Sabtu, 17 September 2016

MENJADI ORANG BERJASA

MENJADI ORANG BERJASA

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I


Nabi Saw bersabda:

 خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak jasanya bagi orang lain”
(HR. al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, VI/58)
Muhammad Nashiruddin al-Albani menilai hadis ini shahih (al-Silsilah al-Shahihah, I/787)

Ada pertanyaan penting yang perlu kita jawab dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Selama ini, pernahkah kita melakukan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain? Misalnya, pernahkah  kita memberikan sesuatu kepada keluarga, sehingga mereka merasa senang, bahagia dan bermanfaat bagi kehidupan masa depannya? Bagaimana dengan orang-orang yang ada di sekitar kita, tetangga kita, teman-teman sekerja kita, dan orang-orang yang telah mengenal kita, apakah mereka merasakan sesuatu yang bermanfaat  dari kita, berkat jasa-jasa atau tindakan-tindakan kita?

Kebanyakan orang berusaha keras untuk meniti karir hingga meraih sukses besar dengan mendapatkan jabatan bergengsi, gelar pendidikan tertinggi, harta kekayaan melimpah, nama yang masyhur, dan penghormatan dari berbagai kalangan. Namun, agaknya jarang di antara kita yang bercita-cita atau berpikiran tentang apa yang bisa kita perbuat dan kita berikan kepada orang lain, sehingga mereka benar-benar merasakan manfaatnya karena bantuan atau jasa yang kita berikan. Hadis tersebut di atas mengingatkan kita bahwa orang yang paling baik di antara kita adalah orang yang paling berjasa bagi orang lain. Bukan orang yang paling kaya, bukan orang yang paling tinggi gelar pendidikannya, dan bukan pula orang yang paling berkuasa karena jabatan dan kedudukannya.

Ada sebuah anekdot yang menarik dan sangat inspiratif. Kisah ini dituturkan oleh Prof. Dr.Ravik Karsidi, Rektor Universitas Sebelas Maret Solo. Beliau bercerita:
Waktu itu saya dalam perjalanan dari Jogya ke Jakarta naik pesawat. Karena keberangkatan pesawat ditunda 1 jam, maka saya menunggu di in HB Kafetaria Bandara Adisucipto, sekedar minum kopi. Di depan saya, duduk seorang ibu sudah agak tua, memakai pakaian Jawa tradisional, kain batik dan kebaya, wajahnya tampak tenang dan keibuan. Sekedar mengisi waktu, saya mengajaknya bercakap-cakap.

 “Mau pergi ke Jakarta, bu ?”, tanya saya.
 “Iya nak, hanya transit di cengkareng terus ke Singapura”, jawab Ibu itu.
“Kalau boleh, mau bertanya, ada keperluan apa ibu pergi ke Singapura ?”
 “Menengok anak saya yang nomor dua nak, istrinya melahirkan di sana terus saya diberi tiket dan diuruskan paspor melalui biro perjalanan. Jadi saya tinggal berangkat tanpa susah mengurus apa-apa”, jawab ibu itu.
"Puteranya kerja dimana, bu ?”, tanya saya.
"Anak saya ini insinyur perminyakan, kerja di perusahaan minyak asing, sekarang jadi kepala kantor cabang Singapura”, jawab ibu itu.
 “Berapa anak ibu semuanya?”, tanya saya.
"Anak saya ada 4 nak, 3 laki-laki, 1 perempuan. Yang ini tadi anak nomer 2. Yang nomer 3 juga laki-laki, dosen fakultas ekonomi UGM, sekarang lagi ambil program doktor di Amerika. Yang bungsu perempuan jadi dokter spesialis anak. Suaminya juga dokter, ahli bedah dan dosen di universitas Airlangga Surabaya”, jawab ibu itu.
"Kalau anak sulung, bu?”, tanya saya.
“Dia petani, Nak. Tinggal di Godean (Jogjakarta), menggarap sawah warisan almarhum bapaknya”, jawab ibu itu.
Saya tertegun sejenak lalu dengan hati-hati saya bertanya: “Tentunya ibu kecewa kepada anak sulung, ya bu. Kok tidak sarjana seperti adik-adiknya.
Ibu itu menjawab: “Sama sekali tidak, nak. Malahan kami sekeluarga semuanya hormat kepada dia. Dari hasil sawahnya dia membiayai hidup kami dan menyekolahkan adik-adiknya semua sampai selesai jadi sarjana”.

Saya merenung :
"Ternyata yang penting bukan apa atau siapa kita, tetapi apa yang telah kita perbuat". Allah tidak akan menilai apa dan siapa kita tetapi apa "amal-ibadah" kita. Tanpa terasa air mata pun mengalir di pipiku…...!

            Kisah yang dituturkan oleh Ravik Karsidi tersebut menggambarkan bahwa sang Ibu yang mempunyai empat anak tersebut lebih bangga dan hormat kepada anaknya yang sulung (anak pertama), yang pekerjaannya sebagai seorang petani dibandingkan dengan yang lainnya, meskipun saudara-saudaranya yang lain telah berhasil meraih jenjang pendidikan yang tinggi dan jabatan yang prestisius. Bukan karena profesinya yang petani itu yang membuat ibunya bangga dan sangat hormat, tetapi karena perjuangannya dan kerelaannya untuk memberikan sumbangsih dari hasil pertaniannya kepada adik-adiknya, sehingga mereka (adik-adiknya) bisa melanjutkan sekolah sampai sarjana dan kemudian mendapatkan jabatan yang menggembirakan. Dalam hal ini, anak pertama tadi telah berjasa besar dalam mengantarkan adik-adiknya menjadi orang-orang yang berpendidikan dan berkedudukan.
            Untuk menjadi orang yang berjasa, sebenarnya tidak perlu menunggu menjadi orang yang kaya, berpendidikan tinggi, dan memiliki jabatan atau kekuasaan. Yang penting, asal kita bisa memberikan “sesuatu” yang bermanfaat bagi orang lain, maka saat itu kita sudah menjadi orang yang berjasa bagi orang lain. Dalam hal ini, jasa yang kita berikan bisa berupa biaya studi kepada pelajar yang miskin, ilmu pengetahuan atau keahlian kepada calon tenaga kerja yang butuh bimbingan, dan nasihat atau solusi kepada mereka yang sedang mengalami suatu problem. Selain itu, kita juga bisa berjasa dengan memberikan bantuan tenaga fisik kita untuk mengangkat barang-barang dagangan milik pedagang yang sudah lanjut usia, atau ikut membangun masjid di sekitar kita dengan keahlian sebagai tukang bangunan, atau membersihkan dan menjaga keamanan masjid dengan waktu dan tenaga kita, dan lain-lain. Semuanya ini, apabila bisa kita lakukan dengan tulus dan semata-mata ingin mendapatkan ridha Allah, maka masyarakat luas akan dapat merasakan manfaatnya dan Allah tentu akan meridhainya.
            Diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra bahwa suatu ketika  ada orang yang biasa menyapu masjid meninggal dan kemudian dimakamkan para sahabat di malam hari tanpa mengabari Nabi Saw. Padahal ketika sakit, orang ini sering dijenguk oleh Nabi Saw. Di pagi harinya, mereka baru memberitahu Nabi Saw. “Mengapa kalian tidak memberi tahu saya?” Tanya beliau. “Wahai Nabi, malam hari sudah larut dan suasana cukup gelap. Kami khawatir akan merepotkan anda”, Jawab sahabat. Ibnu Abbas melanjutkan ceritanya, lalu beliau mendatangi kuburannya, dan men-shalatinya. Kami menjadi makmum dan membentuk shaf di belakang beliau. Saya termasuk di antara mereka dan beliau bertakbir 4 (empat) kali. (HR. Ibn Majah 1530, al-Baihaqi dalam as-Sunan, dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil).
Dalam versi lain hadis riwayat Abu Hurairah Ra, peristiwa tersebut digambarkan sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ - أَوْ شَابًّا - فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَأَلَ عَنْهَا - أَوْ عَنْهُ - فَقَالُوا مَاتَ. قَالَ « أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِى ». قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا - أَوْ أَمْرَهُ - فَقَالَ « دُلُّونِى عَلَى قَبْرِهِ ». فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِى عَلَيْهِمْ ».رواه البخارى ومسلم
Abu Hurairah menceritakan bahwa ada seorang wanita hitam atau seorang pemuda yang tinggal di dalam masjid, menjadi tukang sapu atau penjaga masjid. Suatu ketika, Rasulullah Saw mencarinya dan menanyakannya kepada para sahabat. Para sahabat memberi tahu bahwa orang itu sudah meninggal. “Mengapa kalian tidak memberi tahu saya saat dia meninggal?.” Tanya Nabi Saw. Sepertinya para sahabat menganggap seolah orang ini biasa-biasa saja, orang kecil, bukan orang penting. Nabi saat itu kemudian meminta kepada para sahabat: “Tunjukkan kepadaku, di mana kuburannya?”. Para sahabat pun kemudian menunjukkan kepada beliau di mana kuburannya, setelah itu Nabi Saw pun mendatangi kuburannya dan shalat jenazah di sana. Lalu beliau bersabda: “Kuburan ini dipenuhi dengan kegelapan bagi penghuninya. Kemudian Allah Swt meneranginya dengan shalatku untuk mereka”. (HR. Bukhari 460, dan Muslim 2259).
Peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Saw tersebut bisa menjadi pelajaran penting bagi kita betapa terhormatnya orang yang menyediakan diri bertugas dan berperan sebagai penjaga masjid dan memelihara kebersihannya sehingga mendapatkan perlakukan khusus dari Nabi Saw. Yang menjadi pertimbangan Nabi Saw tentu bukan sekedar karena profesinya, tetapi kesediaannya untuk berbuat sesuatu yang bisa membuat orang banyak merasa nyaman saat masuk dan berdiam di dalam masjid.
Bagaimana dengan diri kita? Sudahkah kita melakukan “sesuatu” untuk kepentingan dan kemaslahatan orang banyak?




Rabu, 14 September 2016

ORANG MISKIN YANG SABAR DAN ORANG KAYA YANG SYUKUR

MANA YANG LEBIH MULIA
ORANG MISKIN YANG SABAR ATAU ORANG KAYA YANG SYUKUR

Oleh:


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I

Pertanyaan:
            Assalamu’alaikum wr wb!
            Ust. Achmad Zuhdi yang dirahmati Allah!
Mohon penjelasan mengenai sebuah amal. Mana yang lebih mulia, orang miskin yang bersabar atau orang kaya yang bersyukur? Terima kasih sebelumnya. (Abdullah, Sidoarjo)

Jawab:
            Jika kita ditanya mana di antara dua keadaan yang dipilih, jadi orang miskin yang sabar atau orang kaya yang syukur, barangkali banyak di antara kita yang memilih jadi orang kaya yang syukur. Karena yang terbayang di benak kita jika menjadi orang kaya pastinya hidup nyaman, bisa berbagi uang, dan kehidupan kita menjadi terpandang serta disukai banyak orang. Sedangkan jika menjadi orang miskin, yang terbayang di benak kita adalah kehidupan yang menderita, serba kekurangan, dan kurang diperhatikan orang.
            Sekarang yang menjadi permasalahan adalah mana yang lebih utama, menjadi miskin yang sabar atau kaya yang syukur? Dalam hal ini ada tiga pendapat yang masyhur, yakni sebagai berikut:
Pertama: Orang miskin yang bersabar lebih utama. 
 Pendapat ini dipilih oleh mayoritas Shufiyyah (ahli tasawwuf) dan banyak ahli fiqh. Termasuk dalam kelompok ini adalah al-Junaid. Di antara alasan yang digunakan adalah, bahwa cobaan kemiskinan lebih berat untuk dirasakan dibandingkan cobaan kekayaan. Imam al-Ghazali(Ihya ‘Ulum al-Din, III/264) berpendapat bahwa secara umum kefakiran itu lebih utama dibandingkan dengan kekayaan. Pada bagian lain al-Ghazali (Ihya ‘Ulum al-Din, IV/140) mengatakan:
فَرُبَّ فَقِيْرٍ صَابِرٍ أَفْضَلُ مِنْ غَنِيٍّ شَاكِرٍ كَمَا سَبَقَ وَرُبَّ غَنِيٍّ شَاكِرٍ أَفْضَلُ مِنْ فَقِيْرٍ صَابِرٍ وَذَلِكَ هُوَ الْغَنِيُّ الَّذِيْ يَرَىْ نَفْسَهُ مِثْلَ الْفَقِيْرِ إِذْ لاَ يُمْسِكُ لِنَفْسِهِ مِنَ الْمَالِ إِلاَّ قَدْرَ الضَّرُوْرَةِ وَالْبَاقِيْ يُصْرِفُهُ إِلَى الخْيَرْاَتِ
 “Berapa banyak orang faqir yang bersabar dan lebih utama dibandingkan dengan orang kaya yang bersyukur. Begitu pula sebaliknya, berapa banyak orang kaya yang bersyukur yang lebih utama dibandingkan dengan orang faqir yang sabar. Mereka itu adalah orang kaya yang memberlakukan dirinya seperti orang faqir. Ia tidak memegang harta untuk dirinya kecuali sebatas kebutuhan darurat, dan selebihnya ia gunakan untuk hal-hal kebaikan.”  
Dari Abū Hurairah, Nabi bersabda:
يَدْخُل فُقَرَاءُ الْمسْلمِينَ الْجنّةَ قَبْلَ أغْنِيَائِهِم بِنِصْفِ يَوْمٍ، وَهُوَ خَمْسُمِائَة عَامٍ
“Orang-orang faqir di kalangan kaum muslimin kelak akan mendahului orang-orang kaya mereka dalam hal masuk surga selama setengah hari (di akhirat), yaitu lima ratus tahun.” (HR. al-Tirmidzi). Al-Albani: hadis ini shahih (Shahih al-Tarhib Wa al-Tarhib, III/132).
Hadis tersebut difahami oleh kelompok pertama sebagai dalil bahwa orang faqir yang sabar itu lebih utama daripada  orang kaya yang bersyukur.  
Kedua: Orang kaya yang bersyukur lebih utama. 
Pendapat ini dipilih oleh sejumlah ulama. Di antara tokoh yang memilih pendapat ini adalah Ibn Qutaibah, Abu al-Abbas, Ibn Atha, Abu Ali al-Daqqaq (guru Abu al-Qasim al-Qusyairi) dan banyak ulama madzhab Syafii. Di antara alasan yang digunakan kelompok ini adalah bahwa kekayaan merupakan sifat Allah sedangkan kefakiran merupakan sifat makhluk, sementara sifat Allah tentu lebih baik dibandingkan sifat makhluk. Di antara hadis yang menjadi dalil bagi mereka yang berpendapat bahwa orang kaya yang syukur lebih utama daripada orang miskin yang sabar adalah hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar yang  menyebutkan bahwa sebagian Sahabat mengadu kepada Nabi:
يَا رَسُولَ اللّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ. يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي. وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ. وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
“Ya Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa pahala-pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami puasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk bersedekah, (sementara kami tidak memiliki harta untuk disedekahkan) HR. Muslim No. 2376).
Imam al-Nawawi (Syarh Nawawi ‘Ala Muslim, II/372) berkata: “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi mereka bahwa orang kaya yang bersyukur itu lebih utama dibandingkan dengan orang miskin yang bersabar. Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan Salaf dan Khalaf dari berbagai kalangan”.
Ketiga, keduanya sama-sama mulia.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai keutamaan suatu hal dari yang lainnya, di antaranya beliau ditanyakan mengenai manakah yang lebih utama antara orang kaya yang pandai bersyukur atau orang miskin yang selalu bersabar. Lalu beliau jawab dengan jawaban yang sangat memuaskan, “Yang paling utama di antara keduanya adalah yang paling bertakwa kepada Allah Swt. Jika orang kaya dan orang miskin tadi sama dalam ketakwaannya, maka berarti mereka sama derajatnya, sama-sama mulianya.”(Majmu’ al-Fatawa, XI/21).
Ibnul Qoyyim ra (Madarijus Salikin, 2/442) mengatakan:

أَنَّ التَّفْضِيْلَ لاَ يَرْجِعُ إِلَى ذَاتِ الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَإِنَّماَ يَرْجِعُ إِلَى الْأَعْمَالِ وَالْأَحْوَالِ وَالْحَقَائِقِ …..فَإِنَّ التَّفْضِيْلَ : عِنْدَ اللهِ تَعاَلَى بِالتَّقْوَى وَحَقَائِقِ الْإِيْمَانِ لاَ بِفَقْرٍ وَلاَ غِنَى  
“Bahwasanya keutamaan di antara orang kaya dan orang miskin itu tidak kembali pada miskin atau pun kayanya, tetapi semua itu kembali kepada amalan, keadaan, dan hakikatnya. … Keutamaan di antara keduanya(orang kaya dan orang miskin)  di sisi Allah dilihat dari ketakwaan, hakikat iman, bukan dilihat dari miskin atau kayanya”.

Karena Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurat: 13)
Dalam ayat tersebut, Allah tidak mengatakan bahwa yang paling mulia adalah yang paling kaya di antara kalian atau yang paling miskin di antara kalian. Lebih lanjut Ibn al-Qayyim (Uddat al-Shabirin, I/126) mengatakan bahwa yang menentukan kemuliaan itu karena takwanya. Karena itu, jika keduanya (yang miskin dan yang kaya) itu sama tingkat ketakwaannya kepada Allah, maka keduanya sama-sama mulia dan sama derajatnya di sisi Allah. (Baca juga Ibn Taymiyah, Risalah Fi al-Shufiyah Wa al-Fuqara, I/7).

Dalam sejarah kenabian, kita mengenal dua sosok Nabi yang kondisinya sangat kontras (berkebalikan). Yang pertama Nabi Ayyub, sebagai sosok Nabi yang dikenal sangat penyabar, di tengah ujian sangat berat yang beliau alami. Sebelumnya, Ayub adalah orang salih yang sangat kaya, hartanya melimpah dan memiliki banyak anak. Allah mengujinya, dengan membalik keadaannya. Hebatnya, datangnya semua ujian itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Semua anaknya diambil berikut hartanya. Sanak kerabatnya menjauhinya, hingga beliau harus keliling dari satu sampah ke sampah untuk mendapatkan sesuap makanan. Sampai akhirnya beliau sakit parah, tidak ada bagian kulit seluas titik jarum yang sepi dari penyakit. Semua orang menjauhinya, selain satu istrinya yang setia mendampinginya, karena imannya kepada Allah. Semoga Allah meridhai istri Ayub. Cobaan yang dialami Nabi Ayyub ini terjadi sekitar selama 18 tahun. (Tafsir Ibn Katsir, 7/74). Beliau tetap sabar dalam menghadapi kemiskinan dan penderitaannya.
Yang kedua, Nabi Sulaiman sebagai sosok yang dikenal sangat pandai bersyukur, di tengah melimpahnya fasilitas dunia yang beliau miliki. Beliau menjadi raja yang kekuasaannya meliputi alam manusia, jin, dan binatang. Itulah doa beliau yang Allah kabulkan, sehingga beliau menjadi penguasa paling hebat di antara manusia. Doa beliau telah diabadikan dalam QS. Shad, 35: “Wahai Rabku, berikanlah aku kerajaan yang tidak layak untuk dimiliki oleh seorangpun sesudahku. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pemberi”. Beliau juga berdoa meminta kepada Allah agar dijadikan sebagai hambaNya yang pandai bersyukur (QS.al-Naml, 19).
Dari dua sosok Nabi tersebut, yakni Nabi Ayyub yang tetap sabar saat diuji dengan kemiskinan dan penderitaan, dan Nabi Sulaiman yang tetap bersyukur saat dikaruniai kejayaan dalam berbagai hal, Allah ingin memberikan pelajaran kepada manusia bagaimana seharusnya bersikap, baik di kala miskin maupun kaya. Dan, Allah tidak membedakan di antara keduanya dalam kemuliaannya, karena keduanya sama-sama tinggi ketakwaannya.  Wallahu A’lam !