Rabu, 25 Mei 2022

POSISI KAKI SAAT BERDIRI SALAT

 

POSISI KAKI SAAT BERDIRI SALAT

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh


عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ (رواه البخارى)

Dari Anas bin Malik, Nabi saw. bersabda: “Luruskan saf kalian karena aku bisa melihat kalian dari arah punggungku”. Anas berkata: “Maka salah seorang dari kami menempelkan pundaknya ke pundak temannya, dan menempelkan telapak kakinya ke telapak kaki temannya” (HR. al-Bukhari No. 725).

Status Hadis

              Hadis tersebut dinilai sahih oleh al-Bukhari dan dimasukkan ke dalam kitabnya Sahih al-Bukhari No. 725. Beberapa ulama lain yang juga meriwayatkan hadis tersebut adalah Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf No. 3524, al-Mundziri dalam al-Targhib Wa al-Tarhib No. 710, Ibn al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul No. 3864, al-Nawawi dalam Khulashat al-Ahkam No. 2466, dan al-Asqalani dalam al-Talhish al-Habir No. 60. Syekh al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib, I/120).

Kandungan Hadis

              Hadis tersebut menerangkan tentang perintah Nabi kepada sahabatnya yang sedang bersiap-siap mengikuti salat berjamaah untuk meluruskan saf. Saat itu ada salah seorang sahabat yang menempelkan pundaknya ke pundak temannya dan menempelkan telapak kaki ke telapak kaki temannya. Hadis tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menetapkan hukum bagaimana cara mengatur saf dan bagaimana cara meletakkan kaki saat berdiri salat, baik saat salat sendirian maupun salat berjamaah.

              Pada umumnya ulama berpendapat bahwa ketika berdiri dalam salat, kedua kaki direnggangkan dengan jarak yang tidak terlalu renggang dan tidak terlalu rapat. Syekh al-Utsaimin mengatakan bahwa posisi kedua kaki saat berdiri salat adalah alamiah, tidak ada aturan khusus. Tidak terlalu rapat dan tidak terlalu renggang (al-Utsaimin, Fiqh al-Ibadat, 160). Namun, sebagian ulama berpendapat bolehnya berdiri dengan merapatkan kedua kaki, karena ada riwayat dari Ibnu Umar ra.

 عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يُصَلِّي صَافًّا قَدَمَيْهِ، وَأَنَا غُلامٌ شَابٌّ

Dari Sa’ad bin Ibrahim, ia berkata: “aku melihat Ibnu Umar salat dengan merapatkan kedua kakinya ketika aku masih kecil” (Al Baghawi, Syarh al-Sunnah, III/250, Ibn Asakir, Tarikh Dimasyqa, XX/209, al-Dzahabi, Tarikh al-Islam, VIII/112).

Pendapat ini dipertanyakan, karena sekedar perbuatan seorang sahabat bukanlah dalil dalam penetapan ibadah, apalagi jika diselisihi oleh para sahabat yang lain. Sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Mas’ud ra.:

 أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي قَدْ صَفَّ بَيْنَ قَدَمَيْهِ فَقَالَ أَخْطَأَ السُّنَّةَ وَلَوْ رَاوَحَ بَيْنَهُمَا كَانَ أَعْجَبَ إِلَيَّ

Ibnu Mas’ud melihat seorang lelaki yang salat dengan merapatkan kedua kakinya.      Beliau lalu berkata: “Itu menyelisihi sunnah, andai ia melakukan al-Murawahah    

(menopang dengan salah satu kakinya) itu lebih aku sukai” (HR. Al-Nasai No. 893). Al-Albani menilai hadis ini dhaif (al-Albani, Sahih Wa Dhaif Sunan al-Nasai, III/37).

 

Juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Jausyan al-Ghathafani (seorang tabi’in):

 

عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَبِي فِي الْمَسْجِدِ، فَرَأَى رَجُلًا صَافًّا بَيْنَ قَدَمَيْهِ، فَقَالَ: أَلْزَقَ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، لَقَدْ رَأَيْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ فَعَلَ هَذَا قَطُّ

Dari ‘Uyainah bin Abdirrahman ia berkata: “Pernah aku bersama ayahku di masjid. Ia melihat seorang lelaki yang salat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata: “orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi saw. salat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf No. 7063).

 Menurut ulama Hanafiyah, jarak antara kedua kaki orang yang salat saat berdiri adalah seukuran 4 kali jari-jari tangannya. Ukuran satu kali jari-jari tangan secara umum sekitar 9-10 cm, jika dikalikan empat maka sekitar 36-40 cm. Ukuran ini dirasa lebih mendekati kekhusyukan karena posisi ini dianggap nyaman, sehingga tubuh lebih rileks. Ini pula yang dipraktikkan oleh Syekh Abi Nashr al-Dabbusi (Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar, I/479).

Sedangkan menurut ulama’ Syafi’iyah ada dua pendapat. Di dalam kitab Al-Anwar li A’mali al-Abrar sama dengan pendapat ulama Hanafiyah, yaitu 4 kali jari-jari tangan. Sedangkan dalam kitab Raudlat al-Thalibin karya al-Nawawi, jarak yang dianjurkan adalah satu jengkal tangan. Satu jengkal orang normal sekitar 22,86 cm. Ukuran ini lebih sempit daripada 4 kali jari-jari tangan. Ukuran satu jengkal ini disamakan dengan ukuran jarak dua kaki ketika sedang sujud (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, II/345).

Sementara golongan Malikiyah dan Hanabilah tidak memberikan patokan ukuran tertentu. Mereka hanya memberikan kriteria bahwa dua kaki saat berdiri dalam salat tidak boleh menempel satu sama lain. Dari berbagai pendapat tentang jarak antara dua kaki saat berdiri dalam salat dapat disimpulkan bahwa mereka sepakat tentang kemakruhan menempelkan dua kaki. Jadi, antara kedua kaki saat berdiri dalam salat hendaknya renggang atau berjarak.

 Adapun menghadapkan jari-jari kaki ke arah kiblat ketika berdiri, sebagian ulama memang menganjurkannya, namun tidak ada dalil sharih (jelas) mengenai hal ini. Berargumen dengan keumuman dalil-dalil keutamaan menghadapkan diri ke kiblat hanyalah asumsi.

Sedangkan posisi kedua kaki pada saat salat berjama’ah, sebagian ulama berpendapat bahwa kaki harus menempel erat pada kaki orang di sebelahnya sampai tidak ada celah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw.: “Luruskan saf kalian dan hendaknya kalian saling merapat, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Al Bukhari No. 719). Dalam riwayat lain, terdapat perkataan dari Anas bin Malik: “Seorang dari kami (para sahabat), menempelkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR. al-Bukhari No. 725).

Nabi Saw.  juga bersabda:

أقيمُوا الصفوفَ وحاذُوا بين المناكبِ وسُدُّوا الخَللَ ولِينوا بأيدي إخوانِكم ولا تذَروا فُرجاتٍ للشيطانِ ومن وصل صفًّا وصله اللهُ ومن قطع صفًا قطعه اللهُ

“Luruskanlah saf kalian. Sejajarkanlah pundak-pundak kalian. Tutuplah celah. Janganlah kalian membiarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung saf, maka Allah akan menyambung hubungan dengannya dan barangsiapa memutus saf maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya” (HR. Abu Dawud No. 666). Al-Albani: hadis ini sahih (al-Albani, Sahih Abi Dawud, III/243).

Dari hadis-hadis tersebut dapat diketahui bahwa Nabi saw. tidak mengatakan: “Renggangkanlah di antara kaki-kaki kalian!” Beliau juga tidak mengatakan: “Tempelkanlah pundak dengan pundak juga tumit dengan tumit.” Akan tetapi seorang Sahabat melakukan itu, ia menempelkan pundaknya dengan pundak Sahabat di sampingnya sebagai realisasi dari perintah Rasul: “Sejajarkanlah pundak-pundak kalian!”.

Posisi ini dilakukan ketika membuat saf dan orang-orang telah berdiri. Jadi menempelkan tadi dengan maksud untuk membuat saf lurus. Bukanlah maknanya harus menempelkan dengan rapat yang terus dituntut dilakukan sepanjang salat. MTT-PPM berpendapat bahwa dalam matan hadis di atas terdapat seseorang yang tidak dikenal dan lafal “ahaduna” di atas menunjukkan bahwa hanya salah seorang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan kakinya dengan kaki temannya. Hal itu menunjukkan bahwa menempelkan bahu dan kaki adalah salah satu cara sahabat dalam merapatkan saf. Untuk itu hadis di atas tidak dapat dijadikan pedoman dalam (hal wajibnya) merapatkan saf salat (Majalah SM. No 21 Tahun 2020).

 Segala hal tentang sahabat, hanya dapat dijadikan hujjah ketika memang dilakukan oleh sahabat secara keseluruhan, bukan sebagian. Hal demikian seperti yang dijelaskan al-Amidi: “Menurut pendapat mayoritas madzhab bahwa hal yang tampak dari para sahabat memang disampaikan dalam kasus penyampaian hujjah, namun dari hal tersebut yang dapat dijadikan hujjah hanya ketika memang apa yang mereka nukil disandarkan pada perbuatan seluruh sahabat. Sebab perbuatan sebagian sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atas sebagian sahabat yang lain dan juga tidak menjadi hujjah bagi selain sahabat” (Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, II/111).

Dengan demikian kewajiban menempelkan telapak kaki dan bahu satu sama lain dengan berdasarkan hadis di atas tidak bisa dibenarkan, sebab konteks hadis di atas hanya menjelaskan tentang keutamaan merapatkan saf dengan cara seperti yang dilakukan sebagian sahabat, bukan tata cara yang diwajibkan bagi para makmum yang hendak melaksanakan salat jamaah.

Dalam Kitab Aunul Ma’bud dijelaskan bahwa hadis-hadis di atas menunjukkan praktik salat yang dilakukan pada zaman Nabi saw. dan menjadi petunjuk tentang pentingnya menegakkan dan meluruskan saf. Tetapi kesunnahan seperti ini sudah ditinggalkan pada masa kini. Jika ketentuan demikian dilakukan hari ini maka manusia akan lari seperti halnya keledai liar” (al-’Adzim Abadi, Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, II/256).

Ibn Hajar al-Asqalani menerangakan:

 وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتَ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ

“Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya: Jika engkau melakukan hal tersebut dengan salah satu dari mereka saat ini, maka ia akan lari sebagaimana keledai yang lepas” (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, II/211).

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa menempelkan kaki ke kaki orang di sebelahnya dalam salat jamaah bukanlah suatu kewajiban, namun sebatas anjuran dalam hal menyempurnakan saf. Sebaliknya, jika melaksanakan hal ini justru akan membuat para jamaah yang di sebelahnya enggan mendekatinya, maka perlu kearifan dalam penerapannya agar jamaah lain bisa merasa nyaman.  Wallahu a’lam. 

 Artikel ini telah dimuat dalam Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Juni 2022