Selasa, 20 Desember 2011

HUKUM BANK ASI

HUKUM BANK “ASI”

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Achmad Zuhdi Dh (0817581229/282CE9C5)

www.zuhdidh.blogspot.com


Gagasan untuk mendirikan bank ASI telah berkembang di Eropa kira-kira lima puluh tahun yang lalu. Hal itu terjadi setelah adanya bank darah. Mereka melakukannya dengan mengumpulkan ASI dari wanita dan membelinya kemudian ASI tersebut dicampur di dalam satu tempat untuk menunggu orang yang membeli dari mereka.

Di dunia ada beberapa Bank ASI, Amerika Selatan 154 buah, Prancis 19 buah, Italia 18 buah, India dan Cina di banyak rumah sakit dan Kuwait 1 buah.

Di Belanda, Bank ASI dilakukan dengan cara mengumpulkan ASI ibu pedonor yang telah diseleksi. Ibu donor memerah ASI dan menyimpannya dalam freezer di rumah. Setiap 2 minggu petugas bank ASI mengambil ke rumah ibu dengan mobil berpendingin. Listrik tak boleh padam. Perlakuan di dalam bank ASI steril (cuci tangan, baju/topi khusus), Susu dipasteurisasi sebelum diberikan ke penerima.

Hukum Bank ASI


Ulama berbeda pandangan dalam menentukan hukum berdirinya BANK ASI. Setidaknya ada tiga pandangan mengenai hal ini:

Pendapat Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Di antara alasan mereka sebagai berikut: Bayi yang mengambil air susu dari bank ASI tidak bisa menjadi mahram bagi perempuan yang mempunyai ASI tersebut, karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung dengan cara menghisap puting payudara perempuan yang mempunyai ASI, sebagaimana seorang bayi yang menyusu ibunya. Sedangkan dalam bank ASI, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.

Ulama besar semacam Prof.Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa dia tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya Bank ASI.” Asalkan bertujuan untuk mewujudkan mashlahat syar’iyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi.

Beliau cenderung mengatakan bahwa bank ASI bertujuan baik dan mulia, didukung oleh Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang baru dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.

Beliau juga mengatakan bahwa para wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya, bukan sekadar menyumbangkannya. Sebab di masa Nabi (Muhammad) s.a.w., para wanita yang menyusui bayi melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air susu.

Bahkan Al-Qardhawi memandang bahwa institusi yang bergerak dalam bidang pengumpulan “air susu” itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dinikmati oleh bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.

Selain Al-Qaradhawi, yang menghalalkan bank ASI adalah Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.

Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.

Pendapat Kedua menyatakan bahwa mendirikan Bank ASI hukumnya haram. Alasan mereka bahwa Bank ASI ini akan menyebabkan tercampurnya nasab, karena susuan yang mengharamkan bisa terjadi dengan sampainya susu ke perut bayi tersebut, walaupun tanpa harus dilakukan penyusuan langsung, sebagaimana seorang ibu yang menyusui anaknya.

Di antara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya Bank ASI adalah Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhayli. Dalam kitab Fatawa Mu’ashirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi syariah.

Demikian juga dengan Majma’ al-Fiqih al-Islamiy melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22–28 Desember 1985 M./10–16 Rabiul Akhir 1406 H.. Lembaga ini dalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.

Pendapat Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, di antaranya : setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan menulis nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengambil ASI tersebut harus ditulis juga dan harus diberitahukan kepada pemilik ASI tersebut, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.

Prof.DR. Ali Mustafa Ya’qub, MA., salah seorang Ketua MUI Pusat menjelaskan bahwa tidak ada salahnya mendirikan Bank ASI dan Donor ASI sepanjang itu dibutuhkan untuk kelangsungan hidup anak manusia. “Hanya saja Islam mengatur, jika si ibu bayi tidak dapat mengeluarkan air susu atau dalam situasi lain ibu si bayi meninggal maka si bayi harus dicarikan ibu susu. Tidak ada aturan main dalam Islam dalam situasi tersebut mencarikan susu sapi sebagai pengganti, kendatipun zaman nabi memang tidak ada susu formula tapi susu kambing dan sapi sudah ada,” . ini berarti bahwa mendirikan Bank ASI dan donor ASI boleh-boleh saja karena memang Islam tidak mentoleransi susu yang lain selain susu Ibu sebagai susu pengganti dari susu ibu kandungnya.

“Hanya saja pencatatannya harus benar dan kedua keluarga harus dipertemukan serta diberikan sertifikat. Karena 5 kali meminum susu dari ibu menyebabkan menjadi mahramnya si anak dengan keluarga si ibu susu. Artinya anak mereka tidak boleh menikah,”.

Menurut Prof. Ali, masalah menyusu langsung atau tidak langsung, itu hanya masalah teknik mengeluarkan susu saja, hukumnya sama. “Jika sudah 5 kali meminum susu maka jatuh hukum mahram kepada keduanya.

Sebab terjadinya perbedaan:

Terjadinya perbedaan pandangan ulama mengenai hal tersebut di atas disebabkan adanya perbedaan dalam memahami tentang apa itu “radha’ah”, berapa batasan umur, bagaimana cara menyusui dan berapa kali susuan:

Tentang Pengertian ar-Radha’

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ar -radha’. Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha’ adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa ar radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al Hanabilah mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya.

Batasan Umur

Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman Allah swt:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. “ (QS. Al Baqarah: 233)

Hadist Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ

“ Hanyasanya persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi karena lapar”(HR Bukhari No. 2647 dan Muslim No.3679).

Jumlah Susuan

Madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.

Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (HR Muslim No.3670)

Cara Menyusu

Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan:

Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara السعوطas su’uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara الوجور”/al- wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya), atau dengan cara yang lain.

Adapun Madzhab Dhahiriyah mengatakan bahwa persusuan yang mengharamkan hanyalah dengan cara seorang bayi menghisap puting payu dara perempuan secara langsung. Selain itu, maka tidak dianggap susuan yang mengharamkan. Mereka berpegang kepada pengertian secara lahir dari kata menyusui yang terdapat di dalam firman Allah swt:

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ

“(Diharamkan atas kamu mengawini) Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan “ (QS.An-Nisa’: 23)



Makalah disampaikan dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh MUI Kabupaten Sidoarjo pada Sabtu, 17 Desember 2011 di Masjid Agung Sidoarjo

Referensi:

Al-Mahalli, II/28

Al-Fiqh ‘Ala al-Madhahib al-Arba’ah, IV/129.

Bidayatul Mujtahid, II/30

Fatawa Ibn Hajar al-Haitsami, IV/143

Fatawa al-Azhar, II/146.

Fiqh al-Sunnah, II/77.

Majallah al-Buhuth al-Islamiyah, 24/396

Nailu lAuthar, X/434

Subulus Salam, V/284

http://www.arrisalah.net/kolom/2011/01/hukum-bank-asi.html

http://mybloglenterahati.blogspot.com/2009/08/bank-asi-dalam-pandangan-syariat-islam.html

http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/?p=123

http://ddiijakarta.or.id/index.php/buletin/67-des10/177-des10.html

http://hukum.kompasiana.com/2011/06/03/bank-asi-diperbolehkan-dalam-islam/

dll

Sabtu, 10 Desember 2011

SHALAT GERHANA

TATA CARA SHALAT GERHANA

SESUAI PETUNJUK RASULULLAH SAW

Oleh: Achmad Zuhdi Dh

081 758 1229

Blog. www.zuhdidh.blogspot.com

1. Shalat gerhana terdiri dari dua rakaat, empat bacaan al-Fatihah dan surat, empat ruku, empat i’tidal, empat sujud dan dua salam;

2. Waktu shalat gerhana dimulai dari awal gerhana sampai gerhana tersebut berakhir. Nabi Saw bersabda:

فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ

Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang. (al-Bukhari No1060 dan Muslim No.904).

3. Cara melaksanakannya: Pada rakaat pertama membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang, kemudian ruku’ dengan ruku’ yang panjang, kemudian mengangkat kepalanya dan membaca: “Sami ‘allahu liman hamidah, rabbana wa lakal hamd”.(Maha mendengar Allah terhadap orang yang memuji-Nya. Wahai Robb kami, bagi Engkaulah segala puji). Setelah i’tidal, kemudian membaca Al Fatihah dan surat yang lebih pendek dari yang pertama, kemudian memanjangkan ruku’nya, lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian mengangkat kepalanya dan membaca: ”Sami ‘allahu liman hamidah, rabbana wa lakal hamd, hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiihi, mil’as samaa’i wa mil’al ardh, wa mil’a ma syi’ta min syai’in ba’du” (Maha mendengar Allah terhadap orang yang memuji-Nya. Wahai Robb kami,bagi Engkaulah segala puji dengan pujian yang banyak, baik dan penuh keberkahan padanya, sepenuh langit, sepenuh bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki dari segala sesuatu sesudahnya).

Lalu sujud dua kali yang panjang dan tidak memperlama duduk diantara dua sujud.

Kemudian bangkit menuju rakaat yang kedua. Untuk raka’at yang kedua seperti yang pertama dengan dua ruku’ dan dua sujud yang panjang, sebagaimana yang dikerjakan pada raka’at yang pertama, kemudian tasyahud dan salam.

4. Tata cara tersebut sesuai dengan hadits Nabi Saw berikut Ini:

روت عائشة رضي الله عنها: “أن الشمس خسفت على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقام وكبر وصف الناس وراءه، فاقترأ رسول الله صلى الله عليه وسلم قراءة طويلة، فركع ركوعا طويلاً، ثم رفع رأسه، فقال: سمع الله لمن حمده ربنا ولك الحمد، ثم قام فاقترأ قراءة طويلة هي أدنى من القراءة الأولى ثم كبر فركع ركوعا طويلاً هو أدنى من الركوع الأول، ثم قال: سمع الله لمن حمده ربنا ولك الحمد، ثم سجد ثم فعل في الركعة الثانية مثل ذلك حتى استكمل أربع ركعات وأربع سجدات، وانجلت الشمس قبل أن ينصرف” ، متفق عليه.

‘Aisyah Ra meriwayatkan: “Matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, maka beliau berdiri, bertakbir, dan orang-orang berbaris dibelakang beliau. Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam membaca bacaan yang panjang lalu beliau ruku’ dengan ruku’ yang lama, kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan, “SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANAA WA LAKAL HAMDU”. Kemudian beliau berdiri dan membaca bacaan yang panjang lebih pendek dari bacaan yang pertama, lalu takbir dan ruku’ yang lama lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian mengucapkan, “SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, ROBBANAA WA LAKAL HAMDU”. Kemudian sujud. Lalu beliau mengerjakan yang seperti itu pada rakaat yang kedua hingga sempurna empat ruku’ dan empat sujud. Dan matahari kembali terlihat sebelum beliau selesai”.( Al Bukhari (1046) [2/688]; dan Muslim (2088) [3/440].)

5. Beberapa amalan selain shalat yang perlu dilakukan saat terjadinya gerhana adalah, banyak berdoa, bertakbir dan bersedekahlah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw:

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah.Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.(al-Bukhari No.1044 dan Muslim No 2127).

Kamis, 22 September 2011

WUKUF DI ARAFAH SETELAH MAGHRIB

WUQUF DI ARAFAH SETELAH MAGHRIB, APAKAH SAH?

Oleh:

Achmad Zuhdi Dh

www.zuhdidh.blogspot.com

0817581229

Bagaimana solusinya, jika ada jamaah yang tersesat sehingga sampainya di Arafah setelah maghrib ? apakah ia masih bisa melakukan wuquf? Dan apakah hajinya masih sah ?

Sesuai syariat, wukuf di padang Arafah dimulai setelah waktu dhuhur tiba dan berakhir sampai saat terbenamnya matahari, tetapi boleh juga berakhir sampai dengan waktu sebelum fajar, tanggal 10 Dzulhijjah. Nabi Saw bersabda:

الْحَجُّ عَرَفَةُ ، فَمَنْ جَاءَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ لَيْلَةَ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ (رواه أحمد والنسائى ،وغيره)

“Haji adalah Arafah, barangsiapa datang (di Arafah) sebelum terbit fajar pada “laylat jam’in” (tanggal 10 Dzulhijjah) maka sungguh telah sempurna hajinya” (HR. Ah}mad, al-Nasa>-i>, dan lain-lain). Al-Alba>ni> dan Shu’ayb al-Arnout menilai bahwa hadis ini sahih.

Berdasarkan hadits tersebut maka orang yang tersesat jalan saat menuju Arafah, dan sampai di Arafah baru setelah maghrib, maka ia masih boleh melakukan wuquf dan hajinya tetap sah.

Kegiatan wukuf di Arafah dimulai dengan khutbah, kemudian adzan lalu qamat untuk shalat dhuhur dua rakaat, kemudian qamat lagi untuk shalat ashar dua rakaat. Di sini jamaah haji melakukan shalat dhuhur dan ashar dengan cara qashar dan jama’ taqdi>m. Nabi SAW tidak melakukan shalat sunnah apa pun di antara keduanya. (Muslim, S{ah}i>h} Muslim IV/ 39. Al-Alba>ni>, H{ajjat al-Nabi> S{aw, I/71.)

Disebutkan dalam hadits riwayat Muslim dari Jabir bin Abdillah sbb:

فَخَطَبَ النَّاسَ وَقَالَ «إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ ...............ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Maka beliau berkhotbah dan berkata: “Sesungguhnya darahmu dan harta kekayaanmu adalah kehormatan bagi kalian......dst. Setelah itu (Bilal) melakukan adzan kemudian qamat lalu shalat dhuhur kemudian qamat lagi lalu shalat ashar. Beliau tidak melakukan shalat apapun antara keduanya. (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah).

Imam al-Nawawi dalam al-Minhaj, I/128 berkata:

وَاَللَّهُ أَعْلَمُ ثُمَّ يَخْطُبُ الْإِمَامُ بَعْدَ الزَّوَالِ خُطْبَتَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي بِالنَّاسِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمْعًا. وَيَقِفُوا بِعَرَفَةَ إلَى الْغُرُوبِ، وَيَذْكُرُوا اللَّهَ تَعَالَى وَيَدْعُوه

Allah yang lebih tahu, kemudian seorang Imam berkhotbah dua kali setelah matahari condong ke barat, setelah itu baru shalat dhuhur dan ashar secara jama. Mereka wuquf di ‘Arafah dengan banyak berdzikir dan berdoa kepada Allah swt hingga matahari terbenam.

Tentang khotbah Arafah, ada dua pendapat:

Pertama, khutbah dua kali. Pendapat ini dianut oleh madhhab Syafi’i;

Kedua, khutbah satu kali. Pendapat ini dianut oleh madhhab Hanafi, madhhab Maliki dan madhhab Hanbali.

(Imam al-Nawawi, Kitab al-Idlah Fi Manasik al-Hajj wa al-’Umrah, 1996:272)

Setelah selesai shalat dhuhur dan ashar, selanjutnya memperbanyak dhikir dan doa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meraih ridhaNya. Di antara doa yang paling banyak dibaca oleh Rasulullah SAW pada saat di padang Arafah adalah bacaan di bawah ini:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ (رواه الترمذى)

Artinya: Tidak ada Tuhan kecuali Allah sendiri dan tidak ada sekutu baginya. Segala kerajaan itu adalah milik Allah, bagiNya lah segala puji dan Dia itu Maha Kuasa atas segala sesuatu. (HR.al-Tirmidhi>)

Selaain dzikir tersebut, baik juga membaca doa atau bacaan Sayyidul Istighfar, yakni sbb:

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّى ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ، خَلَقْتَنِى وَأَنَا عَبْدُكَ ،وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَىَّ وَأَبُوءُ بِذَنْبِى ، اغْفِرْ لِى ، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ »

Artinya: ”Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku. Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku akan menunaikan janjiku kepada-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku mohon perlindungan kepada-Mu dari kejahatan yang telah kuperbuat. Aku menyadari dan mengakui kenikmatan yang telah Engkau berikan kepadaku dan aku mengakui akan dosaku. (Karena itu) ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau”

Nabi Saw bersabda:

وَمَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا ، فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِىَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهْوَ مُوقِنٌ بِهَا ، فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ (صحيح البخارى)

“Barangsiapa membacanya (sayyidul istighfar) di siang hari dengan penuh keyakinan, maka (jika) ia mati pada hari itu sebelum datangnya sore hari, maka ia termasuk ahli surga. Dan barangsiapa membacanya di malam hari dengan penuh keyakinan, kemudian ia mati sebelum datangnya subuh, maka ia termasuk ahli surga” (HR. al-Bukha>ri>)

THAWAF WADA BAGI WANITA HAID

THAWAF WADA BAGI WANITA H{AID{

Oleh

Achmad Zuhdi Dh

www.zuhdidh.blogspot.com

0817581229

Jika ada seorang wanita sedang haid, sementara jadwal waktu pemulangan sudah tiba, padahal ia belum melakukan thawaf wada, apakah ia harus menunggu sampai selesai haidnya, dan berpisah dengan kloternya yang akan segera berangkat? Ataukah ada solusi lain?

T{awa>f wada>’ adalah akhir dari semua rangkaian ibadah haji. Jika seseorang telah melakukan t}awa>f wada>’ hendaknya berdoa kepada Allah agar diberi kesempatan untuk dapat kembali lagi ke Baitullah. Setelah itu kemudian keluar dari Masjidil Haram secara wajar, tidak perlu dengan cara berjalan mundur, tetapi berjalan biasa dengan membelakangi ka’bah.

Kemudian, jika sudah pulang menuju pemondokan, hendaknya tidak melakukan kegiatan lain lagi kecuali sekedar yang diperlukan untuk makan dan sebagainya sambil menunggu kendaraan untuk pemulangan.

Jika ia masih melakukan jual-beli lagi seperti mau bermukim dan dalam waktu yang lama, hendaknya ia mengulangi lagi t}awa>f wada>’nya.

Sesuai perintah Nabi SAW bahwa t}awa>f wada>’ adalah akhir dari segala kegiatan selama berhaji. Nabi SAW bersabda:

لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ

Artinya: Janganlah seseorang di antara kamu pulang melainkan akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah (HR.Muslim,IV/93)

Adapun bagi wanita h}aid, sementara waktu pemulangan sudah segera tiba, maka bagi wanita haid tersebut diberikan dispensasi untuk tidak melakukan t}awa>f wada>’. Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW berikut ini:

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ

Artinya: Orang-orang (yang menunaikan ibadah haji) diperintahkan oleh Nabi Saw agar mengakhirinya dengan thawaf di Baitullah, kecuali bagi wanita yang tengah h}aid, ia diberi keringanan atau dispensasi (tidak harus melakukannya). (HR. al-Bukhari dan Muslim)

قال الإمام النووى :ليس على الحائض ولا على النفساء طواف وداع ولا دم عليها لتركه لانها ليست مخاطبة به للحديث السابق لكن يستحب لها ان تقف على باب المسجد الحرام وتدعو) المجموع ج8 ص(255

Al-Iman al-Nawawi berkata: “Bagi wanita yang sedang haid atau nifas, mereka tidak diwajibkan melakukan thawaf wada’ dan juga tidak terkena dam karena tidak diperintahkan sesuai hadits sebelumnya, hanya saja disunnahkan untuk berdiri di depan pintu masjid al-Haram sambil berdoa”.Al-Majmu’ , VIII/255