Kamis, 11 Desember 2014

MENYAMBUT TAHUN BARU


MENYAMBUT TAHUN BARU,
BAGAIMANA UMAT ISLAM HARUS MENYIKAPINYA?

Oleh


DR.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I

Pertanyaan:
Bagaimana hukum menyambut atau merayakan tahun baru bagi umat Islam? Kalau boleh, bagaimana sebaiknya cara-cara yang bisa kita lakukan agar tidak terjebak pada perbuatan yang terlarang?  
Jawab:
Pergantian tahun, dari akhir tahun ke tahun baru yang biasa diistilahkan dengan pergantian Old and New adalah sesuatu yang sudah biasa. Biasa karena memang setiap tahun pasti terjadi. Yang membedakan adalah cara menyambutnya atau menyikapinya. Sebagian masyarakat bahkan suatu negara ada yang menyambutnya dengan gegap gempita, sorak-sorai penuh kegembiraan dalam merayakannya. Sementara yang lain menyambutnya dengan biasa-biasa saja.
Terjadinya pergantian tahun merupakan sunnatullah yang diterapkan demi kelangsungan kehidupan dan telah tertera di dalam al-Quran Surat Yunus ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus, 5)
Selanjutnya firman Allah Surat al-Isra ayat 12:
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا
 “Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (QS. Al-Isra, 12)
Dua ayat tersebut memberikan informasi bahwa adanya pergantian hari, bulan dan tahun adalah merupakan ketentuan Allah yang berlaku di dunia ini. Karena itu maka sebagai kaum muslimin pada dasarnya kita boleh-boleh saja menyambut tahun baru asal dalam menyambutnya tidak dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam atau akidah Islam. Seperti pergi ke tempat-tempat wisata dengan melakukan maksiat, pacaran/pergaulan bebas, atau menjalani ritual-ritual tertentu yang bertentangan dengan akidah dan ibadah kita.
 Budaya masyarakat kita yang suka kumpul-kumpul dalam menyambut tahun baru,  sebaiknya kita jadikan ladang untuk melakukan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.  Bentuk kegiatan yang kita lakukan hendaknya kegiatan-kegiatan yang menarik dan positif agar masyarakat tidak terjebak pada perbuatan yang dilarang syari’at.
Beberapa kegiatan yang bisa kita lakukan misalnya dengan muhasabah(instrospeksi diri) terhadap kegiatan-kegiatan kita, baik secara pribadi maupun sebagai umat Islam selama satu tahun yang lewat, yang dikemas dengan tabligh akbar atau seminar yang digelar di masjid-masjid atau tempat-tempat yang strategis dan menarik bagi jamaah untuk mendatanginya. Kegiatan ini penting untuk mengkondisikan diri agar dapat mengontrol, mengevaluasi diri apa saja yang sudah kita lakukan, dan selanjutnya berupaya memperbaiki dan meningkatkannya agar kehidupan selanjutnya menjadi lebih baik . Allah Swt berfirman:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Al-Hasyr 18).
            Selain dengan kemasan tabligh akbar atau seminar, bisa juga dengan melakukan kajian-kajian keislaman yang berkaitan dengan masalah aqidah, akhlak dan ibadah dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas diri agar tahun depan lebih baik dari tahun sebelumnya. Termasuk mengevaluasi strategi dakwah kita selama ini, apakah masih relevan atau perlu ada metode baru yang lebih efektif dan lebih mengenai sasaran.
                  Demikian beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam menyambut dan mengisi semangat tahun baru. Tentu kegiatan tersebut merupakan beberapa alternatif yang bisa kita lakukan, dan insya Allah masih banyak lagi alternatif lain yang dapat kita lakukan untuk menarik perhatian masyarakat, terutama kaum mudanya, sehingga mereka berkenan gabung dengan kita. Harapan kita, dengan demikian dapat mengkondisikan mereka agar terhindar dari budaya-budaya yang dapat merusak akhlak umat (khususnya kamu muda Islam), dan selanjutnya lebih fokus pada upaya pencapaian masa depan yang  penuh dengan kesuksesan dan kegemilangan.
Dari sekian banyak kegiatan yang terkait dengan penyambutan tahun baru,  yang tak kalah pentingnya adalah melakukan “MUHASABAH” atau Evaluasi Diri. Adapaun hal-hal yang dapat  dievaluasi antara lain:
1. Bagaimana dengan shalat lima waktu kita, sudahkah kita biasa melakukannya dengan berjamaah? Bagaimana dengan shalat sunnah rawatib, shalat dhuha, dan shalat tahajjud kita.....? Sudahkah kita melakukannya secara istiqamah?
2. Bagaimana dengan zakat, infaq dan sedekah kita? Sudahkah secara rutin dan istiqamah dapat kita laksanakan? Sudahkah kita gemar berbagi ?
3. Bagaimana dengan Qira’atul Qur’an kita? Sudahkah kita secara istiqamah/rutin membaca al-Qur’an setiap hari? Sudah mampukah kita mengkhatamkannya setiap bulan?
4. Bagaimana dengan puasa-puasa sunnah kita? Sudahkah kita membiasakannya puasa (shaum) Senin-Kamis? Dll ...
5. Bagaimana dengan kegiatan ngaji kita? Sudahkah kita bisa mengikutinya, minimal seminggu sekali?
6. Bagaimana dengan keikut-sertaan kita dalam berorganisasi, ikut memikirkan umat, dalam rangka amar makruf nahi munkar? Apa yang bisa kita berikan kepada umat?
7. Bagaimana dengan hati kita ? Bisakah kita menjaga kebersihannya? Tidak mudah berprasangka buruk (su’udzdzan) kepada orang lain, dan sebaliknya, dapatkah kita membiasakan berprasangka baik (husnudzdzan) dan berpikiran positif?

            Semoga kehidupan kita yang akan datang lebih bermakna, bermartabat dan mencerahkan.

Selasa, 04 November 2014

SYAHID DAN PAHLAWAN

APAKAH PAHLAWAN PASTI MATI SYAHID ?

Disajikan oleh


DR.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I

Pertanyaan:
Ustadz rahimakumullah!
Kami mohon penjelasan mengenai mati syahid. Apakah yang dimaksud dengan mati syahid itu? Apakah mati syahid hanya diperoleh bagi orang yang meninggal di medan perang? Apakah para pahlawan kita yang gugur di medan tempur juga bisa disebut mati syahid?
Terima kasih atas penjelasannya. Jazakumullah khairan katsiran!
Jawab:
Secara bahasa, syahid berasal dari kata sya-hi-da [arab: شَهِدَ] yang artinya bersaksi atau hadir. Saksi kejadian, artinya hadir dan ada di tempat kejadian.  Secara istilah, syahid umumnya digunakan untuk menyebut orang yang meninggal di medan jihad (perang suci) dalam rangka menegakkan kalimat Allah. Bentuk jamak dari syahid adalah syuhada, artinya orang-orang yang mati syahid.
Ulama berbeda pendapat tentang alasan mengapa mereka disebut syahid. Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan ada sekitar 14 pendapat tentang makna syahid. Di antaranya adalah karena orang yang mati syahid hakekatnya masih hidup, seolah ruhnya menyaksikan, artinya hadir. Ini merupakan pendapat Al-Nadlr bin Syumail. Sementara Ibn al-Anbari berpendapat, karena Allah dan para malaikatnya bersaksi bahwa dia ahli surga. Ulama yang lain berpendapat, karena ketika ruhnya keluar, dia menyaksikan bahwa dirinya akan mendapatkan pahala yang dijanjikan. Karena disaksikan bahwa dirinya mendapat jaminan keamanan dari neraka. Karena ketika meninggal tidak ada yang menyaksikannya kecuali malaikat penebar rahmat. Dan masih ada beberapa pendapat lainnya. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, VIII/438).

            Mati syahid adalah sebaik-baik kematian. Banyak sahabat Nabi yang bercita-cita ingin mati syahid, tetapi tidak semuanya berhasil mati syahid di medan juang. Di antara mereka yang syahid di medan juang (berperang di jalan Allah) adalah, Hamzah bin Abdul Muthalib yang syahid dalam perang Uhud melawan kafir Quraisy, Jakfar bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abdullah bin Rawahaih yang syahid dalam perang melawan Rumawi. Masih banyak lagi para shahabat yang syahid di medan juang. Adapun di antara mereka yang tidak mendapatkan kesyahidan di medan juang adalah “Saifullah” Khalid bin Walid, meskipun ia sebenarnya layak mendapatkan julukan sebagai pahlawan besar, mengingat jasa-jasanya yang memenangkan di berbagai pertempuran melawan musuh-musuh Islam.
            Gelar syahid adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamabaNya yang beriman dan berjuang mempertahankan kebenaran. Di antara mereka itu adalah yang meninggal pada saat berjuang fi sabilillah, berperang memperjuangkan agama Allah. Selain itu, Nabi Saw juga memberi gelar syahid kepada orang-orang yang mati bukan karena berperang melawan musuh Allah, tetapi mati karena melahirkan, karena kebakaran, karena tenggelam dan lain-lain.  Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw pernah bertanya kepada para sahabat, “Siapakah yang disebut syahid menurut kalian?” ‘Orang yang mati di jalan Allah, itulah syahid.’ Jawab para sahabat serempak. “Berarti orang yang mati syahid di kalangan umatku hanya sedikit.” Lanjut Nabi Saw. “Lalu siapa saja mereka, wahai Rasulullah?’ tanya sahabat. Kemudian Nabi Saw menyebutkan orang-orang yang bergelar syahid, yaitu:
مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَالْغَرِيقُ شَهِيدٌ
“Siapa yang terbunuh di jalan Allah (medan perang), dia syahid. Siapa yang mati (tidak terbunuh dalam perang) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid. Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid.” (HR. Muslim No. 1915).
Dalam hadis lain, dari Abdullah bin Amr ra, Nabi Saw bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“Siapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid.” (HR. Bukhari No. 2480).
Dari Jabir bin Atik ra.  Rasulullah Saw bersabda:
الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ
“Selain yang terbunuh di jalan Allah, mati syahid ada tujuh: mati karena tha’un syahid, mati karena tenggelam syahid, mati karena sakit tulang rusuk syahid, mati karena sakit perut syahid, mati karena terbakar syahid, mati karena tertimpa benda keras syahid, wanita yang mati karena melahirkan syahid.” (HR. Abu Daud No. 3111). Hadis ini shahih menurut Al-Albani (Sunan Abi Dawud, ta’liq Al-Albani, III/156).
Jika mereka yang syahid dalam perang fi sabilillah tidak perlu dimandikan, dikafani dan dishalati, maka bagi mereka yang syahid bukan karena perang, jenazahnya diperlakukan sebagaimana jenazah kaum muslimin pada umumnya. Artinya tetap wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan. Para ulama mengistilahkan dengan syahid akhirat. Di akhirat dia mendapat pahala syahid, namun di dunia dia ditangani sebagaimana umumnya jenazah.
Ketika mejelaskan hadis daftar orang yang mati syahid selain di medan jihad, Badr al-Din al-‘Aini al-Hanafi mengatakan: “Mereka mendapat gelar syahid secara status, bukan hakiki. Dan ini karunia Allah untuk umat ini, Dia menjadikan musibah yang mereka alami (ketika mati) sebagai pembersih atas dosa-dosa mereka, dan ditambah dengan pahala yang besar, sehingga mengantarkan mereka mencapai derajat dan tingkatan para syuhada hakiki. Karena itu, mereka tetap dimandikan, dan ditangani sebagaimana umumnya jenazah kaum muslimin.” (Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, 21/273).
Imam al-Nawawi mengatakan:
 الشُّهَدَاء ثَلَاثَة أَقْسَام : شَهِيد فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَة ، وَهُوَ الْمَقْتُول فِي حَرْب الْكُفَّار ، وَشَهِيد فِي الْآخِرَة دُون أَحْكَام الدُّنْيَا ، وَهُمْ هَؤُلَاءِ الْمَذْكُورُونَ هُنَا ، وَشَهِيد فِي الدُّنْيَا دُون الْآخِرَة ، وَهُوَ مَنْ غَلَّ فِي الْغَنِيمَة أَوْ قُتِلَ مُدْبِرًا
Mati syahid itu ada tiga kategori, pertama Syahid dunia dan akhirat, mereka itu adalah orang yang terbunuh karena di medan perang melawan orang kafir. Kedua, Syahid akhirat, namun hukum di dunia tidak syahid. Mereka itu adalah orang yang disebut (dalam kelompok tujuh syahid di atas). Ketiga, Syahid dunia, dan bukan akhirat. Dialah orang yang mati di medan jihad, sementara dia ghulul (mencuri) ghanimah, atau terbunuh ketika lari dari medan perang. (al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘Ala Muslim, VI/397).
Bagaimana dengan gelar syahid untuk para pahlawan? Apakah mereka yang disebut sebagai pahlawan nasional otomatis meninggal sebagai mati syahid? Untuk membahas ini, perlu memahami dulu pengertian pahlawaan. Kata pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran (KBBI, 1989: 636). Di era modern sekarang ini, sebutan pahlawan menjadi lebih luas dan tidak ada batasan yang jelas. Misalnya, para Tenaga Kerja Indonesia disebut sebagai para pahlawan devisa. Guru yang mengajar di sekolah diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Bahkan seorang pria ataupun wanita yang bekerja membanting tulang demi menghidupi keluarganya disebut sebagai pahlawan keluarga. Semua sebutan pahlawan tersebut merujuk pada pengertian “telah berjasa”. Dalam pengertian tersebut tidak mencantumkan komitmen terhadap agama.
Jika ditinjau dari terminologi Islam, seorang muslim yang meninggal ketika berperang atau berjuang di jalan Allah membela kebenaran, atau mempertahankan hak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakkan agama Allah, maka mereka disebut dengan Syahid. Oleh karena itu, status para pahlawan kita, yang telah berjuang dan meninggal di medan pertempuran demi membela kepentingan bangsa dan negara Indonesia ini, baru layak disebut mati syahid bila mereka itu meninggal dalam keadaan beriman, ikhlas dan berjuang menegakkan kebenaran karena Allah Swt.

Wallahu A’lam bishshawab !

Sabtu, 25 Oktober 2014

AMALAN DI BULAN MUHARRAM

Beberapa Amalan
di Bulan Muharram

Oleh


 DR.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

1.    Menyambut tahun baru, termasuk tahun baru Islam 1437 H, tidak perlu dibesar-besarkan, karena tidak ada syariat untuk memperingatinya dan merayakannya, kecuali jika dikaitkan dengan hal-hal yang bermashlahah;
2.    Yang lebih penting justru kita harus melakukan “muhasabah”, introspeksi, mawas diri, melakukan perbaikan-perbaikan dalam diri kita agar ke depan bisa lebih baik dari sebelumnya, tidak menyia-nyiakan waktu;
وَكاَنَ السَّلَفُ يَقُوْلُوْنَ : (مِنْ عَلاَمَةِ الْفَسَادِ إِضَاعَةُ الْوَقْتِ) ، وَكَانُوْا يُحَاوِلُوْنَ دَائِماً التَّرَقِّي مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ أَحْسَن مِنْهَا ؛بِحَيْثُ يَكُوْنُ يَوْمُ أَحَدِهِمْ أَفْضَل مِنْ أَمْسِهِ، وَغَدِه أَفْضَلُ مِنْ يَوْمِهِ، وَيَقُوْلُ قَائِلُهُمْ: (مَنْ كَانَ يَوْمُهُ كَأَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ، وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرّاً مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ) .

    Ulama salaf berkata: “di antara tanda-tanda kerusakan adalah menyia-nyiakan waktu”. Mereka selalu berusaha meningkatkan keadaan dirinya untuk menjadi lebih baik. Hari ini diusahakan lebih baik daripada hari kemarin, dan besok lebih baik daripada hari ini. Sebagian mereka berkata: “barangsiapa yang hari ini sama dengan kemarin maka ia tertipu, dan barangsiapa yang hari ini lebih jelek daripada kemarin, maka ia terlaknat”. (Majalah al-Bayan, 134/106)
3.    Menyambut tahun baru Islam (Hijriyah) hendaknya dengan menjadikannya sebagai momentum untuk berhijrah, merubah sikap-sikap yang tidak baik menuju sikap-sikap yang baik dan lebih baik; Dari Abdullah bin ‘Amr, Nabi Saw bersabda:
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
 Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah (HR. Al-Bukhari No. 6484).

4.    Memperbanyak amal shalih dan menghindari perbuatan dzalim.
Sementara di antara keutamaan lain yang terkandung di bulan Muharram adalah dosa yang dilakukan pada bulan-bulan yang dimuliakan tersebut lebih dahsyat dari bulan-bulan selainnya. Dan begitu juga sebaliknya bahwa pahala amal shalih begitu besar dibandingkan bulan-bulan lainnya. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِين
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Taubah, 36)
5.  Khusus menyambut Muhamrram, kita disunnahkan berpuasa pada tanggal 10 Muhamrram atau tanggal 9 dan 10 Muharram;
وعن أَبي قتادة - رضي الله عنه -: أنَّ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - سُئِلَ عَنْ صِيامِ يَوْمِ عَاشُوراءَ، فَقَالَ : (( يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ )) رواه مسلم .
Dari Abu Qatadah ra, bahwasanya Rasulullah Saw pernah ditanya tentang puasa Asyura (10 Muharram), Nabi menjawab: “Puasa Asyura itu dapat menghapus dosa selama satu tahun yang lalu. (HR. Muslim).
وعن ابن عباس رضي الله عنهما ، قَالَ : قَالَ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - :
(( لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ )) رواه مسلم .
Dari Ibn Abbas ra, Rasulullah Saw bersabda: “Sekiranya tahun depan aku masih hidup, maka aku akan berpuasa pada tanggal sembilan (9 Muharram). HR. Muslim.
Keutamaan berpuasa di bulan Muharram oleh para ulama telah disepakati, namun terdapat silang pendapat di antara mereka tentang hukum dan waktunya. Ada sebagian pendapat yang mengatakan wajib, tetapi jumhur ulama berpendapat hukumnya adalah sunnah. Demikian pula tentang waktunya mereka bersilang pendapat. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah:
  • Hari yang kesepuluh saja. Berdasarkan dhahir hadits-hadits yang telah lewat penyebutannya.
  • Hari kesembilan dan kesepuluh. Berdasarkan penggabungan dua hadits yang telah disebutkan.
  • Hari yang kesembilan dan kesepuluh atau hari yang kesepuluh dan kesebelas, berdasarkan dalil-dalil yang menerangkan diwajibkannya untuk menyelisihi Ahlul Kitab.
  • Hari yang kesembilan saja. Berdasarkan hadits-hadits Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sungguh jika aku masih hidup hingga tahun mendatang, aku akan berpuasa di hari yang kesembilan.” (HR. Muslim 1134)
Diantara pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat kedua yang menyatakan disyariatkannya puasa di bulan Muharram di hari yang kesembilan dan kesepuluh. Pendapat ini yang dianut kebanyakan para ulama, seperti: Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Ibnul Qayyim dan lain-lain dari selain mereka. Hal ini berdasarkan pemaduan hadits-hadits yang dlahirnya Rasulullah melakukan puasa di hari kesepuluh sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Abu Qatadah yang telah lewat, dengan hadits yang dlahirnya bahwa beliau berniat untuk berpuasa di hari yang kesembilan sebagaimana hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Adapun yang perlu dihindari adalah (1)Keyakinan bahwa bulan Muharram bulan keramat; (2) Doa khusus pada awal dan akhir tahun; (3) Puasa khusus awal tahun baru hijriyyah; (4) Doa dan Shalat khusus pada malam ‘Asyuro; dan (5) Memperingati hari kematian Husein. 

Jumat, 26 September 2014

MENDIDIK ANAK BERKARAKTER RASULULLAH SAW


MENDIDIK ANAK BERKARAKTER RASULULLAH SAW[1]




Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pendahuluan
Anak merupakan anugerah Allah yang sangat berharga bagi setiap orangtua. Al-Qur’an menggambarkan anak-anak sebagai ziinatul hayatiddun-ya, hiasan kehidupan dunia (QS. 18 (al-Kahfi), 46). Wajar kiranya jika ada pasangan yang merasa kurang sempurna bahkan kurang berarti hidupnya jika belum dikaruniai anak.
Kebahagiaan orangtua akan semakin lengkap ketika sang anak berprilaku shalih, hormat kepada orang tua, berakhlak mulia, dan berprestasi. Bukan hanya kebanggaan dunia yang dirasakan, tetapi lebih dari itu sang anak akan menjadi investasi yang bernilai tinggi di akhirat nanti. Oleh karena itu, orangtua yang sadar akan penting dan berharganya anak, pasti selalu berharap dan berdoa agar Allah menganugerahkan kepada dirinya anak yang shalih. Hal ini pernah dilakukan Nabi Ibrahim as dengan doanya: Rabbi hablii minashshaalihiin (Wahai Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih). (QS. 37 (al-Shaffaat), 100).
Bagaimana jika anak yang dimilikinya ternyata durhaka kepada orangtua, menyakitkan hati, dan malah mempermalukannya? Tentu tak seorang pun yang berharap demikian. Karena itu, Allah Swt memperingatkan kepada semua orangtua agar berhati-hati dalam mendidik anak. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”... (QS. 66 (At-Tahrim), 6)
 Bagaimana caranya?
Marilah kita didik anak-anak kita sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dengan menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai model atau teladan yang sempurna untuk anak-anak kita, agar mereka kelak memiliki akhlak (karakter) yang indah dan terpuji seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Mempersiapkan kelahiran anak
             Ketika seseorang sudah memiliki pasangan (suami-isteri), biasanya yang diharapkan adalah kapan punya momongan (anak). Momentum inilah yang sebaiknya dimanfaatkan betul untuk mengkondisikan diri (suami-isteri) agar kelak mendapatkan keturunan yang baik, sehat, dan shalih. Caranya? Masing-masing harus bisa mengendalikan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, hal-hal yang tidak diridhai Allah swt. Tidak suka marah-marah, tidak berbicara kotor, tidak berbuat maksiat, dan tidak melakukan suatu dosa. Sebaliknya, hendaknya banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan suka beribadah kepadaNya. Shalat lima waktu diusahakan dengan berjamaah, shalat sunnah rawatib, shalat tahajjud, shalat dhuha, dan lain-lain. Gemar berpuasa sunnah, seperti Senin-Kamis. Gemar bersedekah, membantu orang lain, meringankan beban orang lain, terutama yang sangat membutuhkannya. Gemar berdzikir dan membaca al-Qur’an setiap hari, dan yang tidak kalah pentingnya adalah selalu berdoa, memohon kepada Allah agar dikarunia anak yang baik, sehat dan shalih. Di antara doa yang bisa dibaca adalah doa Nabi Zakaria as:
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
Wahai Tuhan, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar (mengabulkan) doa (QS. 3 (Ali Imran), 38).
Selain mohon diberikan anak yang baik, setiap hendak melakukan hubungan suami-isteri, hendaknya berdoa kepada Allah dengan membaca:  Bismillaah, Allaahumma jannibnasysyaithaan wajannibisysyaithaan maa razaqtanaa,  Dengan nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami (suami-isteri) dari gangguan setan, dan jauhkanlah setan terhadap apa (anak) yang Engkau berikan kepada kami. (HR. Al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas ra)
            Jika seorang isteri sudah hamil, maka suami-isteri (calon bapak-ibu) harus sering mendoakannya, sering membacakan al-Qur’an, dan sering mengajaknya untuk melakukan berbagai amal shalih, terutama bila masa kelahirannya sudah dekat. Dalam hadis riwayat Ibn al-Suni[2] bahwasanya pada saat Fatimah hendak melahirkan, Rasulullah Saw memerintahkan kepada Ummu Salamah dan Zainab binti Jahsy untuk membacakan ayat al-Kursi (al-Baqarah, ayat 255), surat al-A’raf ayat 54, dan surat-surat al-Mu’awwidzataini (al-Falaq dan al-Nas) di dekat Fatimah. Riwayat hadis ini memang lemah, namun pengaruh positif memperdengarkan al-Qur’an terhadap orang yang mendengarkannya telah terbuktik secara ilmiah[3]. Karena itu, surat yang dibaca boleh surat atau ayat apa saja yang terdapat dalam al-Qur’an, tidak harus ayat-ayat yang disebutkan dalam hadis tersebut[4].

Menyambut kelahiran anak
            Hadirnya seorang anak di tengah-tengah keluarga merupakan anugerah yang tak terhingga besarnya. Karena itu, sudah selayaknya bagi keluarga yang mendapatkannya benar-benar mensyukurinya atas anugerah tersebut.
Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah Allah memberikan suatu nikmat pada seorang hamba, lalu hamba tersebut mengucapkan: “Alhamdulillaah” (segala puji hanya bagi Allah), melainkan apa yang ia ucapkan tersebut lebih utama dari nikmat yang ia dapatkan”.(HR. Ibn Majah dari Anas ra).[5]
            Dalam menyambut kelahiran anak, ada beberapa amalan yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw, di antaranya: (1). Melakukan tahni’ah (mengucapkan selamat dan ikut gembira serta bersyukur) atas lahirnya seorang anak; (2). Mengumandangkan adzan di dekat telinga sang bayi yang baru lahir; (3). Melakukan tahnik (mengolesi bibir bayi dengan kurma yang sudah dilembutkan); (4). Melaksanakan aqiqah (menyembelih seekor hewan kambing) pada hari ketujuh; (5). Tasmiyah (memberikan nama si bayi); (6). Tahliq (Mencukur gundul rambut kepala bayi); dan (7). Khitan.     
            Pertama, tahni’ah (ucapan selamat) adalah lambang ikut bersuka-cita dan bersyukur atas nikmat atau anugerah yang telah diterima seseorang. Sesuai sabda Nabi, bahwa ucapan syukur itu lebih utama daripada nikmat yang telah diterima (HR. Ibn Majah dari Anas ra). Allah telah berjanji: “Sungguh apabila kamu bersyukur, maka Allah akan menambahkan lagi nikmat untukmu”.[6]  
            Kedua, mengumandangkan adzan pada telinga bayi. Diriwayatkan dari Abu Rafi’, katanya: “Aku melihat Rasulullah Saw mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bin Ali saat Fatimah baru saja melahirkannya (HR. Al-Tirmidzi).[7] Sebagian ulama menilai bahwa hadis tentang adzan pada bayi yang baru lahir tersebut da’if (lemah)[8]. Menurut Ibn al-Qayyim, hikmah dikumandangkannya adzan pada di bayi yang baru lahir adalah mengandung harapan agar mula-mula suara yang masuk ke dalam telinga si bayi ini adalah kalimat-kalimat adzan, yang di dalamnya terdapat keagungan dan kebesaran Allah, kalimat syahadat tauhid yang menjadi syarat utama seseorang masuk Islam[9]. Mengingat faidahnya cukup besar, meski sebagaian ulama melemahkannya, maka hadis tersebut dapat diamalkan secara longgar, dalam artian di dekat telinga si bayi tidak harus dibacakan kalimat adzan, tetapi bisa dibacakan kalimat-kalimat tauhid atau ayat-ayat al-Qur’an[10]. Karena, jika tidak, maka ancaman gangguan setan terhadap si bayi akan sulit dihindari. Nabi Saw bersabda: Tiada seorang manusia yang lahir kecuali setan akan menyentuhnya saat kelahirannya, hingga ia manangis karena sentuhannya itu, kecuali Maryam dan puteranya. Abu Hurairah menawarkan: “jika mau bisa dibacakan surat Ali Imran ayat 36”, innii u’iidzuhaa bika wadzurriyyatahaa minasy syaithaanirrajim (sesungguhnya aku memohonkan perlindungan kepadaMu untuknya (bayi) dan keturunannya dari gangguan setan yang terkutuk. (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
            Ketiga, tahnik, mengunyah sesuatu seperti kurma kemudian memasukkannya ke dalam mulut si bayi sembari mengurut langit-langitnya dengan lembut. Hal ini dimaksudkan agar si bayi memiliki kekuatan terutama pada bagian mulutnya yang nantinya akan dipakai untuk menetek air susu dari ibunya dan memakan lainnya. Sebaiknya yang melakukan tahnik ini adalah orang-orang yang dituakan, seperti ulama, kyai, ustad atau yang lainnya. Diriwayatkan bahwa Asma ra pernah datang dengan membawa bayinya yang baru lahir di hadapan Rasulullah Saw. Saat itu Nabi Saw men-tahnik-nya dengan buah kurma, kemudian mendoakannya untuk keberkahan bagi bayinya (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
            Keempat, aqiqah yaitu menyembelih hewan sembelihan (kambing) pada hari ketujuh. Idealnya, jika bayi yang lahir itu laki-laki maka hewan yang disembelih adalah dua ekor kambing, sedangkan untuk bayi perempuan cukup satu ekor kambing[11]. Namun, jika tidak tersedia dana yang cukup, bayi laki-laki dapat diaqiqahi dengan seekor kambing saja. Hal ini pernah dilakukan Nabi Saw terhadap dua cucunya (Hasan-Husen), yang saat itu masing-masing dengan aqiqah seekor kambing[12]. Menurut Ibn al-Qayyim, aqiqah sama halnya dengan berkorban untuk mendekatkan diri kepada Allah, melatih diri untuk bersikap pemurah. Memberikan jamuan sama dengan sedekah yakni upaya mendekatkan diri kepada Allah swt, dan aqiqah adalah membebaskan bayi dari rintangan yang menghambatnya untuk memberi syafaat kepada orangtuanya, atau dari halangan untuk memperoleh syafaat dari orangtuanya[13]. Nabi Saw bersabda: “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, pada hari ketujuh (dari kelahirannya), disembelihkan hewan aqiqahnya, kemudian dicukur dan diberi nama” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Samurah bin Jundub)[14].
            Kelima, tasmiyah, memberi nama kepada anak pada hari ketujuh. Dalam Islam, nama termasuk sesuatu yang sangat penting. Karena itu, tidak boleh memberi nama anak dengan nama yang jelek, atau sembarang nama. Di antara nama-nama yang baik adalah Abdullah dan Abdurrahman.[15] Sebutan nama yang diucapkan kepada pemiliknya bisa berpengaruh positif. Bisa mengandung doa harapan bagi pemilik nama. Misalnya, ketika seseorang disebut namanya “Teguh”, maka harapannya bagi sang pemilik nama menjadi orang yang teguh pendirian, teguh iman.[16]
            Keenam, tahliq, mencukur gundul kepala bayi. Mencukur rambut sampai gundul adalah syariat yang disunnahkan kepada setiap bayi yang baru lahir, yaitu pada hari ketujuh. Setelah seluruh rambut bayi dicukur kemudian ditimbang, dan beratnya dikonversikan dengan harga perak atau emas untuk disedekahkan kepada fakir-miskin. Dalam hadis riwayat al-Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Rasulullah Saw mengaqiqahi al-Hasan dengan seekor kambing lalu beliau bersabda: “Wahai Fatimah, cukurlah rambutnya dan bershadaqahlah dengan perak seberat rambutnya”.[17]
            Ketujuh, khitan, yaitu memotong kulit yang menutupi alat kelamin laki-laki (penis). Adapun perempuan, memotong sedikit saja dari ujung klitoris (kelentitnya). Dalam Islam, khitan merupakan salah satu media penyucian diri dan bukti ketundukan kepada ajaran agama. Rasulullah Saw bersabda: “Kesucian (fitrah) itu  ada lima, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis, dan memotong kuku (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Di antara hikmah khitan adalah meminimalisasi terjadinya kanker pada kemaluan. Kanker banyak terjadi pada orang-orang yang tidak dikhitan, karena sempitnya lubang yang terdapat pada kemaluan mereka. Waktu khitan, jika memungkinkan bisa dilakukan pada hari ketujuh[18]. Jika belum bisa dapat dilaksanakan pada saat sebelum baligh.

Menanamkan kebiasaan baik pada anak
          Mengajari anak untuk melakukan sesuatu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan pemberitahuan, nasihat atau tutur kata yang baik, keteladanan, dan bisa juga dengan mengajak bersama-sama melakukan sesuatu dengan bimbingan dan keteladanan orangtua. Yang terakhir inilah biasanya yang paling ampuh.
            Sekurang-kurangnya ada lima kebiasaan emas (the five golden habits) yang bisa ditanamkan pada anak, yaitu:
1.    Kebiasaan shalat. Orang tua harus memberi contoh bagaimana cara shalat yang baik dan benar. Selanjutnya, mengajarinya, dan kemudian mengajaknya shalat berjamaah. Sesekali anak-anak diajak bepergian dari masjid ke masjid untuk membiasakan shalat berjamaah. Secara perlahan-lahan, anak diberi pengertian tentang keutamaan shalat berjamaah, shalat sunnah rawatib, shalat sunnah dhuha, shalat sunnah tahajjud, dan lain-lain. Kalau sudah mulai remaja (SMP-SMA), pengertian tentang hikmah shalat perlu disampaikan agar anak semakin dapat merasakan betapa besar manfaat dan pentingnya shalat bagi kehidupan manusia, baik dunia maupun akhirat.
Allah Swt berfirman: “Dirikanlah shalat, karena sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar, dan dzikr kepada Allah (shalat) itu adalah lebih besar (lebih penting dari segalanya), dan Allah itu mengetahui apa yang kamu perbuat ”. QS. 29 (al-Anakabut), 45. Lebih lanjut, anak difahamkan bahwa shalat itu adalah sarana komunikasi terbaik antara kita dengan Allah. Shalat itu adalah media komunikasi terbaik antara Nabi Saw dengan Allah. Bilamana Nabi mengalami kesulitan, maka Nabi Saw selalu menghadap Allah dengan cara shalat[19].
2.    Kebiasaan beradab Islami. Orang tua harus mengajari anak-anaknya bagaimana berprilaku yang baik dan terpuji. Misalnya keluar rumah, diajari dan diberi contoh dengan melangkahkan kaki kanan dulu dan membaca doa. Begitu pula saat masuk rumah. Ketika diberi seseorang, suka mengucapkan kata alhamdulillah dan terimakasih. Ketika melakukan kesalahan pada orang lain, gemar meminta maaf. Ketika ada orang kesusahan atau butuh bantuan, berusaha untuk dapat menolongnya. Mengawali segala perbuatan baik dengan membaca basmalah, mengingat Allah dan mohon pertolongan-Nya. Hormat kepada orangtua, guru, dan siapa pun yang lebih tua, hormat kepada sesama, dan sayang kepada adik-adik atau yang lebih muda. Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa tidak menyayangi yuniornya, dan tidak menghormati seniornya, maka ia tidak termasuk umatku” (HR. Abu Dawud dari Ibn al-Sarh). Selanjutnya, menanamkan pengertian dan keyakinan bahwa tuntunan Islam itu sempurna, dan mengajarkan umatnya untuk berprilaku baik dan terpuji kepada siapa saja. Nabi Saw bersabda: “Orang yang paling sempurna di antara kalian adalah orang yang paling bagus akhlaknya”.[20]
3.    Kebiasaan bersedekah. Memberi pengertian kepada anak bahwa hidup yang lebih baik adalah suka memberi, suka bersedekah, suka membantu orang yang lemah. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah[21]. Memberi pengertian kepada anak bahwa apa saja yang kita miliki ini sebenaranya hanyalah titipan Allah, yang harus dijaga dan dipelihara serta didayagunakan dengan baik dan benar. Salah satu perintah Allah berkenaan dengan harta yang kita punya adalah menyedekahkan sebagiannya (QS.63 (al-Munafiqun,10). Dari  Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah Saw bersabda: "Tidaklah seorang hamba memasuki waktu pagi pada setiap harinya, kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satunya memohon: 'Ya Allah, berikanlah ganti bagi dermawan yang menyedekahkan hartanya.' Dan satu lagi memohon: 'Ya Allah, musnahkanlah harta si bakhil”(HR. Al-Bukhari dan Muslim). Untuk membiasakannya, orangtua dapat memberi contoh dan mengajak anak-anak ke masjid lalu memasukkan uang ke dalam kotak infak; mengajak anak-anak ke suatu tempat, panti asuhan atau tempat-tempat mangkalnya anak-anak miskin, lalu memberinya sedekah, baik berupa uang atau nasi bungkus kepada mereka. Anak ditanamkan kesadaran untuk sayang dan perhatian kepada sesama. Anak-anak diberikan kisah-kisah yang menarik para dermawan, hingga menimbulkan simpati. Anak dikenalkan bahwa Nabi sendiri adalah orang yang ahli sedekah.[22]
4.    Kebiasaan membaca al-Qur’an. Orangtua hendaknya menanamkan keyakinan kepada anak bahwa al-Qur’an itu bacaan mulia dan suci. Cara membacanya harus baik dan benar sesuai dengan kaidah tajwid. Pahala besar akan diberikan kepada orang yang suka membaca al-Qur’an. Setiap hurufnya dapat pahala 10 kebaikan[23]. Selain itu bisa dikenalkan kepada anak mengenai keutamaan-keutamaan yang lain, seperti  besarnya manfaat bagi kesehatan manusia, fisik maupun rohani bagi yang suka membaca maupun mendengarkannya. Selanjutnya, orangtua memberikan contoh di hadapan anak atau di dekat anak dengan membiasakan baca al-Qur’an setiap harinya. Nabi Saw menganjurkan kepada sahabatnya agar membiasakan baca al-Qur’an itu satu juz perhari, sehingga setiap bulan dapat mengkhatamkannya (HR. Abu Dawud dari Abdullah bin ‘Amr).
5.    Kebiasaan menghadiri pengajian. Jika dalam Islam ada syariat jum’atan seminggu sekali, salah satu maknanya adalah minimal seminggu sekali kita hendaknya mendengarkan pengajian. Hal ini sangat penting, agar kita selalu diingatkan, digairahkan untuk selalu berbuat yang baik dan benar. Sejak dini anak perlu diperkenalkan manjelis taklim, dan dimotivasi agar gemar menghadiri pengajian. Nabi Saw pernah mengatakan bahwa orang yang gemar menghadiri majlelis ilmu itu akan dimudahkan masuk ke dalam surga.[24] Untuk membiasakan ini, orangtua bisa mengajak anak-anak untuk bersama-sama hadir dalam majelis-majelis pengajian yang biasanya digelar pada Ahad pagi, di masjid-masjid atau tempat-tempat pengajian lainnya.
Lima kebiasaan emas tersebut, bila berhasil ditanamkan pada anak, maka kelak mereka akan menjadi hamba Allah yang shalih, dekat kepada Allah, mencintai Nabi Saw, hormat kepada orangtua, dan cinta serta sayang  kepada sesama.



[1] Makalah disampaikan pada acara Seminar “Prophetic Parenting, Mendidik Anak Berkarakter Rasulullah Saw”, di Gedung Perpustakaan BI Surabaya pada Sabtu, 27 September 2014.
[2] Riwayat hadis ini sanadnya lemah. Al-Nawawi, al-Adzkar (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), 244.
[3] Dr.Al-Qa>d}i>, dengan penelitiannya di Florida Amerika Serikat, menemukan adanya pengaruh al-Qur’an terhadap kesehatan manusia.  Ia mengatakan bahwa ada pengaruh menenangkan hingga mencapai 97 % akibat mendengarkan al-Qur’an. Pengaruh tersebut bahkan terlihat dalam bentuk perubahan-perubahan fisiologis yang tampak melalui berkurangnya tingkat ketegangan syaraf. 'Abu> al-Fida>' Muh}ammad ‘Izzat Muh}ammad ‘A<rif, ‘A<lij Nafsaka Bi al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Fad}i>lah, 2009), 12. Islah Gusmian, Ruqyah Terapi N'Abi Saw Menangkal Gangguan Jin, Sihir dan Santet (Jogjakarta: Galangpress, 2005), 76. 
[4] Jika mendengarkan musik klasik dipercaya dapat mempengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang, bacaan Al-Qur'an tentu lebih dari itu. Selain mempengaruhi IQ dan EQ, bacaan Al-Qur’an dapat mempengaruhi kecerdasan spiritual (SQ). Salman Rusydie Anwar, Sembuh dengan Al-Qur’an ( Jogjakarta: Sabil, 2010 M), 90.
[5] Al-Albani menilai hadis tersebut hasan. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, II (Bairut: Dar al-Fikr, t.th),  1250.
[6] QS. 14 (Ibrahim), 7.
[7] Imam al-Tirmidzi menilai hadis ini hasan-shahih. Sedangkan al-Albani menilainya hasan. Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, IV/97.
[8] Syu’aib al-Arnout dalam catatan Musnad Ahmad bin Hanbal, VI/ 391.
[9] Ibn Qayyim al-Jauziyah, Tuhfat al-Maulud, I/31.
[10] Prof.Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia pada tahun 1997 mengatakan bahwa Al-Qur’an dapat memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang. Anwar, Sembuh dengan Al-Qur’an,  90.
[11] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, II/1056. Al-Albani menshahihkannya.
[12] HR. Abu Dawud dari Ibn Abbas ra. Al-Albani menshahihkannya. Sunan Abu Dawud, III/66.
[13] Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, II/ 296.
[14] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, III/66. Ahmad, Musnad Ahmad, XXXIII/271.
[15] Nabi Saw bersabda: “Nama-nama yang paling disukai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman”. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, IV/443. Al-Albani menshahihkannya.
[16] Menurut Masaru Emoto, air dapat berfungsi mendengar, merespons dan menyimpan serta menyalurkan.  Ia telah melakukan percobaan mengenai pengaruh suara terhadap air. Ia menemukan bahwa medan elektromagnetik dari molekul air juga terpengaruh oleh suara. Ada gelombang suara tertentu yang memberi pengaruh pada molekul air lalu membuatnya lebih dinamis dan teratur. Masaru Emoto, The True Power of Water, terj. Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2006). Karena sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air, maka setiap suara yang terdengar oleh manusia dapat berpengaruh kepada dirinya. Ketika nama yang baik disebut, dengan suara yang indah, maka ia bisa menjadi doa bagi yang memiliki nama itu.
[17] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, IV/99. Al-Albani meng-hasan-kannya
[18]Nabi Saw bersabda: “Seorang anak (bayi) tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan hewan aqiqah pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan ditumpahkan darah (dikhitan). (HR. Abu Dawud dari Samurah) al-Albani men-shahih-kannya. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, III/65.
[19] HR. Abu Dawud dari Hudzaifah ra. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, I/507. Al-Albani men-shahih-kannya.
[20] HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, XV/222.
[21] Nabi Saw bersabda: “Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah orang yang ahli sedekah, sedangkan tangan di bawah adalah orang yang suka minta-minta. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar ra.)
[22] Dari Ibnu Abbas ra berkata, “Rasulullah Saw adalah manusia yang paling dermawan, dan kondisi beliau paling dermawan adalah di bulan Ramadhan di saat bertemu Jibril ‘Alaihis salam, di mana Jibril ‘alaihis salam sering bertemu beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan, lalu Jibril mengajarkannya al-Qur`an, dan sungguh Rasulullah Saw adalah manusia paling (cepat) dermawan dengan kebaikan daripada angin yang berhembus.” (HR. al-Bukhari dan  Muslim)
[23] Nabi Saw bersaabda: “Barangsiapa membaca satu huruf al-Qur’an maka ia akan mendapatkan pahala 10 kebaikan. Setiap kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya menjadi 10 kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa alif-laam-miim itu satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, laam itu satu huruf dan miim itu satu huruf. Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, V/175.
[24] Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Al Qur'an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak juga meninggikannya.'  (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

DAFTAR PUSTAKA
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, III/65.
__________, Sunan Abi Dawud, I/507.
__________, Sunan Abu Dawud, III/66.
__________, Sunan Abi Dawud, IV/443.  
Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, XXXIII/271.
______, Musnad Ahmad bin Hanbal, VI/ 391.
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, XV/222.
Al-Nawawi. al-Adzkar . Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
Anwar, Salman Rusydie. Sembuh dengan Al-Qur’an.  Jogjakarta: Sabil, 2010.
‘A<rif, 'Abu> al-Fida>' Muh}ammad ‘Izzat Muh}ammad.‘A<lij Nafsaka Bi al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Fad}i>lah, 2009.
Emoto,  Masaru. The True Power of Water, terj. Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2006).   
Gusmian, Islah. Ruqyah Terapi Nabi Saw Menangkal Gangguan Jin, Sihir dan Santet. Jogjakarta: Galangpress, 2005. 
Ibn Majah. Sunan Ibn Majah, II. Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
________. Sunan Ibn Majah, II/1056.  
al-Jauziyah, Ibn Qayyim. Tuhfat al-Maulud, I/31.
_________, Zad al-Ma’ad, II/ 296.
 Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, IV/99. Al-Albani meng-hasan-kannya
_________, Sunan al-Tirmidzi, V/175.
_________, Sunan al-Tirmidzi, IV/97.