Senin, 11 September 2017

Umrah Dulu Baru Haji, bolehkah?

Hukum Mendahulukan Umrah dari Ibadah Haji

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pengertian Umrah
Umrah atau al-‘umrah berasal dari kata al-I’timar, yang  artinya berziarah atau mengunjungi. Selain bermakna ziarah, umrah juga bermakna al-qasdu, bermaksud atau menyengaja.[1] Secara syar’i umrah diartikan sengaja mengunjungi Bait al-Haram (Makkah) dengan syarat-syarat tertentu dimulai dengan niat ihram, melaksanakan thawaf mengelilingi Ka'bah, Sa'i di antara Shafa dan Marwah kemudian tahallul. Bedanya dengan haji, kalau umrah dapat dilakukan sepanjang tahun, sedangkan haji hanya dilakukan pada satu waktu di musim haji, yakni mulai bulan Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah.[2]
 
Hukum Umrah
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum umrah. Ulama Hanafiah dan Malikiyah berpendapat bahwa umrah hukumnya sunnah, karena beberapa ayat al-Qur’an yang mewajibkan haji tidak menyertakan umrah, seperti surat Ali Imran ayat 97 dan surat al-Hajj ayat 27.[3] Selain itu, beberapa hadis juga menerangkan bahwa umrah itu tidak wajib. Misalnya hadis sebagai berikut:
عَنْ أَبِى صَالِحٍ الْحَنَفِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: الْحَجُّ جِهَادٌ، وَالْعُمْرَةُ تَطَوُّعٌ.
Dari Abi Shalih al-Hanafi bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Haji itu jihad, sedangkan umrah itu tathawwu(sunnah)”(HR. Ibn Majah, dll).
Al-Albani menilai hadis ini dha’if.[4] Al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra mengutip pendapat Imam Syafii bahwa hadis ini munqathi’(terputus: dhaif).[5]
Kemudian hadis berikut ini:
عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ العُمْرَةِ أَوَاجِبَةٌ هِيَ ؟ قَالَ: لاَ، وَأَنْ تَعْتَمِرُوا هُوَ أَفْضَلُ
Dari Jabir bahwasanya Nabi Saw ditanya mengenai ‘umroh, apakah ia wajib? Nabi Saw menjawab, “Tidak. Jika engkau berumroh maka itu lebih utama.” (HR. Tirmidzi no. 931). Menurut Syaikh al-Albani,  sanad hadits ini dha’if.[6]
Menurut Imam Syafi’i: “Hadits tersebut dha’if, tidak bisa dijadikan dalil, dan tidak ada satu pun riwayat shahih yang mengatakan bahwa umrah itu hukumnya sunnah”. Lebih lanjut Imam al-Nawawi mengatakan bahwa jumhur ulama sepakat bahwa hadits tersebut adalah dha’if”.[7]
Berbeda dengan Imam Hanafi dan Imam Maliki yang berpendapat bahwa umrah itu sunnah,  Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa umrah itu adalah wajib, sekali seumur hidup. Pendapat ini didukung oleh  dalil-dalil yang datang dari al-Qur’an al-Karim, dari Sunnah Nabi Saw, dan  pendapat mayoritas ulama. Berikut ini beberapa  dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama tentang wajibnya umrah, firman Allah Swt:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (Al-Baqarah: 196).
Ayat yang memerintahkan untuk menyempurnakan haji dan umrah tersebut, kata al-Qurthubi dan al-Sa’di dalam tafsirnya, menunjukkan bahwa hukum umrah sama seperti hukum haji, yaitu wajib.[8] Dan inipun dikuatkan dengan beberapa riwayat dari Nabi Saw, di antaranya hadits Aisyah ra. ketika beliau  bertanya kepada Rasulullah Saw:
يَا رَسَوْلَ اللهِ، هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟ قَالَ: جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ، اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
“Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi wanita?” Beliau menjawab, “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, dan al-Daruquthni). Menurut al-Albani, hadis ini shahih.[9]
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, ketika Nabi Saw menjelaskan tentang Islam:
قَالَ: الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَأَنْ تُقِيمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتَعْتَمِرَ ، وَتَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَأَنْ تُتِمَّ الْوُضُوءَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ.
Nabi Saw bersabda: " Islam itu adalah engkau bersaksi bahwasanya tiada Tuhan (yang wajib disembah) selain Allah dan bahwasanya Muhamad adalah utusan Allah; engkau dirikan shalat; engkau tunaikan zakat; engkau laksanakan haji dan umrah; engkau bermandi jinabat; engkau sempurnakan wudhu; dan engkau berpuasa pada bulan Ramadhan.” (HR. Ibn Khuzaimah No. 3065; al-Daruquthni No. 207).  Menurut al-Albani, hadis ini shahih.[10]
Dan hadis berikut ini:
 عَنْ الصُّبَيّ بْن مَعْبَدٍ قال كُنْتُ أَعْرَابِيًّا نَصْرَانِيًّا . . . فَأَتَيْتُ عُمَرَ، فَقُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إِنِّي أَسْلَمْتُ، وَإِنِّي وَجَدْتُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ مَكْتُوبَيْنِ عَلَيّ فَأَهْلَلْتُ بِهِمَا، فَقَالَ عُمَرُ: هُدِيتَ لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
Dari Shubay bin Ma’bad berkata: Saya dahulu seorng Arab badui beragama Nasrani…lalu saya mendatangi Umar dan berkata: Wahai Amirul Mukminin, saya sudah memeluk agama Islam, dan saya mendapatkan haji dan umroh hukumnya adalah wajib bagiku, maka saya mulai mengerjakan keduanya. Umar berkata: “Engkau telah diberi petunjuk sesuai dengan sunnah Nabimu –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.(HR. Abu Daud No.1799) dan al-Nasa’i No.2719). al-Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih.[11]
Berdasarkan ayat al-Qur’an dan beberapa hadis tersebut, mayoritas ulama berpendapat bahwa umrah hukumnya wajib. Di kalangan sahabat yang berpendapat wajib di antaranya Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Jabir bin Abdullah –radhiyallahu ‘anhum-. Jabir berkata: “Tidaklah seorang muslim kecuali diwajibkan berumrah”. Al-Hafidz berkata: “diriwayatkan oleh Ibnul Jahm al Maliki dengan sanad yang shahih. Imam Bukhori –rahimahullah- berkata: “Bab wajibnya umroh dan keutamaannya”. Ibnu Umar –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: “Tidak ada seorang muslim kecuali diwajibkan baginya haji dan umroh”. Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: “Indikasi bahwa umrah adalah wajib adalah ayat al Qur’an.[12]
Hukum Umrah Dulu baru Haji
Berdasarkan sejarah atau sirah Nabi Saw mengenai Umrah,  dapat diketahui bahwa beliau pernah melakukan 4 (empat) kali umrah dan 1(satu) kali haji. Dari keempat umrah tersebut, 3(tiga) di antaranya dilaksanakan sebelum Nabi  Saw melaksanakan haji, yakni umrah Hudaibiyah (6 H), umrah qadha (7 H), dan umrah dari Ji’ranah setelah perang Hunain (8 H). Sedangkan yang 1(satu) kali, umrahnya dilaksanakan bersamaan dengan haji beliau (10 H). Keterangan ini sesuai dengan hadis riwayat  Ibnu Abbas ra, ia mengatakan:
اعْتَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَرْبَعاً عَمْرَةً مِنَ الْحُدَيْبِيَةِ وَعُمْرَةَ الْقَضَاءِ فِى ذِى الْقَعْدَةِ مِنْ قَابِلٍ وَعُمْرَةَ الثَّالِثَةِ مِنَ الْجِعْرَانَةِ وَالرَّابِعَةَ الَّتِى مَعَ حَجَّتِهِ
“Nabi Saw pernah melaksanakan umrah sebanyak 4 kali, umrah Hudaibiyah, umrah Qadha` di bulan Dzulqa’dah setahun setelah Hudaibiyah, umrah ketiga dari Ji’ranah, dan keempat, umrah bersama dengan pelaksanaan haji beliau.” (HR. Ahmad 2249  dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).[13]
            Berdasarkan hadis tersebut cukup jelas bahwasanya Nabi Saw telah  melaksanakan umrah sebelum haji. Karena itu, hukumnya boleh-boleh saja mendahulukan umrah sebelum melaksanakan haji. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi di Indonesia saat ini, untuk bisa menunaikan ibadah haji harus menunggu sekitar 20 tahun.  Kebolehan mendahulukan umrah dari haji ini juga ditegaskan oleh Ibn Umar berdasarkan hadis shahih riwayat al-Bukhari sebagai berikut:
أَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ خَالِدٍ سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ الْعُمْرَةِ قَبْلَ الْحَجِّ فَقَالَ: لاَ بَأْسَ قَالَ عِكْرِمَةُ قَالَ ابْنُ عُمَرَ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَبْلَ أَنْ يَحُجّ
Bahwasanya Ikrimah bin Khalid bertanya tentang hukum umrah sebelum menunaikan ibadah haji. Ibn Umar menjawab: nggak papa (boleh saja). Ikrimah mengatakan, Ibn Umar menegaskan bahwasanya Nabi Saw telah melaksanakan umrah sebelum beliau melaksanakan haji.[14]
            Imam al-Baghawi, dalam kitabnya Syarh al-Sunnah pada bab “mendahulukan umrah daripada haji (تقديم العمرة على الحج) mengemukakan bahwasanya ulama telah sepakat mengenai bolehnya mendahulukan umrah daripada haji (اجمع العلماء على جواز تقديم العمرة على الحج).[15]
            Wallahu A’lam !





[1] Al-Nawawi, Tahdzib al-Asma Wa al-Lughat, Vol.III (Bayrut: Dar al-Fikr, 1996), 224.
[2] Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, IV (Bayrut: Dar Shadir, t,th), 601.
[3] Wahbah bin Mushtafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Vol.II (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir, 1418), 168. Baca juga ‘Alauddin ‘Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, Tafsir al-Khazin, Vol. I (Bayrut: Dar al-Fikr, 1979), 172.
[4] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilat al-Ahadis al-Dha’ifah, Vol. II (al-Riyad: Dar al-Ma’arif, 1992), 247.
[5] Imam al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, Vol. IV (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994 ), 348.
[6] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi, II/431.
[7] Imam al-Nawawi, al-Majmu’, VII/5-6.
[8] Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Vol.II (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), 365. Baca juga Abdurrahman bin Nashir bin al-Sa’di, Taysir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Manan, Vol. I (T.tp: Muassasah al-Risalah, 2000), 90.
[9] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Irwa al-Ghalil, Vol. II (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985), 151.
[10] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, Vol.II (al-Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.th), 3.
[11] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Abu Dawud, Vol. VI (al-Kuwait: Muassasah Gharras Li al-Nasyr Wa al-Tawzi’, 2002), 55.
[12] Imam al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Vol. III (al-Qahirah: Dar al-Sya’b, 1987), 2. Imam al-Nawawi, al-Majmu’, VII/5-6. Al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi Bisyarh Jami’ al-Tirmidzi, Vol. III (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 583-584.
[13] Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Vol. IV (t.tp: muassasah al-Risalah, 2001), 87.
[14] Imam al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Vol. III (al-Qahirah: Dar al-Sya’b, 1987), 2.
[15] Al-Husayn bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Vol. VII (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1983), 9.

1 komentar: