Sabtu, 16 April 2011

Beberapa Bacaan Doa sebelum Salam Dalam shalat


BEBERAPA BACAAN DOA SEBELUM SALAM DALAM SHALAT
Oleh: Achmad Zuhdi Dh (081 758 1229)




A. Bacaan Isti’adzah (mohon perlindungan)

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu selesai dari bacaan tasyahhud akhir, hendaklah ia membaca isti’adzah kepada Allah dari empat perkara, yaitu bacaan sebagai berikut:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

Allaahumma innii a’uudhu bika min ‘adhaabi jahannama wa min ‘adhaabil qabri wamin fitnatil mahyaa wal mamaati wamin syarri fitnatil masiihiddajjaal

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari fitnah kejahatan al-masih al-Dajjal. (HR. Muslim).

B. Perintah membaca doa sebelum salam

Berdasarkan riwayat yang shahih, Nabi Saw biasa membaca doa di dalam shalatnya dengan doa yang bermacam-macam. Sekali waktu membaca doa ini dan pada waktu yang lain membaca doa itu. Beliau memerintahkan kepada orang yang shalat untuk memilih doa-doa itu sesuai yang dikehendaki. Nabi Saw bersabda:

إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنْ صَلاَتِهِ فَلْيَدْعُ بِأَرْبَعٍ ، ثُمَّ لْيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاء

Apabila salah seorang di antara kamu selesai dari shalatnya (sebelum salam), hendaklah ia berdoa (meminta perlindungan) dengan empat perkara, yaitu (berlindung kepada Allah dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari fitnah kejahatan al-masih al-Dajjal), setelah itu hendaklah berdoa sesuai dengan apa yang dikehendakinya. (HR. Al-Baihaqi dari Abu Hurairah).
Al-Albani menilai hadits ini shahih.

C. Beberapa contoh doa yang dibaca Nabi Saw sebelum salam

1. Abu Bakar al-Shiddiq ra berkata kepada Rasulullah Saw: “Wahai Nabi, ajarilah aku doa yang bisa aku baca dalam shalatku?”. Nabi Saw bersabda: “Bacalah doa berikut ini:

اللَّهُمَّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْماً كَثِيرَاً. وَلا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلاَّ أَنْتَ. فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ. وَارْحَمْنِي, إنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Allaahumma innii dhalamtu nafsii dhulmankatsiiraa, walaa yaghfirudhdhunuuba illaa anta, faghfirlii maghfiratammin ‘indika warhamnii innaka antal ghafuururrahiim

Ya Allah, sesungguhnya aku telah banyak berbuat dhalim terhadap diriku sendiri. Tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa itu kecuali Engkau. Karena itu (Ya Allah), ampunilah diriku dengan ampunanMu dan kasih-sayangilah aku. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Ibn Yasaf berkata bahwa pada suatu ketika ‘Aisyah ra ditanya tentang doa yang banyak dibaca oleh Nabi Saw, maka ‘Aisyah menjawab bahwa doa yang banyak atau sering dibaca oleh Nabi Saw adalah doa berikut ini:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ وَمِنْ شَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ بَعْدُ

Allaahumma innii a ‘uudzu bika min syarri maa ‘amiltu wa min syarri maa lam a’mal ba’du

Ya Allah sesungguhnya akun mohon perlindungan kepadaMu dari kejahatan yang pernah aku perbuat dan dari kejahatan yang belum aku perbuat. (HR. Al-Nasa-i)

Al-Albani menilai hadits tersebut shahih.

3. ‘Aisyah ra berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw membaca doa dalam sebagian shalatnya dengan doa:

اللَّهُمَّ حَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا

Allaahumma haasibnii hisabayyasiraa

Ya Allah, hisablah (lakukan perhitungan) pada diriku dengan perhitungan (hisab) yang mudah (HR. Ahmad dan al-Hakim)

Al-Hakim menilai hadits tersebut shahih dan al-Dhahabi menyepakatinya.

4. Dari Anas ra, bahwasanya Nabi saw banyak membaca doa dengan redaksi doa sebagai berikut:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

Ya muqallibal quluubi, tsabbit qalbii ‘alaa diinika

Ya Allah, Tuhan Yang bisa membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku agar senantiasa bepegang teguh kepada agamaMu (HR. Al-Bukhari).
Al-Albani minlai hadits tersebt shahih.

Karakter/Sifat Manusia

Empat Karakter(sifat) Manusia

Dilihat dari karaktaristiknya, menurut Imam al-Ghazali (Ihya ‘Ulum al-Din, III/119), manusia memiliki empat macam karakter, yaitu:

1. Al-Rubu’iyah; (الربوبية), yaitu sifat “ketuhanan” yang terdapat pada diri manusia yang apabila telah menguasai diri manusia maka ia ingin menguasai, menduduki jabatan yang tinggi, menguasai ilmu apa saja, suka memaksa orang lain dan tak mau direndahkan, maunya hanya dipuji.

2. Al-Syaithaniyah; (الشيطانية), yaitu sifat “kesetanan” yang ada pada diri manusia yang apabila telah menguasai dirinya ia akan suka merekayasa dengan tipu daya dan meraih segala sesuatu dengan cara-cara yang jahat. Di sini mansia suka mengajak pada perbuatan bid’ah, kemunafikan dan berbagai kesesatan lainnya.

3. Al-Bahimiyah; (البهيمية), yaitu sifat manusia berupa “kehewanan” yang apabila telah menguasai dirinya ia akan rakus, tamak, suka mencuri, makan berlebihan, tidur berlebihan dan bersetubuh berlebihan, suk berzina, berprilaku homoseks dan lain sebagainya.

4. Al-Sabu’iyah. (السبوعية), yaitu sifat “kebuasan” yang apabila menguasai diri manusia ia akan suka bermusuhan, berkelahi, suka marah, suka menyerang, suka memaki, suka berdemo, anarkis, cemburu berlebihan dan lain sebagainya.
Empat sifat tersebut di atas tidak tumbuh dan berkembang secara sekaligus tetapi melalui tahapan-tahapan atau secara berangsur-angsur.

Pertama kali yang tumbuh adalah sifat kehewanan “al-bahimiyah”. Melalui sifat ini manusia suka makan, tidur, seks agar dapat tumbuh sehat.

Selanjutnya yang kedua adalah sifat kebuasan “alsabu’iyah” atau yang disebut dengan nafsu amarah “al-ghadabiyah”. Dengan sifat ini manusia dapat menolak sesuatu yang dapat megancam dan merugikan dirinya seperti ingin menyerang, membunuh, memaki, berkelahi dan lain sebagainya.

Yang ketiga yang tumbuh adalah sifat kesetanan “al-syaithaniyah”. Sifat ini tumbuh pada diri manuia setelah tumbuh sifat kehewanan dan kebuasan. Bilamana kedua sifat tersebut sudah ada pada diri manausia, maka setelah manusia mulai bisa berfikir (sekitar 7 tahun), maka berbagai cara akan dilakukan untuk memenuhi nafsunya. Di sini manusia akan melakukan tipu daya, makar, rekayasa demi mencapai apa yang diinginkannya.

Yang terakhir tumbuh dan berkembang dalam diri manusia adalah sifat ketuhanan “al-rububiyah”. Melalui sifat ini manusia ingin menguasai, memiliki segalanya, ingin berkuasa, menduduki jabatan setinggi-tingginya. Di sini manusia akan merasa berbangga diri, sombong, ingin dipuji, merasa paling benar dan lain sebagainya.
Selain memberikan empat sifat atau karakter pada diri manusia, Allah Swt juga menganugerahi manusia berupa akal. Fungi akal ini adalah untuk mengendalikan keempat karakter (nafsu) tersebut. Menurut Sokrates, fungsi akal itu tidak lain adalah untuk mencari kebenaran.

Dengan akal, sifat “al-bahimiyah” yang ada pada manusia, akan dikendalikan untuk hal-hal yang benar, seperti makan dan tidur secara teratur dan berhubungan seks setelah menempuh pernikahan.

Dengan akal, sifat manusia “al-sabu’iyah” akan dikendalikan menjadi pemberani, membela kebenaran, menolak kebatilan demi kemaslahatan.

Dengan akal, sifat manusia “al-syaithaniyah” akan dikendalikan menjadi berhati-hati, waspada, mampu mengadakan penyelidikan, kritis, teliti, bisa bedakan yang jujur dan bohong.

Dengan akal, sifat manusia “al-rububiyah” akan dikendalikan menjadi seorang pemimpin, manajer dan pelayan bagi orang lain.

Akal, betapapun berfungsi dan bertujuan mencari kebenaran, ia memiliki keterbatasan. Untuk meraih kebenaran yang sempurna, Allah memberikan petunjuk lagi berupa agama. Petunjuk agama ini berupa al-Qur’an dan al-Sunnah.

Dalam hadits riwayat al-Hakim dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw bersabda:

إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة نبيه

Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepadamu, apabila kamu berpegang teguh dengannya, kamu tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah nabiNya (al-Hadits).
Al-Albani menilai hadits tersebut sahih.

Dengan agama, manusia akan dapat mengendalikan diri, dapat terbimbing pada kehidupan yang benar bahkan bisa menjadi seoang manusia yang wara.
Dalam hadits riwayat Malik, al-Tirmidzi dan Ibn Majah dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda:

من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه

Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meningglkan hal-hal yang tdak bermanfaat
Al-Albani menilai hadis tersebut sahih

Dalam kajian tashawwuf, orang-orang yang sanggup mngendalikan diri, sehingga dapat membawa diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat disebut dengan wara.

Ibrahim bin Adham: Wara adalah 1). Meninggalkan hal-hal yang merugikan; 2). Meninggalkan hal-hal yang tidak berarti; 3). Meninggalkan hal-hal yang berlebihan.
Jika manusia berhasil menjadi orang yang wara’ maka ia akan menjadi manusia atau hamba Allah yang terbaik.

Dalam hadits riwayat Ibn Majah dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda:

كن ورعا تكن أعبد الناس

Jadilah kamu orang yang wara, pasti kamu akan menjadi orang yang paling tinggi pengabdiannya kepada Allah. Al-Albani menilai hadits tersebut shahih.

Jika manusia berhasil menjadi hamba Allah yang betul-betul mengabdi kepadaNya, maka ia telah sesuai dengan maksud Allah menciptakannya.
Allah Swt berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS.al-Dzariyat, 56)

Hukum Mengucapkan Selamat Natal Bagi Seorang Muslim


HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL
BAGI SEORANG MUSLIM

Oleh:

 DR.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I



Di kalangan umat Islam, terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum mengucapkan selamat natal bagi seoang muslim. Sebagian ulama mengharamkannya, dan sebagian yang lain membolehkannya. Apa alasan mereka? Adakah dalil-dalil dari al-Qur’an dan al-Hadis yang dijadikannya sebagai dasar?

Pendapat Yang Mengharamkannya.

                Ibnul Qoyyim al-Jauziyah (Ahkam Ahl al-Dzimmah, I/441) dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baz, Syeikh Ibnu Utsaimin—semoga Allah merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al Huqail berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meridhai adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya di dalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan hal ini diharamkan.
Di antara bentuk-bentuk tasyabbuh adalah ikut serta di dalam hari raya tersebut dan mentransfer perayaan-perayaan mereka ke negeri-negeri Islam.
Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim di dalam menyerupai perayaan hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus di dalam ibadah mereka.
Pemberian ucapan selamat Natal baik dengan lisan, telepon, sms, email ataupun pengiriman kartu berarti sudah memberikan pengakuan terhadap agama mereka dan rela dengan prinsip-prinsip agama mereka. Hal ini dilarang oleh Allah swt dalam firman-Nya:

  إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ  
Artinya : “Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar : 7)
Jadi pemberian ucapan Selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani baik ia kerabat, teman dekat, tetangga, teman kantor, teman sekolah dan lainnya adalah haram hukumnya.  
Islam memerintahkan setiap umatnya untuk bisa membedakan penampilannya dari orang-orang non muslim, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
”Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar ra)

Islam melarang umatnya untuk meniru-niru berbagai perilaku yang menjadi bagian ritual keagamaan tertentu di luar Islam atau mengenakan simbol-simbol yang menjadi ciri khas mereka seperti mengenakan salib atau pakaian khas mereka. Rasulullah saw bersabda:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ».
 ”Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud dai Ibnu Umar ra). Syekh Al-Albani menilai hadis tersebut hasan shahih (Sunan Abu Dawud, II/441)

Pendapat Yang membolehkannya

Syeikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa merayakan hari raya agama adalah hak masing-masing agama. Selama tidak merugikan agama lain. Dan termasuk hak tiap agama untuk memberikan tahni’ah saat perayaan agama lainnya. Maka kami sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak melarang kami untuk memberikan tahni’ah kepada non muslim warga negara kami atau tetangga kami dalam hari besar agama mereka. Bahkan perbuatan ini termasuk ke dalam kategori al-birr (perbuatan yang baik). Sebagaimana firman Allah SWT:

 لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah, 8)
 Kebolehan memberikan tahni’ah ini terutama bila pemeluk agama lain itu juga telah memberikan tahni’ah kepada kita dalam perayaan hari raya. Allah berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Artinya: Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.  (QS. An-Nisa’: 86)
Namun Syeikh Yusuf Al-Qaradawi secara tegas mengatakan bahwa tidak halal bagi seorang muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan agama yang khusus milik agama lain.
                Dr.Musthafa Ahmad Zarqa’, dalam bank fatwa situs www.Islamonline.net, menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas melarang seorang muslim mengucapkan tahniah kepada orang kafir. Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianut jenazah tersebut. Sehingga menurut beliau, ucapan tahni’ah (ucapan selamat) kepada saudara-saudara pemeluk kristiani yang sedang merayakan hari besar mereka, tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkan hanya bagian dari mujamalah (basa-basi) dan muhasanah seorang muslim kepada teman dan koleganya yang kebetulan berbeda agama.
Beliau juga memfatwakan bahwa karena ucapan tahni’ah ini dibolehkan, maka pekerjaan yang terkait dengan hal itu seperti membuat kartu ucapan selamat natal pun hukumnya ikut dengan hukum ucapan natalnya. Namun beliau menyatakan bahwa ucapan tahni’ah ini harus dibedakan dengan ikut merayakan hari besar secara langsung, seperti dengan menghadiri perayaan-perayaan natal yang digelar di berbagai tempat. Menghadiri perayatan natal dan upacara agama lain hukumnya haram dan termasuk perbuatan mungkar.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam fatwanya tahun 1981 tidak secara tegas menyatakan hukum mengucapkan selamat natal, tetapi senada dengan pandangan al-Qardhawi dan al-Zarqa, Majelis Ulama Indonesia  telah mengeluarkan fatwa bahwa “Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram”.

Pendapat Yang Moderat

Selain adanya dua pandangan yang saling bertentangan tersebut di atas, yaitu antara yang mengharamkan dan membolehkan, ada juga pandangan yang moderat, tengah-tengah anatara dua pandangan sebelumnya, yakni tidak mengharamkan secara mutlak tapi juga tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ketiga ini memilah-milah antara ucapan yang benar-benar haram dan ucapan yang masih bisa ditolelir.
Dr. Abdussattar Fathullah Said, Profesor di bidang Ilmu Tafsir dan Ulumul-Quran di Universitas Al-Azhar Mesir, dalam masalah tahni’ah ini beliau berhati-hati dan memilahnya menjadi dua yaitu ada tahni’ah yang halal dan ada yang haram.

1. Tahni’ah yang halal adalah tahni’ah kepada orang kafir tanpa kandungan hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Hukumnya halal menurut beliau. Bahkan termasuk ke dalam bab husnul akhlaq yang diperintahkan kepada umat Islam.
Contohnya ucapan, “Semoga Tuhan memberi petunjuk dan hidayah-Nya kepada Anda di hari ini .” Beliau cenderung membolehkan ucapan seperti ini.

2. Tahni’ah yang haram adalah tahni’ah kepada orang kafir yang mengandung unsur bertentangan dengan masalah diniyah, hukumnya haram.
Misalnya ucapan tahniah itu berbunyi, ” Semoga Tuhan memberkati diri anda sekeluarga.” Beliau membolehkan memberi hadiah kepada non muslim, asalkan hadiah yang halal, bukan khamar, gambar maksiat atau apapun yang diharamkan Allah.
Termasuk dalam kelompok pendapat yang moderat adalah membedakan hukum antara mengucapkan selamat natal karena terpaksa dengan yang tidak karena terpaksa. Jika seorang muslim berada di antara lingkungan mayoritas orang-orang Nasrani, seperti muslim yang tempat tinggalnya di antara rumah-rumah orang Nasrani, pegawai yang bekerja dengan orang Nasrani, seorang siswa di sekolah Nasrani, seorang pebisnis muslim yang sangat tergantung dengan pebisinis Nasrani atau kaum muslimin yang berada di daerah-daerah atau negeri-negeri non muslim maka boleh memberikan ucapan selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya tersebut disebabkan situasi “keterpaksaan. Ucapan selamat yang keluar darinya pun harus tidak dibarengi dengan keridhaan di dalam hatinya serta diharuskan baginya untuk beristighfar dan bertaubat.
Di antara kondisi terpaksa misalnya; jika seorang pegawai muslim tidak mengucapkan Selamat Hari Natal kepada boss atau atasannya maka ia akan dipecat, karirnya dihambat, dikurangi hak-haknya. Atau seorang siswa muslim apabila tidak memberikan ucapan Selamat Natal kepada Gurunya maka kemungkinan ia akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di suatu daerah atau negara non muslim apabila tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada para tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan tekanan sosial dan lain sebagainya. Pendapat ini berdasarkan kepada firman Allah swt sbb:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ  
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS. Al-Nahl, 106).
                Adapun apabila keadaan atau kondisi sekitarnya tidak memaksa atau mendesaknya dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya terhadap diri dan keluarganya maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan Selamat Hari Natal kepada mereka.

25 Desember Bukan Hari Lahir Nabi Isa

Lepas dari perdebatan seputar fatwa haramnya mengucapkan selamat natal, ada masalah yang lebih penting lagi. Yaitu kesepakatan para ahli sejarah bahwa Nabi Isa sendiri tidak lahir di tanggal tersebut. Tidak pernah ada data akurat pada tanggal berapakah beliau itu lahir. Yang jelas 25 Desember itu bukanlah hari lahirnya karena itu adalah hari kelahiran anak Dewa Matahari di cerita mitos Eropa kuno. Mitos itu pada sekian ratus tahun setelah wafatnya nabi Isa masuk begitu saja ke dalam ajaran kristen lalu diyakini sebagai hari lahir beliau. Padahal tidak ada satu pun ahli sejarah yang membenarkannya. Bahkan British Encyclopedia dan American Ensyclopedia sepakat bahwa tanggal 25 Desember bukanlah hari lahirnya Isa as.
Jadi kalau pun ada sebagian kalangan yang tidak mengharamkan ucapan selamat natal, ketika diucapkan pada even natal, ucapan itu mengandung sebuah kesalahan ilmiyah yang fatal. (dirujuk dari berbagai sumber).

Wallahu A’lam bishshawab !