Senin, 11 September 2017

Sejarah Umrah dan Haji Nabi Saw


SEJARAH UMRAH DAN HAJI NABI SAW

Oleh



Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I


Sebelum melaksanakan umrah yang pertama, Nabi Saw sempat bermimpi bisa memasuki masjidil haram bersama para sahabatnya, kemudian mengambil kunci kakbah, lalu thawaf, melakukan umrah, kemudian mencukur (tanda selesai umrahnya). Mimpi ini kemudian diberitakan kepada para sahabatnya, dan sahabatnya sangat bergembira. Akhirnya Nabi mengajak sahabatnya untuk mempersiapkan diri berangkat umrah pada tahun itu.[1] Pada bulan April 628 M (Dzulkaidah 6 H) Rasulullah Saw mengajak para sahabat dan warga Arab untuk melakukan umrah. Rasulullah dengan disertai 1400 orang[2] atau sebagian sumber menyebutnya 1500 orang[3] berangkat untuk melakukan umrah menuju Mekkah dengan mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan kurban (al-hadyu) agar orang-orang (warga quraisy Makkah) mengetahui bahwa Nabi Saw dan rombongan tidak bermaksud untuk perang.[4]
Mendengar berita itu, kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghadangnya, sehingga rombongan (Umrah Nabi pertama) yang berangkat dari Madinah tertahan di Hudaibiyah (20 km di sebelah barat laut Mekkah). Saat itu kaum Quraisy mengutus Suhail ibn Amr untuk berunding dengan Rasulullah. Dalam perundingan itu, Suhail mengusulkan, antara lain perlunya kesepakatan genjatan senjata selama sepuluh tahun dan kaum Muslimin harus menunda umrah dengan kembali ke Madinah. Tetapi tahun depan (629 M) diberi kebebasan melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari di Mekkah. Saat itu Rasulullah Saw menyetujui perjanjian ini meskipun para sahabat banyak  yang kecewa.[5]
 Belakangan dapat difahami betapa hikmah dan keberhasilan Nabi dengan menerima perjanjian Hudaibiyah tersebut. Salah satunya adalah diakuinya penduduk Medinah (kaum muslimin) oleh kaum Quraisy. Otomatis ketika penduduk Medinah mendapat pengakuan dari kaum Quraisy yang merupakan suku paling dihormati dan disegani di daerah Jazirah Arab, Medinah menjadi punya otoritas sendiri dan dapat diakui oleh kaum-kaum lainnya. Selain itu menjadi keberhasilan umat Islam, bebas dalam menunaikan ibadah dan tidak mendapatkan teror dari kaum kafir Quraisy.

            Dalam perjalanan pulang ke Madinah, turunlah surat al-Fath(48) ayat pertama hingga akhir surat.[6] Di antara ayat itu berbunyi:
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا
Sungguh Allah akan memenuhi mimpi RasulNya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu pasti akan memasuki Masjid Al-Haram insyaAllah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (merampungkan umrah) dengan tidak merasa takut. Dia menegetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain itu kemenangan yang dekat”. (QS. Al-Fath, 27)
Sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya ( 629 Masehi atau 7 Hijriah)[7] Rasulullah saw beserta para sahabat melakukan umrah ke Baitullah (untuk yang kedua kali). Umrah ini disebut sebagai umrah al-qadha atau al-qadhiyyah. Saat itu Nabi Saw berihram untuk umrah dari Dzul Hulaifah (Bir Ali-Madinah) dan membawa 60 ekor unta. Ketika itu rombongan Rasulullah saw berjumlah sekitar 2.000 orang, mereka memasuki pelataran Ka’bah untuk melakukan tawaf. Sementara orang-orang Mekkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak bahwa kaum Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah kemudian mengajak para sahabat agar memperlihatkan mereka bahwa kaum muslimin masih kuat. Saat itu Nabi mengajak para sahabat untuk membuka pundak kanannya dan meletakkan ujung selendangnya di atas pundak kiri kemudian memulai thawaf.[8]
 Rasulullah Saw memulai thawaf dengan mencium hajar Aswad (rukun al-Aswad), kemudian berlari-lari kecil mengelilingi kakbah dengan posisi kakbah di sebelah kirinya,  menuju rukun al-Syami, lalu rukun al-Iraqi, dan rukun al-Yamani hingga ke rukun al-Aswad lagi untuk melanjutkan putaran berikutnya. Ketika menyaksikan Rasulullah saw dan para sahabat melakukan tawaf dengan berlari-lari sebanyak tiga kali putaran, para pengejek dari kalangan kaum musyrikin quraisy akhirnya bubar. Pada putaran keempat hingga ketujuh, setelah orang-orang usil di atas bukit Qubais pergi, Rasulullah mengajak para sahabat berhenti berlari dan melanjutkan thawafnya dengan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunnah tawaf di kemudian hari: bahu kanan dalam keadaan terbuka dan ujung selendangnya diletakkan di atas pundah kiri(idthiba’) serta berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama khusus pada tawaf yang pertama (qudum).[9]
Saat thawaf, dalam kondisi semangat yang tinggi, Abdullah bin Rawahah ingin berteriak menantang orang Quraisy untuk berperang, tetapi Umar bin Khattab menahannya. Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Wahai Ibn Rawahah, pelan dan tenang! Ucapkan saja:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ
Tiada Tuhan selain Allah semata, yang menolong hambaNya, memuliakan tentaraNya, dan mengalahkan gabungan para tentara.[10]
Setelah tujuh putaran mengelilingi kakbah, Rasulullah saw shalat dua rakaat di Makam Ibrahim, kemudian minum air Zamzam dan menuangkannya di atas kepala.[11] Sesudah itu Rasulullah melakukan sa’i antara Safa dan Marwa, dan akhirnya melakukan tahalul  (‘menghalalkan kembali’) atau membebaskan diri dari larangan-larangan ihram, dengan  mencukur kepala beliau.[12] Ketika masuk waktu zuhur, Rasulullah saw menyuruh Bilal bin Rabah naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan azan. Suara azan Bilal menggema ke segenap penjuru sehingga orang-orang Mekkah berkumpul ke arah “suara aneh” yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang shalat berjamaah. Hari itu, 17 Zulkaidah 7 Hijriah (17 Maret 629M), untuk pertama kalinya azan berkumandang di Mekkah dan Nabi Muhammad saw menjadi imam shalat di depan Ka’bah.[13]
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw dan para sahabat hanya bisa tiga hari berada di Mekkah, setelah itu kembali ke Madinah. Ketika masih berada di Mekkah, Rasulullah Saw sempat menikahi Maimunah, bibi Khalid bin Walid dengan maskawin 400 dirham. Pernikahan ini dilakukan demi memantapkan keimanan Maimunah yang baru masuk Islam dan untuk menarik keponakannnya, Khalid bin Walid, yang saat itu dikenal sebagai tentara yang sangat gagah berani di kalangan kaum Quraisy.[14]
Sungguhpun demikian, umrah kedua yang dilakukan kaum Muslimin di Mekkah ini menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tiga orang terkemuka Quraisy, yaitu Khalid ibn Walid, Amru ibn Ash, dan Utsman ibn Thalhah, menyusul ke Madinah untuk berbaiat  dan mengucapkan Kalimat Syahadat.[15] Di kemudian hari, Khalid ibn Walid memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah dan Palestina serta Amru bin Ash membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi. Utsman ibn Thalhah dan keturunannya kelak diberi kepercayaan oleh Rasul untuk memegang kunci Ka’bah. Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Ka’bah silih berganti hingga dinasti Saudi sekarang, kunci Ka’bah tetap dipegang oleh keturunan Utsman ibn Thalhah dari Bani Syaibah. [16]
Pada tahun kedelapan Hijriyah, Nabi Saw menaklukkan Mekkah. Peristiwa ini terjadi setelah kaum musyrikin Mekkah melanggar perjanjian gencatan senjata[17], sehingga pada 20 Ramadhan 8 Hijriah (11 Januari 630M) Rasulullah Saw beserta 10.000 (sepuluh ribu) pasukan menaklukkan Mekkah tanpa pertumpahan darah.[18]  Pada saat penaklukkan Mekkah, Nabi melakukannya dengan perdamaian dan penuh kasih sayang. Beliau juga  memberikan amnesti umum kepada warga Mekkah yang dahulu memusuhi kaum muslimin. Di antar penyataan beliau yang sangat mengesankan adalah:
لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِين
 “Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang di antara para penyayang”. Demikian sabda Rasulullah saw  mengutip ucapan Nabi Yusuf as yang tercantum dalam surat Yusuf ayat 92. Akibatnya, seluruh kaum Quraisy berbondong-bondong masuk Islam.[19] Kemudian turun surat Al-Nashr:  “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. Al-Nashr, 1-3). Setelah menerima ayat ini, pada rukuk dan sujud dalam shalat, Rasulullah Saw mengucapkan: Maha Suci Engkau, Ya Allah Ya Tuhan kami, dan dengan memujiMu Ya Allah, ampunilah aku”.[20]
 Dengan jatuhnya kota Mekkah ke tangan umat Islam, Rasulullah saw memerintahkan pemusnahan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah, dan membersihkan ibadah haji dari unsur-unsur kemusyrikan serta mengembalikannya kepada syariat Nabi Ibrahim yang asli.[21]
Setelah Mekkah ditaklukkan oleh kaum muslimin, Nabi Saw mengangkat ‘Utab bin Usaid sebagai Gubernur Mekkah,[22] di antara tugasnya adalah menjalankan tugas pemerintahan khususnya administrasi dan logistic haji yang menjadi ritual tahunan umat manusia dari berbagai kabilah, suku, dan bangsa.
Usai menaklukkan Mekkah, Nabi tidak langsung pulang ke Medinah, akan tetapi menghalau kaum muslimin dan para tentara Quraisy yang baru masuk Islam untuk menyerang Thaif yang menjadi kekuatan musuh Islam. Perang ini dikenal dengan perang Hunain. Dalam peperangan ini, awalnya kaum muslimin kalah, tetapi kemudian mengalami kemenangan dengan membawa pampasan perang yang sangat besar. Usai perang Hunain, Nabi dan sahabat tidak lansung pulang ke Medinah tetapi terlebih dahulu melakukan umrah (ketiga) dengam mengambil miqat di al-Ji’ranah.[23]
Jelang musim haji tahun 9 Hijriyah (bulan Zulhijah tahun ke-9 Hijriah/ Maret 631 M), Rasulullah saw mengutus sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk memimpin ibadah haji.[24] Rasulullah sendiri tidak ikut karena beliau sibuk dalam menghadapi perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Musim haji saat itu (tahun ke 9 H) masih diikuti oleh berbagai suku, wilayah dan bahkan berbagai agama atau keyakinan, sehingga pelaksanaan haji masih bercampur, baik muslim maupun non muslim. 
Mengingat misi Islam adalah pemurnian tauhid, yang diekspresikan oleh Nabi dengan menghancurkan lambang-lambang kesyirikan seperti patung, kode judi, adu nasib, dan lain-lain yang ada di sekitar Kakbah, maka tidak logis jika kaum muslimin haji bersama-sama orang musyrik. Karena itu turunlah wahyu kepada Nabi Saw surat al-Baraah ayat 28 tentang larangan kaum musyrikin mendekati masjidil haram:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa) karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang) maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Taubah: 28).
            Saat ayat ini turun kepada Nabi Saw di Madinah, Abu Bakar sudah dalam perjaanan haji ke Mekkah. Maka Nabi mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menyusulnya dan menyampaikan wahyu ini kepada Abu Bakar agar mengumumkan dekrit yang baru saja diterima Rasulullah saw. Dekrit tersebut menyatakan bahwa mulai tahun depan (10 Hijriyah) kaum musyrikin dilarang mendekati Masjid al-Haram dan menunaikan Ibadah Haji karena sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran Nabi Ibrahim as.[25]
            Pada tahun 10 Hijriah (632 Masehi) Semenanjung Arabia telah dipersatukan di bawah kekuasaan Nabi Muhammad Saw yang berpusat di Madinah, dan seluruh penduduk telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawal (10 Hijriyah) Rasulullah saw mengumumkan bahwa beliau sendiri akan memimpin ibadah haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh umat dari segala penjuru, sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasulullah dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tata cara) haji.
            Secara singkat manasik haji Nabi Saw dimulai dengan berangkat dari Madinah pada Kamis 24 Dzulkaidah 10 Hijriyah[26] (22 Pebruari 632 M) dengan mengendarai unta beliau yang bernama Al-Qashwa’, dengan diikuti sekitar 30.000 jemaah, dan mengambil miqat di Dzulhulaifah.  Pada Ahad 4 Zulhijah (1 Maret) pagi, Rasulullah dan rombongan memasuki kota Mekkah. Di sana sudah menunggu puluhan ribu umat yang datang dari berbagai penjuru, dan diperkirakan total Jemaah haji mencapai lebih dari 100.000 orang.[27] Rasulullah memasuki Masjid al-Haram melalui gerbang Banu Syaibah yang terletak di samping telaga Zamzam di belakang Makam Ibrahim. Beliau memulai thawaf dengan melambaikan tangan kanan dari jauh ke arah hajar aswad.[28]  Setelah selesai tujuh putaran, beliau shalat dua rakaat di belakang Makam Ibrahim, kemudian pergi ke sumur Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau kemudian mengusap lagi hajar aswad.[29] Sesudah itu Rasulullah Saw menuju bukit Safa untuk memulai sa’i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap Ka’bah bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwa dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sesampai di Marwa Rasulullah Saw melakukan hal serupa seperti yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah bolak-balik sebanyak tujuh kali.[30]
Setelah selesai sa’i, Rasulullah Saw di Marwa menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan para sahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya. Beliau memerintahkan seluruh sahabat yang tidak membawa hadyu  (hewan kurban) agar mengubah niat hajinya menjadi umrah. Padahal selama ini umrah hanya dilakukan di luar musim haji. Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagian besar jamaah haji yang tidak membawa hadyu dapat bertahalul (bebas dari larangan ihram). Kemudian berihram lagi untuk haji tanggal 8 zulhijah. Karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada Hari Nahar (10 Zulhijah) atau hari-hari Tasyriq (11-13 Zulhijah) mereka harus membeli hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang kelak dikenal sebagai Haji Tamattu’, artinya ‘bersenang-senang’ sebab masa berihram hanya beberapa hari saja. [31]
Dari tanggal 5 sampai 7 Zulhijah (2-4 Maret), Rasulullah Saw melakukan kegiatan-kegiatan: memimpin Shalat di Masjidil Haram, melakukan tawaf sunat, dan shalat sunat di Hijr Ismail.  Pada Kamis 8 Zulhijah (5 Maret), Rasulullah Saw memerintahkan umat beliau yang memakai cara Tamattu’ kembali mengenakan pakaian ihram dan menjauhi larangan-larangan ihram untuk memulai ibadah haji.  Pada tanggal 8 Zulhijah pagi, Rasulullah Saw beserta Jemaah haji pergi menuju Mina untuk mempersiapkan air, sebab mulai tanggal 10 Zulhijah sesudah pulang dari Arafah mereka akan tinggal di Mina selama beberapa hari. Itulah sebabnya tanggal 8 Zulhijah disebut hari Tarwiyah (tarwiyah artinya mempersiapkan air).  Pada hari Jumat, 9 Zulhijah (6 Maret) sesudah matahari terbit, Rasulullah Saw dan seluruh Jemaah haji berangkat menuju Arafah.  Sesampai di Muzdalifah, Rasulullah Saw dan rombongan menunaikan shalat Maghrib dan Isya  secara jama’ dan qasar. Rasulullah dan sebagian besar Jemaah haji bermalam di Muzdalifah. Tetapi beliau mengizinkan orang-orang yang lemah, wanita, dan anak-anak berangkat ke Mina sesudah tengah malam.[32]  
Sesudah shalat subuh di Muzdalifah, Rasulullah Saw memimpin Jemaah haji menuju Mina.  Pada hari Sabtu, 10 Zulhijah (7 Maret), pagi hari Rasulullah Saw sampai di Mina. Beliau tidak mampir di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan langsung menuju Jumrah Aqabah. Pada tanggal 10 Zulhijah itu Rasulullah Saw melakukan berbagai manasik dengan urutan sebagai berikut: Rasulullah melontar dan beliau bertakbir pada setiap lontaran.  Kemudian Rasulullah menyembelih hadyu sebanyak 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri, lalu sisanya yang 37 ekor disembelih oleh Ali ibn Abi Thalib. Sesudah itu Rasulullah Saw melakukan tahalul dengan menyuruh Khirasy, yang pernah mencukur kepala beliau ketika umrah tahun 7 Hijriah.  Selanjutnya, Rasulullah Saw pergi ke Mekkah untuk melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. Setelah shalat zuhur, beliau kembali ke Mina. Oleh karena itu, Rasulullah mengambil cara Haji Qiran (haji dan umrah digabungkan), tanggal 10 Zulhijah itu beliau tidak melakukan sa’I di antara Safa dan Marwa. Sa’I beliau cukup satu kali tanggal 4 Zulhijah yang sudah mencakup sa’I  haji dan umrah. Tetapi sebagian besar para sahabat melakukan sa’I tanggal 10 Zulhijah atau sesudahnya karena mereka mengambil cara Haji Tamattu’ sesuai perintah Rasulullah Saw. Selanjutnya Rasulullah Saw memberikan kelonggaran pada Jemaah Haji untuk melakukan manasik dengan urutan yang berbeda-beda. Melontar jumrah, menyembelih hadyu, mencukur atau menggunting rambut, serta tawaf dan sa’I boleh dilakukan secara acak, tidak harus berurutan. Para Jemaah haji boleh mendahulukan mana yang sempat dikerjakan. Bahkan manasik-manasik di atas, tidak harus semuanya terlaksana pada hari Nahar (10 Zulhijah).[33]
 Apapun urutan manasik yang dipilih oleh Jemaah haji, Rasulullah Saw menginstruksikan Jemaah haji untuk menginap di Mina pada malam-malam hari Tasyriq, kecuali mereka yang karena kesibukannya tidak dapat menginap. Rasulullah mengizinkan paman beliau, Abbas ibn Abdil muttalib, bermalam di Mekkah untuk mengelola siqayah (air Zamzam untuk Jemaah haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga ternak mereka di malam hari diberi izin oleh Rasulullah untuk tidak menginap di Mina.[34]
Pada tanggal 11 dan 12 Zulhijah, sesudah masuk waktu zuhur, Rasulullah Saw dan para Jemaah haji melontar masing-masing tujuh lontaran secara berturut-turut Jumrah ula, jumrah Wustha, dan akhirnya jumrah Aqabah. Beliau berdoa sesudah melontar Jumrah ula dan Jumrah Wustha, tetapi segera pergi setelah melontar Jumrah Aqabah. Rasulullah memberikan kelonggaran bagi yang tidak sempat melontar pada siang hari untuk melakukannya di malam hari. Untuk orang yang sakit, lanjut usia, lemah, atau wanita hamil, pelontaran boleh diwakilkan kepada orang lain.[35]
            Rasulullah Saw juga menerapkan kebolehan dari Allah bagi Jemaah haji untuk memilih dua hari atau tiga hari dalam melontar tiga jumrah, sesuai dengan firman Allah: “Barangsiapa yang bergegas (meninggalkan mina) dalam dua hari maka tiada dosa baginya dan barangsiapa yang belakangan juga taiada dosa baginya, yakni bagi mereka yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkanNya” (QS Al Baqarah : 203)
 Pada malam 14 Zulhijah, Rasulullah Saw menyuruh istri beliau, Aisyah ra, yang selesai masa haidnya untuk menunaikan umrah. “inilah pengganti umrahmu yang gagal”, sabda beliau. Aisyah kembali berihram dari Tan’im dengan ditemani adiknya, Abdurrahman ibn Abi Bakar. Lalu mereka melakukan tawaf dan sa’I sehingga bertahalul di Marwa.  
 Sesudah shalat subuh hari Rabu 14 Zulhijah (11 maret), Rasulullah Saw dengan istri-istri beliau kecuali Safiyah yang mengalami haid, dua hari sebelumnya, melakukan tawaf wada (tawaf perpisahan), lalu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah tidak dapat berada lama-lama di Mekkah sebab pekerjaan beliau sebagai Kepala Negara harus segera beliau rampungkan. Tiga bulan sesudah itu, pada hari Senin tanggal 12 Rabiul awal 11 Hijriah (8 Juni 632 M), Rasulullah Saw berpulang ke Rahmatullah.[36]  
            Dari paparan sejarah Umrah Nabi Saw hingga hajinya, dapat diketahui bahwa sepanjang hidupnya, Nabi Saw pernah umrah empat kali. Pertama, umrah pada tahun 6 Hijriyah, walaupun kemudian gagal karena tidak mendapatkan izin dari kaum quraisy, penguasa Mekkah; kedua, umrah qadha (qadhiyah) sebagai realisasi perjanjian Hudaibiyah yang mengizinkan umrah pada tahun berikutnya (7 Hijriyah); ketiga, umrah setelah penaklukkan Mekkah (Fath Makkah) dan  perang Hunain (8 Hijriyah); dan keempat, umrah yang digabung dengan haji (haji qiran) pada saat beliau melakukan haji wada’ pada tahun 10 Hijriyah.[37]
            Dengan demikian, secara historis dapat diketahui bahwa Nabi Saw telah melakukan umrah terlebih dulu sebelum beliau melaksanakan ibadah haji.





[1] Muhammad bin Abdul Wahhab, Mukhtashar Sirat al-Rasul Saw, Vol.I (Riyad: Dar al-Salam,1997), 332.
[2] Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam, Vol. IV(Bayrut: Dar al-Jayl, 1411 H), 276.
[3] Ibn Khaldun menyebutnya pada kisaran 1300 sd 1500 orang. Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, Vol. II/34.
[4] Ibn Abd al-Barr, al-Durar Fi Ikhtishari al-Maghazi Wa al-Siyar,  Vol.I (al-Qahirah: Lajnah Ihya al-Turats al-Islami, 1995), 204.
[5] Muhammad al-Thib al-Najjar, al-Qawl al-Mubin Fi Sirat Sayyid al-Mursalim, Vol.I (Bayrut: Dar al-Nadwah al-Jadidah, t.th), 316-317.
[6] Al-Bayhaqi, Ma’rifat al-Sunan Wa al-Tsar, Vol. VII (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 147. (ثم انصرف رسول الله صلى الله عليه وسلم راجعاً فلما أن كان بين مكة والمدينة نزلة عليه سورة الفتح من أولها إلى آخرها)
[7] Muhammad Ridha, Muhammad Rasulullah, I/453.
[8] Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum, I/357.
[9] Muhammad Ridha, Muhammad Rasulullah, I/453.
[10] Ibnu Saad, al-Thabaqat al-Kubra, Vol.II (Bayrut: Dar Shadir, 1968), 122.
[11] Hadis riwayat Ahmad. Al-Albani, Hajjat al-Nabi, I/56.
[12] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Vol.II (Bayrut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th), 122.
[13] Muhammad al-Shalabi, al-Sirah al-Nabawiyah, IV/23.
[14] Muhammad Husein Haykal, Hayat Muhammad, II/37. Ibn Hibban, al-Sirah Libn Hibban, I/305.
[15] Ibn Katsir, al-Sirah al-Nabawiyah, III/272.
[16] Ibn Hazm, Jawami’ al-Sirah, Vol.I (Mesir, Dar al-Ma’arf, 1900), 233-234.
[17] Kaum musyrikin Quraisy melanggar perjanjian perdamaan yang seharusnya tidak saling memusihi. Pelanggarannya adalah Bani Bakar yang menjadi koalisi kaum Quraisy masih memusuhi suku Khuza’ah yang telah bergabung dengan Rasulullah Saw. Ibnu Saad, al-Thabaqat al-Kubra, II/134.
[18] Ali bin Naif al-Syuhud, Mausu’ah al-Difa’ ‘An Rasilillah Saw, X/288-289.
[19] Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sirah, Vol.I (Masir: Dar Nahdhah, t.th), 327.
[20] Al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur, Vol.VIII(Bayrut: Dar al-Fikr, 1993), 664. Baca juga hadis riwayat al-Bukhari No. 4967; dan riwayat Muslim No. 1115.
[21] Al-Suyuthi, al-Khashais al-Kubra, Vo.I (Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1985), 442. Yahya Ibrahim, Nufkhah ‘Abir Min Sirah al-Basyir al-Nadzir, l/67.
[22] Abd al-Jabbar bin Ahmad al-Hamdani, Tatsbit Dalail al-Nubuwwah, I/608.
[23] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari No. 3066.
[24] Muhammad bin Umar al-Hadhrami al-Syafii, Sirat al-Nabi al-Mukhtar, Vol. I (Bayrut: Dar al-Hawi, 1998), 378.
[25] Abdul Wahhab, Mukhtashar Sirat al-Rasul Saw, I/462. Muhammad bin Umar al-Hadhrami al-Syafii, Sirat al-Nabi al-Mukhtar, Vol. I/ 378.
[26] Nabi Saw keluar untuk melaksanakan ibadah haji pada lima terakhir dari bulan Dzul Qa’dah 10 H. Zainuddin Umar bin Mudhaffar al-Wardi, Tarikh al-Wardi, Vol.I (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), 128. Ibn Katsir mengutip pendapat Ahmad bahwa Nabi Sw shalat dhuhur empat rakaat di Masjid Nabawi Madinah, kemudian shalat ashar dua rakaat di Dzulhulaifah pada saat haji wada’. Ibn Katsir, al-Sirah al-Nabawyah, Vol.IV/217.
[27] Muhammad Syarif al-Syaibani mencatat sebanyak 124.000 orang yang mengikuti haji wada’ bersama Raslullah Saw. Muhammad Syarif al-Syaibani, Al-Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Fi al-Dirasat al-Istisyraqiyah al-Munshifah, I/18.
[28] Ketika beliau haji wada’ tahun 10 Hijriah, beliau memulai thawaf hanya dengan melambaikan tangan dari jauh ke arah Hajar Aswad. Abd al-‘Aziz bin Muhammad al-Salman, Audhah al-Masalik Ila Ahkam al-Manasik, I/87.
[29] Hadis riwayat Ahmad. Al-Albani, Hajjat al-Nabi, I/56.
[30] Hadis riwayat Muslim, al-Tirmidzi, dan al-Nasai.
[31] Ibn Katsir, al-Sirah al-Nabawiyah, IV/332-233. Sejak saat itu mulailah dikenal tiga cara ibadah haji. Pertama, Haji Tamattu’ atau ‘bersenang-senang’ (umrah dulu, baru haji) bagi mereka yang tidak membawa hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau ‘mandiri’ (haji dulu, baru umrah) bagi penduduk Mekkah yang membawa hadyu. Ketiga, haji Qiran atau ‘gabungan’ (haji dan umrah langsung digabungkan) bagi bukan penduduk Mekkah yang membawa hadyu.
[32] Baca HR. Bukhari no.1678  dari Ibn Abbas: (أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْمُزْدَلِفَةِ فِي ضَعَفَةِ أَهْلِهِ). Baca juga Ibn al-Jawzi, Kasyf al-Musykil Min Hadis al-Shahihayn, Vo.I (Riyad: Dar al-Wathan, 1997), 515.
[33] Shahih al-Bukhari No.1722 ; Shahih Muslim No. 3224.
[34] Muhammad bin Yusuf al-Shalihi al-Syami, Sabil al-Huda Wa al-Rasyad Fi Sirat Khair al-‘Ibad, XI/103.
[36] Muhammad bin Abd al-Rahman al-‘Arifi, Tharh Jadid Fi Sirat Rasulillah Saw, I/5. Muhammad Ridha, Abu Bakar al-Shiddiq, I/13.
[37] HR. Al-Bukhari No.1778, 1779, dan HR. Ahmad No. 2249.

Umrah Dulu Baru Haji, bolehkah?

Hukum Mendahulukan Umrah dari Ibadah Haji

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pengertian Umrah
Umrah atau al-‘umrah berasal dari kata al-I’timar, yang  artinya berziarah atau mengunjungi. Selain bermakna ziarah, umrah juga bermakna al-qasdu, bermaksud atau menyengaja.[1] Secara syar’i umrah diartikan sengaja mengunjungi Bait al-Haram (Makkah) dengan syarat-syarat tertentu dimulai dengan niat ihram, melaksanakan thawaf mengelilingi Ka'bah, Sa'i di antara Shafa dan Marwah kemudian tahallul. Bedanya dengan haji, kalau umrah dapat dilakukan sepanjang tahun, sedangkan haji hanya dilakukan pada satu waktu di musim haji, yakni mulai bulan Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah.[2]
 
Hukum Umrah
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum umrah. Ulama Hanafiah dan Malikiyah berpendapat bahwa umrah hukumnya sunnah, karena beberapa ayat al-Qur’an yang mewajibkan haji tidak menyertakan umrah, seperti surat Ali Imran ayat 97 dan surat al-Hajj ayat 27.[3] Selain itu, beberapa hadis juga menerangkan bahwa umrah itu tidak wajib. Misalnya hadis sebagai berikut:
عَنْ أَبِى صَالِحٍ الْحَنَفِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: الْحَجُّ جِهَادٌ، وَالْعُمْرَةُ تَطَوُّعٌ.
Dari Abi Shalih al-Hanafi bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Haji itu jihad, sedangkan umrah itu tathawwu(sunnah)”(HR. Ibn Majah, dll).
Al-Albani menilai hadis ini dha’if.[4] Al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra mengutip pendapat Imam Syafii bahwa hadis ini munqathi’(terputus: dhaif).[5]
Kemudian hadis berikut ini:
عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ العُمْرَةِ أَوَاجِبَةٌ هِيَ ؟ قَالَ: لاَ، وَأَنْ تَعْتَمِرُوا هُوَ أَفْضَلُ
Dari Jabir bahwasanya Nabi Saw ditanya mengenai ‘umroh, apakah ia wajib? Nabi Saw menjawab, “Tidak. Jika engkau berumroh maka itu lebih utama.” (HR. Tirmidzi no. 931). Menurut Syaikh al-Albani,  sanad hadits ini dha’if.[6]
Menurut Imam Syafi’i: “Hadits tersebut dha’if, tidak bisa dijadikan dalil, dan tidak ada satu pun riwayat shahih yang mengatakan bahwa umrah itu hukumnya sunnah”. Lebih lanjut Imam al-Nawawi mengatakan bahwa jumhur ulama sepakat bahwa hadits tersebut adalah dha’if”.[7]
Berbeda dengan Imam Hanafi dan Imam Maliki yang berpendapat bahwa umrah itu sunnah,  Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa umrah itu adalah wajib, sekali seumur hidup. Pendapat ini didukung oleh  dalil-dalil yang datang dari al-Qur’an al-Karim, dari Sunnah Nabi Saw, dan  pendapat mayoritas ulama. Berikut ini beberapa  dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama tentang wajibnya umrah, firman Allah Swt:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (Al-Baqarah: 196).
Ayat yang memerintahkan untuk menyempurnakan haji dan umrah tersebut, kata al-Qurthubi dan al-Sa’di dalam tafsirnya, menunjukkan bahwa hukum umrah sama seperti hukum haji, yaitu wajib.[8] Dan inipun dikuatkan dengan beberapa riwayat dari Nabi Saw, di antaranya hadits Aisyah ra. ketika beliau  bertanya kepada Rasulullah Saw:
يَا رَسَوْلَ اللهِ، هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟ قَالَ: جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ، اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
“Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi wanita?” Beliau menjawab, “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, dan al-Daruquthni). Menurut al-Albani, hadis ini shahih.[9]
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, ketika Nabi Saw menjelaskan tentang Islam:
قَالَ: الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَأَنْ تُقِيمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتَعْتَمِرَ ، وَتَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَأَنْ تُتِمَّ الْوُضُوءَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ.
Nabi Saw bersabda: " Islam itu adalah engkau bersaksi bahwasanya tiada Tuhan (yang wajib disembah) selain Allah dan bahwasanya Muhamad adalah utusan Allah; engkau dirikan shalat; engkau tunaikan zakat; engkau laksanakan haji dan umrah; engkau bermandi jinabat; engkau sempurnakan wudhu; dan engkau berpuasa pada bulan Ramadhan.” (HR. Ibn Khuzaimah No. 3065; al-Daruquthni No. 207).  Menurut al-Albani, hadis ini shahih.[10]
Dan hadis berikut ini:
 عَنْ الصُّبَيّ بْن مَعْبَدٍ قال كُنْتُ أَعْرَابِيًّا نَصْرَانِيًّا . . . فَأَتَيْتُ عُمَرَ، فَقُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إِنِّي أَسْلَمْتُ، وَإِنِّي وَجَدْتُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ مَكْتُوبَيْنِ عَلَيّ فَأَهْلَلْتُ بِهِمَا، فَقَالَ عُمَرُ: هُدِيتَ لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
Dari Shubay bin Ma’bad berkata: Saya dahulu seorng Arab badui beragama Nasrani…lalu saya mendatangi Umar dan berkata: Wahai Amirul Mukminin, saya sudah memeluk agama Islam, dan saya mendapatkan haji dan umroh hukumnya adalah wajib bagiku, maka saya mulai mengerjakan keduanya. Umar berkata: “Engkau telah diberi petunjuk sesuai dengan sunnah Nabimu –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.(HR. Abu Daud No.1799) dan al-Nasa’i No.2719). al-Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih.[11]
Berdasarkan ayat al-Qur’an dan beberapa hadis tersebut, mayoritas ulama berpendapat bahwa umrah hukumnya wajib. Di kalangan sahabat yang berpendapat wajib di antaranya Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Jabir bin Abdullah –radhiyallahu ‘anhum-. Jabir berkata: “Tidaklah seorang muslim kecuali diwajibkan berumrah”. Al-Hafidz berkata: “diriwayatkan oleh Ibnul Jahm al Maliki dengan sanad yang shahih. Imam Bukhori –rahimahullah- berkata: “Bab wajibnya umroh dan keutamaannya”. Ibnu Umar –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: “Tidak ada seorang muslim kecuali diwajibkan baginya haji dan umroh”. Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: “Indikasi bahwa umrah adalah wajib adalah ayat al Qur’an.[12]
Hukum Umrah Dulu baru Haji
Berdasarkan sejarah atau sirah Nabi Saw mengenai Umrah,  dapat diketahui bahwa beliau pernah melakukan 4 (empat) kali umrah dan 1(satu) kali haji. Dari keempat umrah tersebut, 3(tiga) di antaranya dilaksanakan sebelum Nabi  Saw melaksanakan haji, yakni umrah Hudaibiyah (6 H), umrah qadha (7 H), dan umrah dari Ji’ranah setelah perang Hunain (8 H). Sedangkan yang 1(satu) kali, umrahnya dilaksanakan bersamaan dengan haji beliau (10 H). Keterangan ini sesuai dengan hadis riwayat  Ibnu Abbas ra, ia mengatakan:
اعْتَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَرْبَعاً عَمْرَةً مِنَ الْحُدَيْبِيَةِ وَعُمْرَةَ الْقَضَاءِ فِى ذِى الْقَعْدَةِ مِنْ قَابِلٍ وَعُمْرَةَ الثَّالِثَةِ مِنَ الْجِعْرَانَةِ وَالرَّابِعَةَ الَّتِى مَعَ حَجَّتِهِ
“Nabi Saw pernah melaksanakan umrah sebanyak 4 kali, umrah Hudaibiyah, umrah Qadha` di bulan Dzulqa’dah setahun setelah Hudaibiyah, umrah ketiga dari Ji’ranah, dan keempat, umrah bersama dengan pelaksanaan haji beliau.” (HR. Ahmad 2249  dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).[13]
            Berdasarkan hadis tersebut cukup jelas bahwasanya Nabi Saw telah  melaksanakan umrah sebelum haji. Karena itu, hukumnya boleh-boleh saja mendahulukan umrah sebelum melaksanakan haji. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi di Indonesia saat ini, untuk bisa menunaikan ibadah haji harus menunggu sekitar 20 tahun.  Kebolehan mendahulukan umrah dari haji ini juga ditegaskan oleh Ibn Umar berdasarkan hadis shahih riwayat al-Bukhari sebagai berikut:
أَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ خَالِدٍ سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ الْعُمْرَةِ قَبْلَ الْحَجِّ فَقَالَ: لاَ بَأْسَ قَالَ عِكْرِمَةُ قَالَ ابْنُ عُمَرَ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَبْلَ أَنْ يَحُجّ
Bahwasanya Ikrimah bin Khalid bertanya tentang hukum umrah sebelum menunaikan ibadah haji. Ibn Umar menjawab: nggak papa (boleh saja). Ikrimah mengatakan, Ibn Umar menegaskan bahwasanya Nabi Saw telah melaksanakan umrah sebelum beliau melaksanakan haji.[14]
            Imam al-Baghawi, dalam kitabnya Syarh al-Sunnah pada bab “mendahulukan umrah daripada haji (تقديم العمرة على الحج) mengemukakan bahwasanya ulama telah sepakat mengenai bolehnya mendahulukan umrah daripada haji (اجمع العلماء على جواز تقديم العمرة على الحج).[15]
            Wallahu A’lam !





[1] Al-Nawawi, Tahdzib al-Asma Wa al-Lughat, Vol.III (Bayrut: Dar al-Fikr, 1996), 224.
[2] Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, IV (Bayrut: Dar Shadir, t,th), 601.
[3] Wahbah bin Mushtafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Vol.II (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir, 1418), 168. Baca juga ‘Alauddin ‘Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, Tafsir al-Khazin, Vol. I (Bayrut: Dar al-Fikr, 1979), 172.
[4] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilat al-Ahadis al-Dha’ifah, Vol. II (al-Riyad: Dar al-Ma’arif, 1992), 247.
[5] Imam al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, Vol. IV (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994 ), 348.
[6] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi, II/431.
[7] Imam al-Nawawi, al-Majmu’, VII/5-6.
[8] Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Vol.II (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), 365. Baca juga Abdurrahman bin Nashir bin al-Sa’di, Taysir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Manan, Vol. I (T.tp: Muassasah al-Risalah, 2000), 90.
[9] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Irwa al-Ghalil, Vol. II (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985), 151.
[10] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, Vol.II (al-Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.th), 3.
[11] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Abu Dawud, Vol. VI (al-Kuwait: Muassasah Gharras Li al-Nasyr Wa al-Tawzi’, 2002), 55.
[12] Imam al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Vol. III (al-Qahirah: Dar al-Sya’b, 1987), 2. Imam al-Nawawi, al-Majmu’, VII/5-6. Al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi Bisyarh Jami’ al-Tirmidzi, Vol. III (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 583-584.
[13] Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Vol. IV (t.tp: muassasah al-Risalah, 2001), 87.
[14] Imam al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Vol. III (al-Qahirah: Dar al-Sya’b, 1987), 2.
[15] Al-Husayn bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Vol. VII (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1983), 9.