Kamis, 07 Agustus 2025

BERHAJI DENGAN VISA NON-HAJI

                                                BERHAJI DENGAN VISA NON-HAJI

Oleh

Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan:

            Assalamu’alaikum wr. wb.!

            Beberapa tahun terakhir ini saya mendengar ada sejumlah orang yang berangkat haji dengan tidak memakai visa haji, tetapi pakai visa non haji. Di antara mereka ada yang menggunakan visa kerja dan sebagian yang lain memakai visa ziarah. Akibatnya ada di antaraa mereka yang tertangkap kemudian ditahan oleh pemerintah Saudi. Yang kami tanyakan, bagaimana menurut tarjih Muhammadiyah mengenai hukum haji mereka, apakah sah? Atas jawabannya kami sampaikan terima kasih (M. Solih, Ngawi).

             

Pembahasan:

            Wa’alaikumussalam wr. wb.!

            Menurut ajaran Islam, haji adalah ibadah yang sangat penting karena merupakan salah satu rukun dari lima rukun Islam. Sebagai salah satu kewajiban dalam rukun Islam, ibadah haji membutuhkan persiapan-persiapan yang sangat matang sehingga seseorang baru dipandang mampu melaksanakannya dengan baik. Dalam al-Qur’an Surah Ali Imran (3), ayat 97 disebutkan:

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

“… (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam” (QS. Ali Imran, 197).

Dalam pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah, ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban haji itu mempersyaratkan persiapan yang matang, atau dalam ayat tersebut diungkapkan dengan kata istiṭā‘ah (mampu). Persiapan ini tidak hanya menyangkut aspek spiritual dan penguasaan manasik haji, tetapi juga aspek fisik (kesehatan), logistik (bekal) dan administratif yang sangat kompleks. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan haji perlu melibatkan Pemerintah agar dapat dilaksanakan dengan baik dan tertib. Dalam konteks ini, orang yang tidak bisa mendapatkan visa haji resmi, maka ia dianggap tidak memenuhi kesiapan kemampuan (al-Istiṭā‘ah) dari sisi administrative (al-Idāriyyah). 

            Selain tidak memenuhi syarat kemampuan kesiapan dari sisi administratif, berhaji dengan visa non-haji (haji ilegal) dalam kenyataannya dapat berpotensi melahirkan sejumlah mudarat (bahaya) dan mafsadah (kerusakan) yang tidak sedikit, baik mudarat dan mafsadat terhadap diri sendiri, dan terhadap orang lain, maupun mudarat dan mafsadah terhadap pemerintah.

            Mafsadah pertama, berhaji tanpa visa haji resmi berpotensi mendatangkan bahaya dan kerugian, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Kerugian yang bisa menimpa terhadap diri sendiri berupa ancaman hukuman yang tidak ringan. Dalam laman resmi Kementerian Agama Republik Indonesia (kemenag.go.id) disebutkan bahwa bilamana ada jamaah yang tertangkap menggunakan visa ziarah (visa non haji), maka yang bersangkutan akan ditahan, dideportasi dan berpotensi kena denda sebesar 10 ribu Riyal yang setara dengan Rp. 42 juta. Keterangan besaran denda ini pun dikonfirmasi oleh Wizārah ad-Dākhilah al-Mamlakah al- ‘Arabiyyah as-Su‘ūdiyyah pada laman resmi mereka (moi.gov.sa). Haji dengan visa non-haji juga dipandang telah melanggar keimigrasian yang berpotensi mendapatkan sanksi berupa larangan berhaji selama 10 tahun berturut-turut.

            Adapun bahaya yang ditimbulkan kepada orang lain adalah menyebabkan penyelenggaraan haji tidak berjalan maksimal, yang nantinya akan berdampak pada banyak aspek, di antaranya terjadinya kepadatan lokasi atau over kapasitas yang menyebabkan ketidak-nyamanan bagi jamaah. Dalam Islam, suatu perbuatan yang menimbulkan bahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain adalah hal yang tidak dibolehkan. Dalam sebuah hadis disebutkan:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ: "لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ )رواه ابن ماجه(

Dari ‘Ubādah bin a-Ṣāmit (diriwayatakan), Rasulullah saw menetapkan bahwa tidak boleh ada sesuatu yang membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh pula membahayakan (pihak lain) [HR Ibnu Majah]. Al-Albani: Sahih (Ghayat al-Maram, I/158).

            Atas dasar ini, beribadah haji dengan menggunakan visa non-haji adalah perbuatan yang terlarang karena menimbulkan banyak mafsadah dan karena itu harus dicegah. Dalam kaidah fikih disebutkan:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menghindari kemafsadahan-kemafsadahan lebih didahulukan daripada meraih berbagai kemaslahatan (Abdul Mukmin al-Hanbali, Taysir al-Wusul, I/310).

            Mafsadah kedua, adalah timbulnya ketidakadilan bahkan sampai pada taraf mengambil atau merampas hak orang lain. Dalam praktiknya, berhaji tanpa visa haji resmi secara otomatis mengambil jatah orang lain. Di tahun 2023 saja, terdapat kasus 100.000 jamaah Indonesia yang berhaji dengan menggunakan visa ziarah. Over kapasitas ini pada akhirnya membuat tempat atau area ibadah menjadi semakin sempit, baik di area tawaf, sai, lempar jamrah, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah maupun di Mina. Padahal, berdasarkan laporan Direktorat Jenderal, Penyelenggaraan Haji dan Umrah, space jamaah di Muzdalifah diperkirakan hanya sekitar 0,29 m2, lebih sempit dari tahun lalu, sekitar 0,45m2. Dengan banyaknya jamaah haji dengan visa non-haji, maka banyak tempat haji menjadi semakin padat dan sesak. Lebih lanjut pada kondisi tertentu dapat membuat jamaah lain terganggu, pingsan bahkan berakibat pada kematian.

            Adanya dampak buruk ini menunjukkan bahwa berhaji dengan visa non-haji pada hakikatnya merupakan tindakan mengambil atau merampas hak orang lain. Oleh karena itu bisa dikategorikan sebagai tindakan pidana dalam sudut pandang syariat (jarīmah dīniyyah). Padahal, Allah telah mempersyaratkan setiap melakukan kebaikan harus ditempuh melalui proses yang baik, utamanya ibadah yang bersifat khusus termasuk di dalamnya ibadah haji. Dalam surah al-Baqarah (2) ayat 188 disebutkan:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah, 188).

            Dalam hadis sahih Riwayat Muslim, Nabi saw bersabda:

مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ(رواه مسلم)

Barangsiapa mengambil hak orang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan ia masuk neraka, dan haram masuk surga (HR. Muslim 370).

            Mafsadah ketiga, berhaji dengan visa non-haji merupakan tindakan penipuan atau pengelabuan, karena ia harus melakukan pemalsuan dokumen dan memanipulasi informasi. Dengan demikian, berhaji dengan menggunakan visa selain visa haji resmi dapat dipandang sebagai bentuk penipuan atau pengelabuan terhadap pemerintah dan pihak-pihak terkait yang berwenang. Rasulullah pernah mengancam orang yang melakukan penipuan (al-gasysyu) dengan tidak diakui sebagai bagian dari umatnya. Hadis Nabi saw. menyebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا )رواه مسلم(

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang mengangkat senjata (memerangi) kami, maka ia tidak termasuk dari kami dan siapa yang menipu kami, ia pun tidak termasuk dari kami (HR Muslim 294).

            Pada hadis yang lain juga disebutkan bahwa umat Islam seharusnya mentaati dan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan disepakati. Dalam hadis disebutkan, dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda:

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ (رواه ابوداود)

Umat Islam harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati )HR. Abu Dawud 3596(. Al-Albani: Hasan Sahih.

Dengan demikian, dapat difahami bahwa dalam proses pelaksanaan ibadah haji, jamaah yang berhaji dengan visa non haji mengandung banyak hal yang bisa digolongkan sebagai bentuk kefasikan yang dilarang dalam pelaksanaan ibadah haji. Dalam potongan ayat 197 surah al-Baqarah (2) disebutkan: 

فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ

…Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafa, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji… (QS. Al-Baqarah, 197).

            Demikian pula dalam hadis yang lain juga disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ )رواه الترمذي(

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) berkata, Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang berhaji dan tidak melakukan perkara keji (rafa) dan tidak melakukan kefasikan, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu (HR at-Tirmidzi 811). Al-Albani: Sahih.

            Berdasarkan pembahasan di atas, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengambil kesimpulan sebagai berikut, yaitu:

Pertama, melaksanakan ibadah haji wajib hukumnya menggunakan visa haji resmi, tidak boleh menggunakan visa non-haji, karena mendapatkan visa haji resmi merupakan bagian dari istiṭā‘ah idāriyyah (kemampuan administratif) yang dipersyaratkan.

Kedua, melaksanakan ibadah haji dengan visa non-haji (misalnya dengan visa ziarah) adalah perbuatan terlarang (tidak diperbolehkan) karena menyebabkan banyak mudarat dan mafsadah, di antaranya merugikan diri sendiri dan orang lain, serta merupakan tindakan ketidakadilan karena mengambil hak orang lain dan termasuk tindakan penipuan (Fatwa MTT-PPM, 12 Juni 2024).

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim Edisi Agustus 2025)

 

 

 

 

 

 

 

MURUR DAN TANAZUL PROGRAM HAJI MUTAKHIR

                                        MURUR DAN TANAZUL

 

                                                                    Oleh

 
Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan

            Assalamu’alaikum wr.wb.!

            Prosesi haji tahun ini direncanakan ada sekema baru, terutama bagi Jemaah Haji Indonesia yang berangkat tahun 2025, yaitu program murur dan tanazul. Melalui rubrik Konsultasi Agama Majalah MATAN ini saya mohon kepada Pengasuh kiranya berkenan memberikan menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan murur dan tanazul, dan bagaimana hukumnya menurut Tarjih Muhammadiyah? Atas perkenannya kami sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Umi Istiqamah, Sidoarjo).

Pembahasan

            Wa’alaikumussalam wr.wb.!

            Sebelum membahas tentang apa yang dimaksud dengan murur dan tanazul program haji mutakhir oleh Pemerintah (Kemenag RI), mari kita ingat kembali tentang apa saja yang dilakukan oleh jemaah haji pada saat melakukan prosesi ibadah haji.

Prosesi Haji

            Secara garis besar dapat diterangkan bahwa prosesi manasik haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah untuk ihram haji dari hotel masing-masing di Makkah. Saat hendak memulai ihram haji, jemaah haji terutama kaum pria diharuskan memakai kain dua lembar yang disebut dengan kain ihram, tidak boleh memakai yang lain. Sementara kaum wanita boleh berpakaian apa saja yang dapat menutup auratnya, diutamakan yang berwarna putih. Pada hari itu, yang disebut hari Tarwiyah, para jemaah haji disunahkan berangkat menuju Mina.

Namun, dengan pertimbangan menghindari kepadatan dan kesulitan yang dihadapi jemaah, Pemerintah Indonesia memberangkatkan jemaah haji langsung menuju ke Arafah. Bagi jemaah yang mengikuti kegiatan Tarwiyah di Mina, mereka tinggal di sana hingga Subuh. Setelah matahari terbit baru berangkat menuju ke Arafah.

            Selanjutnya, tanggal 9 Zulhijah Wukuf di Arafah, dimulai saat waktu Zuhur tiba dan berakhir hingga Magrib. Kegiatan wukuf dimulai dengan Khutbah Arafah, kemudian azan zuhur, ikamah, salat zuhur dua rakaat, ikamah lagi, lalu salat asar dua rakaat dilakukan dengan jamak-qasar takdim.

            Tanggal 9 malam 10 Zulhijah, setelah Magrib, jemaah haji diberangkatkan menuju Muzdalifah. Kegiatan yang dilakukan di Muzdalifah adalah mabit (bermalam) hingga Subuh. Di Muzdalifah melakukan salat magrib dan isyak dilakukan dengan jamak qasar takhir, kemudian istirahat semalam hingga Subuh. Setelah salat Subuh, para jemaah diberangkatkan menuju ke Mina.

            Tanggal 10 Zulhijah pagi, di Mina, jemaah melempar jamrah aqabah (yang ketiga) saja. Setelah itu, jemaah bisa mencukur rambutnya. Dengan telah selesainya lempar jamrah aqabah dan mencukur rambutnya, maka jemaah sudah bisa tahalul awal. Saat itu jemaah sudah boleh menanggalkan larangan ihram termasuk pakaian ihramnya dan berganti dengan pakaian biasa, tetapi belum boleh berkumpul suami-isteri (jimak).

            Tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah di Mina, setiap harinya Jemaah melempar jamrah ula (pertama), wusta (Tengah/kedua), dan aqabah (terakhir/ketiga), dan bermalam di Mina. Masing-masing jamrah dilempar 7 kali. Selain itu bisa juga melaksanakan penyembelihan hewan hadyu.

            Sebagai pilihan, tanggal 12 Zulhijah boleh meninggalkan Mina untuk kembali ke Makkah (nafar awal), atau tanggal 13 Zulhijah baru meninggalkan Mina untuk kembali ke Makkah (nafar sani). Sesampai di Makkah, bisa melaksanakan tawaf ifadah dan sai. Selanjutnya tahalul sani. Dengan tahalul sani, maka selesailah seluruh rangkaian ibadah haji.

Program Murur

            Yang dimaksud dengan program murur adalah sebuah inovasi dalam manajemen pergerakan jemaah haji pada saat puncak ibadah, khususnya setelah wukuf di Arafah. Saat itu jemaah haji diberangkatkan dari Arafah setelah ibadah maghrib lalu menuju Muzdalifah tanpa turun dan langsung menuju Mina. Murur artinya lewat.

            Sesuai syariat, setelah wukuf di Arafah lalu mabit (bermalam) di Muzdalifah sampai waktu Subuh. Hal ini sesuai dengan amalan Nabi saw: Dari Jabir, ia berkata, … sampai di Muzdalifah beliau melakukan salat Magrib dan Isya dengan satu kali azan dan dua ikamah dan beliau tidak melakukan salat antara keduanya, kemudian Rasulullah saw tidur hingga terbit fajar, lalu beliau salat Subuh ketika waktu subuh tiba dengan azan dan ikamah” (HR. Muslim 3009).

            Dalam program murur, jemaah haji tidak melakukan mabit di Muzdalifah hingga Subuh, tetapi sekedar lewat saja, selanjutnya dibawa ke Mina. Peralihan kegiatan mabit menjadi murur ini diberlakukan bagi jemaah yang mengalami uzur, dan ini dibenarkan oleh syariat berdasarkan hadis berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: نَزَلْنَا الْمُزْدَلِفَةَ، فَاسْتَأْذَنَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَةُ أَنْ تَدْفَعَ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ، وَكَانَتِ امْرَأَةً بَطِيئَةً، فَأَذِنَ لَهَا، فَدَفَعَتْ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ،وَأَقَمْنَا حَتَّى أَصْبَحْنَا نَحْنُ، ثُمَّ دَفَعْنَا بِدَفْعِهِ، فَلَأَنْ أَكُونَ اسْتَأْذَنْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا اسْتَأْذَنَتْ سَوْدَةُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ مَفْرُوحٍ بِهِ )رواه البخاري(

Dari Aisyah ra., ia berkata: “kami sampai di Muzdalifah, kemudian Saudah (isteri Nabi) meminta izin Nabi saw. untuk berangkat mendahului rombongan. Saudah sendiri merupakan perempuan yang lambat (karena gemuk). Lalu Nabi mengizinkannya, sehingga ia berangkat mendahului rombongan, adapun kami tetap di sana (bermalam di Muzdalifah) sampai subuh, baru kemudian kami menyusul. Sungguh, meminta izin bagiku ke Rasulullah saw sebagaimana meminta izinnya Saudah adalah sesuatu yang paling aku cintai daripada hal yang menyenangkan (HR. al-Bukhari 1681).

            Menurut Majelis Tarjih, hadis tersebut mengandung dua makna. Pertama, menunjukkan bahwa, pada prinsipnya mabit harus dilaksanakan di Muzdalifah hingga subuh sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. Namun, apabila ada kesulitan yang menjadi alasan (uzur) yang dibenarkan oleh syariat, seperti yang dialami oleh Saudah, maka kegiatan bermalam (mabit) boleh diganti dengan cukup melewati (murūr) lalu turun atau tetap di atas kendaraan, selanjutnya menuju Mina.

            Makna kedua, menjadi dasar kebolehan skema murūr yang direncanakan oleh Pemerintah sebagai pengganti mabit di Muzdalifah bagi kelompok risiko terkena penyakit (riski), lansia, difabel dan para pendamping. Dalam skema yang dirilis oleh Pemerintah disebutkan, murūr akan berlangsung pada tanggal 9 malam 10 Zulhijah dari pukul 19.00-22.00 waktu Arab Saudi. Jemaah akan bergerak dari Arafah, melewati Muzdalifah, tidak turun dan langsung menuju Mina. Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan:

إِذَا تَعَذَّرَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلى الْبَدَلِ

Apabila hukum asal (pokok) sulit untuk direalisasikan, maka bisa beralih kepada hukum pengganti (al-Saidan, al-Ifadah al-Syar’iyah Fi Ba’d al-Masail al-Tibbiyah, I/4). 

            Kaidah ini menjadi dasar peralihan dari mabit ke murūr. Dalam konteks haji, mabit berada dalam kedudukan al-al, dan murūr dalam kedudukan al-badl. Jadi, jika mabit sebagai asal hukum sukar untuk dilaksanakan karena ada alasan syarī maka penunaiannya bisa dengan melaksanakan murūr sebagai pengganti dari hukum pokok.

            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagi yang mengalami kesulitan (uzur) baik karena kondisi fisik, maupun keadaan, boleh baginya untuk mengganti mabit di Muzdalifah dengan murūr. Selanjutnya, bagi jemaah haji yang memenuhi kriteria kebolehan murūr bisa melakukan murūr kapan saja, awal, tengah atau akhir malam dan tidak terkena dam. 

Program Tanazul

Secara sederhana, yang dimaksud dengan program tanazul adalah jemaah yang tinggal di hotel dekat area jamarat atau tempat lontar jamrah akan kembali ke hotel dan tidak menempati tenda di Mina. Dengan demikian, program tanazul berarti tidak lagi mutlak seorang jemaah haji harus menginap di tenda yang sudah tersedia di Mina, tetapi bisa menginap di hotel, karena jarak menuju ke kemah lebih jauh daripada pergi ke hotel mereka.  

            Dalam konteks ini, menurut Majelis Tarjih, prinsip kemudahan dengan asas memelihara agama (hif ad-dīn) dan memelihara jiwa (hif an-nafs) sejatinya menjadi dasar kebolehan skema tanāzul bagi pihak yang dikhawatirkan akan mengalami kesulitan bahkan membahayakan jika ikut berdiam di Mina. Prinsip kemudahan ini memang ditetapkan Allah pada setiap pelaksanaan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah sebagai berikut:

1.      Ayat ke-78 surah al-Hajj (22): وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ

… dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama…

2.      Hadis riwayat al-Bukhari dari Aisyah r.a.:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ، وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ، فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا )رواه البخاري(

Dari Aisyah r.a. (diriwayatkan) bahwa ia berkata, Rasulullah saw tidak pernah memilih salah satu antara dua hal, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama yang mudah itu bukanlah dosa. Jika itu adalah dosa, maka sungguh beliau adalah manusia yang paling menjauhinya. Nabi saw pun tidak pernah membenci karena pertimbangan diri sendiri, kecuali berkaitan dengan kehormatan Allah, sehingga beliau membenci sesuatu karena Allah swt (HR. al-Bukhari 3560).

3. Dalil-dalil tersebut juga sejalan dengan kaidah fikih: “Kesulitan menghendaki adanya kemudahan” (الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ).

            Sebagai kesimpulan, tanāzul diperbolehkan bagi jemaah yang memiliki uzur syari, baik terkait kondisi fisik, seperti risiko sakit, lansia, dan difabel, maupun uzur yang terkait dengan keadaan tempat dan kondisi pelaksanaan. Kebolehan tanāzul ini didasari atas prinsip taisīr yang menghendaki adanya kemudahan.

            Tanāzul yang dimaksud di sini adalah pulang-balik dari Mina ke hotel di sela-sela melaksanakan ibadah di Mina. Jadi ketika jemaah bertanāzul, bukan berarti sama sekali tidak di Mina dan tidak mengerjakan ibadah selama di Mina. Bagi jemaah yang tanāzul dan ketika waktu melempar jamrah ia berada di tenda Mina dan mewakilkan pada jemaah lain, ia tidak dikenai dam.

            Adapun jemaah haji yang sama sekali berhalangan ke Mina dan tidak melaksanakan ibadah yang disyariatkan di Mina, ia dikenai dam, karena telah meninggalkan salah satu kewajiban haji (Fatwa MTT-PPM, 12 Juni 2024). Wallahu A’lam!

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN edisi Juli 2025)