BOLEHKAH TAK MENIKAH, DEMI SANG IBU
Oleh
Permasalahan:
Assalamu’alaikum wr.wb!
Saya memiliki seorang teman perempuan yang hingga kini
masih tabah memilih untuk hidup sendiri. Ketika saya tanyakan mengapa ia belum
menikah, ia menjawab bahwa alasannya adalah ingin sepenuhnya menjaga dan
merawat ibunya. Ia khawatir, apabila menikah, tidak ada lagi yang mendampingi
dan merawat sang ibu. Selain itu, ia juga masih menyimpan luka batin akibat
pengalaman pahit di masa lalu, ketika pernah menikah namun kemudian diceraikan
secara sepihak tanpa alasan yang jelas.
Melalui
rubrik Konsultasi Agama Islam di Majalah MATAN ini, saya ingin memohon
penjelasan kepada Bapak Pengasuh: bagaimana sebaiknya menyikapi kondisi seperti
ini? Apakah boleh seseorang memilih untuk tidak menikah karena ingin berbakti
kepada orang tua, ditambah dengan trauma yang pernah dialami akibat perceraian?
Atas penjelasan dan pembahasan yang diberikan, saya ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya, disertai doa jazakumullāhu
khairan katsīrā.
Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi
wabarakātuh (Mahfudhoh,
Lamongan).
Pembahasan:
Wassalamu’alaikum
wr.wb!
Bagi
sebagian orang, pernikahan dipandang sebagai tujuan hidup yang harus segera
diwujudkan. Namun, ada juga yang memilih tidak menikah, bukan karena meremehkan
sunnah Nabi ﷺ,
melainkan karena alasan pribadi yang kuat dan mulia. Contohnya, seorang anak
yang ingin mengabdikan hidupnya untuk merawat ibunya yang sudah lanjut usia,
atau seseorang yang pernah mengalami trauma mendalam akibat perceraian sepihak
di masa lalu.
Pertanyaan
pun muncul: bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap pilihan hidup semacam
ini? Apakah keputusan untuk tidak menikah otomatis dianggap menyalahi ajaran
agama, atau justru dapat dibenarkan dalam kondisi tertentu yang memiliki alasan
kuat?
Anjuran Pernikahan dalam
Perspektif Fikih
Islam menganjurkan umatnya untuk bisa
menikah. Allah swt. berfirman:
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ
مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ
اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Nikahkanlah orang-orang yang
masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin,
Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. Annur, 32).
Dalam sebuah hadis terdapat keterangan dialog antara Nabi
ﷺ dan
sejumlah sahabatnya mengenai urgensi pernikahan sebagai berikut: Dari Anas
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ada tiga orang datang ke rumah istri-istri Nabi
ﷺ untuk
menanyakan ibadah beliau. Setelah diberitahu, seakan-akan mereka meremehkannya.
Lalu mereka berkata, “Di mana kita dibandingkan dengan Nabi ﷺ, padahal Allah telah mengampuni dosa
beliau yang telah lalu maupun yang akan datang?” Salah satu dari mereka
berkata, “Aku akan salat malam selamanya.” Yang lain berkata, “Aku akan
berpuasa terus menerus dan tidak berbuka.” Yang lain berkata, “Aku akan
menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya.” Kemudian Rasulullah ﷺ datang dan bersabda, “Kalian
yang berkata begini dan begitu? Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut
kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka,
aku shalat dan tidur, dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa membenci
sunnahku, ia bukan termasuk golonganku.” (HR. al-Bukhari no. 5063, Muslim
no. 1401).
Hadis
ini menegaskan bahwa menikah adalah bagian dari sunnah Nabi ﷺ, dan meninggalkannya karena menganggap
ibadah lain lebih mulia adalah sikap yang tidak sesuai dengan ajaran beliau.
Sungguhpun dalam ayat dan hadis tersebut ada perintah
untuk menikah, dalam literatur fikih, para ulama telah menjelaskan bahwa hukum
menikah tidak tunggal, tetapi fleksibel sesuai situasi dan kondisi individu.
Imam Al-Nawawi (w. 676 H) dalam Al-Majmū‘Syarḥ
al-Muhaḏḏab
menjelaskan: Para
ulama kami (Syafi‘iyyah) berkata: Pernikahan, menurut hukum kami, terbagi
menjadi lima: wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh, dan haram. Wajib: bagi
orang yang akan mendapat mudarat jika tidak menikah karena takut terjerumus
zina, dengan syarat mampu menanggung biaya pernikahan. Sunnah: bagi yang
memiliki syahwat dan aman dari zina. Mubah: bagi yang tidak memiliki syahwat,
seperti orang tua renta atau impoten. Makruh: bagi yang tidak memiliki syahwat
dan khawatir membahayakan istrinya. Haram: bagi yang tidak memiliki syahwat dan
yakin akan membahayakan istrinya (al-Nawawi, Al-Majmū‘
Syarh al-Muhadzdzab, IV/246).
Hukum menikah dalam Islam ternyata tidak bersifat
tunggal, melainkan dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Dalam
keadaan tertentu, ia bisa bernilai wajib, sunnah, mubah, makruh, bahkan haram.
Karena itu, pada kondisi khusus, keputusan untuk tidak menikah sama
sekali tidak bertentangan dengan syariat, bahkan bisa menjadi pilihan yang
paling tepat. Penjelasan lebih lanjut akan diuraikan berikut ini.
Tidak Menikah untuk Menjaga
Ibu
Al-Qur’an menegaskan perintah berbakti kepada kedua orang
tua berdampingan dengan perintah mentauhidkan Allah. Allah berfirman:
وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ
اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ
اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا
وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا
Tuhanmu telah memerintahkan
agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu
bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta
ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik (QS.
Al-Isra, ayat 23).
Rasulullah
ﷺ bahkan
menempatkan bakti kepada orang tua di atas jihad di medan perang. Dalam sebuah
hadis diriwayatkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَأْذِنُهُ فِى الْجِهَادِ فَقَالَ «
أَحَىٌّ وَالِدَاكَ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ ».(رواه
البخارى ومسلم)
Dari Abdullah bin Umar, ada seorang laki-laki datang
kepada Nabin ﷺ untuk minta izin berjihad. Beliau bertanya: “Apakah
kedua orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab: ya, masih hidup. Beliau kemudian
bersabda: “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya” (HR. al-Bukhari 3004 dan Muslim 2549).
Dalam
hadis lain disebutkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua dalam
Islam, khususnya ibu, memiliki kedudukan yang sangat tinggi, setelah kewajiban
salat.
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ
الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ
ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Nabi ﷺ pernah ditanya, amal apa yang paling disukai
oleh Allah? Nabi menjawab: Salat tepat pada waktunya. Kemudian apalagi? Nabi ﷺ menjawab: Berbakti kepada
kedua orang tua. Lalu apa lagi? Nabi menjawab: Jihad fi sabilillah… (HR.
al-Bukhari 5970 dan Muslim 263).
Apabila seseorang memutuskan untuk tidak menikah demi
mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada ibunya yang sakit atau telah lanjut usia,
maka sejatinya ia sedang menunaikan kewajiban agung, yakni birrul walidain
(berbakti kepada orang tua). Selama keputusan itu tidak menyeretnya pada
perbuatan dosa, pilihannya bukan hanya dibolehkan, melainkan juga berpotensi
mendatangkan pahala yang besar.
Pertimbangan Trauma Perceraian
Perceraian, terutama yang terjadi secara sepihak dan
meninggalkan luka mendalam, sering kali menimbulkan trauma yang berat. Dalam
kajian psikologi, kondisi ini dikenal dengan istilah post-divorce trauma,
yakni keadaan ketika seseorang membutuhkan waktu yang panjang untuk memulihkan
diri sekaligus membangun kembali rasa percaya terhadap sebuah ikatan
pernikahan. Luka batin ini tidak jarang memengaruhi cara pandang seseorang
terhadap kehidupan rumah tangga di masa mendatang.
Islam
sendiri tidak pernah memaksa seseorang untuk menikah apabila kondisi mental dan
jiwanya belum siap. Bahkan, memaksakan diri untuk menikah dalam keadaan hati
masih rapuh justru dapat menimbulkan mudarat, bukan hanya bagi dirinya, tetapi
juga bagi pasangan dan rumah tangga yang akan dibangun. Dengan demikian,
kesabaran dalam memulihkan diri menjadi bagian dari ikhtiar menjaga keberkahan
hidup dan keharmonisan rumah tangga di masa depan.
Menjaga Diri dari Dosa
Keputusan
untuk tidak menikah pada dasarnya dibolehkan, selama tidak menyeret seseorang
kepada perbuatan haram seperti zina atau hubungan yang terlarang. Namun,
pilihan ini tentu menuntut tanggung jawab moral dan spiritual yang besar.
Oleh
karena itu, siapa pun yang menempuh jalan ini perlu lebih berhati-hati dalam
menjaga pergaulan, menundukkan pandangan, serta memanfaatkan waktunya dengan
kegiatan yang bermanfaat dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah. Dengan
cara demikian, pilihannya tidak hanya selamat dari dosa, tetapi juga bernilai
ibadah yang tinggi. Allah ﷻ
berfirman:
وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحا
حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ
“Dan hendaklah orang-orang
yang tidak mampu menikah menjaga kesucian dirinya, sampai Allah memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. an-Nūr: 33)
Keseimbangan antara Sunnah dan
Kewajiban
Menikah
merupakan sunnah Rasulullah ﷺ
yang sangat dianjurkan, sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis. Akan tetapi,
para ulama menekankan bahwa hukum menikah bersifat kontekstual dan dapat
berubah sesuai kondisi individu. Imam al-Nawawī, misalnya, menjelaskan bahwa
pernikahan bisa bernilai wajib, sunnah, makruh, mubah, bahkan haram, tergantung
situasi yang melingkupinya.
Karena
itu, jika terdapat kewajiban lain yang lebih mendesak—seperti merawat orang tua
yang sakit—maka mendahulukan kewajiban tersebut bukan berarti mengabaikan
sunnah menikah. Sebab, dalam prinsip fikih, al-wājib
muqaddam ‘ala
al-sunnah, kewajiban lebih didahulukan daripada sunnah
(Adil Bin Saad, al-Jami’ Li Ahkam
al-Salah, I/2874).
Dengan demikian, sunnah pernikahan tetap terjaga, hanya pelaksanaannya ditunda
hingga kondisi memungkinkan.
Penutup
Islam adalah agama penuh hikmah yang menuntun umatnya
dengan keseimbangan, sesuai realitas dan kemampuan tiap individu. Karena itu,
memilih tidak menikah demi merawat ibu atau memulihkan diri dari trauma
bukanlah penentangan terhadap sunnah, melainkan dapat bernilai amal mulia bila
diniatkan dengan benar, sebagaimana perintah Allah untuk berbakti kepada orang
tua (QS. al-Isrā’ [17]:
23) dan sabda Rasulullah ﷺ
agar melaksanakan perintah sesuai kemampuan (HR. al-Bukhārī 7288 dan Muslim 3321). Dengan demikian, setiap
pilihan hidup tetap berada dalam bingkai ketaatan, keberkahan, dan kasih sayang
Allah.
(Artikel tersebut telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Oktober 2025)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar