Kamis, 25 Desember 2025

BOLEHKAH TAK MENIKAH, DEMI SANG IBU

 BOLEHKAH TAK MENIKAH, DEMI SANG IBU

Oleh


 Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan:

            Assalamu’alaikum wr.wb!

            Saya memiliki seorang teman perempuan yang hingga kini masih tabah memilih untuk hidup sendiri. Ketika saya tanyakan mengapa ia belum menikah, ia menjawab bahwa alasannya adalah ingin sepenuhnya menjaga dan merawat ibunya. Ia khawatir, apabila menikah, tidak ada lagi yang mendampingi dan merawat sang ibu. Selain itu, ia juga masih menyimpan luka batin akibat pengalaman pahit di masa lalu, ketika pernah menikah namun kemudian diceraikan secara sepihak tanpa alasan yang jelas.

Melalui rubrik Konsultasi Agama Islam di Majalah MATAN ini, saya ingin memohon penjelasan kepada Bapak Pengasuh: bagaimana sebaiknya menyikapi kondisi seperti ini? Apakah boleh seseorang memilih untuk tidak menikah karena ingin berbakti kepada orang tua, ditambah dengan trauma yang pernah dialami akibat perceraian? Atas penjelasan dan pembahasan yang diberikan, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, disertai doa jazakumullāhu khairan katsīrā.

Wassalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh (Mahfudhoh, Lamongan).

Pembahasan:

Wassalamu’alaikum wr.wb!

Bagi sebagian orang, pernikahan dipandang sebagai tujuan hidup yang harus segera diwujudkan. Namun, ada juga yang memilih tidak menikah, bukan karena meremehkan sunnah Nabi , melainkan karena alasan pribadi yang kuat dan mulia. Contohnya, seorang anak yang ingin mengabdikan hidupnya untuk merawat ibunya yang sudah lanjut usia, atau seseorang yang pernah mengalami trauma mendalam akibat perceraian sepihak di masa lalu.

Pertanyaan pun muncul: bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap pilihan hidup semacam ini? Apakah keputusan untuk tidak menikah otomatis dianggap menyalahi ajaran agama, atau justru dapat dibenarkan dalam kondisi tertentu yang memiliki alasan kuat?

Anjuran Pernikahan dalam Perspektif Fikih

            Islam menganjurkan umatnya untuk bisa menikah. Allah swt. berfirman:

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. Annur, 32).

            Dalam sebuah hadis terdapat keterangan dialog antara Nabi   dan sejumlah sahabatnya mengenai urgensi pernikahan sebagai berikut: Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ada tiga orang datang ke rumah istri-istri Nabi   untuk menanyakan ibadah beliau. Setelah diberitahu, seakan-akan mereka meremehkannya. Lalu mereka berkata, “Di mana kita dibandingkan dengan Nabi , padahal Allah telah mengampuni dosa beliau yang telah lalu maupun yang akan datang?” Salah satu dari mereka berkata, “Aku akan salat malam selamanya.” Yang lain berkata, “Aku akan berpuasa terus menerus dan tidak berbuka.” Yang lain berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya.” Kemudian Rasulullah  datang dan bersabda, “Kalian yang berkata begini dan begitu? Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa membenci sunnahku, ia bukan termasuk golonganku.” (HR. al-Bukhari no. 5063, Muslim no. 1401).

Hadis ini menegaskan bahwa menikah adalah bagian dari sunnah Nabi , dan meninggalkannya karena menganggap ibadah lain lebih mulia adalah sikap yang tidak sesuai dengan ajaran beliau.

            Sungguhpun dalam ayat dan hadis tersebut ada perintah untuk menikah, dalam literatur fikih, para ulama telah menjelaskan bahwa hukum menikah tidak tunggal, tetapi fleksibel sesuai situasi dan kondisi individu. Imam Al-Nawawi (w. 676 H) dalam Al-Majmū‘Syar al-Muhaḏḏab menjelaskan: Para ulama kami (Syafi‘iyyah) berkata: Pernikahan, menurut hukum kami, terbagi menjadi lima: wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh, dan haram. Wajib: bagi orang yang akan mendapat mudarat jika tidak menikah karena takut terjerumus zina, dengan syarat mampu menanggung biaya pernikahan. Sunnah: bagi yang memiliki syahwat dan aman dari zina. Mubah: bagi yang tidak memiliki syahwat, seperti orang tua renta atau impoten. Makruh: bagi yang tidak memiliki syahwat dan khawatir membahayakan istrinya. Haram: bagi yang tidak memiliki syahwat dan yakin akan membahayakan istrinya (al-Nawawi, Al-Majmū‘ Syarh al-Muhadzdzab, IV/246).

            Hukum menikah dalam Islam ternyata tidak bersifat tunggal, melainkan dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Dalam keadaan tertentu, ia bisa bernilai wajib, sunnah, mubah, makruh, bahkan haram. Karena itu, pada kondisi khusus, keputusan untuk tidak menikah sama sekali tidak bertentangan dengan syariat, bahkan bisa menjadi pilihan yang paling tepat. Penjelasan lebih lanjut akan diuraikan berikut ini.

Tidak Menikah untuk Menjaga Ibu

            Al-Qur’an menegaskan perintah berbakti kepada kedua orang tua berdampingan dengan perintah mentauhidkan Allah. Allah berfirman:

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik (QS. Al-Isra, ayat 23).

            Rasulullah   bahkan menempatkan bakti kepada orang tua di atas jihad di medan perang. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَأْذِنُهُ فِى الْجِهَادِ فَقَالَ « أَحَىٌّ وَالِدَاكَ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ ».(رواه البخارى ومسلم)

Dari Abdullah bin Umar, ada seorang laki-laki datang kepada Nabin   untuk minta izin berjihad. Beliau bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab: ya, masih hidup. Beliau kemudian bersabda: “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya” (HR. al-Bukhari 3004 dan Muslim 2549).

            Dalam hadis lain disebutkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua dalam Islam, khususnya ibu, memiliki kedudukan yang sangat tinggi, setelah kewajiban salat.

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Nabi   pernah ditanya, amal apa yang paling disukai oleh Allah? Nabi menjawab: Salat tepat pada waktunya. Kemudian apalagi? Nabi menjawab: Berbakti kepada kedua orang tua. Lalu apa lagi? Nabi menjawab: Jihad fi sabilillah… (HR. al-Bukhari 5970 dan Muslim 263).

            Apabila seseorang memutuskan untuk tidak menikah demi mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada ibunya yang sakit atau telah lanjut usia, maka sejatinya ia sedang menunaikan kewajiban agung, yakni birrul walidain (berbakti kepada orang tua). Selama keputusan itu tidak menyeretnya pada perbuatan dosa, pilihannya bukan hanya dibolehkan, melainkan juga berpotensi mendatangkan pahala yang besar.

Pertimbangan Trauma Perceraian

            Perceraian, terutama yang terjadi secara sepihak dan meninggalkan luka mendalam, sering kali menimbulkan trauma yang berat. Dalam kajian psikologi, kondisi ini dikenal dengan istilah post-divorce trauma, yakni keadaan ketika seseorang membutuhkan waktu yang panjang untuk memulihkan diri sekaligus membangun kembali rasa percaya terhadap sebuah ikatan pernikahan. Luka batin ini tidak jarang memengaruhi cara pandang seseorang terhadap kehidupan rumah tangga di masa mendatang.

Islam sendiri tidak pernah memaksa seseorang untuk menikah apabila kondisi mental dan jiwanya belum siap. Bahkan, memaksakan diri untuk menikah dalam keadaan hati masih rapuh justru dapat menimbulkan mudarat, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi pasangan dan rumah tangga yang akan dibangun. Dengan demikian, kesabaran dalam memulihkan diri menjadi bagian dari ikhtiar menjaga keberkahan hidup dan keharmonisan rumah tangga di masa depan.

Menjaga Diri dari Dosa

Keputusan untuk tidak menikah pada dasarnya dibolehkan, selama tidak menyeret seseorang kepada perbuatan haram seperti zina atau hubungan yang terlarang. Namun, pilihan ini tentu menuntut tanggung jawab moral dan spiritual yang besar.

Oleh karena itu, siapa pun yang menempuh jalan ini perlu lebih berhati-hati dalam menjaga pergaulan, menundukkan pandangan, serta memanfaatkan waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah. Dengan cara demikian, pilihannya tidak hanya selamat dari dosa, tetapi juga bernilai ibadah yang tinggi. Allah   berfirman:

وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ

“Dan hendaklah orang-orang yang tidak mampu menikah menjaga kesucian dirinya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. an-Nūr: 33)

Keseimbangan antara Sunnah dan Kewajiban

Menikah merupakan sunnah Rasulullah yang sangat dianjurkan, sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis. Akan tetapi, para ulama menekankan bahwa hukum menikah bersifat kontekstual dan dapat berubah sesuai kondisi individu. Imam al-Nawawī, misalnya, menjelaskan bahwa pernikahan bisa bernilai wajib, sunnah, makruh, mubah, bahkan haram, tergantung situasi yang melingkupinya.

Karena itu, jika terdapat kewajiban lain yang lebih mendesak—seperti merawat orang tua yang sakit—maka mendahulukan kewajiban tersebut bukan berarti mengabaikan sunnah menikah. Sebab, dalam prinsip fikih, al-wājib muqaddam ala al-sunnah, kewajiban lebih didahulukan daripada sunnah (Adil Bin Saad, al-Jami’ Li Ahkam al-Salah, I/2874). Dengan demikian, sunnah pernikahan tetap terjaga, hanya pelaksanaannya ditunda hingga kondisi memungkinkan.

Penutup

            Islam adalah agama penuh hikmah yang menuntun umatnya dengan keseimbangan, sesuai realitas dan kemampuan tiap individu. Karena itu, memilih tidak menikah demi merawat ibu atau memulihkan diri dari trauma bukanlah penentangan terhadap sunnah, melainkan dapat bernilai amal mulia bila diniatkan dengan benar, sebagaimana perintah Allah untuk berbakti kepada orang tua (QS. al-Isrā [17]: 23) dan sabda Rasulullah agar melaksanakan perintah sesuai kemampuan (HR. al-Bukhārī 7288 dan Muslim 3321). Dengan demikian, setiap pilihan hidup tetap berada dalam bingkai ketaatan, keberkahan, dan kasih sayang Allah.

 (Artikel tersebut telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Oktober 2025)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar