Sabtu, 26 September 2015

Ruqyah: Dari Jahili ke Islami

Sejarah Ruqyah
Dari Jahili ke Islami

Oleh:

Achmad Zuhdi Dh


Sebelum kedatangan Islam, ruqyah sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab. Ruqyah merupakan warisan bangsa Arab dalam rangka mendapatkan berkah dan permohonan kepada Allah. Ruqyah berasal dari agama-agama samawi, kemudian diselewengkan oleh orang-orang sesat lalu dimasukkan ke dalam sihir dan pengobatan. Mereka mencampur-adukkan dengan ucapan-ucapan yang bisa jadi mereka sendiri tidak memahami artinya. Dalam praktiknya juga ditambah dengan suatu benda seperti bebatuan, atau potongan-potongan tulang dan rambut hewan. Akhirnya bercampur-aduklah  perkara ruqyah  di kalangan masyarakat ja>hili>yah. Setelah Islam datang, ruqyah digunakan untuk penyembuhan dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan bacaan-bacaan doa yang ma’thu>r  melalui sarana doa.
Di kalangan masyarakat ja>hili>yah, ruqyah diartikan sebagai mantra, jampi-jampi yakni kalimat-kalimat yang dianggap berpotensi mendatangkan daya gaib atau susunan kata yang berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Mantra dibaca oleh orang yang mempercayainya guna meminta bantuan kekuatan yang melebihi kekuatan natural, guna meraih manfaat atau menampik madarat. Dalam pengertian ini, ruqyah dianggap bisa menyembuhkan karena kekuatan ruqyah itu sendiri atau bantuan dari jin dan sebagainya. Karena pemahaman yang demikian ini maka Nabi saw pernah melarang ruqyah. Beliau pernah bersabda: “Sesungguhnya ruqyah, tami>mah[1] dan tiwalah[2] itu syirik” (إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ). Sehubungan dengan pernyataan Nabi Saw bahwa ruqyah itu mengandung syirik, Abdullah bin Mas’u>d menjelaskan kepada isterinya yang pernah sembuh matanya karena diruqyah oleh orang Yahudi. Ibn Mas’u>d berkata:“Itu adalah perbuatan setan yang menyolok matanya dengan tangannya sehingga ketika diruqyah dapat menahan rasa sakitnya”  ( إِنَّمَا ذَاكَ عَمَلُ الشَّيْطَانِ كَانَ يَنْخُسُهَا بِيَدِهِ فَإِذَا رَقَاهَا كَفَّ عَنْهَا). HR. Abu Dawud. Al-Albani: S{ah}i>h}.
Nabi Saw memang pernah melarang ruqyah,  tetapi tidak berlaku pada semua jenis ruqyah. Ruqyah yang dilarang Nabi Saw hanyalah ruqyah yang di dalamnya terdapat unsur syirik seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang jahiliyah dan orang Yahudi. Selama ruqyah tidak dimasuki unsur syirik maka dibolehkan. Seorang sahabat Nabi Saw bernama ‘Awf bin Ma>lik al-Ashja’i> berkata: “Kami dahulu pada masa ja>hili>yah pernah melakukan ruqyah” (كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ). Al-Ashja’i> bertanya kepada Rasulullah Saw: “Bagaimana pendapatmu terhadap ruqyah yang kami lakukan?”. Nabi Saw kemudian minta ditunjukkan cara meruqyahnya, lalu Nabi Saw menyatakan: “Tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak terdapat unsur syirik di dalamnya (لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ). HR. Muslim.
Di kalangan kaum Yahudi, dalam melakukan ruqyah ada yang bekerjasama dengan jin atau setan selain ada juga yang menggunakan Kitab Allah. Salah seorang Yahudi yang dikenal suka bekerjasama dengan jin atau setan adalah Labi>d bin Al-A’s}am yang pernah menyihir Nabi Saw.  Sedangkan praktik ruqyah dengan Kita>b Allah pernah dilakukan oleh Wanita Yahudi yang meruqyah ‘A<ishah ra pada saat ia sakit. Diceritakan bahwa suatu ketika Abu> Bakr datang ke rumah ‘A<ishah ra yang sedang menderita sakit. Saat itu ada seorang wanita Yahudi yang akan mengobati ‘A<ishah dengan cara meruqyah. Maka Abu> Bakar memerintahkan wanita Yahudi itu untuk meruqyah dengan Kita>b Allah, yaitu dengan Taurat dan Inji>l (أن أبا بكر دخل على عائشة وهي تشتكي ويهودية ترقيها، فقال أبو بكر: ارقيها بكتاب الله. يعني: بالتوراة والإنجيل...")
Dari keterangan tersebut menunjukkan bahwa ruqyah, selain dilakukan oleh orang-orang ‘Arab Ja>hili>yah juga dilakukan oleh orang-orang Arab Yahudi. Ima>m Muslim meriwayatkan dari Ibn ‘Abba>s ra bahwa pernah ada seorang ahli ruqyah bernama D{ima>d dari kabilah Bani Azad Shanu>-ah pergi ke Mekkah. Ketika D{ima>d mendengar dari orang-orang Ja>hili>yah Mekkah yang mengatakan bahwa Muh}ammad telah gila, ia ingin sekali meruqyahnya. Akhirnya D{ima>d dapat bertemu dengan Nabi Muh}ammad Saw dan menawarkan diri kepada beliau untuk dapat meruqyahnya. D{ima>d berusaha meyakinkan Nabi Saw bahwasanya dirinya bisa meruqyah  dan Allah akan menyembuhkan siapa saja yang diruqyahnya. Mendengar tawaran dari D{ima>d itu, Nabi Saw menjawabnya dengan kalimat sebagai berikut: (إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ أَمَّا بَعْدُ),  
Mendengar jawaban Nabi Saw seperti itu D{ima>d penasaran kemudian minta kepada Nabi saw untuk mengulanginya lagi. Maka Rasulullah saw pun mengulanginya hingga tiga kali. Setelah itu D{ima>d berkomentar dengan penuh kekaguman, katanya: “Aku sering mendengar perkataan-perkataan tukang ramal, tukang sihir dan para penyair, namun sungguh aku tidak pernah mendengar seperti apa yang engkau (Nabi Saw) ucapkan tadi. Sungguh ucapan-ucapanmu itu mencapai kedalaman lautan”.  Setelah itu D{ima>d berbaiat kepada Rasulullah Saw untuk memeluk agama Islam dan kaumnya pun kemudian diajaknya memeluk Islam. HR. Muslim.
Di kalangan sahabat Nabi Saw, sebelum masuk Islam, banyak yang mempunyai keahlian melakukan ruqyah. Tetapi mereka mengalami kebimbangan ketika Nabi Saw melarang ruqyah. Di antara mereka itu adalah keluarga ‘Amr bin H{azm. Suatu ketika mereka menemui Rasulullah Saw untuk menanyakan perihal larangan ruqyah. Mereka lalu memperlihatkan kepada Nabi Saw bagaimana cara meruqyah dari sengatan kalajengking atau gigitan ular berbisa. Setelah memperhatikan cara-cara mereka meruqyah, Nabi Saw kemudian mengatakan: “Saya kira tidak ada masalah (dengan ruqyah yang kalian lakukan). Barangsiapa ada di antara kalian yang bisa menolong saudaranya maka lakukanlah”. (مَا أَرَى بَأْسًا مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْه). HR. Muslim.
Setelah Nabi memberikan lampu hijau tentang bolehnya meruqyah, beberapa sahabat pun melakukan ruqyah, baik terhadap diri sendiri ataupun kepada orang lain. Pernah suatu ketika sejumlah rombongan sahabat Nabi Saw melakukan perjalanan. Mereka ingin singgah dan bertamu di sebuah kampung, tetapi tidak diizinkan. Saat itu kepala kampungnya menderita sakit karena sengatan ular atau kalajengking. Mereka, anak buahnya berusaha mencarikan obat dan menempuh berbagai cara untuk menyembuhkan kepala kampung itu, tetapi gagal. Akhirnya meminta tolong kepada rombongan para sahabat untuk dapat mengobatinya. Juru bicara sahabat mengatakan bahwa dirinya bisa melakukan ruqyah untuk mengobati kepala kampung itu asal diberi upah. Setelah berunding, mereka akhirnya menyetujui dan akan memberikan upah beberapa ekor kambing. Saat itu salah seorang sahabat Nabi Saw mendatangi kepala kampung kemudian melakukan ruqyah untuk kesembuhannya dengan cara meniup dan sedikit meludah sambil membacakan surat al-Fa>tih}ah.  Dengan izin Allah, sakit yang diderita kepala kampung itu hilang dan sembuh total. Para sahabat pun mendapatkan hadiahnya. Setelah dikonfirmasikan kepada Nabi Saw, beliau tertawa dan mengatakan: “Bagaimana kamu tahu kalau surat al-Fa>tih}ah tu bisa digunakan untuk meruqyah? Kalian telah berbuat yang benar. Sekarang bagikanlah hadiahnya dan saya berikan bagiannya” (مَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». قَالَ وَقَالَ :« أَصَبْتُمُ اقْتَسِمُوا وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ بِسَهْمٍ). HR. Al-Bukhari
Tradisi meruqyah yang dibolehkan oleh Nabi Saw ini kemudian dilanjutkan oleh orang-orang sesudahnya, baik dari kalangan saha>bat, tabi’i>n maupun oleh ulama-ulama berikutnya. Di antara ulama yang terkenal dengan keahliannya di bidang ruqyah adalah Ibn al-Qayyim al-Jawzi>yah (w.751 H/1350 M). Ia banyak menulis tentang cara-cara pengobatan menurut Nabi Saw termasuk pengobatan dengan cara meruqyah. Salah satu buku karya Ibn al-Qayyim yang sangat populer adalah al-T{ib al-Nabawi>. Dalam buku ini Ibn al-Qayyim mengisahkan pengalaman pribadinya bahwa suatu saat ketika berada di Makkah, ia mengalami sakit. Saat itu ia tidak mendapatkan dokter dan obat-obatan. Karena itu ia kemudian melakukan pengobatan dengan jalan meruqyah, yakni dengan cara mengambil segelas air zamzam kemudian dibacakan surat al-Fa>tih}ah di atasnya berulang-ulang baru kemudian diminum. Dengan kehendak Allah, setelah itu ia mengalami kesembuhan total  (وأقرؤها عليها مراراً، ثم أشربه، فوجدتُ بذلك البرءَ التام).  
Hingga sekarang, meski  tidak sebanyak yang dipraktikkan kedokteran moderen, tardisi ruqyah masih dilakukan oleh kaum muslimin di berbagai belahan dunia. Abu> al-Fida> Muh}ammad ‘Izzat Muh}ammad ‘Arif, dalam bukunya ‘A<lij Nafsaka Bi al-Qur’a>n, melaporkan adanya praktik ruqyah yang dilakukan di Saudi Arabia hingga kini. Praktik ini sudah dilakukan sebanyak seratus delapan belas kali (118 kali ). Pasien yang dihadapinya kebanyakan mengidap kanker dengan berbagai jenisnya seperti kanker darah, kanker payudara, kanker rahim, kanker usus dan kanker paru-paru. Berkat ruqyah yang dilakukan terhadap berbagai pasien yang mengidap berbagai penyakit kanker tersebut, dengan izin Allah Swt, mereka mendapatkan kesembuhan yang sempurna. Praktik ruqyah (penyembuhan melalui al-Qur’an) ini disandarkan kepada firman Allah Swt:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. QS. al-Isra, 82.
Kesembuhan yang dimaksud dalam al-Qur'an tersebut difahami tidak hanya sekedar penyembuhan hati, akan tetapi kesembuhan secara umum. Dalam hal ini al-Sa’di>  mengatakan bahwa penyembuhan yang terkandung dalam Al-Qur`an bersifat umum meliputi penyembuhan hati dari berbagai syubhat, kejahilan, berbagai pemikiran yang merusak, penyimpangan yang jahat, dan berbagai tendensi yang ba>t}il. Selain itu, Al-Qur`an juga dapat menyembuhkan jasmani dari berbagai penyakit(ولشفاء الأبدان من آلامها وأسقامها).
 Di Indonesia, istilah ruqyah mulai marak dikenal sejak tahun 1990-an. Salah satu Ustad yang ahli di bidang ruqyah adalah Fad}lan Abu Yasir, Lc. Ia adalah Pengasuh Pondok Pesantren Islam Terpadu Al-H{ikmah Trayon-Kebonan-Karanggede-Boyolali-Jawa Tengah. Pada tahun 1998, Abu Yasir menulis buku dan juga membuat CD tentang praktik melakukan ruqyah. Di dalam buku dan CD-nya itu, ia menjelaskan tentang apa itu ruqyah dan bagaimana cara mempraktikkannya dengan benar. Kini istilah ruqyah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia.
            Di Jawa, ruqyah memang baru populer mulai tahun 1990-an, tetapi sebenarnya praktik  ruqyah  sudah berlangsung sejak berabad-abad silam. Hanya saja di Jawa, istilah ruqyah lebih dikenal dengan “suwuk”.  Eddy Sugianto, dalam tulisannya tentang The Power of Suwuk  mengatakan bahwa suwuk adalah suatu cara penyembuhan alternatif  dengan cara seseorang membacakan suatu mantra pada segelas air dan selanjutnya diminumkan kepada pasien. Tradisi suwuk” ini masih bertahan hingga sekarang.  Jika seorang pasien datang kepada dukun, maka yang dibacakannya adalah bersumber dari Kitab Primbon Jawa. Dalam buku Primbon Betal Jemur Adammakna diajarkan bahwa ketika orang Jawa sakit cacar (cangkrangen), maka cara menyembuhkan atau mengobatinya adalah dengan mengunyah-ngunyah brambang  dan kunci  kemudian disemburkan (di-suwuk-kan)ke  matanya yang sakit setiap pagi, tapi kunyahan yang disemburkan ke matanya hanya hawanya saja sehingga tidak sampai mengenai matanya. Adapun mantranya adalah sebagai berikut:
                        Bismilla>hirrahma>nirrahi>m, kanjul ngaras, kanjul ngalam, Bagus karang aja perak-perak marang aku, pan aku anak putune Sayid Pangeran. Bujang Galiman aja uruk sudi gawe marang aku, pan aku anak putune Bagus Karang. Loncang-Lancing Nyai Rara Kidul aweh gabag cacar plenting 10,9,8,7.6.5.4.3.2.1 siji bae trima, trima saking kersaning Allah.
Namun jika yang didatangi pasien itu seorang kyai atau ustad yang memahami al-Qur’an dan al-Sunnah maka yang dibacakan (ruqyah atau suwuknya) adalah surah a-Fa>tih}ah atau ayat-ayat al-Qur’an lainnya dan doa-doa yang makthu>r dari Nabi Saw.

            Lebih lengkap dan komprehensip tentang ruqyah dapat dibaca dalam buku Terapi Qur'ani karya Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I di bawah ini:





Penerbit IMTIYAZ Surabaya
Cetakan Pertama     Juli 2015
tebal 358 hal (xx + 338)
Ukuran 15 x 23
ISBN: 978-602-7661-46-2
Harga: Rp. 80.000;

Bagi yang berminat mendapatkan buku ini dan ingin mendapatkan discount khusus, dapat menghubungi melalui WA No.Hp:  0817581229. Selamat membaca dan menikmatinya. Insya Allah banyak manfaat.  


Daftar Pustaka:

Abu> ‘Ubaydah Ma>hir Bin S{a>lih} ‘Ali> Muba>rak, Ruqyah Syar’iyyah: Gangguan Jin, Hasad dan ‘Ain, terj. Abu Ahmad (Surabaya: Duta Ilmu, 2006).
 S{a>lih} bin ‘Abd al-‘Azi>z bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m A<li al-Shaykh, al-Tamhi>d Li Sharh} Kita>b al-Tawh}i>d, Vol.I (Tt: Da>r al-Tawh}i>d, 2003).
Fadlan Abu Yasir, Terapi Gangguan Jin Dengan Ruqyah dan Doa (Yogjakarta: tp, 2004).
Muh}ammad al-T{a>hir bin ‘A<shu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, Vol.  (Tu>nis, Da>r Sahnu>n, 1997).
Ah}mad bin H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah}mad bin H{anbal, I. Ed. Shu’ayb al-Arnowt et.al (Kairo: Muassasah Qurtu>bah,tt).
al-Naisaburi, Sahih Muslim, III, IV,Ed. Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi,1772.
Abu> 'Abdilla>h Muh}ammad b. Isma>'i>l b. Ibra>hi>m b. al-Mughi>rah al-Bukha>ri>, S{ah}i>h al-Bukhari> Bi Hasshiyah al-Sindi, Vol.IV (Bayrut: Dar al-Fikr, tt).
Jawwa>d ‘Ali>, Al-Mufas}s}al Fi> Ta>ri>kh al-‘Arab Qabl al-Isla>m, XII (Tt: Da>r al-Sa>qi>, 2001).
Ibn al-Athi>r, Asad al-Gha>bah, II/33.
Shams al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m Wa Wafaya>t al-Masha>hi>r Wa al-A’la>m, I (Bairu>t: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1987).
al-Bukha>ri, al-Ja>mi al-S{ah}i>h} al-Mukhtas}ar, Vol.5 (Bayru>t: Da>r Ibn Kathi>r, 1987).
Muh}ammad Bin ‘I<sa> Abu> ‘I<sa> al-Tirmidhi>, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} S{unan al-Tirmidhi>, Vol. IV (Bairu>t: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabi>, tt).
Muh}ammad Ibn H{ibba>n Bin Ah}mad Abu> H{a>tim, S{ah}i>h} Ibn H{ibba>n, Vol. 13 (Bayru>t: Mu’assasah al-Risa>lah, 1993).
Ibn Qayyim al-Jawzi>yah, al-T{ib al-Nabawi>, Vol I (Bayru>t: Da>r al-Kita>b al’Arabi>, 1990).
Abu> al-Fida> Muh}ammad ‘Izzat Muh}ammad ‘A<rif, ‘A<lij Nafsaka Bi al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Dad}i>lah, 2009).
Al-Qur’an, al-Isra: 17: 82.
‘Abd al-Rah}ma>n bin Na>s}ir bin al-Sa’di>, Taysi>r al-Kari>m al-Rah}ma>n Fi> Tafsi>r Kala>m al-Manna>n, I (tt: Mu’assasah al-Risa>lah, 2000).
Eddy Sugianto, The Power of Suwuk,
Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, (Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa. 1980).




[1] Al-Tama-im jama’ dari al-tamimah yaitu suatu jimat perlindungan yang dikalungkan di leher anak untuk penangkal ‘ain. Jika yang dikalungkan itu dari al-Qur’an, di kalangan ulama ada dua pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.  Pendapat yang lebih kuat dan aman adalah yang melarangnya. Abu> ‘Ubaydah Ma>hir Bin S{a>lih} ‘Ali> Muba>rak, Ruqyah Syar’iyyah: Gangguan Jin, Hasad dan ‘Ain, terj. Abu Ahmad (Surabaya: Duta Ilmu, 2006), 207.
[2] Al-Tiwalah adalah aji-aji pengasihan (jawa: pelet) yang dibuat dan dimaksudkan agar sang suami mencintai isterinya atau agar isteri mencintai suaminya. Hai ini termasuk jenis sihir. S{a>lih} bin ‘Abd al-‘Azi>z bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m A<li al-Shaykh, al-Tamhi>d Li Sharh} Kita>b al-Tawh}i>d, Vol.I (Tt: Da>r al-Tawh}i>d, 2003), 136.