Kamis, 25 Desember 2025

Hasil Sitaan Korupsi untuk Kepentingan Umat, Bolehkah?

 Hasil Sitaan Korupsi untuk Kepentingan Umat, Bolehkah?

Oleh

Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
 

 

Permasalahan

            Belakangan ini muncul pertanyaan di tengah masyarakat tentang uang sitaan kasus korupsi yang jumlahnya fantastis dengan nilai mencapai triliunan rupiah. Banyak yang berpikir, kenapa tidak digunakan saja untuk kepentingan umat seperti membangun rumah sakit atau membantu fakir miskin? Islam memang tegas melarang harta haram, termasuk hasil korupsi. Namun jika harta itu sudah disita negara, apakah boleh dimanfaatkan untuk kebaikan, atau tetap haram meski untuk tujuan mulia? Mohon Pengasuh berkenan membahas yang sejelas-jelasnya dengan dukungan dalil-dalil al-Qur’ah dan al-Hadis (Upik, Surabaya).

Pembahasan

1.    Korupsi dalam Timbangan Syariah

Korupsi termasuk ghulūl, yakni penggelapan harta publik. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan dengan tegas:

وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa berkhianat (menggelapkan harta publik), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (QS. Āli Imrān [3]: 161). Ayat ini menunjukkan betapa beratnya dosa korupsi. Nabi juga bersabda:

"هَدَايَا العُمَّالِ غُلُولٌ"

“Hadiah kepada pejabat adalah bentuk penggelapan (ghulul)” (HR. Ahmad 23601 dan Al-Bayhaqi 3267). Al-Albani: Hadis ini sahih (al-Albani, Sahih al-Jami’ al-Saghir, I/1177).

            Artinya, setiap bentuk penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi, termasuk menerima “hadiah” dari rakyat, tergolong korupsi dalam makna moral Islam. Karena itu, harta hasil korupsi termasuk harta haram (al-māl al-arām), tidak sah dimiliki, tidak boleh dinikmati, dan wajib dikembalikan kepada yang berhak. Allah berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS. al-Baqarah [2]: 188).

2.    Prinsip Mengembalikan kepada yang Berhak

Dalam hukum Islam, bila seseorang memperoleh harta dengan cara batil, kewajiban pertamanya adalah mengembalikan harta itu kepada pemilik asalnya. Kalau itu milik rakyat, maka dikembalikan ke baitul māl (kas negara) yang mewakili kepentingan publik.

            Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Imam al-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ menjelaskan:

إِذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ، فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ، وَجَبَ صَرْفُهُ إِلَيْهِ أَوْ إِلَى وَكِيلِهِ،فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا، وَجَبَ دَفْعُهُ إِلَى وَارِثِهِ،وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا يُعْرَفُهُ، وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يُصْرَفَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ،كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ، وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ

“Apabila seseorang memiliki harta haram dan ia ingin bertaubat serta membersihkan diri darinya, maka jika harta itu memiliki pemilik yang jelas, wajib diserahkan kepada pemiliknya atau kepada wakilnya. Jika pemiliknya telah meninggal dunia, maka wajib diserahkan kepada ahli warisnya. Namun, jika harta itu milik seseorang yang tidak diketahui siapa dia, dan sudah tidak mungkin lagi dapat diketahui, maka hendaknya harta tersebut digunakan untuk kemaslahatan umum kaum Muslimin, seperti pembangunan jembatan, rumah-rumah penginapan (ribāṭ), masjid, jalan menuju Makkah, dan sejenisnya, yaitu hal-hal yang memberi manfaat bagi kaum Muslimin secara luas (al-Ghazali, Iyā Ulūm al-Dīn, II/ 91 dan al-Nawawi, al-Majmu’, IX/332).

Ibn Taymiyyah juga sependapat:…”Demikian pula orang yang memiliki harta tetapi tidak mengetahui siapa pemiliknya, seperti orang yang bertaubat dari perbuatan merampas (ghāṣib), orang yang bertaubat dari pengkhianatan (khāin), orang yang bertaubat dari riba (murābī), dan orang-orang sejenis mereka yang memiliki harta yang tidak sah menjadi miliknya dan tidak diketahui siapa pemilik sebenarnya, maka ia harus menyalurkannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin…” (Ibn Taymiyah, Majmū al-Fatāwā, XXVIII/568).

Keterangan tersebut menunjukkan bahwa menurut Ibn Taymiyyah, harta haram yang tidak diketahui pemiliknya -baik hasil ghulul, khianat, maupun riba- tidak boleh dimiliki, melainkan disalurkan untuk kepentingan umum umat Islam.
Pandangan ini sejalan dengan pendapat al-Ghazali dalam I
yā Ulūm al-Dīn, yang menekankan etika taubat dengan pemurnian harta.

3.    Setelah Disita Negara: Milik Siapa?

Ketika negara menyita hasil korupsi, harta itu berubah status: dari milik pelaku menjadi milik publik. Dalam sistem Islam klasik, ia masuk ke baitul māl, lembaga keuangan negara yang bertugas mengelola harta umat.

Imam al-Māwardī dalam al-Akām al-Sulṭāniyyah (al-Mâwardî, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, 222) menegaskan bahwa segala bentuk denda, sitaan, dan pengembalian harta hasil kejahatan publik menjadi bagian dari baitul māl. Tujuannya agar harta itu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan sosial dan pembangunan.

Karena itu, dalam konteks Indonesia, harta sitaan korupsi yang dikelola oleh negara (misalnya KPK atau Kejaksaan) boleh dialokasikan untuk kemaslahatan umum, tentu dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel. Dasarnya adalah kaidah fikih terkenal:

التَّصَرُّفُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan mereka” (al-Barakati, Qawaid al-Fiqh, I/15).

4. Hati-hati: Jangan Disucikan Jadi Amal Saleh

Perlu dibedakan antara mengembalikan harta haram untuk keadilan sosial dan bersedekah dari harta haram untuk “mencuci dosa”. Islam melarang seseorang menjadikan harta haram sebagai amal saleh. Rasulullah bersabda:

 لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah hasil korupsi.” (HR. Muslim 557).

Maka, jika pelaku korupsi sendiri yang menyalurkan hartanya ke masjid atau panti asuhan dengan niat “menebus dosa,” amal itu tidak diterima. Harta itu tetap haram baginya. Ibnu Hajar mengatakan:

دَلَّ قَوْلُهُ لَا تُقْبَلُ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ أَنَّ الْغَال لَا تَبْرَأُ ذِمَّهُ إِلَّا بِرَدِّ الْغُلُوْلِ إِلَى أَصْحَابِهِ بِأَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ إِذَا جَهِلَهُمْ مَثَلاً والسَّبَبُ فِيْهِ أَنَّهُ مِنْ حَقِّ الْغَانِمِيْنَ فَلَوْ جُهِلَتْ أَعْيَانُهُمْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْهِ بِالصَّدَقَةِ عَلَى غَيْرِهِمْ.

Sabda Nabi : “sedekah tidak diterima karena hasil korupsi” menunjukkan bahwa orang yang korupsi tidak bisa lepas dari tanggung jawab kecuali dengan mengembalikan harta korupsi itu kepada pemiliknya, bukan dengan mensedekahkannya ketika tidak mengetahui siapa pemiliknya. Sebabnya adalah bahwa harta itu masih milik al-Ghanimin (pasukan perang yang mendapat ghanimah, pemilik asli), sekalipun pemilik asli tidak diketahui, tidak boleh bagi koruptor untuk manyalurkan uang itu dengan mensedekahkannya kepada orang lain” (al-Asqalani, Fath al-Bari, III/ 278-279).

Berbeda jika negara menyita hasil korupsi dan menyalurkannya kepada masyarakat atas nama keadilan, bukan atas nama pelaku. Dalam kasus ini, harta itu tidak lagi “sedekah dari yang haram,” tapi pemulihan hak publik.

5. Landasan Kaidah Fikih

Beberapa kaidah penting dapat dijadikan pijakan hukum dalam persoalan ini:

  1. الضَّرَرُ يُزَالُ
    “Kemudaratan harus dihilangkan” (Ibn Manshur al-Khulaifi, al-Minhaj Fi Ilm al-Qawaid al-Fiqhiyah, I/4).
    Korupsi menimbulkan kerusakan sosial; maka pengelolaan hasil sitaan untuk publik adalah bentuk penghilangan mudarat.
  2. التَّصَرُّفُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
    “Kebijakan terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan mereka” (al-Barakati, Qawaid al-Fiqh, I/15).
    Negara harus menyalurkan harta sitaan dengan tujuan maslahat, bukan kepentingan politik.
  3. مَا حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَاؤُهُ
    “Apa yang haram diambil, haram pula diberikan” (Al-Suyuti, al-Asybah Wa al-Nadhair, I/261).
    Pelaku korupsi tidak boleh menikmati harta itu lagi.

6. Contoh Kebijakan Masa Sahabat

Khalifah Umar pernah menegaskan, “Siapa pun yang kami angkat menjadi pejabat, lalu memiliki tambahan harta setelah menjabat, maka tambahan itu termasuk ghulûl (harta haram) dan wajib disita negara” (Abu Yusuf, Kitâb al-Kharâj, 107). Ia tidak segan menyita harta Khalid bin al-Walid ra. yang diketahui sebagai hadiah saat menjabat pejabat negara. Umar menilai hadiah itu sebagai ghulûl dan memerintahkan agar diserahkan ke Baitul Mal (kas negara) (Ibn Sa‘d, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, IV/322).

Peristiwa serupa terjadi pada Abu Hurairah ra. Setelah menjabat gubernur Bahrain, ia membawa pulang 12 ribu dirham. Umar menegurnya, “Sebelum menjabat engkau tidak punya harta sebanyak ini, mengapa sekarang ada 12 ribu dirham?” Seluruh uang itu kemudian disita dan dimasukkan ke Baitul Mal (Ibn Sa‘d, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, IV/90). Umar juga memeriksa kekayaan Sa‘ad bin Abi Waqqash ra. Sebagian hartanya disita karena dianggap tidak wajar, lalu dimasukkan ke Baitul Mal (al-Mâwardî, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, 222).

 7. Dalam Konteks Indonesia

Dalam hukum positif Indonesia, hasil korupsi menjadi aset negara setelah disita secara sah. Bila kemudian negara menyalurkannya untuk kemaslahatan rakyat, misalnya membangun fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, atau bantuan sosial, hal ini selaras dengan prinsip syariah selama (1) Tidak dimanfaatkan untuk pencitraan politik; (2) Tidak dijadikan legitimasi bagi pelaku korupsi; dan (3) Dikelola secara transparan dan akuntabel.

Dengan begitu, harta hasil kejahatan tidak mubazir, tetapi kembali menjadi manfaat bagi masyarakat luas. Dalam istilah fikih, ini bagian dari ta’dīl al-maāsy, menegakkan keadilan ekonomi dalam kehidupan sosial.

8. Keadilan Sosial, Bukan Penghapus Dosa

Perlu ditegaskan bahwa penggunaan hasil sitaan korupsi adalah untuk kemaslahatan umat, bukan untuk menghapus dosa korupsi. Dosa tetap harus ditebus dengan taubat dan hukuman yang setimpal.

Namun, agar harta hasil kejahatan tidak menjadi sumber mudarat baru, Islam memberi jalan tengah: gunakan untuk kemaslahatan umat. Hal ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali dan Ibn Taymiyah bahwa “Harta haram tidak bisa disucikan kecuali dengan mengembalikannya kepada pemiliknya, atau menyalurkannya untuk kemaslahatan umum”.

Jadi, bukan berarti uang hasil korupsi menjadi “halal” karena digunakan untuk umat, tapi karena statusnya sudah berubah menjadi harta publik hasil penyitaan yang sah secara hukum dan syariat.

9. Penutup

Korupsi merupakan kejahatan besar yang merusak moral, menindas rakyat, dan mengkhianati amanah. Dalam pandangan Islam, korupsi termasuk ghulul yang dosanya sangat berat.

Setelah hasil korupsi disita oleh negara, harta tersebut tidak boleh dibiarkan sia-sia. Ia harus dikembalikan kepada masyarakat agar menjadi sumber kemaslahatan, bukan alat untuk berbuat dosa. Dengan demikian harta sitaan hasil korupsi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umat.

Pemanfaatan hasil sitaan korupsi harus dilakukan bukan atas nama pelaku dan bukan sebagai amal penebus dosa, melainkan atas dasar keadilan dan kesejahteraan umat. Dengan demikian, penggunaannya bertujuan untuk memulihkan kebaikan bersama, bukan untuk menyucikan kejahatan. Wallahu A’lam!

Top of Form

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Desember 2025)

Bottom of Form

 

JUAL BELI KUCING, BOLEHKAH?

 JUAL BELI KUCING, BOLEHKAH?

Oleh

Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan:

            Assalamu’alaikum wr.wb.!

            Saat ini saya memelihara kucing lebih dari lima ekor. Alhamdulillah, semuanya sehat, jinak, dan menggemaskan. Namun, karena biaya perawatan yang cukup besar, membuat saya berencana menjual beberapa ekor di antaranya. Melalui rubrik konsultasi agama MATAN ini saya mohon kepada Pengasuh kiranya berkenan memberikan penjelasan mengenai hukum jual-beli kucing dalam Islam, apakah hal tersebut diperbolehkan? Atas perhatian dan perkenannya, saya ucapkan terima kasih disertai doa: jazākumullāhu khayran katsiran (Abdullah, Madiun).

Pembahasan:

            Wa’alaikumussalam wr wb.!

            Kucing merupakan hewan yang akrab dengan pergaulan manusia sehari-hari, bahkan sering disebut sebagai hewan kesayangan Rasulullah . Nabi bersabda: “Kucing itu tidaklah najis. Sesungguhnya kucing merupakan hewan yang sering kita jumpai dan berada di sekeliling kita” (HR. Abu Dawud 75, Ahmad 22636, Ibn Majah 367). Al-Albani: hadis ini sahih (Irwa al-Ghalil, I/191-192).

            Kucing banyak dipelihara manusia karena sifatnya yang jinak, lucu, dan bermanfaat. Selain dipelihara karena sifatnya yang jinak, kucing juga memiliki nilai estetika, bahkan di beberapa tempat dijadikan hewan lomba dan diperjualbelikan dengan harga yang cukup tinggi. Namun masalah hukumnya, sejak zaman dahulu, para ulama telah memperdebatakannya mengenai boleh-tidaknya.

            Secara umum, pada asalnya, jual beli adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah swt. Islam telah mengatur sedemikian rupa agar peristiwa jual beli itu tidak merugikan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Allah telah mengharamkan hal-hal yang dapat merugikan dalam muamalah dan jual beli seperti praktik riba. Allah swt. menegaskan:

 ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

 Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah, 275).

            Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam proses jual beli, sudah lumrah terjadi di tengah-tengah masyarakat kita adanya jual beli terhadap hewan peliharaan. Di antaranya adalah jual beli hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, dan juga ayam serta burung. Lalu bagaimana dengan hewan seperti kucing, apakah boleh dijual belikan? Bagaimana menurut tuntunan Islam?

            Mengenai hukum jual beli hewan kucing, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama melarangnya, namun sebagian ulama yang lain membolehkannya. Mengapa terjadi perbedaan pendapat, apa alasan atau hujjah yang digunakan untuk melarangnya, dan apa alasan atau hujjah yang digunakan untuk membolehkannya?

Badruddin Al- ‘Aini al-Hanafi mengemukakan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum jual beli kucing. Dalam kitabnya Umdat al-Qari, beliau menulis:

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي جَوَازِ بَيْعِ الْهِرِّ، فَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى جَوَازِ بَيْعِهِ وَحِلِّ ثَمَنِهِ، وَبِهِ قَالَ الْجُمْهُورُ، وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَمُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ وَالْحَكَمِ وَحَمَّادٍ وَمَالِكٍ وَسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَصْحَابِهِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ. وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: وَرَوَيْنَا عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ رَخَّصَ فِي بَيْعِهِ. قَالَ وَكَرِهَتْ طَائِفَةٌ بَيْعَهُ، رَوَيْنَا ذَلِكَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَطَاوُوسٍ وَمُجَاهِدٍ، وَبِهِ قَالَ جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ.

“Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi jual beli kucing; sebagian berpendapat boleh menjual kucing dan penghasilannya halal, ini adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu pendapat Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Al-Hakam, Hammad, Malik, Sufyan Al-Tsauri, Abu Hanifah beserta pengikutnya, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Ibnu al-Mundzir berkata: kami mendapatkan riwayat bahwa Ibnu Abbas membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan sebagian ulama memakruhkan jual beli tersebut, seperti: Abu Hurairah, Thawus, Mujahid, dan Jabir bin Zaid” (Badruddin al- ‘Aini, ‘Umdat al-Qari, XVIII/212).

Argumentasi Ulama Yang Melarangnya

            Sebagian ulama ada yang melarang jual beli kucing. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Daud Abu Sulaiman al-Dhahiri bahwa jual beli kucing itu hukumnya haram. Hal ini dijelaskan oleh Imam Ibn Hazm (w. 456 H/1064 M) dalam kitabnya Al-Muhalla. Sungguhpun demikian, hukum jual beli kucing ini bisa menjadi wajib jika memang kucing itu dibutuhkan untuk ‘menakut-nakuti tikus’. Dalam kitabnya al-Muhalla, beliau menulis sebagai berikut:

وَلاَ يَحِلُّ بَيْعُ الْهِرِّ فَمَنْ اُضْطُرَّ إلَيْهِ لِأَذَى الْفَأْرِ فَوَاجِبٌ

Tidak dihalalkan jual beli kucing, (tetapi) barang siapa yang terdesak karena gangguan tikus (di rumahnya) maka hukumnya menjadi wajib (Ibn Hazm, al-Muhalla, IX/13).

Maksudnya, walaupun madzhab Dhahiri ini mengharamkan jual beli kucing, tetapi keharamannya tidaklah mutlak. Menurut madzhab ini, ada kondisi di mana jual beli kucing bisa menjadi boleh bahkan bisa menjadi wajib hukumnya ketika diperlukan.

Alasan atau dalil yang dijadikan hujjah oleh madzhab Dhahiri untuk mengharamkan jual beli kucing ini adalah karena ditemukan adanya hadis Nabi saw. yang telah melarangnya. Hadis itu diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Abu Zubair pernah bertanya kepada sahabat Jabir bin Abdullah:

عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ قَالَ سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ قَالَ زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.

Abu Zubair berkata: Aku bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang jual beli anjing dan sinnaur (kucing liar). Lalu beliau menjawab: Nabi shallallhu a’alaih wa sallam melarang itu. (HR. Muslim 4098).

Menurut Imam Ibnu Hazm, kata “Jazar” (جزر) dalam bahasa Arab itu punya arti jauh lebih berat dibandingkan kata “Nahyu” (نهى) yang berarti melarang (Ibn Hazm, al-Muhalla, IX/13). Karena itu, secara umum, Ibn Hazm cenderung untuk menghukumi haram atau melarang terhadap jual beli kucing.

Argumentasi Ulama Yang Membolehkannya

Mayoritas ulama membolehkan adanya transaksi jual beli kucing, karena kucing itu termasuk zat suci dan mengandung manfaat. Dari sana kemudian, mayoritas ulama memperbolehkan jual beli kucing. Wizarat al-Awqaf Wa al-Syu-un al-Islamiyah Kuwait menegaskan:

 فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ بَيْعَ الْهِرَّةِ جَائِزٌ لأنَّهَا طَاهِرَةٌ وَمُنْتَفَعٌ بِهَا وَوُجِدَ فِيهَا جَمِيعُ شُرُوطِ الْبَيْع، فَجَازَ بَيْعُهَا

Mayoritas ulama fiqih yang bermadzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa praktik jual beli kucing itu dibolehkan, karena kucing itu suci dan dapat diambil manfaatnya. Padanya juga terdapat semua syarat transaksi penjualan sehingga boleh menjualnya (Wizarat al-Awqaf Wa al-Syu-un al-Islamiyah Kuwait, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XLII/266).

Imam Al-Nawawi dalam kumpulan fatwanya menyebutkan adanya jual beli kucing dan kera seperti praktik yang terjadi di masyarakat. Menurut al-Nawawi, kedua hewan tersebut (kucing dan kera) memenuhi kriteria produk yang ditentukan dalam norma jual beli dalam hukum fiqih. Beliau mengatakan:

يَصِحُّ بَيْعُ الْهِرَّةِ وَالْقِرْدِ لِأَنَّهُمَا طَاهِرَانِ مُنْتَفَعٌ بِهِمَا جَامِعَانِ شُرُوطَ الْمَبِيعِ

Praktik jual beli kucing dan kera tetap sah karena keduanya suci dan termasuk barang yang bermanfaat serta memenuhi syarat produk (Al-Nawawi, Fatawa al-Imam al-Nawawi, 76).

Ketika al-Nawawi menjelaskan pandangan madzhabnya tentang bolehnya jual beli kucing, beliau juga memaparkan pendapat yang melarang beserta dalil dari hadis yang dijadikan hujjah. Menurut al-Nawawi, bahwasanya hadis tentang larangan menjual kucing tersebut memang sahih, tetapi maksudnya bukanlah untuk larangan secara mutlak. Dalam kitabnya al-Majmu’, beliau menyanggah dalil tersebut yang digunakan untuk melarang jual beli kucing dengan argumen sebagai berikut:

جَوَابُ أَبِي العَبَّاسِ بْنِ العَاصِ وَأَبِي سُلَيْمَانَ الخَطَّابِيِّ وَالقَفَّالِ وَغَيْرِهِمْ أَنَّ المُرَادَ: الهِرَّةُ الوَحْشِيَّةُ، فَلَا يَصِحُّ بَيْعُهَا لِعَدَمِ الِانْتِفَاعِ بِهَا

Jawaban Abu al-Abbas bin al- ‘Ash dan juga Abu Sulaiman al-Khaththabiy serta al-Qaffal dan selainnya bahwa yang dimaksud (sinnaur) di situ adalah kucing liar atau hutan (al-wahsyi). Karena itu terlarang jual belinya disebabkan tidak ada manfaat (al-Nawawi, al-Majmu’, IX/230).

            Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa hukum jual-beli kucing pada dasarnya diperbolehkan selama dilakukan dengan tujuan pemeliharaan atau pemanfaatan yang wajar, serta tidak disertai praktik penipuan dalam penentuan harga. Namun demikian, transaksi jual-beli terhadap kucing liar yang sulit dikendalikan tidak diperkenankan, karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) yang dilarang dalam syariat.

Selanjutnya, dalam memelihara kucing, prinsip kasih sayang terhadap hewan harus senantiasa diperhatikan. Rasulullah memberikan peringatan keras dengan menyebutkan kisah seorang wanita yang masuk neraka karena mengurung seekor kucing, tanpa diberi makan dan tanpa dilepaskan untuk mencari makan sendiri (HR. al-Bukhari, no. 2365; Muslim, no. 5989).

Dalam konteks ekonomi modern, jual-beli kucing ras dengan harga tinggi pada dasarnya diperbolehkan. Namun, umat Islam tetap diingatkan agar tidak terjerumus dalam sikap berlebihan (isrāf) dalam gaya hidup, sehingga nilai maslahat dan etika Islam tetap terjaga.

Kesimpulan

            Dari uraian para ulama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum jual-beli kucing diperselisihkan. Sebagian kecil ulama, seperti dari mazhab Ẓāhirī dan sebagian anbalī, melarangnya berdasarkan hadis riwayat Muslim. Namun, mayoritas ulama dari mazhab anafī, Mālikī, Syāfiī, serta sebagian anbalī membolehkannya dengan syarat: (1) bukan kucing liar yang tidak bisa dimanfaatkan, dan (2) kucing tersebut bermanfaat, jinak, dan tidak membahayakan.

            Lebih dari itu, Islam menekankan prinsip kasih sayang terhadap seluruh makhluk. Memperlakukan kucing dengan baik, memberi makan, dan menjaga kehidupannya merupakan bagian dari akhlak mulia seorang Muslim serta pengejawantahan nilai rahmatan lil-‘ālamīn. Wallāhu alam.

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim edisi November 2025)

 

 

 

BOLEHKAH TAK MENIKAH, DEMI SANG IBU

 BOLEHKAH TAK MENIKAH, DEMI SANG IBU

Oleh


 Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan:

            Assalamu’alaikum wr.wb!

            Saya memiliki seorang teman perempuan yang hingga kini masih tabah memilih untuk hidup sendiri. Ketika saya tanyakan mengapa ia belum menikah, ia menjawab bahwa alasannya adalah ingin sepenuhnya menjaga dan merawat ibunya. Ia khawatir, apabila menikah, tidak ada lagi yang mendampingi dan merawat sang ibu. Selain itu, ia juga masih menyimpan luka batin akibat pengalaman pahit di masa lalu, ketika pernah menikah namun kemudian diceraikan secara sepihak tanpa alasan yang jelas.

Melalui rubrik Konsultasi Agama Islam di Majalah MATAN ini, saya ingin memohon penjelasan kepada Bapak Pengasuh: bagaimana sebaiknya menyikapi kondisi seperti ini? Apakah boleh seseorang memilih untuk tidak menikah karena ingin berbakti kepada orang tua, ditambah dengan trauma yang pernah dialami akibat perceraian? Atas penjelasan dan pembahasan yang diberikan, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, disertai doa jazakumullāhu khairan katsīrā.

Wassalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh (Mahfudhoh, Lamongan).

Pembahasan:

Wassalamu’alaikum wr.wb!

Bagi sebagian orang, pernikahan dipandang sebagai tujuan hidup yang harus segera diwujudkan. Namun, ada juga yang memilih tidak menikah, bukan karena meremehkan sunnah Nabi , melainkan karena alasan pribadi yang kuat dan mulia. Contohnya, seorang anak yang ingin mengabdikan hidupnya untuk merawat ibunya yang sudah lanjut usia, atau seseorang yang pernah mengalami trauma mendalam akibat perceraian sepihak di masa lalu.

Pertanyaan pun muncul: bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap pilihan hidup semacam ini? Apakah keputusan untuk tidak menikah otomatis dianggap menyalahi ajaran agama, atau justru dapat dibenarkan dalam kondisi tertentu yang memiliki alasan kuat?

Anjuran Pernikahan dalam Perspektif Fikih

            Islam menganjurkan umatnya untuk bisa menikah. Allah swt. berfirman:

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. Annur, 32).

            Dalam sebuah hadis terdapat keterangan dialog antara Nabi   dan sejumlah sahabatnya mengenai urgensi pernikahan sebagai berikut: Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ada tiga orang datang ke rumah istri-istri Nabi   untuk menanyakan ibadah beliau. Setelah diberitahu, seakan-akan mereka meremehkannya. Lalu mereka berkata, “Di mana kita dibandingkan dengan Nabi , padahal Allah telah mengampuni dosa beliau yang telah lalu maupun yang akan datang?” Salah satu dari mereka berkata, “Aku akan salat malam selamanya.” Yang lain berkata, “Aku akan berpuasa terus menerus dan tidak berbuka.” Yang lain berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya.” Kemudian Rasulullah  datang dan bersabda, “Kalian yang berkata begini dan begitu? Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa membenci sunnahku, ia bukan termasuk golonganku.” (HR. al-Bukhari no. 5063, Muslim no. 1401).

Hadis ini menegaskan bahwa menikah adalah bagian dari sunnah Nabi , dan meninggalkannya karena menganggap ibadah lain lebih mulia adalah sikap yang tidak sesuai dengan ajaran beliau.

            Sungguhpun dalam ayat dan hadis tersebut ada perintah untuk menikah, dalam literatur fikih, para ulama telah menjelaskan bahwa hukum menikah tidak tunggal, tetapi fleksibel sesuai situasi dan kondisi individu. Imam Al-Nawawi (w. 676 H) dalam Al-Majmū‘Syar al-Muhaḏḏab menjelaskan: Para ulama kami (Syafi‘iyyah) berkata: Pernikahan, menurut hukum kami, terbagi menjadi lima: wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh, dan haram. Wajib: bagi orang yang akan mendapat mudarat jika tidak menikah karena takut terjerumus zina, dengan syarat mampu menanggung biaya pernikahan. Sunnah: bagi yang memiliki syahwat dan aman dari zina. Mubah: bagi yang tidak memiliki syahwat, seperti orang tua renta atau impoten. Makruh: bagi yang tidak memiliki syahwat dan khawatir membahayakan istrinya. Haram: bagi yang tidak memiliki syahwat dan yakin akan membahayakan istrinya (al-Nawawi, Al-Majmū‘ Syarh al-Muhadzdzab, IV/246).

            Hukum menikah dalam Islam ternyata tidak bersifat tunggal, melainkan dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Dalam keadaan tertentu, ia bisa bernilai wajib, sunnah, mubah, makruh, bahkan haram. Karena itu, pada kondisi khusus, keputusan untuk tidak menikah sama sekali tidak bertentangan dengan syariat, bahkan bisa menjadi pilihan yang paling tepat. Penjelasan lebih lanjut akan diuraikan berikut ini.

Tidak Menikah untuk Menjaga Ibu

            Al-Qur’an menegaskan perintah berbakti kepada kedua orang tua berdampingan dengan perintah mentauhidkan Allah. Allah berfirman:

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik (QS. Al-Isra, ayat 23).

            Rasulullah   bahkan menempatkan bakti kepada orang tua di atas jihad di medan perang. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَأْذِنُهُ فِى الْجِهَادِ فَقَالَ « أَحَىٌّ وَالِدَاكَ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ ».(رواه البخارى ومسلم)

Dari Abdullah bin Umar, ada seorang laki-laki datang kepada Nabin   untuk minta izin berjihad. Beliau bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab: ya, masih hidup. Beliau kemudian bersabda: “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya” (HR. al-Bukhari 3004 dan Muslim 2549).

            Dalam hadis lain disebutkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua dalam Islam, khususnya ibu, memiliki kedudukan yang sangat tinggi, setelah kewajiban salat.

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Nabi   pernah ditanya, amal apa yang paling disukai oleh Allah? Nabi menjawab: Salat tepat pada waktunya. Kemudian apalagi? Nabi menjawab: Berbakti kepada kedua orang tua. Lalu apa lagi? Nabi menjawab: Jihad fi sabilillah… (HR. al-Bukhari 5970 dan Muslim 263).

            Apabila seseorang memutuskan untuk tidak menikah demi mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada ibunya yang sakit atau telah lanjut usia, maka sejatinya ia sedang menunaikan kewajiban agung, yakni birrul walidain (berbakti kepada orang tua). Selama keputusan itu tidak menyeretnya pada perbuatan dosa, pilihannya bukan hanya dibolehkan, melainkan juga berpotensi mendatangkan pahala yang besar.

Pertimbangan Trauma Perceraian

            Perceraian, terutama yang terjadi secara sepihak dan meninggalkan luka mendalam, sering kali menimbulkan trauma yang berat. Dalam kajian psikologi, kondisi ini dikenal dengan istilah post-divorce trauma, yakni keadaan ketika seseorang membutuhkan waktu yang panjang untuk memulihkan diri sekaligus membangun kembali rasa percaya terhadap sebuah ikatan pernikahan. Luka batin ini tidak jarang memengaruhi cara pandang seseorang terhadap kehidupan rumah tangga di masa mendatang.

Islam sendiri tidak pernah memaksa seseorang untuk menikah apabila kondisi mental dan jiwanya belum siap. Bahkan, memaksakan diri untuk menikah dalam keadaan hati masih rapuh justru dapat menimbulkan mudarat, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi pasangan dan rumah tangga yang akan dibangun. Dengan demikian, kesabaran dalam memulihkan diri menjadi bagian dari ikhtiar menjaga keberkahan hidup dan keharmonisan rumah tangga di masa depan.

Menjaga Diri dari Dosa

Keputusan untuk tidak menikah pada dasarnya dibolehkan, selama tidak menyeret seseorang kepada perbuatan haram seperti zina atau hubungan yang terlarang. Namun, pilihan ini tentu menuntut tanggung jawab moral dan spiritual yang besar.

Oleh karena itu, siapa pun yang menempuh jalan ini perlu lebih berhati-hati dalam menjaga pergaulan, menundukkan pandangan, serta memanfaatkan waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah. Dengan cara demikian, pilihannya tidak hanya selamat dari dosa, tetapi juga bernilai ibadah yang tinggi. Allah   berfirman:

وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ

“Dan hendaklah orang-orang yang tidak mampu menikah menjaga kesucian dirinya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. an-Nūr: 33)

Keseimbangan antara Sunnah dan Kewajiban

Menikah merupakan sunnah Rasulullah yang sangat dianjurkan, sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis. Akan tetapi, para ulama menekankan bahwa hukum menikah bersifat kontekstual dan dapat berubah sesuai kondisi individu. Imam al-Nawawī, misalnya, menjelaskan bahwa pernikahan bisa bernilai wajib, sunnah, makruh, mubah, bahkan haram, tergantung situasi yang melingkupinya.

Karena itu, jika terdapat kewajiban lain yang lebih mendesak—seperti merawat orang tua yang sakit—maka mendahulukan kewajiban tersebut bukan berarti mengabaikan sunnah menikah. Sebab, dalam prinsip fikih, al-wājib muqaddam ala al-sunnah, kewajiban lebih didahulukan daripada sunnah (Adil Bin Saad, al-Jami’ Li Ahkam al-Salah, I/2874). Dengan demikian, sunnah pernikahan tetap terjaga, hanya pelaksanaannya ditunda hingga kondisi memungkinkan.

Penutup

            Islam adalah agama penuh hikmah yang menuntun umatnya dengan keseimbangan, sesuai realitas dan kemampuan tiap individu. Karena itu, memilih tidak menikah demi merawat ibu atau memulihkan diri dari trauma bukanlah penentangan terhadap sunnah, melainkan dapat bernilai amal mulia bila diniatkan dengan benar, sebagaimana perintah Allah untuk berbakti kepada orang tua (QS. al-Isrā [17]: 23) dan sabda Rasulullah agar melaksanakan perintah sesuai kemampuan (HR. al-Bukhārī 7288 dan Muslim 3321). Dengan demikian, setiap pilihan hidup tetap berada dalam bingkai ketaatan, keberkahan, dan kasih sayang Allah.

 (Artikel tersebut telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Oktober 2025)