Rabu, 29 Desember 2021

HINDARI POPULARITAS

 

HINDARI KETENARAN

 

Oleh

Dr. H. Achmad Zuhdi Dh


عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ رضي الله عنه قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: "إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الخَفِىَّ (رَوَاه مُسْلِمٌ)

Dari Sa’ad bin Abi Waqqas ra. ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa, yang kaya, dan yang merahasiakan diri” (HR. Muslim No. 7621).

Status Hadis

              Hadis tersebut dinilai sahih oleh Imam Muslim dalam al-Jami al-Sahih hadis No. 7621. Selain Imam Muslim, beberapa ulama ahli hadis yang juga meriwayatkan hadis tersebut adalah Imam Ahmad dalam al-Musnad hadis No. 1441, Imam al-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar hadis No. 6050, Imam al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman hadis No.9885, Imam Abu Ya’la dalam al-Musnad hadis No. 737, Imam al-Mundziri dalam al-Targhib Wa al-Tarhib hadis No. 4137, dan Imam Ibn al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul hadis No. 7465. Muhammad Nashir al-Din al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, III/26).

 

Kandungan Hadis

Hadis tersebut menjelaskan tentang tiga sikap seorang hamba yang dicintai oleh Allah swt., yaitu al-taqi, al-ghani, dan al-khafi.  Pertama al-taqi, yaitu seorang hamba yang bertakwa. Takwa artinya taat dan patuh menjalankan perintah Allah swt. dan berusaha menjauhkan diri sejauh mungkin dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Kedua al-ghani, yaitu seorang hamba yang kaya. Kaya di sini maksudnya adalah kaya hati, merasa cukup dengan pemberian Allah, ridha dengan apapun yang telah ditetapkan oleh Allah. Ketiga al-khafi, yaitu seorang hamba yang suka menyembunyikan diri, tidak ingin amal baiknya diketahui orang lain (al-Munawi, al-Taysir Bi Syarh al-Jami’ al-Shaghir, I/544).

 

Keutamaan Menyembunyikan Diri

              Sikap al-khafi adalah suka menyembunyikan diri. Sikap ini dilakukan dengan maksud agar amal ibadah yang dilakukannya terhindar dari riya’ (ingin dilihat orang), dan terhindar dari sum’ah (ingin tenar atau populer, dan ingin mendapatkan simpati atau pujian orang lain).

Al-Khafi adalah salah satu sikap terpuji yang dimiliki oleh orang-orang shalih. Mereka berusaha untuk selalu menjaga hati agar bisa ikhlas setiap beramal. Mereka beusaha lari dari pujian dan sanjungan manusia. Mereka tidak menyukai popularitas di kalangan manusia. Mereka hanya menginginkan Allah sebagai saksi terhadap amal shalihnya. Mereka hanya berharap ridha dan pahala dari Allah semata.

Dalam hadis shahih Riwayat Muslim No. 6656, Usair bin Jabir menceritakan tentang seorang Tabiin yang sangat shalih bernama Uwais bin Amir al-Qarni: “Ketika Umar bin Khaththab didatangi oleh rombongan orang-orang Yaman, ia (Umar) selalu bertanya kepada mereka: “Apakah Uwais bin Amir ada dalam rombongan kalian?”. Hingga pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab bertemu dengan Uwais seraya bertanya: “Apakah kamu Uwais bin Amir?” Uwais menjawab: 'Ya. Benar, saya adalah Uwais. Khalifah Umar bertanya lagi; Kamu berasal dari Murad dan kemudian dari Qaran? ' Uwais menjawab: 'Ya benar. Selanjutnya Khalifah Umar bertanya lagi: Apakah kamu pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham pada dirimu? ' Uwais menjawab; 'Ya, benar.' Khalifah Umar bertanya lagi; 'Apakah ibumu masih ada? ' Uwais menjawab; 'Ya, ibu saya masih ada.' Khalifah Umar bin Khaththab berkata; 'Hai Uwais, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Uwais bin Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman yang berasal dari Murad kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar uang dirham. Ibunya masih hidup dan ia selalu berbakti kepadanya. Kalau ia bersumpah atas nama Allah maka akan dikabulkan sumpahnya itu, maka jika kamu dapat memohon agar dia memohonkan ampunan untuk kalian, lakukanlah! Oleh karena itu hai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku, kata Umar. Lalu Uwais pun memohonkan ampunan untuk Umar bin Khaththab. Setelah itu, Khalifah Umar bertanya kepada Uwais: “Hendak pergi kemana kamu hai Uwais?” Uwais bin Amir menjawab; 'Saya hendak pergi ke Kufah ya Amirul mukminin. Khalifah Umar berkata lagi: Apakah aku perlu membuatkan surat khusus kepada pejabat Kufah? 'Uwais bin Amir menjawab: “Saya Iebih senang berada bersama rakyat jelata, saya lebih senang menjadi manusia yang tidak diperhitungkan….” (HR. Muslim No. 6.656)

 

Sikap tidak ingin dipuji, tidak ingin populer, tidak ingin disanjung-sanjung adalah sikap yang disarankan oleh Nabi saw. kepada sahabatnya.  Beliau memperingatkan:

إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ

“Jauhilah sifat suka dipuji, karena sesungguhnya dengan dipuji-puji itu seakan-akan engkau disembelih” (HR. Ibn Majah No. 3743). Al-Albani menilai hadis tersebut hasan (al-Silsilah al-Shahihah, III/278).

Ketika seseorang menjadi tenar, dipuji dan disanjung banyak orang, maka ketenaran itu bisa menjadi ular berbisa. Bisa membinasakan dunia dan akhiratnya.  Semakin tenar akan semakin sulit menjaga hatinya. Segala gerak-geriknya kemudian ingin diperhatikan orang, ingin selalu tampil baik, biar terjaga popularitasnya, dan lain-lain untuk tujuan-tujuan duniawi. Akhirnya orientasi hidupnya hanya untuk mengejar dunia. Mengejar ketenaran. Berapa banyak orang yang hanya mengejar tenar, namun tidak lama kemudian ia bernasib sial, merana, dan menderita.

              Beberapa ulama ahli hikmah telah menasihatkan. Di antaranya Ibn al-Mubarak (w.181 H/797 M) pernah berkata: “Jadilah orang yang menyukai status khumul (محبا للخمول), suka tersembunyi dan tidak dikenal, dan membenci popularitas (كراهية الشهرة). Namun, jangan engkau tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati. Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan. Karena dengan cara itu, kamu telah menarik pujian dan sanjungan untuk dirimu” (Ibn al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, IV/137).

Imam al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) mengatakan: “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, yakni hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak” (Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy, Ta’thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas, I/232). Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/ 855 M) mengatakan: “Beruntung sekali orang yang dijadikan oleh Allah tidak tenar, …Aku lebih senang jika berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa” (Ta’thirul Anfas, I/278). Ibrahim bin Adham (w.777 M) mengatakan, “Tidaklah bertakwa kepada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang” (Ta’thirul Anfas, I/286).

Al-Fudhail bin ‘Iyad (w. 187 H/ berkata: "Jika engkau mampu untuk tidak terkenal maka lakukanlah, tidak ada ruginya engkau tidak dikenal, tidak ada ruginya engkau tidak mendapatkan pujian, dan tidak ada ruginya engkau dicela oleh manusia jika engkau terpuji di sisi Allah Azza wa Jalla"(Al-Baihaqi, al-Zuhd al-Kabir, I/100).

 

Amalan Yang Boleh Ditampakkan

Al-Hasan Al-Bashri (w.728 M) mengatakan: “Kaum muslimin sudah mengetahui bahwa amalan yang tersembunyi itu lebih baik. Akan tetapi amalan tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah. Allah telah memuji amalan yang dilakukan hamba-Nya, baik dengan cara sembunyi-sembunyi maupun dengan cara terang-terangan, sebagaimana dalam firman-Nya (QS. Al-Baqarah, 271): “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu” (Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, III/317).

Imam Al-Izz bin ‘Abdus Salam (w. 639 H/1241 M) telah menjelaskan bahwa ketaatan kepada Allah itu ada tiga macam. Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqamat, ucapan takbir ketika shalat, membaca al-Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika ditampakkan. Contohnya seperti membaca al-Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan ashar, pen), dan berdzikir dalam shalat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijaharkan. Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia khawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya kalau dia tampakkan amalannya akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan.  

Lebih lanjut al-Izz menerangkan bahwa untuk orang yang tidak berposisi sebagai uswah (teladan), maka orang ini lebih baik menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan amalannya. Adapun bagi orang yang berposisi sebagai uswah, maka menampakkan amalan –seperti amalan sedekahnya- lebih baik karena hal itu akan memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga bisa mendorong orang-orang kaya untuk bersedekah pada fakir miskin dengan mencontoh atau mengikuti jejaknya dalam beramal shalih (al-Iz   Ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam, I/165).

Sungguhpun menampakkan amal pada kondisi tertentu diperbolehkan, namun menjaga hati dari riya’ dan sum’ah tetaplah tidak mudah. Perlu perjuangan yang sungguh-sungguh. Karena itu, sikap yang lebih aman adalah berusaha menghindar dari pandangan orang. Menghindar dari pujian dan sanjungan serta menghindar dari ketenaran dan popularitas.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah MATAN (Majalah Muhammadiyah Jawa Timur) pada Desember 2021


KEISTIMEWAAN HAMDALAH

 

KEISTIMEWAAN HAMDALAH

Oleh


Dr. H. Achmad Zuhdi Dh

 

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ (رواه الترمذى)

Dari Jabir bin Abdillah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Dzikir yang paling utama adalah La ilaha illallah, sedangkan doa yang paling utama adalah Alhamdulillah (HR. al-Tirmidzi No. 3383).

Status Hadis

              Hadis tersebut, selain diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi No. 3383, juga diriwayatkan oleh sejumlah imam ahli hadis. Di antaranya Imam al-Nasai dalam Sunan al-Nasai No. 10667; Imam Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah No. 3800; Imam Ibn Hibban dalam Shahih Ibn Hibban No. 846; Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak No. 1852; dan Imam al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman No. 4061. Ibn Hibban dan al-Hakim menilai sanad hadis tersebut sahih. Sedangkan Syu’ayb al-Arnout dan Al Albani menilai hadis tersebut hasan (al-Albani, Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II/103).

 

Kandungan Hadis

Hadis tersebut menerangkan bahwa dzikir yang paling utama adalah bacaan La ilaha Illallah, karena bacaan La ilaha Illallah (tahlil) mengandung kalimat tauhid. Kalimat tauhid adalah merupakan penegas dan pembeda antara keimanan dan kekafiran. Tauhid berarti meniadakan sesembahan yang lain, yakni hanya Allah yang disembah. Tauhid juga membersihkan jiwa dan batin dari segala hal yang mengotorinya. Bila seseorang berdzikir dengan kalimat tauhid, maka ia akan mengisi hatinya dengan keimanan bahwa setiap ibadah atau amalan yang ia lakukan hanyalah untuk Allah. Karena itu, kalimat tauhid juga mengandung ungkapan keikhlasan, yakni hanya karena Allah semata dalam beramal ibadah, dan keikhlasan adalah merupakan syarat diterimanya suatu amal ibadah (Al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi, IX/229 dan  Ibn Bathal, Syarah Shahih al-Bukhari, X/132). Dalam hadis riwayat al-Nasai, Nabi saw. bersabda bahwa hanya amalan yang dilandasi keikhlasan semata yang akan diridhai dan diterima oleh Allah swt. (HR. al-Nasai No. 3140).

Hadis tersebut juga menerangkan bahwa doa yang paling utama adalah bacaan Alhamdulillah (hamdalah). Dalam hadis Riwayat al-Tirmidzi No. 3383 tersebut, Rasulullah saw. mengategorikan bacaan hamdalah sebagai doa, bahkan sebagai doa yang paling utama. Doa adalah merupakan bagian dari dzikir kepada Allah dan untuk memohon pertolongan kepada-Nya. Bacaan hamdalah mengandung keduanya, yaitu dzikir dan doa sekaligus. Bacaan hamdalah merupakan ungkapan pujian kepada Allah, dan pujian kepada Allah atas suatu nikmat mengandung permintaan atau doa untuk mendapatkan nikmat lagi atau nikmat-nikmat berikutnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Ibrahim, ayat 7: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka pasti azabKu sangat berat (al-Suyuti et al., Syarah Sunan Ibn Majah, I/270).  Imam al-Hasan al-Bashri berkata:

مَا أَنْعَمَ اللهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً، فَحَمِدَ اللهَ عَلَيْهَا، إِلَّا كَانَ حَمْدُهُ أَعْظَمَ مِنْهَا كَائِنَةً مَا كَانَتْ

"Kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba, lalu sang hamba merespons dengan memuji Allah (membaca alhamdulillah), maka ucapan hamdalah atau pujiannya kepada Allah itu lebih besar nilainya ketimbang nikmat yang diterimanya" (Badr al-Din al-Aini al-Hanafi, Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, XXX/438).

Orang yang memuji Allah, sebenarnya juga sedang berdoa dan meminta kepada-Nya. Hanya saja dengan bahasa yang halus untuk mendapatkan perhatian. Orang yang memuji Allah, hakikatnya ia sedang mensyukuri nikmat Allah, dan orang yang mensyukuri nikmat Allah, akan berpeluang besar untuk mendapatkan tambahan nikmat dari-Nya. Jadi, orang yang membaca hamdalah, memuji Allah, sejatinya ia juga sedang berdoa kepada-Nya. Banyak ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan hal tersebut. Di antaranya firman Allah QS. Yunus ayat 10 yang artinya: “Penutup doa mereka adalah alhamdulillahi rabbil’alamin (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam)”. Selanjutnya firman Allah QS. Al-Mu’min ayat 65 yang artinya: “Dialah yang Maha hidup, tidak ada yang berhak disembah selain Dia. Maka berdoalah kepada-Nya dengan tulus ikhlas beragama. Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam”.

 

Keutamaan membaca hamdalah

Banyak sekali keutamaan membaca hamdalah, di antaranya adalah sebagai berikut:

1.      Orang yang suka membaca hamdalah, besok hari kiamat akan berada dalam naungan bendera Rasulullah saw.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ، وَبِيَدِي لِوَاءُ الحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ، وَمَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَائِي

Dari Abu Said ra, Rasulullah saw. bersabda: “Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat. Aku katakan ini bukan untuk menyombongkan diri. Di tanganku bendera pujian. Aku katakan ini bukan untuk menyombongkan diri. Pada hari itu seluruh nabi termasuk Adam akan berada di bawah benderaku” (HR. al-Tirmidzi No.3615).  al-Albani menilai hadis ini shahih (Shahih Wa Dhaif Sunan al-Tirmidzi, VIII/115).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa pada hari kiamat, Rasulullah saw. akan membawa bendera pujian. Dan yang berhak bergabung di bawah bendera tersebut adalah hamba-hamba Allah yang sering bertahmid dan banyak memuji-Nya.

2.      Allah akan membangunkan rumah pujian di surga bagi siapa saja yang suka bertahmid.  

عَنْ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَاتَ وَلَدُ العَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلاَئِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ فَيَقُولُونَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الجَنَّةِ، وَسَمُّوهُ بَيْتَ الحَمْدِ.

“Jika salah seorang anak manusia meninggal, maka Allah akan bertanya kepada malaikat-Nya: “Kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?”. “Ya”, jawab mereka. “Kalian telah mencabut nyawa buah hatinya?”. Mereka menjawab lagi, “Ya”. “Apa yang diucapkan hamba-Ku?”. “Ia memuji-Mu dan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un!”. Allah pun berfirman, “Bangunkan untuk hamba-Ku rumah di surga dan namailah dengan rumah pujian” (HR. al-Tirmidzi No. 1021). Hadis ini dinyatakan hasan oleh Tirmidzi dan al-Albani (Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, III/201).

3.  Hamdalah adalah kalimat pertama yang diucapkan Adam ‘Alahis Salam.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ وَنَفَخَ فِيهِ الرُّوحَ عَطَسَ فَقَالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ، فَحَمِدَ اللَّهَ بِإِذْنِهِ، فَقَالَ لَهُ رَبُّهُ: رَحِمَكَ اللَّهُ يَا آدَمُ

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Ketika Allah menciptakan Adam dan meniupkan ruh di dalamnya, maka ia bersin, lalu mengucapkan Alhamdulillah, ia memuji Allah dengan izinNya. Allah saw. kemudian berkata kepadanya: “Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu wahai Adam!” (HR. Tirmidzi No. 3368). Al-Albani menilai hadis ini hasan shahih (Shahih Wa Dhaif Sunan al-Tirmidzi, VII/368).

4.  Ucapan alhamdulillah adalah sebaik-baik doa.

 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ (رواه الترمذى)

Dari Jabir bin Abdillah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Dzikir yang paling utama adalah La ilaha illallah, sedangkan doa yang paling utama adalah Alhamdulillah (HR. al-Tirmidzi No. 3383). Al Albani menilai hadis tersebut hasan (Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II/103).

5.   Hamba yang paling utama di hari kiamat adalah al-hammadun.

عَنْ عِمْرَانَ بن حُصَيْنٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "إِنَّ أَفْضَلَ عِبَادِ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْحَمَّادُونَ

Dari Imran bin Hushain, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya seutama-utamanya hamba pada hari kiamat adalah al-hammaduun, yaitu hamba-hamba yang gemar membaca alhamdulillah (HR. al-Thabrani No.14673). al-Albani menilai hadis ini shahih (al-Silsilah al-Shahihah al-Kamilah, IV/158).

6.   Ucapan hamdalah dapat memenuhi timbangan amal

عَنْ أَبِى مَالِكٍ الأَشْعَرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلأُ الْمِيزَانَ

Dari Abu Malik al-Asy’ari, Rasulullah saw. bersabda: “Kesucian itu Sebagian dari iman dan alhamdulillah dapat memenuhi timbangan (HR. Muslim No. 556).

7.  Bertahmid (membaca alhamdulillah) sama dengan membawa kuda berpelana di jalan Allah.

Suatu saat Ummi Hani’ binti Abu Thalib berkata kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah, saya sudah tua dan lemah, maka perintahkanlah kepadaku dengan amalan yang bisa saya lakukan sambil duduk. Rasulullah saw. bersabda:

...وَاحْمَدِى اللَّهَ مِائَةَ تَحْمِيدَةٍ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ لَكِ مِائَةَ فَرَسٍ مُسْرَجَةٍ مُلْجَمَةٍ تَحْمِلِينَ عَلَيْهَا فِى سَبِيلِ اللَّهِ

“…Bertahmidlah kepada Allah seratus kali, karena itu sama dengan seratus kuda berpelana yang memakai kekang di mulutnya, yang kamu bawa di jalan Allah… (HR. Ahmad No. 26911). Al-Albani menilai hadis ini hasan (Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II/109).

8. Membaca hamdalah dapat pahala 30 kebajikan dan menghapus dosa 30 kesalahan.

      Nabi saw. bersabda:

وَمَنْ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ كُتِبَتْ لَهُ ثَلاَثُونَ حَسَنَةً وَحُطَّ عَنْهُ ثَلاَثُونَ سَيِّئَةً

…Dan barangsiapa mengucapkan alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin dari relung hatinya maka akan dituliskan tiga puluh kebaikan untuknya dan digugurkan tiga puluh dosa darinya.” (HR. Ahmad No. 8093). Syaikh Syu’aib Al Arnauth menilai bahwa sanadnya shahih, demikian juga Syekh Al-Albani (Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II/109).

9.   Mengucapkan alhamdulillah tiga kali dapat pahala berlipat ganda

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ مِنْ نِعْمَةٍ فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ وَقَدْ أَدَّى شُكْرَهَا، فَإِنْ قَالَهَا الثَّانِيَةَ جَدَّدَ اللَّهُ لَهُ ثَوَابَهَا، فَإِنْ قَالَهَا الثَّالِثَةَ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ.

Dari Jabir ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah Allah memberi nikmat kepada seorang hamba kemudian ia mengucapkan Alhamdulillah, kecuali Allah menganggap hambanya itu telah benar-benar mensyukuri nikmat itu. Apabila ia mengucapkan Alhamdulillah yang kedua kali, maka Allah akan memberinya pahala yang baru lagi, apabia ia mengucakan Alhamdulillah yang ketiga kalinya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya" (HR. al-Hakim No. 1871 dan al-Baihaqi No. 4090).

       Hadis ini dinilai shahih oleh al-Hakim, tetapi banyak ulama yang men-daif-kannya bahkan ada yang menilainya maudu’ atau palsu karena ada perawinya bernama Abu Muawiyah al-Za’farani yang dinilai sangat lemah (al-Asqalani, Lisan al-Mizan, VII/283, al-Albani, Dha’if al-Targhib Wa al-Tarhib, I/240).

Artikel ini pernah dimuat di Majalah MATAN (Majalah Muhammadiyah Jawa Timur) pada Oktober 2021

Jumat, 27 Agustus 2021

HUKUM SHALAT BERJAMAAH DAN KEUTAMAANNYA

 

HUKUM SHALAT BERJAMAAH DAN KEUTAMAANNYA

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Pertanyaan:

              Assalamu’alaikum wr.wb.!

              Ustadz Zuhdi rahimakumullah! Mohon penjelasan tentang hukum shalat berjamaah dan keutamaannya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Atas penjelasannya kami sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’. Terima kasih! (Muhammad Shalih, Sidoarjo)

              Wassalamu’alaikum wr.wb.!

Jawaban:

              Ada dua hal yang ditanyakan oleh Sdr. Muhammad Shalih. Pertama tentang hukum shalat berjamaah. Kedua tentang keutamaan shalat berjamaah.

Hukum shalat berjamaah.

Dalam kitab Fatawa al-Azhar, VIII/476, Syekh Athiyah Shaqar menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan ulama tentang hukum melaksanakan shalat berjamaah:

Pendapat pertama dari Ahmad bin Hanbal bahwa shalat berjamaah itu hukumnya wajib ain bagi yang mampu melaksanakannya. Ulama yang setuju dengan pendapat ini adalah Atha’, al-Auza’I, dan Abu Tsaur. Di kalangan ahli hadis yang sependapat dengan ini adalah Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban sebagaimana pendapat kalangan madzhab Dhahiri yang cenderung berdasarkan dhahir nas. Dalil yang dijadikan hujjah oleh kelompok ulama ini adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

"Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk," (QS. al-Baqarah: 43).

Selain berdasarkan ayat tersebut juga berdasarkan beberapa hadis, di antaranya hadis riwayat Muslim:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ [رواه مسلم].

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan) ia berkata: “Seorang buta (tuna netra) pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar: Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid. Lalu ia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya: Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)? Laki-laki itu menjawab: Benar. Beliau bersabda: Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat)” (HR. Muslim no. 1044).

 

       Berdasarkan ayat 43 dari surat al-Baqarah tentang perintah shalat berjamaah dan hadis Riwayat Muslim tentang tetap diperintahkannya dating ke masjid saat mendengar adzan walaupun dalam keadaan buta, maka ulama yang pertama ini berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah itu wajib ‘ain.

Pendapat kedua dari Imam Malik, Abu Hanifah dan sejumlah ulama Syafi’iyah bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Banyak hadis yang dijadikan dalil, di antaranya dua hadis berikut ini:

وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ

Dan seseorang yang menunggu shalat hingga melakukannya bersama imam, lebih besar pahalanya daripada yang melakukannya (sendirian) kemudian tidur” (HR. al-Bukhari No. 651 dan Muslim No. 1545).

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً [رواه البخاري ومسلم]

Dari Abdullah ibn Umar (diriwayatkan), bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat”. (HR. al-Bukhari no. 609 dan 610, dan Muslim no. 1036 dan 1039)

              Hadis-hadis tersebut menunjukkan keutamaan shalat berjamaah, yakni akan mendapatkan pahala yang lebih besar. Hadis ini juga menunjukkan bahwa shalat sendirian masih mendapatkan pahala dan dibenarkan, meskipun pahalanya tidak lebih besar dibandingkan dengan shalat berjamaah.

Pendapat ketiga dari Imam Syafii salah satu dari pendapatnya dan jumhur ulama mutaqaddimin di kalangan madzhab Syafii serta sejumlah ulama madzhab Maliki dan Hanafi bahwa hukum shalat berjamaah itu fardhu kifayah bagi muqimin. Apabila di antara warga penduduk suatu kampung ada yang sudah melakukan shalat berjamaah, maka yang lainnya gugur kewajibannya, dan yang lainnya dihukumi sunnah. Dalil yang dipakai oleh kelompok ini adalah mengkompromikan antara dalil-dalil yang dipakai oleh golongan pertama dan golongan kedua.

      Tim Majelis Tarjih dan Tajdid setelah mengkompromikan (al-jam’u wa at-taufiq) terhadap dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh tiga golongan tersebut di atas, berpendapat bahwa dalil-dalil tersebut ada memberikan tekanan sangat kuat untuk melaksanakan shalat berjamaah, selain itu juga ada dalil-dalil yang hanya menjelaskan tentang keutamaan-keutamaannya. Dari dua hal tersebut tidak ditemukan dalil yang menunjukkan berdosa bagi orang yang meninggalkan shalat jamaah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah, sebab tidak ditemukan dalil mengenai ancaman siksa atau dosa bagi orang yang meninggalkannya (Majalah SM, No.20, 2018).  

Keutamaan shalat berjamaah

1. Mendapatkan cahaya yang sempurna pada hari Kiamat.

عن بريدة الأسلمي رضي الله عنه عن النبي – صلى الله عليه وسلم قال :بشِّرِ المشَّائين في الظُّلَم إلى المساجد بالنور التام يوم القيامة

Dari Buraidah al-Aslami radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang berjalan pada saat gelap menuju masjid, dengan cahaya yang sempurna pada hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud No. 561 dan Tirmidzi No. 223). Al-Albani: Hadis sahih.

2. Doanya diamminkan oleh Malaikat.

     Dari Sahabat Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW Bersabda :

إِذَا قَالَ الْاءِمَامُ {غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّالِّيْنَ} فَقُلُوْا آمِيْنَ فَاءِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلَاءِكَةِ غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Jika Imam membaca “Ghairil Maghdluubi Alaihim Wa la dldlaalliin” maka ucapkanlah “Aamiin” karena siapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan aamiinnya Malaikat maka dosanya yang telah lalu akan diampuni (HR. Bukhari No: 740).

3. Mendapatkan ganjaran shalat malam sepenuh waktunya.

Dalam hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam disebutkan:

مَن صلى العشاء في جماعة، فكأنما قام نصف الليل، ومن صلى الصبح في جماعة، فكأنما صلَّى الليلَ كلَّه

“Barang siapa yang melakukan shalat Isya berjamaah, maka dia sama seperti manusia yang melakukan shalat setengah malam. Barang siapa yang melakukan shalat Subuh berjamaah, maka dia sama seperti manusia yang melakukan shalat malam sepanjang waktu malam itu” (HR. Muslim No. 1523).

4.  Dibebaskan dari sifat orang munafik.

Shalat Subuh secara berjamaah adalah salah satu upaya yang bisa kita tempuh agar bisa terhindar dari terjangkit penyakit kemunafikan itu, disebutkan dalam hadits:

ليس صلاة أثقل على المنافقين من الفجر والعشاء، ولو يعلمون ما فيهما، لأتَوهما ولو حبوًا، ولقد هممتُ أن آمُرَ المؤذِّن فيُقيم، ثم آخُذَ شُعلاً من النار، فأحرِّقَ على من لا يخرج إلى الصلاة بعد

“Tidak ada Shalat yang lebih berat (dilaksanakan) bagi orang munafik daripada shalat Subuh dan Isya. Seandainya mereka tahu (keutamaan) yang terdapat di dalamnya, niscaya mereka akan melakukannya kendati dengan merangkak. Sungguh aku telah hendak memerintahkan kepada petugas azan untuk iqamat (Shalat) kemudian aku mengambil bara api dan membakar (rumah) orang yang belum tidak keluar melaksanakan Shalat (di masjid)” (HR. Bukhari No. 657).

5. Berpeluang mendapatkan pahala haji atau umrah bila berzikir hingga terbitnya matahari.

Dasar dari hal ini adalah keterangan dari Anasibn Malik Radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang bersabda:

مَن صلى الغداة في جماعة، ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس، ثم صلى ركعتين، كانت له كأجر حجة وعمرة تامة، تامة، تامة

“Barang siapa yang shalat Subuh berjamaah kemudian dia duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lantas shalat dua rakaat, maka baginya seperti pahala haji dan umrah, yang sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. Tirmidzi No. 586). Al-Albani: Hadis hasan.

6.  Mendapatkan pahala berlipat ganda

Dalam Hadist yang lain, Rasulullah SAW bersabda :

صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة

Shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dibanding shalat sendirian.” (HR. Bukhari No. 645 dan Muslim No. 1509).

إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ

Manusia paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh perjalannya, lalu yang selanjutnya. Dan seseorang yang menunggu shalat hingga melakukannya bersama imam, lebih besar pahalanya daripada yang melakukannya (sendirian) kemudian tidur.” (HR. Muslim No. 1545).

7. Mereka yang melakukan sholat secara berjama’ah akan terhindar dari gangguan syaitan

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).” (HR. Abu Daud No. 547).  Al-Albani: Hadis hasan.

 

8.  Menghapuskan kesalahan atau dosa

Allah SWT akan menghapuskan kesalahan-kesalahan bagi mereka yang sholat berjama’ah serta akan meninggikan derajat mereka.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ». قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ » (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang perkara yang akan menghapuskan kesalahan-kesalahan dan juga mengangkat beberapa derajat?” Para sahabat menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ pada saat yang tidak disukai, banyak melangkah ke masjid-masjid, dan menunggu shalat setelah melaksanakan shalat. Maka, itulah al-ribath (berjuang di jalan Allah).” (HR. Muslim No. 610).

9.  Kelak ketemu Allah sebagai seorang muslim

مَنْ سَرَّهُ أنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إلاّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إلاّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

Barangsiapa yang ingin bertemu dengan Allah kelak (dalam keadaan) sebagai seorang muslim, maka hendaklah dia memelihara shalat setiap kali ia mendengar panggilan shalat. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnanal huda (jalan-jalan petunjuk) dan sesungguhnya shalat berjama`ah merupakan bagian dari sunnanil huda. Apabila kamu shalat sendirian di rumahmu seperti kebiasaan shalat yang dilakukan oleh seorang mukhallif (yang meninggalkan shalat berjama`ah) ini, berarti kamu telah meninggalkan sunnah nabimu, apabila kamu telah meninggalkan sunnah nabimu, berarti kamu telah tersesat. Tiada seorang pun yang bersuci (berwudhu`) dengan sebaik-baiknya, kemudian dia pergi menuju salah satu masjid melainkan Allah mencatat baginya untuk setiap langkah yang diayunkannya satu kebajikan dan diangkat derajatnya satu tingkat dan dihapuskan baginya satu dosa. Sesungguhnya kami berpendapat, tiada seorang pun yang meninggalkan shalat berjama`ah melainkan seorang munafik yang jelas-jelas nifak. Dan sesungguhnya pada masa dahulu ada seorang pria yang datang untuk shalat berjama`ah dengan dipapah oleh dua orang laki-laki sampai ia didirikan di dalam barisan shaff shalat berjama`ah.” (HR. Muslim No. 1520).