Kamis, 25 Desember 2025

JUAL BELI KUCING, BOLEHKAH?

 JUAL BELI KUCING, BOLEHKAH?

Oleh

Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan:

            Assalamu’alaikum wr.wb.!

            Saat ini saya memelihara kucing lebih dari lima ekor. Alhamdulillah, semuanya sehat, jinak, dan menggemaskan. Namun, karena biaya perawatan yang cukup besar, membuat saya berencana menjual beberapa ekor di antaranya. Melalui rubrik konsultasi agama MATAN ini saya mohon kepada Pengasuh kiranya berkenan memberikan penjelasan mengenai hukum jual-beli kucing dalam Islam, apakah hal tersebut diperbolehkan? Atas perhatian dan perkenannya, saya ucapkan terima kasih disertai doa: jazākumullāhu khayran katsiran (Abdullah, Madiun).

Pembahasan:

            Wa’alaikumussalam wr wb.!

            Kucing merupakan hewan yang akrab dengan pergaulan manusia sehari-hari, bahkan sering disebut sebagai hewan kesayangan Rasulullah . Nabi bersabda: “Kucing itu tidaklah najis. Sesungguhnya kucing merupakan hewan yang sering kita jumpai dan berada di sekeliling kita” (HR. Abu Dawud 75, Ahmad 22636, Ibn Majah 367). Al-Albani: hadis ini sahih (Irwa al-Ghalil, I/191-192).

            Kucing banyak dipelihara manusia karena sifatnya yang jinak, lucu, dan bermanfaat. Selain dipelihara karena sifatnya yang jinak, kucing juga memiliki nilai estetika, bahkan di beberapa tempat dijadikan hewan lomba dan diperjualbelikan dengan harga yang cukup tinggi. Namun masalah hukumnya, sejak zaman dahulu, para ulama telah memperdebatakannya mengenai boleh-tidaknya.

            Secara umum, pada asalnya, jual beli adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah swt. Islam telah mengatur sedemikian rupa agar peristiwa jual beli itu tidak merugikan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Allah telah mengharamkan hal-hal yang dapat merugikan dalam muamalah dan jual beli seperti praktik riba. Allah swt. menegaskan:

 ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

 Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah, 275).

            Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam proses jual beli, sudah lumrah terjadi di tengah-tengah masyarakat kita adanya jual beli terhadap hewan peliharaan. Di antaranya adalah jual beli hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, dan juga ayam serta burung. Lalu bagaimana dengan hewan seperti kucing, apakah boleh dijual belikan? Bagaimana menurut tuntunan Islam?

            Mengenai hukum jual beli hewan kucing, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama melarangnya, namun sebagian ulama yang lain membolehkannya. Mengapa terjadi perbedaan pendapat, apa alasan atau hujjah yang digunakan untuk melarangnya, dan apa alasan atau hujjah yang digunakan untuk membolehkannya?

Badruddin Al- ‘Aini al-Hanafi mengemukakan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum jual beli kucing. Dalam kitabnya Umdat al-Qari, beliau menulis:

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي جَوَازِ بَيْعِ الْهِرِّ، فَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى جَوَازِ بَيْعِهِ وَحِلِّ ثَمَنِهِ، وَبِهِ قَالَ الْجُمْهُورُ، وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَمُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ وَالْحَكَمِ وَحَمَّادٍ وَمَالِكٍ وَسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَصْحَابِهِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ. وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: وَرَوَيْنَا عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ رَخَّصَ فِي بَيْعِهِ. قَالَ وَكَرِهَتْ طَائِفَةٌ بَيْعَهُ، رَوَيْنَا ذَلِكَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَطَاوُوسٍ وَمُجَاهِدٍ، وَبِهِ قَالَ جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ.

“Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi jual beli kucing; sebagian berpendapat boleh menjual kucing dan penghasilannya halal, ini adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu pendapat Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Al-Hakam, Hammad, Malik, Sufyan Al-Tsauri, Abu Hanifah beserta pengikutnya, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Ibnu al-Mundzir berkata: kami mendapatkan riwayat bahwa Ibnu Abbas membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan sebagian ulama memakruhkan jual beli tersebut, seperti: Abu Hurairah, Thawus, Mujahid, dan Jabir bin Zaid” (Badruddin al- ‘Aini, ‘Umdat al-Qari, XVIII/212).

Argumentasi Ulama Yang Melarangnya

            Sebagian ulama ada yang melarang jual beli kucing. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Daud Abu Sulaiman al-Dhahiri bahwa jual beli kucing itu hukumnya haram. Hal ini dijelaskan oleh Imam Ibn Hazm (w. 456 H/1064 M) dalam kitabnya Al-Muhalla. Sungguhpun demikian, hukum jual beli kucing ini bisa menjadi wajib jika memang kucing itu dibutuhkan untuk ‘menakut-nakuti tikus’. Dalam kitabnya al-Muhalla, beliau menulis sebagai berikut:

وَلاَ يَحِلُّ بَيْعُ الْهِرِّ فَمَنْ اُضْطُرَّ إلَيْهِ لِأَذَى الْفَأْرِ فَوَاجِبٌ

Tidak dihalalkan jual beli kucing, (tetapi) barang siapa yang terdesak karena gangguan tikus (di rumahnya) maka hukumnya menjadi wajib (Ibn Hazm, al-Muhalla, IX/13).

Maksudnya, walaupun madzhab Dhahiri ini mengharamkan jual beli kucing, tetapi keharamannya tidaklah mutlak. Menurut madzhab ini, ada kondisi di mana jual beli kucing bisa menjadi boleh bahkan bisa menjadi wajib hukumnya ketika diperlukan.

Alasan atau dalil yang dijadikan hujjah oleh madzhab Dhahiri untuk mengharamkan jual beli kucing ini adalah karena ditemukan adanya hadis Nabi saw. yang telah melarangnya. Hadis itu diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Abu Zubair pernah bertanya kepada sahabat Jabir bin Abdullah:

عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ قَالَ سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ قَالَ زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.

Abu Zubair berkata: Aku bertanya kepada Jabir bin Abdullah tentang jual beli anjing dan sinnaur (kucing liar). Lalu beliau menjawab: Nabi shallallhu a’alaih wa sallam melarang itu. (HR. Muslim 4098).

Menurut Imam Ibnu Hazm, kata “Jazar” (جزر) dalam bahasa Arab itu punya arti jauh lebih berat dibandingkan kata “Nahyu” (نهى) yang berarti melarang (Ibn Hazm, al-Muhalla, IX/13). Karena itu, secara umum, Ibn Hazm cenderung untuk menghukumi haram atau melarang terhadap jual beli kucing.

Argumentasi Ulama Yang Membolehkannya

Mayoritas ulama membolehkan adanya transaksi jual beli kucing, karena kucing itu termasuk zat suci dan mengandung manfaat. Dari sana kemudian, mayoritas ulama memperbolehkan jual beli kucing. Wizarat al-Awqaf Wa al-Syu-un al-Islamiyah Kuwait menegaskan:

 فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ بَيْعَ الْهِرَّةِ جَائِزٌ لأنَّهَا طَاهِرَةٌ وَمُنْتَفَعٌ بِهَا وَوُجِدَ فِيهَا جَمِيعُ شُرُوطِ الْبَيْع، فَجَازَ بَيْعُهَا

Mayoritas ulama fiqih yang bermadzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa praktik jual beli kucing itu dibolehkan, karena kucing itu suci dan dapat diambil manfaatnya. Padanya juga terdapat semua syarat transaksi penjualan sehingga boleh menjualnya (Wizarat al-Awqaf Wa al-Syu-un al-Islamiyah Kuwait, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XLII/266).

Imam Al-Nawawi dalam kumpulan fatwanya menyebutkan adanya jual beli kucing dan kera seperti praktik yang terjadi di masyarakat. Menurut al-Nawawi, kedua hewan tersebut (kucing dan kera) memenuhi kriteria produk yang ditentukan dalam norma jual beli dalam hukum fiqih. Beliau mengatakan:

يَصِحُّ بَيْعُ الْهِرَّةِ وَالْقِرْدِ لِأَنَّهُمَا طَاهِرَانِ مُنْتَفَعٌ بِهِمَا جَامِعَانِ شُرُوطَ الْمَبِيعِ

Praktik jual beli kucing dan kera tetap sah karena keduanya suci dan termasuk barang yang bermanfaat serta memenuhi syarat produk (Al-Nawawi, Fatawa al-Imam al-Nawawi, 76).

Ketika al-Nawawi menjelaskan pandangan madzhabnya tentang bolehnya jual beli kucing, beliau juga memaparkan pendapat yang melarang beserta dalil dari hadis yang dijadikan hujjah. Menurut al-Nawawi, bahwasanya hadis tentang larangan menjual kucing tersebut memang sahih, tetapi maksudnya bukanlah untuk larangan secara mutlak. Dalam kitabnya al-Majmu’, beliau menyanggah dalil tersebut yang digunakan untuk melarang jual beli kucing dengan argumen sebagai berikut:

جَوَابُ أَبِي العَبَّاسِ بْنِ العَاصِ وَأَبِي سُلَيْمَانَ الخَطَّابِيِّ وَالقَفَّالِ وَغَيْرِهِمْ أَنَّ المُرَادَ: الهِرَّةُ الوَحْشِيَّةُ، فَلَا يَصِحُّ بَيْعُهَا لِعَدَمِ الِانْتِفَاعِ بِهَا

Jawaban Abu al-Abbas bin al- ‘Ash dan juga Abu Sulaiman al-Khaththabiy serta al-Qaffal dan selainnya bahwa yang dimaksud (sinnaur) di situ adalah kucing liar atau hutan (al-wahsyi). Karena itu terlarang jual belinya disebabkan tidak ada manfaat (al-Nawawi, al-Majmu’, IX/230).

            Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa hukum jual-beli kucing pada dasarnya diperbolehkan selama dilakukan dengan tujuan pemeliharaan atau pemanfaatan yang wajar, serta tidak disertai praktik penipuan dalam penentuan harga. Namun demikian, transaksi jual-beli terhadap kucing liar yang sulit dikendalikan tidak diperkenankan, karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) yang dilarang dalam syariat.

Selanjutnya, dalam memelihara kucing, prinsip kasih sayang terhadap hewan harus senantiasa diperhatikan. Rasulullah memberikan peringatan keras dengan menyebutkan kisah seorang wanita yang masuk neraka karena mengurung seekor kucing, tanpa diberi makan dan tanpa dilepaskan untuk mencari makan sendiri (HR. al-Bukhari, no. 2365; Muslim, no. 5989).

Dalam konteks ekonomi modern, jual-beli kucing ras dengan harga tinggi pada dasarnya diperbolehkan. Namun, umat Islam tetap diingatkan agar tidak terjerumus dalam sikap berlebihan (isrāf) dalam gaya hidup, sehingga nilai maslahat dan etika Islam tetap terjaga.

Kesimpulan

            Dari uraian para ulama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum jual-beli kucing diperselisihkan. Sebagian kecil ulama, seperti dari mazhab Ẓāhirī dan sebagian anbalī, melarangnya berdasarkan hadis riwayat Muslim. Namun, mayoritas ulama dari mazhab anafī, Mālikī, Syāfiī, serta sebagian anbalī membolehkannya dengan syarat: (1) bukan kucing liar yang tidak bisa dimanfaatkan, dan (2) kucing tersebut bermanfaat, jinak, dan tidak membahayakan.

            Lebih dari itu, Islam menekankan prinsip kasih sayang terhadap seluruh makhluk. Memperlakukan kucing dengan baik, memberi makan, dan menjaga kehidupannya merupakan bagian dari akhlak mulia seorang Muslim serta pengejawantahan nilai rahmatan lil-‘ālamīn. Wallāhu alam.

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jatim edisi November 2025)

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar