Senin, 09 Mei 2011

KIAT MERAIH HAJI MABRUR

KIAT MERAIH HAJI MABRUR
Oleh: Achmad Zuhdi Dh (0817581229)


أنَّ رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم قال: الحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الجَنَّةَ
(متفقٌ عليه عن أبى هريرة )

Rasulullah Saw bersabda: “Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga”.
(Muttafaqqun ‘alaih, dari Abu Hurairah ra)


1.Pengertian haji mabrur

Dalam kitab Lisan al-‘Arab (IV/51), kata mabrur mengandung dua arti:

Pertama, mabrur berarti baik, suci dan bersih. Dalam pengertian ini, haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan baik, tidak diperbuat di dalamnya hal-hal yang dilarang seperti berkata kotor, berbuat fasik dan menyakiti atau mengganggu orang lain termasuk menyuap orang untuk kemudahan amalnya sementara orang lain mendapatkan kesulitan karenanya. Di samping itu, bekal yang dibawa untuk berhaji adalah bekal yang halal dan bersih.

Kedua, mabrur berarti maqbul atau diterima dan diridhai oleh Allah Swt. Dalam hal ini, haji mabrur adalah haji yang tata caranya dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan memperhatikan syarat-syarat dan rukunnya serta hal-hal yang wajib diperhatikan dalam berhaji.

Dari dua pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan haji mabrur adalah haji yang diterima dan diridhai oleh Allah Swt karena ibadah hajinya telah dilakukan dengan baik dan benar serta dengan bekal yang halal, suci dan bersih.

2.Siapakah orang yang berhasil meraih haji mabrur?

Tentang siapa orangnya yang berhasil meraih haji mabrur, agaknya hal ini menjadi rahasia Allah Swt. Bisa jadi tidak banyak.

Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din (Vol.I/ 341) mengisahkan perjalanan seorang ‘Alim yang shalih sedang menempuh perjalanan haji. Namanya ‘Ali bin al-Muwaffiq. Dikisahkan:

“Pada suatu malam, tanggal 8 malam 9 Dhu al-Hijjah (malam hari ‘Arafah) ia tertidur di masjid al-Khaif Mina. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat sedang berdialog. Malaikat yang satu berbicara kepada malaikat yang lain: “Hai teman (Abdullah), tahukah engkau berapa banyak orang yang pergi haji tahun ini?”. Malaikat yang lain menjawab: “Tidak tahu!”. Kemudian temannya tadi memberitahu bahwa mereka itu jumlahnya mencapai 600.000 jamaah. Kemudian ditanya lagi: “tahukah kamu berapa orang di antara mereka itu yang meraih haji mabrur ?”. Tidak tahu!, jawab temannya. Kemudian temannya itu menjelaskan bahwa yang meraih mabrur/ maqbul hajinya itu hanya 6 orang. Sampai dialog ini, dua malaikat itu pun pergi. Setelah itu ‘Ali bin al-Muwaffiq pun terbangun dari tidurnya dengan penuh penasaran, sedih dan gelisah.

Dalam hatinya bertanya: “Jika hanya 6 orang yang diterima hajinya dari 600.000 jamaah, apakah aku bisa masuk yang enam orang itu?”. Demikianlah ia terus menerus merenungkan dan berusaha mencari tahu makna di balik mimpinya itu. Selanjutnya ia berusaha melakukan ibadah hajinya dengan sebaik mungkin agar berhasil masuk dalam kelompok enam yang hajinya mabrur itu.

Kisah ini tidak jelas kapan terjadi dan seberapa jauh kebenarannya, karena tak seorang pun sejarawan yang membuktikan fakta kebenaran kisahnya. Terlepas dari benar tidaknya kisah tersebut, al-Ghazali yang dikenal sebagai ulama yang amat masyhur dan mendapat julukan “Hujjatul Islam” itu telah mencatat dalam Kitabnya yang amat monumental dan berpengaruh di kalangan orang-orang yang mendalami masalah-masalah spiritualitas. Sekurang-kurangnya yang dapat diambil hikmah dari kisah tersebut adalah agar setiap orang yang menunaikan ibadah haji selalu menata dan meluruskan niatnya, melakukan ibadah hajinya dengan baik dan benar serta selalu berusaha dan berdoa agar ibadahnya diterima oleh Allah Swt. Wallahu a’lam bi al-shawab!

3.Beberapa indikator haji yang mabrur

Tidak mudah untuk mengetahui siapa-siapa yang berhasil meraih haji mabrur. Namun demikian, Rasulullah Saw pernah memberikan beberapa indikatornya. Dalam sebuah hadits diterangkan sebagai berikut:

عَنْ جَابِرٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌُ إِلاَّ الْجَنَّةَ قِيْلَ وَمَا بِرُّهُ ؟ قَالَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ (رواه أحمد والطبرانى وغيره)

Artinya: Dari Jabir ra. Nabi Saw bersabda: “Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga”. Rasul ditanya: “Apa tanda-tanda mabrurnya?”. Nabi Saw menjawab: “Suka membantu memberikan makanan dan santun dalam berbicara” (HR. Ahmad, al-Tabrani, dan lain-lain).

Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih lighairih (Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, II/3).

Imam al-Nawawi dalam Kitab al-Idhah Fi Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah hal 516, mengatakan :

اَلْحَجُّ الْمَقْبُوْلُ هُوَالَّذِيْ يَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ بَعْدَ رُجُوْعِهِ خَيْرًا مِمَّا كَانَ

Artinya: Haji mabrur itu tanda-tandanya adalah setelah ia pulang dari haji, keadaannya lebih baik daripada sebelumnya

Dari keterangan hadits Nabi Saw dan penjelasan Imam al-Nawawi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa indikator ke-mabrur-an haji seseorang itu dapat dilihat dari tiga hal:

Pertama, suka memberi makanan (إطعام الطعام ). Perkataan “memberi makanan” ini harus difahami lebih luas, yaitu kesediaan untuk berbagi rasa dengan sesama serta kesanggupan untuk menyumbangkan sebagian harta kita kepada fakir miskin atau kaum dhu’afa. Dalam hal ini termasuk membantu dalam hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan (pengobatan), sandang, pangan maupun papan.
Membantu orang-orang miskin termasuk hal terpenting dalam beragama. Allah bahkan terang-terangan menyebut sebagai pendusta agama, bagi orang yang tidak mau membantu orang-orang miskin dan menyayangi anak yatim. (QS. Al-Ma’un, ayat 1-3).

Dikisahkan bahwa ada seorang ‘alim tertidur pulas di bawah pohon dalam menempuh perjalanan spiritualnya, mencari makna kearifan hidup. Ia bermimpi bertemu malaikat yang memberitahukan kepadanya bahwa di antara sekian banyak orang yang naik haji hanya satu yang berhasil meraih haji mabrur, sambil memberi tahu ciri-ciri orang yang beruntung itu. Setelah ia terbangun, segera mencari orang yang dimaksud itu. Betapa terkejutnya, ternyata orang itu tidak menunaikan ibadah haji di musim haji tahun itu. Maka ia berusaha mencari tahu apa rahasianya sehingga ia mendapat gelar atau pahala sekelas haji mabrur. Setelah beberapa hari menginap di rumah orang itu, ia tidak menemukan hal-hal yang istimewa dari orang itu. Ibadahnya biasa-biasa saja. Akhirnya, orang itu cerita bahwa dulu pernah berniat menunaikan ibadah haji dan mengumpulkan bekal sedikit demi sedikit dari keringatnya sendiri. Setelah bekal itu cukup dan hendak digunakan untuk berangkat haji, tiba-tiba ada orang miskin yang sangat membutuhkan bantuannya. Karena ia tak tega melihat penderitaan si miskin itu, ia pun memberikan bekal hajinya itu untuk keperluan dan hajat si miskin, sehingga ia tidak jadi menunaikan ibadah haji.
Demikianlah kisahnya, ia tak jadi berangkat haji, tetapi malah mendapat predikat haji mabrur. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dalam hadits shahih al-Bukhari dan Muslim, Nabi Saw bersabda:

فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْ بِهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً (متفق عليه)

Artinya: “Barangsiapa berniat melakukan kebaikan (misalnya niat haji), kemudian ia tidak jadi melakukannya, maka ia dicatat oleh Allah mendapatkan pahala kebaikan (haji) yang sempurna”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Berangkat dari hadits ini, agaknya sangat relevan dengan kisah tersebut di atas (walaupun belum tentu kisah tersebut faktual), yaitu orang yang telah lama berniat haji dengan mengumpulkan bekal dari keringatnya, tetapi karena ada orang miskin yang amat membutuhkan dan meminta bantuan kepadanya, bekal untuk hajinya itu diperbantukan kepadanya, sehingga ia tidak jadi naik haji tahun itu. Kesediaannya untuk membantu orang miskin itulah yang menyebabkan ia berhak menyandang gelar haji mabru>r. Karena itu, walaupun ia tidak jadi naik haji, tetapi karena ia telah berbuat kebaikan sebagaimana orang yang meraih haji mabrur, maka layaklah bila ia meraih pahala haji mabrur. Wallahu a’lam!

Kedua, bertutur kata yang lembut (وطيب الكلام). Menurut al-Ghazali, kata-kata ini di samping bisa difahami bertutur kata yang baik, juga berarti berbudi pekerti yang luhur atau berakhlak yang mulia. Prilaku ini nampak pada orang-orang yang beribadah haji, baik saat berhaji maupun sesudahnya.
Akhlak yang mulia ini nampak pada tutur katanya yang lembut, baik dan bersahaja. Tidak suka menyinggung dan menyakiti orang lain. Kalau berbicara kalimatnya sederhana, disesuaikan dengan orang yang diajak bicara. Raut mukanya diusahakan cerah, manis dan simpatik sehingga orang lain senang berbicara dan bergaul dengannya. Lidah dan tangannya dikendalikan sedemikian rupa agar tidak mengganggu orang lain.

Dalam haji, banyak orang tergoda untuk melakukan kesempurnaan ibadahnya baik yang rukun, wajib maupun sunnahnya dengan berbagai cara. Ketika hendak mencium h}ajar aswad misalnya, banyak orang yang secara egois berusaha keras dengan cara menyingkirkan orang lain bahkan menyakitinya agar dia sendiri berhasil mencium h}ajar aswad itu. Dia tidak sadar bahwa ketika ia hendak meraih hajar aswad itu ia telah menyakiti banyak orang. Menurut agama, menyakiti orang lain itu hukumnya haram, sedangkan mencium hajar aswad itu hanyalah sunnah hukumnya. Prilaku ini termasuk akhlak yang rendah dan tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang sedang berhaji.

Orang yang akan meraih haji mabrur indikatornya mulai nampak pada saat ia berhaji. Ia tidak ingin mengganggu orang lain, tetapi ia malah berusaha untuk membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain sesama jama’ah haji. Hal ini nampak pada saat keberangkatan haji, naik kendaraan, antri pemeriksaan paspor, mencari kamar penginapan di hotel dan saat-saat pelaksanaan ibadah haji dari ketika ihram, wuquf di ‘Arafah, Muzdalifah, di Mina dan melempar jamarat, thawaf dan sa’i. Ia berusaha menghindari pertengkaran, berkata kotor dan berbuat fasik.
Nabi Saw. bersabda:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
(متفق عليه)

Artinya: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji sedang ia tidak berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan maka ia kembali pulang dalam keadaan bersih seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Inilah janji Allah dan RasulNya.
Bagi orang yang ingin meraih haji yang mabrur maka ia harus berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya, lidahnya, tangannya agar tidak mengganggu orang lain. Sebaliknya ia seyogyanya berusaha untuk dapat membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain.

Ketiga, setelah pulang haji kehidupannya menjadi lebih baik daripada sebelum haji.
Indikator yang ketiga ini justru menjadi ukuran yang paling penting, karena apa yang dikatakan Imam al-Nawawi bahwa tanda-tanda ke-mabrur-an ibadah haji seseorang adalah kehidupannya setelah haji menjadi lebih baik ketimbang keadaannya sebelum haji, sebenarnya mengandung makna yang selaras dengan perkataan Nabi Saw. bahwa tanda-tanda ke-mabrur-an haji seseorang itu adalah suka membantu, memberikan makan orang lain dan suka bertutur kata yang lembut hingga orang lain banyak yang suka kepadanya.

Maksudnya, untuk mengetahui keadaan seseorang yang yang hajinya mabrur, dapat dilihat dari pola kehidupannya setelah pulang haji. Apakah ia setelah pulang dari hajinya kemudian suka membantu orang miskin, suka memberi makan, membantu pengobatan dan pendidikan serta memberikan pakaian dan kebutuhan lainnya? Apakah ia juga berusaha bertutur kata yang lembut, baik, santun dan bersahaja. Tidak tinggi hati, tidak sombong, tidak meremehkan orang lain? Apakah ia berusaha menghindarkan diri dari perkataan atau perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain terganggu atau tersakiti? Apakah ia juga berusaha untuk dapat membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain?

Jika semuanya itu dapat dilakukan dengan baik, maka tanda-tanda ke-mabrur-an haji telah melekat pada dirinya. Insya Allah !

4.Usaha-usaha untuk meraih haji yang mabrur

Setelah mengetahui apa itu haji mabrur dan bagaimana indikatornya, maka berikutnya adalah bagaimana cara atau kiat-kiat meraih haji mabrur itu.
Dalam hal ini ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:

Pertama, menata niat (haji) yang benar, lurus dan ikhlas semata-mata untuk memenuhi panggilan Allah;

Kedua, menyiapkan bekal haji (ONH/BPIH) yang cukup dan bersih dari harta yang haram maupun syubhat;

Ketiga, mempelajari manasik haji dengan baik dan benar agar tidak keliru dalam menunaikan ibadah haji;

Keempat, membiasakan bersedekah sejak sebelum berangkat haji, pada saat musim haji maupun setelah pulang haji. Terutama membantu meringankan beban derita yang dialami orang-orang miskin atau kaum dhu’afa lainnya;

Kelima, berusaha untuk bertutur kata yang lembut, baik dan bersahaja. Menghindarkan diri dari pertengkaran, sikap tinggi hati, meremehkan orang lain. Menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat mengganggu dan menyakiti orang lain, sebaliknya berusaha membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain.

KIAT MERAIH KHUSYUK DALAM SHALAT

KIAT MERAIH KHUSYUK DALAM SHALAT

Oleh: Achmad Zuhdi Dh

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, (QS.al-Mukminun, 1-2)

Orang yang khusyuk dalam shalat adalah orang yang mempunyai kesadaran ruhani bahwa dirinya, ketika shalat, sedang beraudensi (bertemu dan berdialog) dengan Allah Swt. (Abu Sangkan, Pelatihan shalat khusyu, 23)

Sejak kecil kita sudah diajari bagaimana tata-cara shalat, tetapi tidak pernah diajari bagaimana cara meraih khusyuk dalam shalat. Karena pada umumnya sang guru beranggapan bahwa meraih khusyuk dalam shalat itu sangat sulit. Akibatnya kita melakukan shalat hanya dengan menghafal bacaan dan gerakan-gerakan tanpa ruh. Sampai-sampai ketika Ramadhan tiba, banyak imam shalat tarawih yang adu cepat dalam menyelesaikan shalatnya. Biasanya sebuah mushalla atau masjid yang imamnya cepat, di situ akan banyak penggemarnya.

Benarkah meraih shalat khusyuk itu sulit? Jawabannya tergantung bagaimana cara memandang dan mengusahakannya.

Meraih khusyuk dalam shalat akan benar-benar terasa sulit apabila sebelumnya seseorang beranggapan bahwa (1)tidak mungkin bisa shalat dengan khusyuk, kecuali orang-orang yang istimewa seperti para wali; (2)shalat itu hanyalah kewajiban yang dibebankan kepada manusia, sehingga setiap hendak melaksanakan shalat ada rasa berat, malas dan tidak jarang terasa menjemukan.

Insya Allah, seseorang akan berhasil meraih khusyuk dalam shalat apabila memiliki sikap dan pandangan bahwa (1)sebenarnya setiap orang berpotensi dapat meraih khusyuk dalam shalatnya, karena tidak mungkin Allah memerintahkan dan memberi beban kepada umatnya yang tidak akan mampu melakukannya; (2)perintah shalat, sebenarnya bukanlah sekedar kewajiban yang harus ditunaikan, tetapi lebih dari itu, shalat sebenarnya merupakan kebutuhan dan sarana bagi manusia untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan. Allah Swt berfiman:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk; (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS.al-Baqarah, 45-46)

Berikut ini beberapa petunjuk dari Rasulullah Saw bagaimana cara melakukan shalat yang benar sehingga dapat meraih kekhusyukan dalam shalat.

Pertama, niat ikhlas semata-mata karena Allah
Niat ikhlas adalah kesadaran untuk melakukan shalat karena Allah semata dengan cara mempersatukan aktifitas otak kiri dan otak kanan sehingga menghasilkan kontak, “nyambung” dengan Allah yang menjadi pusat persembahan.

Kebanyakan yang terjadi di masyarakat, kata niat tidak difahami sebagaimana tersebut di atas, tetapi pengertiannya menjadi “membaca niat”, seperti “ushalli” (aku niat shalat). Niat dengan pengertian seperti ini, kata Abu Sangkan, tidak akan membawa dampak apa-apa terhadap shalat yang dilakukan. Niat seharusnya merupakan awal pekerjaan yang penuh kesadaran yang meliputi pikiran, hati dan perbuatan. Jika dalam melakukan shalat dimulai dengan niat yang benar, maka insya Allah akan mudah meraih khusyuk dalam shalatnya.

Betapa pentingnya niat yang benar dan ikhlas, Nabi saw pernah bersabda:

عَنْ أَبِى أُمَامَةَ الْبَاهِلِىِّ قَالَ قَالَ النبى صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِىَ بِهِ وَجْهُهُ ». رواه النسائى وقال الشيخ الألباني : حسن صحيح

Dari Abu Umamah al-Bahili, ia berkata: Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan yang tidak didasari dengan niat yang ikhlas dan semata-mata untuk mendapatkan ridha-Nya (HR. Al-Nasa-i. Syekh al-Albani menilai hadis ini hasan-shahih)

Kedua, meneladani Shalat Rasulullah Saw;
Syekh al-‘Utsaimin dalam kitabnya Fiqh al-‘Ibadat (hal.337-338), mengatakan bahwa ada dua syarat agar amal ibadah kita diterima oleh Allah Swt, yaitu (1) ikhlas karena Allah, dan (2) mengikuti sunnah Rasulullah Saw.
Tentang keharusan meneladani shalat Rasulullah Saw, disebutkan dalam Shahih al-Bukhari (III/69) sebagai berikut:

عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم ...قَالَ ...« وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى »

Dari Abu Qilabah, Malik berkata: kami pernah mendatangi Nabi Saw...., beliau bersabda: “Shalatlah kamu sekalian seperti yang kalian lihat cara saya melakukan shalat” (HR. Al-Bukhari)

Salah satu usaha untuk meraih khusyuk dalam shalat adalah dengan melaksanakan shalat secara baik dan benar sesuai petunjuk Rasulullah Saw. Nabi Saw memperingatkan orang yang beramal ibadah dengan asal-asalan, tidak sesuai dengan petunjuk dan perintah Rasulullah Saw. Dari ‘Aisyah ra, Nabi Saw bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak/sia-sia. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ketiga, merasa melihat Allah;
Untuk bisa meraih khusyuk dalam shalat, seseorang harus menyadari bahwa ketika berdiri menghadap kiblat, sebenarnya ia sedang berhadapan dengan Allah. Kesadaran ini sangat penting untuk mencapai perhatian yang fokus bahwa hanya Allah yang ada di hadapannya. Kesadaran bahwa seseorang ketika menghadap kiblat seolah-olah melihat Allah digambarkan oleh Nabi Saw dengan istilah “ihsan”.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ مَا الإِحْسَانُ قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ » (رواه البخارى ومسلم)

Dari Abu Hurairah ra, ia meriwayatkan bahwa Nabi Saw pernah ditanya oleh Jibril tentang apa itu ihsan, Nabi Saw kemudian menjelaskan: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya (di hadapanmu) dan jika engkau tidak sanggup melihatnya maka sadarilah bahwa pada saat engkau shalat itu sedang dilihat oleh Allah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Keempat, berdialog dengan Allah;
Salah satu usaha untuk bisa meraih khusyuk dalam shalat adalah menjadikan kegiatan shalat sebagai media untuk berdialog langsung dengan Allah, terutama ketika sedang membaca surat al-Fatihah. Surat al-Fatihah adalah surat yang wajib dibaca tiap-tiap rakaat. Dalam ayat-ayat yang ada dalam surat al-Fatihah, orang yang sedang membaca al-Fatihah dianjurkan untuk membaca ayat demi ayat, tiap-tiap ayat berhenti. Hal ini disebabkan setiap seorang hamba membaca satu ayat dari al-Fatihah, Allah langsung menjawabnya. Berikut ini hadis qudsi riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra. Nabi Saw bersabda:

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِى وَنِصْفُهَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِى عَبْدِى وَإِذَا قَالَ (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى. وَإِذَا قَالَ (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ). قَالَ مَجَّدَنِى عَبْدِى - وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَىَّ عَبْدِى - فَإِذَا قَالَ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ). قَالَ هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ). قَالَ هَذَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ ».

Allah Swt berfirman: “Aku membagi shalat (surat al-Fatihah) antara Aku dan hamabaKu separuh-separuh. Separuh untukKu dan separuh untuk hambaKu. Dan hambaKu mendapatkan apa yang dia minta. Apabila hambaKu membaca “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam”, Allah Swt berfirman (menjawab): “Hambaku telah memujiKu”. Apabila hambaKu membaca “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, Allah Swt berfirman (menjawab): “HambaKu telah menyanjungKu”. Apabila hamabaKu membaca “Yang menguasai hari pembalasan”, Allah Swt berfirman (menjawab): “Hambaku telah memuliakan Aku”, sekali waktu Allah berfirman (menjawab): “HambaKu telah pasrah kepadaKu”. Apabila hambaKu membaca “Hanya kepadaMu kami mengabdi dan hanaya kepadaMu kami minta pertolongan”, Allah Swt berfirman (menjawab): “Ini adalah antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaKu ia akan mendapatkan apa yang diminta”. Apabila hambaKu membaca “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat”, Allah berfirman (menjawab): “Ini adalah untuk hambaKu, dan bagi hambaKu apa yang dia minta”. (HR. Muslim).

Kelima, berbisik-bisik dengan Allah Swt;
Di dalam shalat, selain ada gerakan-gerakan khusus juga ada bacaan-bacaan atau doa pada setiap gerakan shalat.
Untuk bisa meraih khusyuk dalam shalat, setiap bacaan atau doa dalam shalat harus difahami dan dihayati dengan baik. Hal ini penting agar setiap gerakan dalam shalatnya dapat digunakan untuk bermunajat, berbisik-bisik dengan Allah Swt . Dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas ra, Nabi Saw bersabda:

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ يُنَاجِى رَبَّهُ فَلاَ يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلاَ عَنْ يَمِينِهِ وَلَكِنْ عَنْ شِمَالِهِ تَحْتَ قَدَمِهِ

Apabila seseorang di antara kamu melakukan shalat, sesungguhnya ia sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Tuhannya, karena itu hendaknya ia tidak meludah ke depannya dan ke sebelah kanannya, tetapi ke sebelah kiri di bawah kakinya (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Keenam, melakukan tuma’ninah setiap gerakan shalat;
Makna tuma'minah adalah melakukan shalat dengan diam (tenang) dalam ruku', i'tidal, sujud dan duduk di antara dua sujud. Dia harus ada pada posisi tersebut, di mana setiap ruas-ruas tulang ditempatkan pada tempatnya yang sesuai. Tidak boleh terburu-buru di antara dua gerakan dalam shalat, sampai dia selesai tuma'ninah dalam posisi tertentu sesuai waktunya. Nabi Saw bersabda kepada seseorang yang tergesa-gesa dalam shalatnya dengan sabdanya:

اِرْجِعْ فَصَلِّ إِنَّكَ لمَ تُصَلِّ

("Ulangi shalatmu, sebab kamu belum melakukan shalat.)" HR. al-Baihaqi dan al-Thabrani. Al-Albani menilai hadis ini shahih. (Irwa-il Ghalil, II/45).
Dalam hadis lain, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw masuk masjid dan seorang laki-laki juga masuk masjid melaksanakan shalat, kemudian menghampiri Nabi Saw dan mengucapkan salam kepadanya, Nabi Saw pun menjawabnya kemudian berkata kepada orang itu: “Kembalilah, ulangi lagi shalatmu. Karena sesunggunya engkau belum melakukan shalat!”. Orang itu pun mengulangi shalatnya seperti tadi. Setelah selesai shalat kemudian mendatangi Nabi Saw dan mengucapkan salam kepadanya. Nabi Saw pun berkata lagi kepadanya: “Kembalilah, ulangi lagi shalatmu. Karena sesunggunya engkau belum melakukan shalat!”. Hal ini terjadi sampai tiga kali. Kemudian orang laki-laki itu berkata: “Demi Dia yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak dapat melaksanakan shalat lebih baik dari ini, karena itu ajarilah aku”. Nabi Saw pun mengajarkannya:

« إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، وَافْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا »

“Apabila engkau berdiri hendak shalat maka ucapkan takbir (Allahu Akbar), kemudian bacalah al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukuklah hingga engkau terasa tenang dalam keadaan rukuk, kemudian angkatlah kepalamu hingga engkau tegak berdiri, kemudian sujudlah hingga engkau terasa tenang dalam keadaan sujud, kemudian angkatlah kepalamu dari sujud hingga engkau terasa tenang dalam keadaan sujud. Lakukanlah seperti itu dalam semua shalatmu” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Tentang lamanya tuma’ninah, terkadang Nabi Saw melaksanakannya dengan cukup lama sebagaimana yang digambarkan dalam hadis berikut ini:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ إِنِّى لاَ آلُو أَنْ أُصَلِّىَ بِكُمْ كَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى بِنَا. قَالَ ثَابِتٌ فَكَانَ أَنَسٌ يَصْنَعُ شَيْئًا لاَ أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَهُ كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ انْتَصَبَ قَائِمًا حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ قَدْ نَسِىَ. وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ مَكَثَ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ قَدْ نَسِىَ.

Anas ra. berkata: “Sungguh aku tidak kuasa shalat dengan kalian sebagaimana aku pernah melihat Rasulullah Saw shalat dengan kami. Tsabit berkata, Anas berbuat sesuatu yang aku tidak pernah melihat kalian melakukannya. Apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berdiri tegak sehingga orang menduga bahwa beliau lupa (karena saking lamanya), dan apabila beliau mengangkat kepalanya dari sujud, beliau diam (dalam keadaan duduk) sehingga orang menduga bahwa beliau lupa (karena saking lamanya)”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan cara beliau melakukan shalat, dapat diketahui bagaimana lamanya beliau dalam melakukan berdiri iktidal, kemudian duduk di antara sujud, dan pada semua gerakan shalatnya, sampai-sampai sahabatnya mengira bahwa beliau lupa. Hal ini menunjukkan bahwa beliau melakukannya dengan tenang dan menjadikannya sebagai kesempatan untuk berbisik-bisik dan berdialog dengan Allah.

Dari sini kita dapat memahami bahwasanya shalat itu bukan sekedar untuk memenuhi kewajiban tetapi juga sebagai media untuk berkomunikasi, konsultasi dan mengadu kepada Allah sebagaimana firmanNya:

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha, 14).