JUAL BELI KUCING, BOLEHKAH?
Oleh
Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Permasalahan:
Assalamu’alaikum
wr.wb.!
Saat
ini saya memelihara kucing lebih dari lima ekor. Alhamdulillah, semuanya sehat,
jinak, dan menggemaskan. Namun, karena biaya perawatan yang cukup besar,
membuat saya berencana menjual beberapa ekor di antaranya. Melalui rubrik
konsultasi agama MATAN ini saya mohon kepada Pengasuh kiranya berkenan
memberikan penjelasan mengenai hukum jual-beli kucing dalam Islam, apakah hal
tersebut diperbolehkan? Atas perhatian dan perkenannya, saya ucapkan terima
kasih disertai doa: jazākumullāhu
khayran katsiran (Abdullah, Madiun).
Pembahasan:
Wa’alaikumussalam
wr wb.!
Kucing
merupakan hewan yang akrab dengan pergaulan manusia sehari-hari, bahkan sering disebut
sebagai hewan kesayangan Rasulullah ﷺ. Nabi bersabda: “Kucing itu tidaklah
najis. Sesungguhnya kucing merupakan hewan yang sering kita jumpai dan berada
di sekeliling kita” (HR. Abu Dawud 75, Ahmad 22636, Ibn Majah 367). Al-Albani: hadis ini sahih (Irwa al-Ghalil,
I/191-192).
Kucing
banyak dipelihara manusia karena sifatnya yang jinak, lucu, dan bermanfaat. Selain
dipelihara karena sifatnya yang jinak, kucing juga memiliki nilai estetika,
bahkan di beberapa tempat dijadikan hewan lomba dan diperjualbelikan dengan
harga yang cukup tinggi. Namun masalah hukumnya, sejak zaman dahulu, para ulama
telah memperdebatakannya mengenai boleh-tidaknya.
Secara
umum, pada asalnya, jual beli adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah swt.
Islam telah mengatur sedemikian rupa agar peristiwa jual beli itu tidak
merugikan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Allah telah mengharamkan
hal-hal yang dapat merugikan dalam muamalah dan jual beli seperti praktik riba. Allah
swt. menegaskan:
ذٰلِكَ
بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
Demikian itu
terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal,
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah, 275).
Dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya dalam proses jual beli, sudah lumrah terjadi
di tengah-tengah masyarakat kita adanya jual beli terhadap hewan peliharaan. Di
antaranya adalah jual beli hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, dan juga
ayam serta burung. Lalu bagaimana dengan hewan seperti kucing, apakah boleh
dijual belikan? Bagaimana menurut tuntunan Islam?
Mengenai
hukum jual beli hewan kucing, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama
melarangnya, namun sebagian ulama yang lain membolehkannya. Mengapa terjadi
perbedaan pendapat, apa alasan atau hujjah yang digunakan untuk melarangnya,
dan apa alasan atau hujjah yang digunakan untuk membolehkannya?
Badruddin
Al- ‘Aini al-Hanafi mengemukakan adanya
perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum jual beli kucing. Dalam
kitabnya Umdat al-Qari, beliau menulis:
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي جَوَازِ بَيْعِ
الْهِرِّ، فَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى جَوَازِ بَيْعِهِ وَحِلِّ ثَمَنِهِ، وَبِهِ قَالَ
الْجُمْهُورُ، وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَمُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ
وَالْحَكَمِ وَحَمَّادٍ وَمَالِكٍ وَسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ
وَأَصْحَابِهِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ. وَقَالَ ابْنُ
الْمُنْذِرِ: وَرَوَيْنَا عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ رَخَّصَ فِي بَيْعِهِ.
قَالَ وَكَرِهَتْ طَائِفَةٌ بَيْعَهُ، رَوَيْنَا ذَلِكَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
وَطَاوُوسٍ وَمُجَاهِدٍ، وَبِهِ قَالَ جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ.
“Ulama berbeda pendapat dalam
menghukumi jual beli kucing; sebagian berpendapat boleh menjual kucing dan
penghasilannya halal, ini adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu pendapat Hasan
Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Al-Hakam, Hammad, Malik, Sufyan Al-Tsauri, Abu
Hanifah beserta pengikutnya, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Ibnu al-Mundzir berkata:
kami mendapatkan riwayat bahwa Ibnu Abbas membolehkan jual beli tersebut.
Sedangkan sebagian ulama memakruhkan jual beli tersebut, seperti: Abu Hurairah,
Thawus, Mujahid, dan Jabir bin Zaid” (Badruddin al- ‘Aini, ‘Umdat
al-Qari, XVIII/212).
Argumentasi Ulama Yang Melarangnya
Sebagian ulama ada yang melarang jual beli kucing. Pendapat
ini dikemukakan oleh Imam Daud Abu Sulaiman al-Dhahiri bahwa jual beli kucing
itu hukumnya haram. Hal ini dijelaskan oleh Imam Ibn Hazm (w. 456 H/1064 M)
dalam kitabnya Al-Muhalla. Sungguhpun demikian, hukum jual beli kucing
ini bisa menjadi wajib jika memang kucing itu dibutuhkan untuk ‘menakut-nakuti
tikus’. Dalam kitabnya al-Muhalla, beliau menulis sebagai berikut:
وَلاَ يَحِلُّ بَيْعُ الْهِرِّ فَمَنْ اُضْطُرَّ
إلَيْهِ لِأَذَى الْفَأْرِ فَوَاجِبٌ
Tidak dihalalkan jual beli kucing, (tetapi)
barang siapa yang terdesak karena gangguan tikus (di rumahnya) maka hukumnya
menjadi wajib (Ibn Hazm, al-Muhalla, IX/13).
Maksudnya,
walaupun madzhab Dhahiri ini mengharamkan jual beli kucing, tetapi keharamannya
tidaklah mutlak. Menurut madzhab ini, ada kondisi di mana jual beli kucing bisa
menjadi boleh bahkan bisa menjadi wajib hukumnya ketika diperlukan.
Alasan
atau dalil yang dijadikan hujjah oleh madzhab Dhahiri untuk mengharamkan jual
beli kucing ini adalah karena ditemukan adanya hadis Nabi saw. yang telah
melarangnya. Hadis itu diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Abu Zubair pernah
bertanya kepada sahabat Jabir bin Abdullah:
عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ قَالَ سَأَلْتُ
جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ قَالَ زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله
عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.
Abu Zubair berkata: Aku
bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang jual beli anjing dan sinnaur (kucing
liar). Lalu beliau menjawab: Nabi shallallhu a’alaih wa sallam melarang itu. (HR. Muslim 4098).
Menurut Imam Ibnu Hazm, kata
“Jazar” (جزر) dalam bahasa Arab itu punya arti jauh
lebih berat dibandingkan kata “Nahyu” (نهى)
yang berarti melarang (Ibn Hazm, al-Muhalla, IX/13). Karena itu, secara
umum, Ibn Hazm cenderung untuk menghukumi haram atau melarang terhadap jual
beli kucing.
Argumentasi Ulama Yang Membolehkannya
Mayoritas
ulama membolehkan adanya transaksi jual beli kucing, karena kucing itu termasuk
zat suci dan mengandung manfaat. Dari sana kemudian, mayoritas ulama
memperbolehkan jual beli kucing. Wizarat al-Awqaf Wa al-Syu-un al-Islamiyah Kuwait menegaskan:
فَذَهَبَ
جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ
وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ بَيْعَ الْهِرَّةِ جَائِزٌ لأنَّهَا طَاهِرَةٌ
وَمُنْتَفَعٌ بِهَا وَوُجِدَ فِيهَا جَمِيعُ شُرُوطِ الْبَيْع، فَجَازَ بَيْعُهَا
Mayoritas ulama fiqih yang
bermadzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa praktik jual
beli kucing itu dibolehkan, karena kucing itu suci dan dapat diambil
manfaatnya. Padanya juga terdapat semua syarat transaksi penjualan sehingga
boleh menjualnya (Wizarat
al-Awqaf Wa al-Syu-un al-Islamiyah Kuwait, Al-Mausu’atul
Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XLII/266).
Imam Al-Nawawi
dalam kumpulan fatwanya menyebutkan adanya jual beli kucing dan kera seperti
praktik yang terjadi di masyarakat. Menurut al-Nawawi, kedua hewan tersebut (kucing
dan kera) memenuhi kriteria produk yang ditentukan dalam norma jual beli dalam hukum
fiqih. Beliau mengatakan:
يَصِحُّ بَيْعُ الْهِرَّةِ وَالْقِرْدِ لِأَنَّهُمَا
طَاهِرَانِ مُنْتَفَعٌ بِهِمَا جَامِعَانِ شُرُوطَ الْمَبِيعِ
Praktik jual beli kucing dan
kera tetap sah karena keduanya suci dan termasuk barang yang bermanfaat serta
memenuhi syarat produk (Al-Nawawi, Fatawa al-Imam al-Nawawi,
76).
Ketika
al-Nawawi menjelaskan pandangan madzhabnya tentang bolehnya jual beli kucing, beliau
juga memaparkan pendapat yang melarang beserta dalil dari hadis yang dijadikan
hujjah. Menurut al-Nawawi, bahwasanya hadis tentang larangan menjual kucing
tersebut memang sahih, tetapi maksudnya bukanlah untuk larangan secara mutlak. Dalam
kitabnya al-Majmu’, beliau menyanggah dalil tersebut yang digunakan
untuk melarang jual beli kucing dengan argumen sebagai berikut:
جَوَابُ أَبِي العَبَّاسِ بْنِ العَاصِ وَأَبِي
سُلَيْمَانَ الخَطَّابِيِّ وَالقَفَّالِ وَغَيْرِهِمْ أَنَّ المُرَادَ: الهِرَّةُ
الوَحْشِيَّةُ، فَلَا يَصِحُّ بَيْعُهَا لِعَدَمِ الِانْتِفَاعِ بِهَا
Jawaban Abu al-Abbas bin al- ‘Ash dan juga Abu Sulaiman al-Khaththabiy serta al-Qaffal dan
selainnya bahwa yang dimaksud (sinnaur) di situ adalah kucing liar atau hutan (al-wahsyi).
Karena itu terlarang jual belinya disebabkan tidak ada manfaat (al-Nawawi,
al-Majmu’, IX/230).
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa
hukum jual-beli kucing pada dasarnya diperbolehkan selama dilakukan dengan
tujuan pemeliharaan atau pemanfaatan yang wajar, serta tidak disertai praktik
penipuan dalam penentuan harga. Namun demikian, transaksi jual-beli terhadap
kucing liar yang sulit dikendalikan tidak diperkenankan, karena mengandung
unsur gharar (ketidakjelasan) yang dilarang dalam syariat.
Selanjutnya,
dalam memelihara kucing, prinsip kasih sayang terhadap hewan harus senantiasa
diperhatikan. Rasulullah ﷺ memberikan peringatan keras dengan
menyebutkan kisah seorang wanita yang masuk neraka karena mengurung seekor
kucing, tanpa diberi makan dan tanpa dilepaskan untuk mencari makan sendiri
(HR. al-Bukhari, no. 2365; Muslim, no. 5989).
Dalam
konteks ekonomi modern, jual-beli kucing ras dengan harga tinggi pada dasarnya
diperbolehkan. Namun, umat Islam tetap diingatkan agar tidak terjerumus dalam
sikap berlebihan (isrāf) dalam gaya hidup, sehingga
nilai maslahat dan etika Islam tetap terjaga.
Kesimpulan
Dari uraian para ulama tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa hukum jual-beli kucing diperselisihkan. Sebagian kecil ulama, seperti
dari mazhab Ẓāhirī dan
sebagian Ḥanbalī,
melarangnya berdasarkan hadis riwayat Muslim. Namun, mayoritas ulama
dari mazhab Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, serta sebagian Ḥanbalī membolehkannya
dengan syarat: (1) bukan kucing liar yang tidak bisa dimanfaatkan, dan (2)
kucing tersebut bermanfaat, jinak, dan tidak membahayakan.
Lebih dari itu, Islam menekankan prinsip kasih sayang
terhadap seluruh makhluk. Memperlakukan kucing dengan baik, memberi makan, dan
menjaga kehidupannya merupakan bagian dari akhlak mulia seorang Muslim serta
pengejawantahan nilai rahmatan lil-‘ālamīn. Wallāhu a‘lam.
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim edisi November 2025)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar