bin Sa’nah datang menemui Nabi yang sedang berada di tengah-tengah para sahabatnya. Saat itu Zaid langsung memegang baju dan menarik-narik selendang beliau sambil berkata: Wahai Muhammad! Kapan hutangmu kau bayar? Aku kenal keturunan bani Abdil Muttalib tidak ada yang suka mengulur-ulur hutang! Melihat pemandangan seperti itu, Umar bin Khattab marah dan menghunus pedangnya ingin memenggal lehar Zaid yang bertindak kurang ajar kepada sang Nabi. Saat itu, beliau (Nabi Saw) dengan wajah yang tenang dan penuh kelembutan berkata kepada Umar: “Wahai Umar, kita ini diperintahakan untuk bisa melayaninya dengan baik. Tidak berlaku kasar”.

Saat itu Umar kemudian mencari dana untuk pembayaran hutangnya hingga terkumpul sejumlah yang dibutuhkan. Setelah itu Umar datang menemui Nabi saw. Kepada Umar, Nabi memerintahkan agar uang itu segera diserahkan kepada Zaid bin Sa’nah dan ditambahkan dengan 20 takar kurma.

Setelah sampai di rumah Zaid, Umar menyerahkan uang pinjamannya sambil menambahkan 20 takar kurma. Saat itu Zaid bertanya, kenapa ada tambahan 20 takar kurma? Umar menjawab, Nabi yang memerintahkannya sebagai ganti saya telah berlaku kasar (membentak) kepada anda. Wahai Umar kau kenal aku? Tidak, jawab Umar. Aku adalah Zaid Bin Sa’nah, pendeta yahudi yang kaya raya.

Mendengar penjelasan Zaid bin Sa’nah, Umar lalu penasaran dan bertanya: kenapa anda kemarin berlaku kasar kepada Nabi? Zaid menerangkan: “Wahai Umar, ketahuilah bahwa sebenarnya saya telah mengetahui tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad, kecuali dua hal yang belum aku saksikan, yaitu:

يَسْبِقُ حِلْمُهُ جَهْلَهُ وَلا تَزِيدُ شِدَّةُ الْجَهْلِ عَلَيْهِ إِلا حِلْمًا

(1)Kesabaran dan kelembutannya mendahului sikap kasar dan kecerobohannya, (2)semakin ia diperlakukan kasar, ia semakin bertambah lembut dan kesabarannya.”

فَقَدْ أُخْبِرْتُهُمَا، فَأُشْهِدُكَ يَا عُمَرُ أَنِّي قَدْ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا

Wahai Umar, kini aku telah mengetahui dan menyaksikan dua tanda-tanda kanabian itu padanya, karena itu saksikan bahwa saat ini aku menyatakan “Aku telah ridha, Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Nabiku.

Saksikan juga bahwa separoh hartaku atau sebagian besar dari hartaku akan aku sumbangkan untuk kepentingan umat Muhammad saw. (HR. al-Thabrani, al-Hakim, al-Bayhaqi, dan lain-lain).

Ketegasan Nabi saw.

            Selain memiliki sifat yang lembut dan penyabar, Nabi saw. juga memiliki sifat yang sangat tegas dan pemberani, terutama saat menghadapi orang-orang yang sombong dan kejam. Dalam kitab al-Sirah Nabawiyah dikisahkan:

Suatu ketika ada seorang lelaki dari kampung Irasy menuju ke kota Makkah untuk menjual seekor unta. Sampai di Makkah, ia bertemu Abu Jahal kemudian unta itu dijual kepadanya. Abu Jahal setuju untuk membelinya, tetapi Abu Jahal menunda atau memperlambat pembayarannya.

Orang kampung itu pun mencari orang yang dapat membantu untuk mendapatkan uangnya. Saat itu ia mendatangi sekelompok orang Quraisy dan bertanya kepada mereka: “Apakah ada orang yang dapat menolong saya untuk memintakan uang (penjualan unta) dari Abu Jahal? Saya ini orang jauh, orang kampung. Ia (Abu jahal) telah membeli unta saya tetapi hingga sekarang belum dibayar.

Orang-orang Quraisy itu kemudian menunjuk seseorang yang sedang duduk di sisi masjid al-Haram (Nabi Muhammad Saw). Mereka menunjuk kepada Muhammad dengan maksud untuk melecehkannya, karena mereka tahu bahwa antara Nabi Muhammad Saw dengan Abu Jahal telah terjadi permusuhan.

Orang kampung itu pun mendatangi Nabi Muhammad Saw. Di hadapan Nabi Saw, ia menceritakan nasibnya yang telah didzalimi oleh Abu jahal, yaitu unta yang dibeli oleh Abu Jahal itu hingga sekarang masih belum dibayar, padahal ia ingin segera pulang ke kampungnya. Nabi Saw saat itu kasihan lalu ingin membantu orang kampung Irasy itu.

Ketika orang-orang Quraisy itu melihat orang kampung menuju kepada Nabi Muhammad Saw, mereka berkata satu dengan yang lain (sambil mengejek): “coba perhatikan apa yang akan terjadi, kalau Muhammad bertemu dengan Abu Jahal? Karena antara Muhammad dengan Abu jahal telah terjadi permusuhan”.

Nabi Saw. kemudian mengajak orang kampung itu menuju ke rumah Abu Jahal. Di depan pintu rumahnya, Nabi Saw mengetuk pintu. Abu Jahal penasaran: “Siapa itu yang mengetuk pintu?” Saya Muhammad, keluarlah wahai Abu Jahal, ada masalah penting yang harus kau selesaikan!

Mendengar suara Muhammad Saw, ia pun keluar. Saat itu tampak wajah Abu Jahal pucat, grogi dan ketakutan. Selanjutnya Nabi Muhammad Saw mengatakan: “Wahai Abu Jahal, segera berikan haknya orang ini, jangan bikin masalah, jangan kau bikin susah pada orang kampung ini”!

Saat itu Abu Jahal berkata: baiklah, jangan marah, akan kuberikan haknya. Abu Jahal kemudian masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan uangnya lalu diberikan kepada orang kampung yang telah menjual untanya tadi. Setelah urusan selesai, Nabi Saw meninggalkan rumah Abu Jahal dan berkata kepada orang kampung tadi: “sekarang lanjutkan urusanmu”!

Selesai ditolong Nabi Saw, orang kampung Irasy tadi mendatangi sekelompok orang Quraisy lalu mengatakan: “semoga dia (Nabi Saw) mendapatkan balasan dari Allah karena telah berhasil membantu untuk mendapatkan hak saya”. Orang-orang Quraisy tadi jadi penasaran dan bertanya, apa yang terjadi? Orang kampung itu pun menceritakan kejadian yang amat mengagumkan. Katanya: “ketika Muhammad mendatangi rumah Abu Jahal dan mengetuk pintunya maka Abu Jahal keluar. Saat itu Nabi mengatakan: “segera berikan haknya”. Abu Jahal kemudian mengatakan: “baiklah, akan saya ambilkan uangnya dan saya berikan haknya, tolong jangan marah.”

Mendengar kisah yang aneh itu, orang-orang Quraisy menemui Abu Jahal dan bertanya kepadanya dengan penuh penasaran. Wahai Abu Jahal, apa sebenarnya yang terjadi? Tidak seperti biasanya, kamu berani bicara lantang dan menentang kepadanya. Tetapi kenapa tadi kamu begitu lemah dan tak berdaya. Apa yang sesunggunhnya terjadi?

Abu Jahal kemudian bercerita: “Demi Allah, peristiwa seperti yang terjadi tadi belum pernah kualami. Kalian tahu, saat Muhammad mengetuk pintu rumahku dan mendengar suara Muhammad, sepontan aku ketakutan, dan saat aku keluar menemui Muhammad, aku melihat di atas kepalanya tampak seekor unta jantan (yang siap merenggutku) yang tak pernah kulihat sebelumnya, baik kepalanya, ekornya maupun taringnya. Luar biasa. Abu Jahal mengatakan:

فوالله لو أبيت لاكلني

(Demi Allah, sekiranya aku tidak menuruti apa yang diinginkan oleh Muhammad, maka unta itu akan merenggutku).

Dalam kisah lain diterangkan, ketika peristiwa aneh tersebut sampai kepada Nabi saw., Beliau bersabda: “makhluk itu adalah malaikat Jibril, jika Abu Jahal mendekat maka akan direnggutnya” (Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam, I/390; al-Suyuti, al-Khashaish al-Kubra, I/209; al-Bayhaqi, Dalail al-Nubuwwah, II/194; Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, IV/116; dan al-Halabi, al-Sirah al-Halabiyah Fi Sirat al-Amin Wa al-Ma’mun, I/464).

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM JATIM edisi Oktober 2022)