Sabtu, 10 Desember 2016

RIDHA MEMBAWA BERKAH

RIDHA MEMBAWA BERKAH

Oleh:


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I


Nabi Saw bersabda:
وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ(رواه الترمذى وحسنه الالبانى)
Ridhalah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu, maka kamu akan menjadi orang yang paling berkecukupan.
(HR. al-Tirmidzi No.2305; al-Albani menilainya hasan)

Hidup ini dinamis, tidak ada yang tetap, yang tetap adalah perubahan. Jadi, perubahan itulah yang menjadi ketetapan dalam kehidupan ini. Sehat-sakit, senang-sedih, sukses-gagal, dan lain sebagainya adalah merupakan kondisi yang pernah dialami oleh manusia yang pernah hidup di dunia ini.
Setiap pejuang pasti pernah mengalami kegagalan. Memang, ketika menemui kegagalan, rasanya tidak semudah memahami kegagalan sebagai sebuah tahapan. Saat kita diterpa kerugian, kebangkrutan, penolakan, penilaian buruk, dianggap tidak berprestasi, mendapat Surat Peringatan (SP), hingga di PHK, terkadang kita merasakan seakan semuanya sudah berakhir dan tidak ada lagi masa depan.
Ada dua hal yang terkait dengan sebuah kegagalan. Pertama adalah gagal sebagai sebuah pengetahuan. Maksudnya adalah mengetahui banyak hal tentang kegagalan, dari mulai kenapa seseorang gagal hingga bagaimana menghadapi kegagalan. Kedua adalah merasakan kegagalan itu dan berhasil melaluinya. Intinya, yang pertama berhasil memahaminya dan yang kedua berhasil melaluinya. Dari sinilah banyak orang sukses kelas dunia yang mengalaminya.
Lihat Michael Jordan (pemain basket kelas dunia), ia pernah gagal masuk tim basket SMA sebelum berhasil menjadi top player NBA. Thomas A Edison (penemu bola lampu), pernah gagal 1000 kali sebelum berhasil menemukan bola lampu. Albert Einstein (Ilmuan), genius tapi tidak bisa bicara sampai umur 4 tahun. Ia juga tidak bisa membaca sampai umur 7 tahun. Ia juga sempat dikeluarkan dari sekolah. Sekarang, siapa yang tidak tahu dengan teori relativitas yang sangat terkenal itu.
Begitulah kehidupan manusia, terkadang harus berhadapan dengan kesusahan dan kesulitan, dan pada kesempatan lain berhadapan dengan kesenangan dan kemudahan. Semua itu sudah menjadi ketetapan atau “takdir” Allah Swt. Manusia tidak bisa menghindarinya. Jika manusia bisa bersikap ridha dengan apapun yang menimpanya, maka hatinya akan tenang, tegar dan kuat. Orang-orang yang seperti inilah, ketika tertimpa musibah ia akan sabar, kemudian dalam kesabaran dan ketabahannya itu ia terus berusaha mencari solusinya, tidak pernah menyerah dan tidak berputus asa. Orang-orang yang seperti inilah yang dapat membawa kehidupannya lurus, terkelola dengan baik dan berujung dengan membawa berkah.
Alkisah, pada suatu hari Syeikh Syaqiq al-Balkhi membeli buah semangka untuk istrinya. Saat disantapnya ternyata buah semangka tersebut terasa hambar.
Sang isteri pun marah-marah. Syaqiq al-Balkhi menanggapi dengan tenang amarah istrinya itu. Setelah selesai amarahnya, al-Balkhi bertanya kepada isterinya dengan halus:  “Kepada siapakah engkau marah wahai istriku? Kepada pedagang buahnya kah? Atau kepada pembelinya? Atau kepada petani yang menanamnya? Ataukah kepada yang Menciptakan buah semangka itu?” Tanya Syaqiq al-Balkhi. Saat itu istrinya tertunduk diam.
Sembari tersenyum, Syaqiq al-Balkhi melanjutkan perkataannya: “Seorang pedagang tidak menjual sesuatu kecuali yang terbaik. Seorang pembeli pun pasti membeli sesuatu yang terbaik pula. Begitu pula seorang petani, tentu saja ia akan merawat tanamannya agar bisa menghasilkan yang terbaik. Maka sasaran kemarahanmu berikutnya yang tersisa, tidak lain hanya kepada yang Menciptakan semangka itu!”. Pertanyaan Syaqiq al-Balkhi tersebut menembus ke dalam hati sanubari istrinya. Maka, terlihatlah butiran air mata menetes perlahan di kedua pelupuk matanya… Syeikh Syaqiq al-Balkhi pun melanjutkan ucapannya :“Bertakwalah wahai istriku! Terimalah (ridhalah) apa yang sudah menjadi ketetapan-Nya, agar Allah memberikan keberkahan pada kita”. Mendengar nasehat suaminya itu… Sang istri pun sadar, menunduk dan menangis mengakui kesalahannya dan kemudian ridha dengan apa yang telah Allah Swt tetapkan.
Pelajaran terpenting buat kita adalah bahwa apa pun yang menimpa kita, apapun yang diberikan kepada kita, apapun yang dapat kita raih saat itu adalah merupakan sesuatu yang harus kita terima sebagai pemberian Allah Swt. Apapun bentuknya, berapaun jumlahnya. Jika pemberian itu menyenangkan, maka kita syukuri kemudian berbagi. Jika pemberian itu tidak menyenangkan, maka kita terima dengan kesabaran sambil merenungkan apa hikmah di balik itu. 
Jika kita mengeluh, maka saat itu sama saja kita tidak ridha dengan ketetapan Allah, seakan Allah tidak adil dalam membuat keputusanNya. Jika demikian sikap kita, maka pemberianNya tadi tidak akan membawa keberkahan dalam kehidupan kita, berkah Allah pun akan jauh dari kita.
 Berkah (barakah) bukanlah serba cukup dan berlebih, akan tetapi berkah ialah bertambahnya kebaikan dan ketaatan kita kepada Allah dengan segala keadaan yang ada, baik yang kita sukai atau sebaliknya. Makanan berkah itu bukan yang komposisi gizinya lengkap, tetapi makanan yang mampu membuat orang yang memakannya menjadi sehat dan lebih taat kepada Allah setelah memakannya. Hidup yang berkah bukan hanya dengan sehat-bugar, tetapi juga rajin dan kuat dalam beribadah kepada Allah Swt. Sakit pun bisa menjadi berkah ketika dengan sakit itu menjadikan sadar dari kekeliruannya, bertaubat dari kesalahannya, dan semakin dekat dengan Allah Swt. Nabi Ayyub alaihissalam pernah mengalami sakit hingga 18 tahun. Karena kesabaran dan ketabahannya, sakitnya itu membawa berkah baginya dengan  menjadikannya bertambah taat kepada Allah Swt.
Berkah itu tak selalu panjang umur, ada orang yang umurnya pendek, tidak sampai 50 tahun, tetapi luar biasa karya peninggalannya, sehingga banyak umat manusia di dunia ini yang bisa memanfaatkannya. Misalnya Imam al-Nawawi, meski usianya hanya 45 tahun, karya-karyanya luar biasa, seperti Syarh Shahih Muslim, Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Riyadhus Shalihin, dan masih banyak lagi buah karya lainnya yang sampai sekarang menjadi acuan bagi umat Islam yang mendalami ajaran agamanya.
 Penghasilan yang berkah juga bukan karena gaji atau pendapatan yang besar dan berlimpah, tetapi sejauh mana ia bisa menjadikan jalan baginya untuk hidup baik, gemar berbagi, dan semakin taat kepadaNya. Anak-anak yang berkah bukanlah saat kecil mereka lucu dan imut kemudian setelah dewasa mereka sukses bergelar dan berhasil menyandang jabatan yang prestisius, tetapi anak yang berkah ialah anak yang senantiasa berbakti kepada Allah Swt dan tak henti-hentinya mendo’akan kedua orang tuanya untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
Dalam hidup ini terkadang kita tidak sanggup menerima nasib buruk yang menimpa kita. Padahal, bisa jadi keadaan yang tidak menyenangkan (nasib buruk) saat itu hanyalah sebuah tahapan menuju kesuksesan besar dan kebahagiaan sejati. Allah Swt berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
…boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqarah, 216)
            Jika kita yakin bahwa Allah itu maha Baik, seharusnya kita juga yakin bahwa apa pun dan berapa pun yang Allah berikan kepada kita, pasti baik pula untuk kita. Karena itu kita harus ridha dengan ketetapanNya. Nabi Saw menyatakan: “Ridhalah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu, maka kamu akan menjadi orang yang paling berkecukupan. (HR. al-Tirmidzi No.2305).




Minggu, 27 November 2016

SHALAT JUMAT DI JALAN

HUKUM SHALAT JUMAT DI JALAN

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, Fil I


Fatwa tentang “hukum shalat Jumat di jalan” belakangan ini menjadi isu yang rame diperbincangkan. Hal ini merespon rencana gelar sajadah di Monas dan sepanjang Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin yang berpusat di Bundaran HI  Jakarta, pada 2 Desember 2016 yang akan dilakukan oleh jutaan umat Islam dengan agenda shalat Jumat dan doa untuk keselamatan NKRI.
         Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menegaskan bahwa shalat Jumat di jalan raya tidak sah, bahkan bisa haram jika menggangu ketertiban umum dan masalah social (http://www.nu.or.id ). Pandangan ini kemudian dibantah oleh tokoh dari kalangan NU garis lurus, KHM. Luthfi Rochman yang ditulis dalam laman nugarislurus.com dengan judul: “Meluruskan Fiqh PBNU: Sholat Jum’at Di Jalan Sah Dan Boleh Jika Darurat”. Rochman mengutip pendapat Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:
قال أصحابنا ولا يشترط إقامتها في مسجد ولكن تجوز في ساحة مكشوفة بشرط أن تكون داخلة في القرية أو البلدة
“Berkata sebagian ashab kami (dari mazhab Syafi’ie) bahwa sholat jum’at tidak disyaratkan didalam masjid tetapi boleh di lapangan terbuka dengan syarat lapangan atau tempat terbuka itu ada di dalam desa atau daerah negara yang sudah ditetapkan batas-batas wilayahnya (Majmu’ Syarah Muhadzzab, juz IV/334 dan juz IV/501).
 Pandangan Rochman tersebut dipertegas lagi oleh KH. Sholahuddin Wahid bahwa shalat Jumat di jalan diperbolehkan sepanjang memenuhi kondisi yang memungkinkan untuk dilaksanakan di jalan. Misalnya, saat kondisi masjid penuh tidak bisa menampung jamaah (http://obsessionnews.com/tokoh-nu-silang-pendapat-soal-shalat-jumat-di-jalan/)

            Terjadinya perbedaan pendapat mengenai sah atau tidaknya shalat Jumat di jalan (di luar masjid) dikarenakan adanya beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, adanya perbedaan mengenai syarat shahnya tempat shalat Jumat. Sebagian ulama (Malikiyah) mensyaratkan tempatnya harus di masjid, sebagian ulama yang lain lain (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) tidak mensyaratkannya;
Kedua, terdapat hadis Nabi yang menyatakan:
 وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ
Dan dijadikan untukku bumi ini sebagai masjid dan suci. Maka dimanapun umatku  menemui waktu shalat, maka shalatlah (HR. al-Bukhari No.438 dan Muslim No. 1190).
Juga hadis sebagai berikut:
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
 “Semua tempat di muka bumi adalah masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian.
 (HR. Tirmidzi, no. 317; Ibnu Majah, no. 745; Abu Daud, no. 492. Ahmad, no 11788). Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih (Misykat al-Mashabih, I/162).

Ketiga,  ada riwayat (atsar) yang menerangkan sebagai berikut:
حدثنا عبد الله بن إدريس عن شعبة عن عطاء بن أبي ميمونة عن أبي رافع عن أبي هريرة أنهم كتبوا إلى عمر يسألونه عن الجمعة فكتب جمعوا حيث كنتم
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Syu’bah, dari ‘Athaa’ bin Abi Maimuun, dari Abu Raafi’, dari Abu Hurairah bahwasannya para shahabat menulis surat kepada ‘Umar (bin Al-Khaththaab) menanyakan tentang shalat Jum’at. Lalu ‘Umar menulis balasan: “Lakukan Shalat Jum’at dimana saja kalian berada” (HR.  Ibnu Abi Syaibah, 2/11). Al-Albani: sanadnya shahih (Irwa al-Ghalil, III/66).
Keempat, ada hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِى سَبْعَةِ مَوَاطِنَ فِى الْمَزْبَلَةِ وَالْمَجْزَرَةِ وَالْمَقْبُرَةِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَفِى الْحَمَّامِ وَفِى مَعَاطِنِ الإِبِلِ وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di tujuh tempat: (1) tempat sampah, (2) tempat penyembelihan hewan, (3) pekuburan, (4) tengah jalan, (5) tempat pemandian, (6) tempat menderumnya unta, (7) di atas Ka’bah.” (HR. Tirmidzi, no. 346; Ibnu Majah, no. 746). Al-Albani: hadis ini dha’if (Irwa al-Ghalil, I/318).
Kelima, Nabi shalat Jumat pertama kali di Wadi Ranuna (وادى الرانوناء)  pada 16 Rabi al-Awwal 1 H hari keempat setelah tiba di Quba. Untuk mengenang sejarah maka tempat shalat jumat tersebut kemudian didirikan sebuah masjid yang diberi nama masjid al-Jumah.

Pendapat Empat Imam Madzhab tentang shalat jumat di luar masjid.
Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqhu ‘Ala al-Madzāhib al-Arba’ah (I/602)  menyebutkan perbedaan mengenai masalah ini sebagai berikut:
اتفق ثلاثة من الأئمة على جواز صحة الجمعة في الفضاء وقال المالكية: لا تصح إلا في المسجد
Tiga Imam madzhab (Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat mengenai kebolehan shalat Jum’at di tempat terbuka, lapang (di luar masjid). Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa shalat Jum’at tidak sah, kecuali di masjid.
Pendapat Malikiyah:
لا تصح الجمعة في البيوت ولا في الفضاء بل لا بد أن تؤدي في الجامع
Tidak sah melaksanakan shalat Jum’at di rumah dan di tempat terbuka, tetapi harus ditunaikan di dalam masjid jami’.
Pendapat Hanabilah:
تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريبا من البناء ويعتبر القرب بحسب العرف فإن لم يكن قريبا فلا تصح الصلاة وإذا صلى الإمام في الصحراء استخلف من يصلي بالضعاف
Sah shalat Jum’at yang dilakukan di tempat terbuka (di luar masjid) jika dekat dengan bangunan. Ukuran dekat yang teranggap sesuai dengan kebiasaan. Jika tidak dekat -secara adat- maka shalatnya tidak sah. Jika imam shalat Jum’at di gurun pasir maka ia mewakilkan orang untuk shalat dengan masyarakat.
Pendapat Syafi’iyah:
تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريبا من البناء وحد القرب عندهم المكان الذي لا يصح فيه للمسافر أن يقصر الصلاة متى وصل عنده وسيأتي تفصيله في مباحص " قصر الصلاة " ومثل الفضاء الخندق الموجود داخل سور البلد إن كان لها سور
Sah shalat Jum’at di tempat terbuka jika dekat dengan bangunan. Ukuran dekatnya menurut mereka ialah jarak yang seorang musafir tidak boleh mengqashar shalat ketika sampai pada jarak itu. Contoh fadha (tempat terbuka) seperti halaman yang terletak  di dalam pagar negeri jika memiliki pagar.
Sebagai tambahan, Ibnu Hajar Al-Haitsami As-Syafi’i menjelaskan:
أَنَّ الْجُمُعَةَ لَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ إقَامَتِهَا الْمَسْجِدُ كما صَرَّحُوا بِهِ فَلَوْ أَقَامُوهَا في فَضَاءٍ بين الْعُمْرَانِ صَحَّتْ
“Sesungguhnya Jum’at tidak disyaratkan keshahannya di masjid. Sebagaimana mereka secara tegas berpendapat sekiranya mereka melaksanakan shalat Jum’at di tempat terbuka di antara gedung atau bangunan maka shalatnya sah.” (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, I/234).
Pendapat Hanafiyah:
لا يشترط لصحة الجمعة أن تكون في المسجد بل تصح في الفضاء بشرط أن لا يبعد عن المصر بأكثر من فرسخ وأن يأذن الإمام بإقامة الجمعة فيه كما تقدم في الشروط
Sahnya shalat Jum’at tidak dipersyaratkan harus di masjid. Bahkan sah ditunaikan di tempat terbuka. Dengan syarat tidak jauh dari kota lebih dari empat farsakh (3 mil) dan Imam mengizinkan untuk menunaikan Jum’at di situ.
Dari sekian ulama yang berpendapat tentang hukum shalat Jumat di jalan atau di luar masjid, maka dapat diketahui bahwa mayoritas ulama berpendapat boleh shalat Jumat di luar masjid, lebih-lebih jika masjid yang tersedia tidak bisa menampungnya. Wallahu A’lam bishshawab!

Sabtu, 29 Oktober 2016

BUMI BULAT ATAU DATAR

BUMI BULAT ATAU DATAR

Oleh:



Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I



Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Kepada yang terhormat Ustad Zuhdi, semoga kita senantiasa dalam lindungan Allah Swt. Sebelum saya mengajukan pertanyaan kepada Ustad Zuhdi,  saya ingin memaparkan beberapa firman Allah, sebagai berikut: (1)Surat Al-Hijr ayat 19: “Dan kami (Allah) telah menghamparkan bumi…”; (2)Surat Al-Baqarah ayat 22: “Dialah (Allah) yang telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan (Firasy) bagimu”; dan (3)Surat Al-Naba ayat 6-7 “Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak?”.
Dalam al-Quran sudah dijelaskan bahwa sesungguhnya bumi yang kita tempati adalah sebuah hamparan seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas dan mungkin masih banyak lagi ayat-ayat yang lain, lalu bagaimana dengan hasil penelitian dari Nasa yang sekarang beredar di masyarakat dan diterima dengan baik? Apakah benar bumi yang digambarkan oleh Nasa yang berbentuk bulat itu fakta atau hanya pembodohan semata? Dan jika bumi memang berbentuk hamparan maka bagaimana caranya untuk meyakinkan umat muslim yang sudah terlanjur percaya atau yakin terhadap temuan Nasa tersebut?
Atas jawabannya kami ucapkan syukran wa jazakumullah khairan katsiran!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. (Habibur – Sidoarjo)

Jawaban:

            Perbincangan mengenai bumi itu bulat atau datar, sudah berabad-abad silam menjadi bahan diskusi para ulama dan cendekiawan, baik di kalangan muslim maupun non muslim. Di kalangan non muslim Eropa sempat gempar ketika  Galileo Galilei(1546-1642 M) mengatakan dengan tegas bahwa bumi berbentuk bulat. Pernyataannya ini oleh otoritas Gereja dianggap  menyimpang sehingga dia harus dihadapkan pada hukuman mati.
            Di kalangan ilmuwan muslim sendiri juga terjadi perbedaan pendapat mengenai bentuk bumi. Sebagian ulama berpendapat bahwa bumi itu datar, dan sebagian ulama yang lain berpendapat bumi itu bulat.
Di antara ulama yang berpendapat bahwa bumi itu datar adalah penulis tafsir al-Jalalayn dan penulis tafsir al-Qurthubi. Dalam tafsir al-Jalalayn, ketika menafsirkan ayat (وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ), yang artinya: “Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Al-Ghasyiyah: 20), dijelaskan bahwa dzahir ayat bumi itu (سُطِحَتْ) “sutihat” menunjukkan bumi itu (سطحية) “sathiyyah”. Makna ‘sutihat’ zahirnya menunjukkan bahwa bumi itu datar dan dijelaskan oleh ‘ulama’, bukan bulat sebagaimana dikatakan oleh ahli astronomi” (al-Mahalli dan al-Suyuti, Tafsir al-Jalalayn, I/805). Demikian juga Imam Al-Qurthubi (1214-1273 M) dalam tafsirnya, membantah bahwa bumi bulat, ketika menafsirkan surat al-Hijr ayat 19, yang artinya: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran” (Al-Hijr: 19). Al-Qurthubi berkata: “Ini adalah bantahan bagi mereka yang menyangka bahwa bumi itu seperti bola”(al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, X/13).
            Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa bumi itu bulat. Di antara ulama Islam yang berpendapat bahwa bumi itu bulat adalah Imam Ibnu Hazm (994 M), Ibn Taymiyah (1263-1328 M), dan Ibnu Khaldun (1332 - 1406 M).
Ibnu Hazm (994 M) berkata: “Para Imam kaum muslimin yang berhak mendapat gelar al-Imam radhiyallahu ‘anhum  tidak mengingkari bahwa bumi itu bulat. Tidak pula diketahui dari mereka yang membantah sama sekali, bahkan bukti-bukti dari Al-Quran dan Sunnah membuktikan bahwa bumi itu bulat” (Ibn Hazm, al-Fishal Fi al-Milal, II/87). Kemudian Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) berkata: “Ketahuilah, bahwa mereka (para ulama) sepakat bahwa bumi berbentuk bulat. Yang ada di bawah bumi hanyalah tengah, dan paling bawahnya adalah pusat….” (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, V/150). Selanjutnya Ibnu Khaldun (1332–1406 M) berkata: “Ketahuilah, sudah jelas di kitab-kitab para ilmuwan dan peneliti tentang alam bahwa bumi berbentuk bulat….” (Ibn Khaldun, Muqaddimah, I/66). 
           Selain mereka, masih banyak ilmuwan dan ulama Islam klasik yang menyebutkan di dalam bukunya bahwa bumi berbentuk bulat. Di antara buku tersebut adalah: (1). Muruj Al-Dzahab wa Ma’adin Al-Jauhar, oleh Mas’udi Ali Husain Ali bin Husain (w. 346 H); (2). Ahsan Taqasim fi Ma’rifah Al-Aqalim, oleh Al-Maqdisi (w. 375 H); (3). Kitab Shurah Al-Ardh, oleh Ibnu Hauqal; (4). Al-Masalik wa Al-Mamalik, oleh Al-Ishthikhry; (5). Ruh Al-Ma’ani, oleh Imam Al-Alusi (ulama tafsir Al-Qur’an); (6). Mafatih Al-Ghaib, oleh Fakhru Ar-Razi (ulama tafsir Al-Qur’an); Dan lain-lain.
            Pendapat bahwa bumi itu bulat didukung oleh al-Qur’an, di antaranya surat al-Zumar ayat 5, Allah Swt berfirman:
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى أَلَا هُوَ الْعَزِيزُ الْغَفَّار
“Dia (Allah) menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah! Dialah Yang Maha Mulia, Maha Pengampun.” (QS.Al-Zumar, 5).

            Kata “at-takwir” artinya adalah menggulung. Pada ayat di atas dengan jelas Allah berfirman bahwa malam menggulung siang dan siang menggulung malam. Kalau malam dan siang dapat saling menggulung, pastilah karena keduanya berada pada satu tempat yang bulat secara bersama-sama. Bagaimana keduanya dapat saling menggulung jika berada pada tempat yang datar….? Kalau saja kejadian itu pada tempat yang datar, mestinya akan lebih tepat jika dipakai kata menimpa atau menindih.
Adapun firman Allah pada surat al-Ghasyiyah ayat 20 yang artinya: Dan bumi bagaimana dihamparkan? Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa bumi itu datar, karena sebuah benda yang bulat kalau semakin besar, maka akan semakin tidak kelihatan bulatnya dan akan nampak seperti datar.(Abd al-Karim, Hidayat al-Hayran Fi Masalat al-Dawrah, 56).
Syaikh Bin Baz mengatakan: “Keberadaan bumi itu bulat tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa permukaan bumi itu datar yang layak untuk dijadikan tempat tinggal, sebagaimana firman Allah Swt (al-Baqarah, ayat 22) yang artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan”. Juga firmanNya (al-Naba, ayat 6-7) yang artinya: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak?”. Dan firmanNya (al-Ghasyiyah, 20), yang artinya: “Dan bumi bagaimana dihamparkan?”. Bin Baz menyimpulkan bahwa bumi itu bentuknya bulat namun permukaannya datar agar bisa dijadikan tempat tinggal dan dimanfaatkan oleh manusia. Dan saya tidak menemukan dalil naqli dan hissi yang menentang masalah ini. (Syekh Bin Baz, al-Adillah al-Naqliyah wa al-Hissiyah, 103).
Demikian diskusi para cendekiawan dan ulama dari dulu hingga kini tentang apakah bumi itu bulat atau datar. Dari pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa penjelasan tentang apakah bumi datar atau bulat-bola, tidak kita dapatkan dalil yang tegas dan gamblang dari al-Qur’an maupun al-Hadis. Beberapa ayat al-Qur’an yang menyebut keadaan bumi memang memungkinkan difahami bumi itu bulat atau datar. Karena itu wajar bila di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat dalam hal tersebut.
Mana di antara dua pendapat tersebut yang benar, apakah bumi itu bulat atau datar? Karena tidak ditemukan dalil yang tegas, maka sebaiknya kita kembalikan kepada hasil penelitian ilmiah yang sudah diakui kebenarannya di kalangan ilmuwan. Jika menurut NASA bahwa bumi itu bulat, maka pendapat yang sesuai dengan fakta ilmiah inilah yang patut menjadi pegangan. Hal ini sesuai dengan sikap Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani yang meyakini bahwa bumi itu bulat dengan cara menggabungkan kedua ilmu, yaitu fakta ilmu dunia atau sains dan “yang tersirat” dalam Al-Quran maupun Sunnah (al-Albani, Kurawiyyat al-Ardl Wa Dawranuha hawla al-Syamsi, Youtube, published on Nov 24, 2012 dan Silsilah Huda wan Nur, kaset nomor 1/436).
 Wallahu A’lam!



Senin, 24 Oktober 2016

DZIKIR DENGAN UNTAIAN BIJI TASBIH

HUKUM BERDZIKIR DENGAN UNTAIAN BIJI TASBIH


Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I
Pertanyaan:

            Ustadz Zuhdi yang dirahmati Allah!
Di sekitar perumahan kami banyak kaum muslimin yang memakai untaian biji tasbih saat melakukan dzikir. Bahkan oleh-oleh haji atau umrah biasanya yang sering dijadikan hadiah adalah untaian biji tasbih. Mohon penjelasan tentang praktik berdzikir pada masa Rasulullah Saw, apakah hal itu pernah dilakukan atau terjadi pada masa Rasulullah Saw.? Sunnahkah atau bid’ahkan berdzikir dengan memakai untaian biji tasbih? Terima kasih atas jawabannya (Abdullah, Puri Surya Jaya-Sidoarjo)

Jawaban:

Dzikrullah atau ingat kepada Allah merupakan amalan penting dan bahkan paling inti dalam beragama. Karena itu setiap muslim disyariatkan melakukan dzikir setiap saat dan melakukannya sebanyak-banyaknya. Allah Swt berfirman:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (namaNya) sebanyak-banyaknya (QS. Al-Ahzab, 41).
Secara umum, dzikrullah dapat dibagi menjadi dua, yaitu dhikr mutlaq (tidak terbatas) dan dhikr muqayyad (terbatas). Dzikr mutlaq artinya dzikr yang tidak dibatasi oleh tempat, waktu, dan bilangan, seperti membaca al-Qur’an, boleh dibaca kapan saja, di mana saja, dan berapa banyak ayat atau surat yang dibaca. Sedangkan dzikr muqayyad, dibatasi dengan tempat, waktu, dan jumlah, misalnya dzikir sesudah shalat, sebagaimana yang dituntunkan dalam sabda Nabi Saw berikut ini:
مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
        “Barangsiapa yang mengucapkan tasbih (subhaanallah) setiap selesai shalat 33 kali, hamdalah (alhamdulillah) 33 kali dan takbir (Allahu Akbar) 33 kali; yang semuanya berjumlah 99 dan sempurna menjadi seratus dengan bacaan tahlil (La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, la hul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadir”), maka ia akan diampuni dosa atau kesalahannya, sekalipun sebanyak buih lautan” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
 Yang menjadi persoalan dalam pembahasan kali ini adalah tentang boleh-tidaknya berdzikir dengan memakai biji-bijian tasbih. Dalam hal ini, setidaknya ada dua hadis yang menjadi acuan.
Hadis pertama dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata:
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة
“Rasulullah Saw berkata kepada kami: “Hendaknya kalian bertasbih (membaca subhanallah), bertahlil (membaca laa ilaha illallah), dan bertaqdis (menbaca subbuhun quddusun rabbul malaikati warruh), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari kalian karena itu semua akan ditanya dan diajak  bicara, janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat Allah.” (HR. At Tirmidzi no. 3583 dan Abu Daud no. 1501 dari hadits Hani bin ‘Utsman). Al-Dhahabi: Shahih; Al-Albani: Hasan
Hadis kedua dari Saad bin Abi Waqqas:
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ
“Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih (dzikir). Rasulullah bersabda,”Maukah kuberitahu engkau dengan yang lebih mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di langit, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di bumi, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya diantara keduanya, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya sejumlah yang Dia menciptanya, dan ucapan: اللَّهُ أَكْبَرُ seperti itu, َالْحَمْدُ لِلَّهِ seperti itu, dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ seperti itu.”( Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al Hakim). Ibn Hibban: Shahih; al-Albani: Dha’if; Syu’aib al-Arnout: Sanadnya shahih.
Berangkat dari dua hadis tersebut dan beberapa hadis lain tentang dzikir dengan tangan dan buji-bijian tasbih, terdapat tiga pendapat di kalangan ulama:
 Pendapat Pertama, Sebagian Ulama secara tegas melarang dan membid’ahkan penggunaan bijian tasbih untuk berdzikir. Pendapat ini didukung oleh Syekh al-Albani dan murid-muridnya. Bahkan Syaikh Bakr Abu Zaid memiliki risalah khusus yang menegaskan larangan menggunakan biji-bijian tasbih dalam menghitung Dzikir.
Pendapat ini beralasan bahwa:
(1)   أنه مخالف للسنة ولم يشرعه رسول الله v بل هو بدعة ليس له أصل في الشرع والعبادات توقيفية لا يتعبد الله بشيء إلا بما شرع.
(2)   ما روي عن كراهة ابن مسعود وأصحابه لذلك ، وقال ابن وضاح في كتابه البدع : (عن يسار أبي الحكم ، أن عبد الله بن مسعود حدث أن أناسا بالكوفة يسبحون بالحصا في المسجد ، فأتاهم ، وقد كوم كل رجل منهم بين يديه كومة حصا ، قال : فلم يزل يحصبهم بالحصا حتى أخرجهم من المسجد ، ويقول : « لقد أحدثتم بدعة ظلما ، أو قد فضلتم أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم علما)
(1)hal itu (dzikr dengan bijian tasbih) menyalahi Sunnah Rasulullah Saw, bahkan bid’ah yang tidak memiliki asal dalam syariat, sedangkan permasalahan ibadah adalah tauqifiyah (sesuai ketentuan); oleh karena itu ibadah kepada Allah itu hanya boleh dilakukan jika ada syariatnya;
(2)adanya riwayat ketidaksukaan Ibnu Mas’ud dan Sahabat lain terhadap hal tersebut. Ibnu Waddhah berkata: Dari Yasar Abi Al-Hakam, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud menceritakan tentang orang-orang Kufah yang bertasbih dengan kerikil di dalam masjid. Kemudian beliau mendatanginya dan menaruh kerikil di kantong mereka, dan mereka dikeluarkan dari masjid. Beliau berkata, “Kamu telah melakukan bid’ah yang zhalim dan telah melebihi ilmunya para sahabat Nabi”(Ibn Wadhdhah, al-Bida’u wa al-Nahyu ‘Anha, I/18)
   Pendapat Kedua, sebagian ulama menganggapnya mustahab (disukai). Muhammad Abdurrauf Al-Munawi menjelaskan dalam kitab Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ Al-Shaghir, ketika menerangkan hadits Yusairah (hadis pertama):
وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان ذلك معروفا بين الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط فيه ألفا عقدة فلا ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر السبحة لكن نقل المؤلف عن بعض معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن عقد التسبيح بالأنامل أفضل لظاهر هذا الحديث
 “Hadits ini merupakan dasar terhadap sunahnya subhah (untaian biji tasbih) yang sudah dikenal. Hal itu dikenal pada masa sahabat. Abdullah bin Ahmad telah meriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki benang yang memiliki seribu himpunan, beliau tidaklah tidur sampai dia bertasbih dengannya. Dalam riwayat Al-Dailami: “Sebaik-baiknya dzikir adalah subhah.” Tetapi  Imam Al-Suyuthi mengutip dari sebagian ulama belakangan, Al-Jalal Al-Bulqini, dari sebagian mereka bahwa menghitung tasbih dengan jari jemari adalah lebih utama sesuai zhahir hadits.”(al-Munawi, Faidhul Qadir, IV/355). Pendapat ini banyak didukung kalangan ahli tasawwuf yang biasanya banyak berdzikir.
Pendapat ketiga, sebagian ulama membolehkan dengan syarat. Al-Imam al-Syaukani mengomentari hadis-hadis tersebut sebagai berikut:
بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن يشهدن بذلك فكان عقدهن بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى. والحديثان الآخران يدلان على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره صلى اللَّه عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي الجواز
“ … sesungguhnya ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Maka, menghimpun (menghitung) tasbih dengan jari adalah lebih utama dibanding dengan untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits yang lainnya, menunjukkan bolehnya menghitung tasbih dengan biji, kerikil, dan juga dengan untaian biji tasbih karena tidak ada bedanya, dan ini perbuatan yang ditaqrirkan (didiamkan/disetujui) oleh Rasulullah Saw terhadap dua wanita tersebut atas perbuatan itu. Dan, hal yang menunjukkan dan mengarahkan kepada hukum yang lebih utama tidak berarti menghilangkan hukum boleh.”(Al-Syaukani, Nailul Authar, 2/358).
          Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz  pernah ditanya tentang seseorang yang berdzikir setelah shalat menggunakan subhah (biji-bijian tasbih), bid’ahkah? Beliau menjawab:
 “Berzikir dengan subhah tidak patut dilakukan, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya kalau bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan subhah tersebut di rumahnya, agar orang lain tidak menirunya. Ada pun membawanya  di tangan ke masjid, sepatutnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.”(Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa Ibn Baz, XXIX/318.
Ibnu Taimiyah berpendapat:

وَعَدُّ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ : { سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ } . وَأَمَّا عَدُّهُ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَنَحْوُ ذَلِكَ فَحَسَنٌ وَكَانَ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ وَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُسَبِّحُ بِالْحَصَى وَأَقَرَّهَا عَلَى ذَلِكَ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُسَبِّحُ بِهِ .
وَأَمَّا التَّسْبِيحُ بِمَا يُجْعَلُ فِي نِظَامٍ مِنْ الْخَرَزِ وَنَحْوِهِ فَمِنْ النَّاسِ مَنْ كَرِهَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يَكْرَهْهُ وَإِذَا أُحْسِنَتْ فِيهِ النِّيَّةُ فَهُوَ حَسَنٌ غَيْرُ مَكْرُوهٍ وَأَمَّا اتِّخَاذُهُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ أَوْ إظْهَارُهُ لِلنَّاسِ مِثْلُ تَعْلِيقِهِ فِي الْعُنُقِ أَوْ جَعْلِهِ كَالسُّوَارِ فِي الْيَدِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ فَهَذَا إمَّا رِيَاءٌ لِلنَّاسِ أَوْ مَظِنَّةُ الْمُرَاءَاةِ وَمُشَابَهَةِ الْمُرَائِينَ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ : الْأَوَّلُ مُحَرَّمٌ وَالثَّانِي أَقَلُّ أَحْوَالِهِ الْكَرَاهَةُ فَإِنَّ مُرَاءَاةَ النَّاسِ فِي الْعِبَادَاتِ الْمُخْتَصَّةِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالذِّكْرِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ مِنْ أَعْظَمِ الذُّنُوبِ
“Menghitung tasbih dengan jari jemari adalah sunah, sebagaimana sabda Nabi Saw kepada kaum wanita: “Bertasbihlah dan menghitunglah dengan jari jemari, karena jari jemari itu akan ditanya dan diajak bicara”(HR.al-Tirmidzi dan Abu Dawud). Adapun menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun (Radhiallahu ‘Anhum) ada yang memakainya dan Nabi Saw telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau mendiamkan atau menyetujuinya. Diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengan batu-batu kecil tersebut. Adapun Tasbih yang dibentuk seperti manik-manik yang terangkai dan semisalnya, maka sebagian manusia ada yang membencinya dan sebagian lagi tidak membencinya. Kalau niatnya baik maka hal itu menjadi baik dan tidak makruh. Adapun menggunakannya tanpa keperluan atau memamerkannya kepada manusia, misalnya digantungkan dileher atau dijadikan gelang atau semisalnya, maka hal ini bisa saja riya terhadap manusia atau merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan riya dan menyerupai orang yang riya. Yang pertama (riya) adalah haram sedangkan yang kedua minimal makruh. Sesungguhnya riya kepada manusia dalam ibadah-ibadah khusus seperti shalat, puasa, zikir, dan membaca qur’an adalah termasuk dosa yang paling besar (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, VI/506).

            Sebagai akhir dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa di kalangan ulama ada tiga pendapat mengenai dzikir dengan memakai uintaian bijin  tasbih:
1.    Sebagian ulama memandang tidak boleh, karena hal ini dipandang bertentangan dengan Sunnah Rasul;
2.    Sebagian ulama memandang boleh, karena dapat mempermudah dalam menghitung berapa banyak dzikir yang sudah diucapkan;

3.    Sebagian ulama membolehkan tetapi berdzikir dengan memakai jari-jari tangan kanannya itu yang lebih baik dan lebih utama.

Sabtu, 17 September 2016

MENJADI ORANG BERJASA

MENJADI ORANG BERJASA

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I


Nabi Saw bersabda:

 خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak jasanya bagi orang lain”
(HR. al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, VI/58)
Muhammad Nashiruddin al-Albani menilai hadis ini shahih (al-Silsilah al-Shahihah, I/787)

Ada pertanyaan penting yang perlu kita jawab dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Selama ini, pernahkah kita melakukan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain? Misalnya, pernahkah  kita memberikan sesuatu kepada keluarga, sehingga mereka merasa senang, bahagia dan bermanfaat bagi kehidupan masa depannya? Bagaimana dengan orang-orang yang ada di sekitar kita, tetangga kita, teman-teman sekerja kita, dan orang-orang yang telah mengenal kita, apakah mereka merasakan sesuatu yang bermanfaat  dari kita, berkat jasa-jasa atau tindakan-tindakan kita?

Kebanyakan orang berusaha keras untuk meniti karir hingga meraih sukses besar dengan mendapatkan jabatan bergengsi, gelar pendidikan tertinggi, harta kekayaan melimpah, nama yang masyhur, dan penghormatan dari berbagai kalangan. Namun, agaknya jarang di antara kita yang bercita-cita atau berpikiran tentang apa yang bisa kita perbuat dan kita berikan kepada orang lain, sehingga mereka benar-benar merasakan manfaatnya karena bantuan atau jasa yang kita berikan. Hadis tersebut di atas mengingatkan kita bahwa orang yang paling baik di antara kita adalah orang yang paling berjasa bagi orang lain. Bukan orang yang paling kaya, bukan orang yang paling tinggi gelar pendidikannya, dan bukan pula orang yang paling berkuasa karena jabatan dan kedudukannya.

Ada sebuah anekdot yang menarik dan sangat inspiratif. Kisah ini dituturkan oleh Prof. Dr.Ravik Karsidi, Rektor Universitas Sebelas Maret Solo. Beliau bercerita:
Waktu itu saya dalam perjalanan dari Jogya ke Jakarta naik pesawat. Karena keberangkatan pesawat ditunda 1 jam, maka saya menunggu di in HB Kafetaria Bandara Adisucipto, sekedar minum kopi. Di depan saya, duduk seorang ibu sudah agak tua, memakai pakaian Jawa tradisional, kain batik dan kebaya, wajahnya tampak tenang dan keibuan. Sekedar mengisi waktu, saya mengajaknya bercakap-cakap.

 “Mau pergi ke Jakarta, bu ?”, tanya saya.
 “Iya nak, hanya transit di cengkareng terus ke Singapura”, jawab Ibu itu.
“Kalau boleh, mau bertanya, ada keperluan apa ibu pergi ke Singapura ?”
 “Menengok anak saya yang nomor dua nak, istrinya melahirkan di sana terus saya diberi tiket dan diuruskan paspor melalui biro perjalanan. Jadi saya tinggal berangkat tanpa susah mengurus apa-apa”, jawab ibu itu.
"Puteranya kerja dimana, bu ?”, tanya saya.
"Anak saya ini insinyur perminyakan, kerja di perusahaan minyak asing, sekarang jadi kepala kantor cabang Singapura”, jawab ibu itu.
 “Berapa anak ibu semuanya?”, tanya saya.
"Anak saya ada 4 nak, 3 laki-laki, 1 perempuan. Yang ini tadi anak nomer 2. Yang nomer 3 juga laki-laki, dosen fakultas ekonomi UGM, sekarang lagi ambil program doktor di Amerika. Yang bungsu perempuan jadi dokter spesialis anak. Suaminya juga dokter, ahli bedah dan dosen di universitas Airlangga Surabaya”, jawab ibu itu.
"Kalau anak sulung, bu?”, tanya saya.
“Dia petani, Nak. Tinggal di Godean (Jogjakarta), menggarap sawah warisan almarhum bapaknya”, jawab ibu itu.
Saya tertegun sejenak lalu dengan hati-hati saya bertanya: “Tentunya ibu kecewa kepada anak sulung, ya bu. Kok tidak sarjana seperti adik-adiknya.
Ibu itu menjawab: “Sama sekali tidak, nak. Malahan kami sekeluarga semuanya hormat kepada dia. Dari hasil sawahnya dia membiayai hidup kami dan menyekolahkan adik-adiknya semua sampai selesai jadi sarjana”.

Saya merenung :
"Ternyata yang penting bukan apa atau siapa kita, tetapi apa yang telah kita perbuat". Allah tidak akan menilai apa dan siapa kita tetapi apa "amal-ibadah" kita. Tanpa terasa air mata pun mengalir di pipiku…...!

            Kisah yang dituturkan oleh Ravik Karsidi tersebut menggambarkan bahwa sang Ibu yang mempunyai empat anak tersebut lebih bangga dan hormat kepada anaknya yang sulung (anak pertama), yang pekerjaannya sebagai seorang petani dibandingkan dengan yang lainnya, meskipun saudara-saudaranya yang lain telah berhasil meraih jenjang pendidikan yang tinggi dan jabatan yang prestisius. Bukan karena profesinya yang petani itu yang membuat ibunya bangga dan sangat hormat, tetapi karena perjuangannya dan kerelaannya untuk memberikan sumbangsih dari hasil pertaniannya kepada adik-adiknya, sehingga mereka (adik-adiknya) bisa melanjutkan sekolah sampai sarjana dan kemudian mendapatkan jabatan yang menggembirakan. Dalam hal ini, anak pertama tadi telah berjasa besar dalam mengantarkan adik-adiknya menjadi orang-orang yang berpendidikan dan berkedudukan.
            Untuk menjadi orang yang berjasa, sebenarnya tidak perlu menunggu menjadi orang yang kaya, berpendidikan tinggi, dan memiliki jabatan atau kekuasaan. Yang penting, asal kita bisa memberikan “sesuatu” yang bermanfaat bagi orang lain, maka saat itu kita sudah menjadi orang yang berjasa bagi orang lain. Dalam hal ini, jasa yang kita berikan bisa berupa biaya studi kepada pelajar yang miskin, ilmu pengetahuan atau keahlian kepada calon tenaga kerja yang butuh bimbingan, dan nasihat atau solusi kepada mereka yang sedang mengalami suatu problem. Selain itu, kita juga bisa berjasa dengan memberikan bantuan tenaga fisik kita untuk mengangkat barang-barang dagangan milik pedagang yang sudah lanjut usia, atau ikut membangun masjid di sekitar kita dengan keahlian sebagai tukang bangunan, atau membersihkan dan menjaga keamanan masjid dengan waktu dan tenaga kita, dan lain-lain. Semuanya ini, apabila bisa kita lakukan dengan tulus dan semata-mata ingin mendapatkan ridha Allah, maka masyarakat luas akan dapat merasakan manfaatnya dan Allah tentu akan meridhainya.
            Diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra bahwa suatu ketika  ada orang yang biasa menyapu masjid meninggal dan kemudian dimakamkan para sahabat di malam hari tanpa mengabari Nabi Saw. Padahal ketika sakit, orang ini sering dijenguk oleh Nabi Saw. Di pagi harinya, mereka baru memberitahu Nabi Saw. “Mengapa kalian tidak memberi tahu saya?” Tanya beliau. “Wahai Nabi, malam hari sudah larut dan suasana cukup gelap. Kami khawatir akan merepotkan anda”, Jawab sahabat. Ibnu Abbas melanjutkan ceritanya, lalu beliau mendatangi kuburannya, dan men-shalatinya. Kami menjadi makmum dan membentuk shaf di belakang beliau. Saya termasuk di antara mereka dan beliau bertakbir 4 (empat) kali. (HR. Ibn Majah 1530, al-Baihaqi dalam as-Sunan, dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil).
Dalam versi lain hadis riwayat Abu Hurairah Ra, peristiwa tersebut digambarkan sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ - أَوْ شَابًّا - فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَأَلَ عَنْهَا - أَوْ عَنْهُ - فَقَالُوا مَاتَ. قَالَ « أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِى ». قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا - أَوْ أَمْرَهُ - فَقَالَ « دُلُّونِى عَلَى قَبْرِهِ ». فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِى عَلَيْهِمْ ».رواه البخارى ومسلم
Abu Hurairah menceritakan bahwa ada seorang wanita hitam atau seorang pemuda yang tinggal di dalam masjid, menjadi tukang sapu atau penjaga masjid. Suatu ketika, Rasulullah Saw mencarinya dan menanyakannya kepada para sahabat. Para sahabat memberi tahu bahwa orang itu sudah meninggal. “Mengapa kalian tidak memberi tahu saya saat dia meninggal?.” Tanya Nabi Saw. Sepertinya para sahabat menganggap seolah orang ini biasa-biasa saja, orang kecil, bukan orang penting. Nabi saat itu kemudian meminta kepada para sahabat: “Tunjukkan kepadaku, di mana kuburannya?”. Para sahabat pun kemudian menunjukkan kepada beliau di mana kuburannya, setelah itu Nabi Saw pun mendatangi kuburannya dan shalat jenazah di sana. Lalu beliau bersabda: “Kuburan ini dipenuhi dengan kegelapan bagi penghuninya. Kemudian Allah Swt meneranginya dengan shalatku untuk mereka”. (HR. Bukhari 460, dan Muslim 2259).
Peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Saw tersebut bisa menjadi pelajaran penting bagi kita betapa terhormatnya orang yang menyediakan diri bertugas dan berperan sebagai penjaga masjid dan memelihara kebersihannya sehingga mendapatkan perlakukan khusus dari Nabi Saw. Yang menjadi pertimbangan Nabi Saw tentu bukan sekedar karena profesinya, tetapi kesediaannya untuk berbuat sesuatu yang bisa membuat orang banyak merasa nyaman saat masuk dan berdiam di dalam masjid.
Bagaimana dengan diri kita? Sudahkah kita melakukan “sesuatu” untuk kepentingan dan kemaslahatan orang banyak?