Kamis, 08 Desember 2022

GODAAN SAKARATUL MAUT

 

SAKARATUL MAUT

Oleh

DR.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَتْ تَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ أَوْ عُلْبَةٌ فِيهَا مَاءٌ يَشُكُّ عُمَرُ فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فِي الْمَاءِ فَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ وَيَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُولُ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى حَتَّى قُبِضَ وَمَالَتْ يَدُهُ (رواه البخارى)

Aisyah ra. berkata bahwasanya di hadapan Rasulullah saw. ada satu bejana kecil dari kulit atau kotak yang berisi air (Umar ragu). Beliau memasukkan kedua tangan ke dalamnya dan membasuh muka dengannya seraya berkata: “Laa Ilaaha Illa Allah. Sesungguhnya kematian memiliki sakaratul maut (kepedihan)”. Beliau menegakkan tangannya dan berkata: “Menuju Rafiq al-A’la”. Sampai akhirnya nyawa beliau tercabut dan tangannya melemas” (HR. al-Bukhari No. 6510).

Status Hadis

            Hadis tersebut dinilai shahih oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam Sahih al-Bukhari No. 6510. Selain al-Bukhari, beberapa ulama hadis yang juga meriwayatkan hadis tersebut di antaranya al-Daynuri (w. 333 H) dalam al-Mujalasah Wa Jawahir al- ‘Ilm No. 173, al-Thabrani (w. 360 H) dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 78, Ibn ‘Asakir (w. 571 H) dalam Ittihaf al-Zair, I/117, Ibn al-Kharrath (w. 581 H) dalam al-Ahkam al-Kubra, II/557, al-Mizzi (w. 742 H) dalam Tuhfat al-Asyraf No. 16077, dan al-Suyuthi (w. 911 H) dalam Jami’ al-Ahadis No. 16978. Al-Albani juga menilai hadis tersebut shahih (al-Albani, al-Jami’ al-Shaghir No. 13131.

Kandungan Hadis

            Hadis tersebut menerangkan tentang saat-saat terakhir menjelang wafatnya Nabi saw.  Saat itu Nabi memasukkan kedua tangannya ke dalam bejana yang terbuat dari kulit atau kotak berisi air, kemudian membasuh muka dengannya seraya berkata: “Laa Ilaaha Illa Allah. Sesungguhnya kematian memiliki sakaratul maut (kepedihan)”. Setelah itu beliau menegakkan tangannya atau jarinya dan berkata: “Menuju Rafiq al-A’la”. Sampai akhirnya nyawa beliau tercabut dan tangannya melemas.

Makna Sakaratul Maut

Sakaratul maut terdiri dari dua kata, sakarat dan al-maut. Sakarat dari kata sakara yang berarti menutup. Seorang yang mabuk ditunjukkan dengan kata sakran karena akalnya tertutup. Kata sakaratul maut difahami oleh kebanykan ulama sebagai kesulitan dan rasa sakit yang dahsyat yang dialami oleh seseorang beberapa saat sebelum ruhnya meninggalkan badan. Kondisi ini dirasakan oleh semua orang yang sedang mengalami sakaratul maut, saat menghadapi kematiannya. Nabi saw juga mengalaminya.  Dalam hadis riwayat al-Bukhari, Anas ra. menceritakan bahwa tatkala kondisi Nabi semakin memburuk, Fatimah berkata: “Sungguh berat penderitaanmu wahai Ayahku”. Beliau menjawab: لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ بَعْدَ الْيَوْمِ

 “Tidak ada penderitaan atas Ayahmu setelah hari ini…” (HR. al-Bukhari No. 4446).

Selanjutnya dalam hadis riwayat al-Tirmidzi, ‘Aisyah ra. menceritakan: “Aku tidak iri kepada siapapun atas kemudahan kematian(nya), sesudah aku melihat kepedihan kematian pada Rasulullah saw.” (HR. al-Tirmidzi No. 979).

Lebih lanjut, terjadinya sakaratul maut ini dijelaskan oleh Nabi saw secara rinci pada hadis riwayat Ahmad dalam al-Musnad No. 18534 dan al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman No. 390. Nabi saw menuturkan: “Sesungguhnya bila seorang yang beriman hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Wajah mereka putih bercahaya bak matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga. Selanjutnya mereka akan duduk sejauh mata memandang dari orang tersebut. Pada saat itulah Malaikat Maut ‘alaihissalam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: “Wahai jiwa yang baik, bergegas keluarlah dari ragamu menuju kepada ampunan dan keridhaan Allah. Segera ruh orang mukmin itu keluar dengan begitu mudah dengan mengalir bagaikan air yang mengalir dari mulut guci. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangan Malaikat Maut. Para malaikat segera mengambil ruh orang mukmin itu dan membungkusnya dengan kain kafan dan wewangian yang telah mereka bawa dari surga. Dari wewangian ini akan tercium semerbak bau harum, bagaikan bau minyak misik yang paling harum yang pernah ada di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruhnya itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: “Ruh siapakah ini, begitu harum”. Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: “Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terbaik yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya)” …

Bila orang kafir, pada riwayat lain: Bila orang jahat hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Mereka berwajah hitam kelam, membawa kain yang kasar, dan selanjutnya mereka duduk darinya sejauh mata memandang. Pada saat itulah Malaikat Maut ‘alaihissalam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: “Wahai jiwa yang buruk, bergegas keluarlah dari ragamu menuju kepada kebencian dan kemurkaan Allah”. Segera ruh orang jahat itu menyebar ke seluruh raganya. Tanpa menunda-nunda malaikat maut segera mencabut ruhnya dengan keras, bagaikan mencabut kawat bergerigi dari bulu domba yang basah. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat Maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangannya. Para malaikat segera mengambil ruh orang jahat itu dan membungkusnya dengan kain kasar yang mereka bawa. Dari kain itu tercium aroma busuk bagaikan bau bangkai paling menyengat yang pernah tercium di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruh itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: “Ruh siapakah ini, begitu buruk.” Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: “Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terburuk yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya)” (HR. Ahmad dan Ibn Majah). Al-Albani: hadis ini sahih (al-Albani, Ahkam al-Jazaiz, I/156-158).

Allah memperingatkan: “Seandainya saja engkau melihat pada waktu orang-orang zalim itu (berada) dalam kesakitan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya (sembari berkata), “Keluarkanlah nyawamu!” Pada hari ini kamu akan dibalas dengan azab yang sangat menghinakan karena kamu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya” (QS. Al-An’am, 93).

Dalam Tafsir al-Qur’an al- ‘Adzim (QS. Al-Qiyamah, 26-30 dan al-Waqi’ah, 83-87), Ibn Katsir (w. 1372 M) menggambarkan suasana sakaratul maut: “Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau”.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah berita dari Allah subhanahu wata’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat. Mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, VIII/281).

            Syaikh al-Sa’di (w. 1957 M) menjelaskan: “Allah mengingatkan para hamba-Nya dengan keadaan orang yang sedang sekarat (akan tercabut nyawanya), bahwa ketika ruh sampai pada taraqi yaitu tulang-tulang yang meliputi ujung leher (kerongkongan). Maka pada saat itulah penderitaan mulai berat, (ia) mencari segala sarana yang dianggap menyebabkan kesembuhan atau kenyamanan. Karena itu Allah berfirman: “Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang akan dapat menyembuhkan?” Artinya siapa yang akan meruqyahnya (dari kata ruqyah). Pasalnya, mereka telah kehilangan segala terapi umum yang mereka pikirkan, sehingga mereka bergantung sekali pada terapi Ilahi. Namun qadha dan qadar jika telah tiba, maka tidak dapat ditolak. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan dengan dunia. Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan).

Maksudnya kesengsaraan jadi satu dan berkumpul. Urusan menjadi berbahaya, penderitaan semakin sulit, nyawa diharapkan keluar dari badan yang telah ia huni dan masih bersamanya. Maka dihalau menuju Allah Ta’ala untuk dibalasi amalannya, dan mengakui perbuatannya.

Peringatan Allah ini akan dapat mendorong hati siapa saja untuk bergegas menuju keselamatannya, dan menahannya dari perkara yang menjadi kebinasaannya. Tetapi, orang yang menantang, orang yang tidak mendapat manfaat dari ayat-ayat, senantiasa berbuat sesat dan kekufuran serta penentangan” (Abd al-Rahman al-Sa’di, Taysir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, I/900).

Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Karena itu para Nabi as. adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ

“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.”

(HR. Al-Tirmidzi No. 2398, Ibnu Majah No. 4023, dan lain-lain). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah al-Kamilah, I/142).


          Pada suatu hari sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Ka’ab al-Ahbar:

 ياكعْبُ! حَدِّثْنَا عَنِ الْمَوْتفَقَالَ يا أمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! إِنَّ الْمَوْتَ كغُصْنٍ كثِيرِ الشَّوْك أدْخِلَ في جَوْفِ رَجُلٍ، فَأخَذَتْ كلُّ شَوْكة بِعِرْقٍ، ثُمَّ جَذَبَه رَجُلٌ شَدِيدَ الْجَذْبِ، فَأخَذَ مَا أخَذَ وَأبْقَى مَا أبْقَى

“Wahai Ka’ab, ceritakan kepada kami tentang kematian (sakaratul maut)”. Ka’ab pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin! Gambaran sakitnya kematian adalah bagaikan sebatang dahan yang banyak berduri tajam, tersangkut di kerongkongan, sehingga setiap duri menancap di setiap syarafnya. Selanjutnya dahan itu sekonyong-konyong ditarik dengan sekuat tenaga oleh seorang yang gagah perkasa. Bayangkanlah, apa yang akan turut tercabut bersama dahan itu dan apa yang akan tersisa!” (HR. Abu Nu’aim Al Asbahani, Hilyatul Auliya’, V/365, Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, VII/236, dan al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, IV/463).

            Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa dahsyatnya kematian (kengerian dan penderitaan saat sakaratul maut) tidak menunjukkan berkurangnya martabat bagi orang beriman, tetapi malah menjadi tambahan kebaikannya dan terhapusnya dosa-dosanya (al-Asqalani, Fath al-Bari, XI/363).

Godaan Iblis Saat Sakaratul Maut

‘Abdullah anak Imam Ahmad bin Hambal menceritakan: “Ketika ayahku menjelang wafat, aku duduk di sampingnya sambil memegang selembar kain untuk merapatkan kedua rahangnya, saat itu beliau sedang sakaratul maut. Beliau kehilangan kesadaran, sehingga kami mengira beliau telah wafat. Kemudian beliau sadar kembali sambil berkata, tidak…! belum…! tidak…! belum…! Ia mengucapkannya hingga tiga kali. Pada ucapannya yang ketiga kali aku tanyakan kepadanya: “Wahai ayahku, apa yang engkau ucapkan di saat seperti ini?”. Beliau menjawab: “Hai anakku, apakah engkau tidak mengetahui?”. “Tidak, jawabku”. Maka ia berkata: “Iblis… terlaknat! Ia duduk dihadapanku sambil menggigit ujung-ujung jarinya seraya berkata: “Hai Ahmad! Engkau (hebat) telah selamat dariku, lalu aku menjawabnya: “Tidak… belum… (Aku belum selamat darimu) hingga aku mati” (al-Dhahabi, Siyar A'lam al-Nubala‘,  XXI/403, Ibn Asakir, Tarikh Dimasyq, V/325).

Begitu kuat dan besarnya tekad iblis dalam berusaha menyesatkan manusia hingga saat-saat terakhir kehidupan manusia. Iblis terus berusaha membangkitkan perasaan ujub terhadap amal shalihnya, bahwasanya manusia telah banyak beribadah sehingga timbul riya dan sum’ah terhadap semua kebajikan dan amal shalih yang pernah dilakukannya. Ini tipu muslihat iblis agar mampu menundukkan mukmin yang tekun beribadah pada Allah.

Doa Untuk Kemudahan Sakaratul Maut

            Agar saat sakaratul maut mengalami kemudahan atau keringanan dan selamat dari tipudaya iblis, Nabi saw. mengajarkan doa-doa sebagai berikut:

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى سَكَرَاتِ الْمَوْتِ

Ya Allah, tolonglah aku saat menghadapi sakaratul maut (HR. al-Nasai, al-Sunan al-Kubra No. 7101, al-Hakim, al-Mustadrak No.3731 dan al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir No.18613). al-Hakim dan al-Dhahabi menilai sanad hadis ini sahih.

 وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِى الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ

Dan aku berlindung kepada-Mu saat setan berusaha menyesatkan aku menjelang kematian (sakaratul maut) (HR. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud No. 1554, al-Nasai, Sunan al-Nasai No. 5531, dan lain-lain). al-Albani juga menilai hadis ini sahih (al-Albani, Shahih Abi Dawud No. 1388).

(Artikel tersebut telah dimuat di Majalah MATAN PWM-Jawa Timur pada Desember 2022)