Rabu, 26 Desember 2018

SUTRAH DALAM SHALAT


SUTRAH

Oleh:


Dr. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id, katanya: Aku mendengar Nabi Saw bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang dijadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. Jika ia enggan, maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al-Bukhari No. 509).
Kandungan Hadis:
            Hadis tersebut menjelaskan tentang pentingnya memasang sutrah bagi orang yang hendak melakukan shalat. Hal ini dimaksudkan agar orang yang sedang shalat dapat melakukannya dengan khusyu’, tidak terganggu oleh orang lain yang bisa saja melewati di depannya, yakni di tempat sujudnya. Jika sutrah sudah disiapkan, tetapi masih ada orang yang melintasinya, maka orang itu harus dihadangnya, karena orang yang nekat melewatinya dianggap atau bisa disamakan dengan setan, yang kerjanya memang suka mengganggu orang yang sedang beribadah.  
 Beberapa hadis yang menerangkan perlunya sutrah adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرَّ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Dari Abu Sa’id, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, Apabila salah seorang di antara kalian shalat hendaklah shalat menghadap kepada sutrah, dan mendekat kepadanya, dan janganlah membiarkan seseorang lewat di depannya, apabila seseorang datang lewat di depannya, hendaklah ditolak dengan sekuat tenaga, karena sesungguhnya ia adalah setan.(HR. Abu Dawud No. 698). Al-Albani: hasan shahih.
Dari Shaburah bin Ma’bad ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَسْتَتِرْ لِصَلَاتِهِ، وَلَوْ بِسَهْمٍ
 “Apabilah salah seorang di antara kamu shalat, maka adakanlah sutrah meskipun dengan anak panah.” (Hr. Ahmad No. 15340). Syu’ayb al-Arnout: Hasan
Abu Juhaim berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
 “Kalau sekiranya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui hukuman yang menimpanya, tentu ia berdiri selama 40 (Abu Nashr: 40 hari, bulan, atau tahun?) lebih baik baginya daripada melewati orang yang sedang salat”(HR. Al-Bukhari No. 510 dan Muslim No. 1160). 
             Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, Ibn Faris menulis bahwa yang dimaksudkan dengan sutrah ( السترة) adalah: ما استترت به كائنا ما كان sesuatu yang menutupi atau menghalangi sesuatu (Mu’jam Maqayis al-Lughah, III/132). Adapaun secara istilah, yang dimaksud dengan sutrah adalah sesuatu yang diletakkan di depan orang yang shalat berupa tongkat atau yang lain untuk dijadikan penghalang atau pembatas  antara dia dengan sutrah itu agar tidak ada orang yang melintasinya (al-Tibrizi, Misykat al-Mashabih, II/984). Definisi ini dikuatkan oleh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Fiqhnya (al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, II/118).
            Hikmah diletakkannya sutrah di depan orang yang shalat (khususnya bagi seoranag imam dan yang shalat munfarid/sendirian) adalah untuk mengendalikan pandangan mata dari benda-benda yang ada di luar area tempat sujud (di luar sutrah), dan untuk mencegah orang yang mau melewatinya. Karena dengan meletakkan sutrah di depannya, diharapkan tidak ada sesuatu yang akan mengganggu shalatnya, dan mengendalikan pandangan matanya fokus pada tempat sujudnya (Sulaiman bin Muhammad al-Luhaimid, Iqadz al-Afham Syarh ‘Umdat al-Ahkam, III/2-3).
Hukum Menghadap Sutrah
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menghadap sutrah ketika shalat. Dalam hal ini ada empat pendapat, yakni sebagai berikut:
1.    Sunnah secara mutlak. Ini merupakan pendapat Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Malik;
2.    Mustahab (Sunnah) jika dikhawatirkan ada yang lewat. Ini merupakan pendapat Malikiyyah dan Hanafiyyah;
3.    Sunnah bagi imam dan munfarid. Ini pendapat Hanabilah (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XXIV/178);
4.    Wajib. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm (al-Muhalla, IV/186) dan Al-Syaukani (Nayl al-Authar, III/2). Pendapat ini didukung oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Tamam al-Minnah, I/300).
Ulama yang cenderung wajib memakai sutrah bagi yang melaksanakan shalat, mereka itu berpegang teguh pada hadis yang memerintahan shalat menghadap kepada sutrah, seperti lafadz perintah فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ (shalatlah menghadap sutrah) dan juga lafadz  فَلْيَسْتَتِرْ (bersutrahlah), yang pada asalnya menghasilkan hukum wajib kecuali terdapat qarinah (tanda-tanda) yang memalingkannya dari hukum wajib. Alasan inilah yang dipegang oleh para ulama yang mewajibkan sutrah. Beberapa hadis yang menjelaskan bolehnya shalat tanpa menghadap kepada sutrah, dinilai oleh kelompok ulama ini sebagai hadis dhaif, yang tidak bisa dijadikan hujjah.
Sedangkan ulama lain, secara mayoritas (kebanyakan) berpendapat bahwa memakai sutrah ketika shalat itu hanyalah Sunnah, tidak wajib. Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni bahkan  mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang hukum mustahab (sunnah) mengenai penggunaan sutrah dalam shalat” (Al Mughni, II/67).
Pandangan Ibnu Qudamah ini mendapatkan dukungan dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin yang menyatakan bahwa menggunakan sutrah dalam shalat itu tidak wajib. Ini pendapat mayoritas ulama. Sutrah itu bagian dari kesempurnaan shalat bukan dari syarat sahnya shalat. (Syahrul Mumthi’, III/276). Lebih lanjut al-‘Utsaimin menunjukkan dalil-dalil yang digunakan jumhur ulama tentang kesunnahan sutrah, yakni sebagai berikut:
Hadis Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al-Bukhari, 509).
Perkataan Nabi jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah menunjukkan orang yang shalat ketika itu terkadang shalat menghadap sesuatu dan terkadang tidak menghadap pada apa pun. Karena konteks kalimat seperti ini tidak menunjukkan bahwa semua orang di masa itu selalu shalat menghadap sutrah. Bahkan menunjukkan bahwa sebagian orang menghadap ke sutrah dan sebagian lagi tidak menghadap ke sutrah.
Hadis Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di Mina tanpa menghadap ke tembok” (HR. Al Bukhari 76, 493, 861)
Hadis Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa” (HR. Ahmad No. 1965, III/431, dan Al Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra No. 3618, II/273). Hadis ini diperselisihkan keshahihannya, karena di dalamnya terdapat perawi Al-Hajjaj bin Arthah yang statusnya “shaduq katsiirul khata’ wat tadlis”, yakni orangnya tulus, banyak salah dan banyak melakukan tipuan (al-Albani, Silsilat al-Ahadits al-Dha’ifah, XII/679).  
Namun hadis ini memiliki jalan lain dalam Musnad Ahmad hadis No. 3017  dari Hammad bin Khalid ia berkata, Ibnu Abi Dzi’bin menuturkan kepadaku, dari Syu’bah dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: “Aku pernah menunggangi keledai bersama Al-Fadhl (bin Abbas) dan melewati Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang sedang shalat mengimami orang-orang di lapangan terbuka. Lalu kami turun dan masuk ke dalam shaf, dan beliau tidak berkata apa-apa kepada kami tentang itu”. Semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Syu’bah, Ibnu Hajar berkata: “ia shaduq, buruk hafalannya”. Menurut Syu’ayb al-Arnout hadis ini shahih (Musnad Ahmad, V/151).
Hadis ini juga memiliki jalan lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya No. 718, dari Abdul Malik bin Syu’aib bin Al Laits, ia berkata: ayahku menuturkan kepadaku, dari kakeknya, dari Yahya bin Ayyub, dari Muhammad bin Umar bin Ali, dari Abbas bin Ubaidillah, dari Al-Fadhl bin Abbas beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah datang kepada kami sedangkan kami sedang berada di gurun. Bersama beliau ada ‘Abbas. Lalu beliau shalat di padang pasir tanpa menghadap sutrah. Di hadapan beliau ada keledai betina dan anjing betina sedang bermain-main, namun beliau tidak menghiraukannya”.
Dalam sanad hadis terdapat nama perawi Yahya bin Ayyub oleh  Ibnu Ma’in dikatakan: “tsiqah”, sedangkan Abu Hatim Ar Razi menyatakan: ‘Ia menyandang sifat jujur, ditulis hadisnya namun tidak dapat berhujjah denganya’. Ibnu Hajar mengatakan: ‘ia shaduq, terkadang salah’. Insya Allah, statusnya shaduq. Karena itu dalam kitab al-Dirayah Ibn Hajar mengatakan bahwa hadis tersebut shahih (al-Dirayah Fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, I/180). Adapun perawi yang lain tsiqah. Namun riwayat ini, menurut al-Albani, memiliki illah (cacat), yaitu adanya inqitha pada Abbas bin Ubaidillah dari Al-Fadhl. Ibnu Hazm dan Al-Syaukani menyatakan bahwa Abbas tidak pernah bertemu dengan pamannya yaitu Al Fadhl (Tamamul Minnah, 1/305). Sehingga riwayat ini lemah dalam pandangan al-Albani.
Dua jalan (hadis) di atas sudah cukup mengangkat derajat hadis Ibnu ‘Abbas tersebut ke derajat hasan li ghairihi. Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Ahmad (III/431). Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadis tersebut mempunyai syahid dengan sanad yang lebih shahih (al-Sunan al-Kubra, II/273). Hal ini menjadi dalil yang cukup kuat untuk mengalihkan isyarat wajibnya sutrah kepada hukum sunnah. Secara umum dikatakan oleh Syekh al-‘Utsaimin bahwa dalil-dalil jumhur ulama yang memalingkan hukum wajib kepada Sunnah adalah yang lebih kuat (al-Syarh al-Mumti ‘Ala Zad al-Mustaqni’, III/277).
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga berpendapat bahwa memakai sutrah pada saat shalat itu hanyalah Sunnah (tidak wajib) bagi seorang imam dan orang yang shalat secara munfarid/sendirian (http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/03/25/fungsi-sutrah-dalam-shalat/2/).
Wallahu A’lam !

Sabtu, 03 November 2018

PENJARAHAN SAAT BENCANA TIBA


PENJARAHAN SAAT BENCANA TIBA

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Nabi Saw bersabda:
            وَلاَ يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“…Orang mulia yang terpandang tidak akan merampas hak orang lain ketika sedang merampas ia dalam keimanan yang prima”.                                                                         (HR. al-Nasai dari Abu Hurairah ra)
Status Hadis
            Menurut Muhammad Nashiruddin al-Albani hadis tersebut shahih (Shahih Wa Dha’if Sunan al-Nasa-i, X/442). Hadis tersebut terdapat dalam kitab Sunan al-Nasai karya Imam al-Nasa-i (Sunan al-Nasa-i, VIII/64 hadis no. 4870), kitab al-Tamhid karya Ibn Abd al-Barr (al-Tamhid, IV/236), dan kitab al-Lu’lu’ Wa al-Marjan karya M.Fuad Abd al-Baqi (al-Lu’lu’ Wa al-Marjan, I/12 hadis no. 36).
            Hadis tersebut juga diakui keshahihannya oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam masing-masing kitabnya, Shahih al-Bukhari hadis No. 5578 dan kitab Shahih Muslim hadis No. 211.
Kandungan Hadis
            Hadis tersebut menjelaskan bahwa tindakan penjarahan tidak mungkin dilakukan oleh seorang mukmin. Orang yang benar-benar mukmin tidak akan melakukan penjarahan, karena ia sadar bahwa penjarahan itu terlarang. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), penjarahan sama dengan perampasan. Menjarah berarti merebut dan merampas milik orang (terutama dalam suasana perang atau dalam kekacauan). Penjarahan adalah bagian dari pencurian.
            Teks hadis tersebut merupakan penggalan bagian akhir dari hadis yang agak panjang. Selengkapnya sebagai berikut (artinya): Dari Abu Hurairah ra., ia berkata; Nabi Saw bersabda: "Seorang pezina tidak akan berzina bila saat hendak berzina ia dalam keimanan yang prima. Seseorang tidak akan meminum khamar bila saat hendak minum-minuman ia dalam keimanan yang prima. Seorang pencuri tidak akan mencuri bila saat hendak mencuri ia dalam keimanan yang prima. Dan orang mulia yang terpandang tidak akan merampas hak orang lain bila saat hendak merampas ia dalam keimanan yang prima.” (HR. al-Bukhari, Muslim, al-Nasai, dan lain-lain).
            Hadis tersebut bisa juga dipahami bahwa melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain seperti mencuri dan menjarah hukumnya haram. Ketentuan ini merupakan hukum asal dari penjarahan. Adapun jika penjarahan itu dilakukan pada saat dalam keadaan darurat, seperti saat-saat terjadi bencana yang mengakibatkan sulit mencari bahan-bahan makanan, maka berikut ini penjelasan para ulama.
Abdul Qadir Audah dalam kitabnya “al-Tasyri’ al-Jina-i Fi al-Islam” mengemukakan kaidah “al-hudud tudra’u bi al-syubhat” (الحدود تُدرأ بالشبهات),  artinya: “Hukuman had bisa digugurkan karena alasan syubhat” (Audah, al-Tasyri’ al-Jina-i Fi al-Isla, I/226).
Hukuman had adalah hukuman bagi pelaku kriminal yang sudah ditentukan dalam islam, seperti potong tangan bagi pencuri. Sedangkan syubhat adalah ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya.
Mengenai tindakan penjarahan yang dilakukan oleh sebagian orang pada saat terjadi bencana kelaparan, Ali bin Yusuf al-Syairazi mengatakan:
وإن سرق الطعام عام المجاعة نظرت فإن كان الطعام موجودا قطع لانه غير محتاج إلى سرقته وإن كان معدوما لم يقطع لما روى عن عمر رضى الله عنه أنه قال لا قطع فى عام المجاعة أو السنة ولان له أن يأخذه فلم يقطع فيه
Jika ada orang yang mencuri ketika kelaparan, maka harus dilihat (diperhatikan kadaannya). Jika makanan masih ada, maka dia dipotong tangannya, karena dia tidak butuh untuk mencuri makanan itu. Namun jika dia tidak memiliki makanan, tidak dipotong tangannya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Umar ra. bahwa beliau mengatakan, ‘Tidak ada potong tangan ketika musim kelaparan’, dan dia juga punya hak untuk mengambil makanan, sehingga tidak dipotong tangannya (al-Syairazi, al-Muhadzab Fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i, II/282).
Ibn al-Mulqin Sirajuddin Abu Hafs, dalam kitabnya al-Badr al-Munir mengutip pendapat Umar bin al-Khattab ra: لَا قَطْعَ في عَامِ الْمَجَاعَةِ,  “Tidak ada hukum potong tangan saat musim kelaparan” (Ibn al-Mulqin, al-Badr al-Munir, VIII/679).
Ibn al-Qayyim mengatakan: “Jika terjadi kelaparan yang mencekam sehingga masyarakat mengalami kondisi terpaksa dan darurat, dan pencuri tidak ada yang melakukan aksinya selain karena alasan darurat untuk menutupi kebutuhan makannya, maka wajib bagi pemilik harta untuk memberikan harta itu kepadanya, baik dengan cara membeli atau gratis, ada khilaf ulama dalam masalah ini”. Lebih lanjut Ibn al-Qayyim mengatakan:
والصحيح وجوب بذله مجانا لوجوب المواساة وإحياء النفوس مع القدرة على ذلك والإيثار بالفضل مع ضرورة المحتاج، وهذه شبهة قوية تدرأ القطع عن المحتاج… لا سيما وهو مأذون له في مغالبة صاحب المال على أخذ ما يسد رمقه
Pendapat yang benar adalah wajib bagi pemilik makanan untuk menyerahkan makanan itu secara gratis. Mengingat adanya kewajiban kesamaan sepenanggungan dan menjaga jiwa selama masih mampu dilakukan, dan mendahulukan orang lain dengan makanan di luar kebutuhan pokoknya ketika orang yang membutuhkan dalam kondisi darurat. Dan ini termasuk syubhat yang sangat kuat, yang menggugurkan hukuman potong tangan bagi orang yang membutuhkan… terlebih dia diizinkan untuk memaksa pemilik makanan agar dibolehkan mengambil makanan yang cukup untuk mengatasi kelaparannya(Ibn al-Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in, III/10-11).
   Kebolehan menjarah bagi orang yang sedang dalam situasi terpaksa (darurat) ini sejalan dengan KUHP Pasal 48 berbunyi, "Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana". Daya paksa sebagaimana dimaksud pasal 48 KUHP terdiri atas keadaan memaksa (overmacht) dan keadaan darurat (noodtoestand).  Keadaan memaksa (overmacht) adalah dasar pemaaf yang berarti seorang pelaku dapat dimaafkan meski perbuatannya melawan hukum. Namun, pelaku tersebut juga harus memenuhi syarat tertentu. "Kalau keadaan memaksa, perbuatannya tetap melawan hukum, tapi ada faktor pemaaf pada diri pelaku. Misalnya karena pelaku orang gila, anak di bawah umur, atau orang dalam keadaan memaksa yang mutlak". Sederhananya, pelaku penjarahan bisa dimaafkan perbuatannya bila orang tersebut adalah orang gila, masih di bawah umur, serta orang yang tidak dapat menentukan kehendaknya secara bebas mengenai perbuatan apa yang dapat dilakukannya.
Sementara keadaan darurat (noodtoestand) adalah dasar pembenar, yaitu membenarkan atau membolehkan perbuatan pelaku sehingga tidak perlu mendapatkan sangsi hukum. "Dalam kasus penjarahan saat terjadi bencana kelaparan, sepanjang dilakukan untuk mempertahankan hidup, perbuatannya menjadi perbuatan yang tidak (lagi dipandang) melawan hukum karena ia harus mempertahankan hidupnya. Ada pilihan situasi antara harus mencuri demi bertahan hidup atau diam saja tidak mencuri dengan resiko mati (kelaparan)". Dalam hal ini, tidaklah dikatakan bahwa perbuatan tersebut halal, perbuatan itu hanya dibolehkan karena terpaksa atau darurat. Karena itu para pelaku pada saat tersebut dapat dimaafkan (fait d’execuse).

Penjelasan ulama terkait kebolehan tindakan penjarahan pada saat kondisi hajat dan kondisi darurat di atas hanya berlaku untuk pencurian atau penjarahan dalam bentuk makanan atau semua hal yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup. Adapun kebutuhan lain yang tidak berkaitan dengan pertahanan hidup, seperti televisi atau perabotan, dan kebutuhan skunder lainnya hukumnya seperti hukum asal, yaitu dilarang untuk diambil. Intinya, penjarahan bisa diizinkan apabila karena terpaksa demi untuk bertahan hidup.  

Senin, 01 Oktober 2018

PEMIMPIN IDEAL


MEMILIH PEMIMPIN IDEAL

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I

Teks Hadis
 عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِى قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِى ثُمَّ قَالَ « يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا
Abu Dzar berkata: Ya Rasulallah! Tidakkah kau memberikan jabatan kepadaku? Maka Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: Wahai Abu Dzar! Engkau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai  amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali orang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya (HR. Muslim No. 4823)
Status Hadis
            Al-Albani mengatakan bahwa hadis tersebut shahih (Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, II/254). Selain diriwayatkan oleh Muslim, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Thahawi dalam Syarah Musykil al-Atsar No. 57, Ibn Abi Syaibah dalam Sunan Ibn Abi Syaibah No. 32540, al-Baihaqi dalam Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar No. 6023, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak No. 7019.

Kandungan Hadis
Hadis tersebut menjelaskan bahwa amanah yang akan diemban oleh seorang pemimpin itu sungguh sangat berat. Karena itu ketika Abu Dzar meminta suatu jabatan, oleh Rasulullah Saw diberitahu bahwa pada diri Abu Dzar itu ada kelemahan yang dimungkinkan tidak akan sanggup mengemban suatu jabatan. Diingatkan oleh Rasul bahwa jabatan itu merupakan amanat yang berat, dan kelak pada hari kiamat suatu jabatan hanya akan mendatangkan penyesalan bahkan kehinaan, kecuali bila orang yang mendapatkan amanah jabatan itu benar-benar memiliki kemampuan, kapasitas dan kapabilitas sehingga ia akan dapat menunaikan hak dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab.
Untuk menjadi seorang pemimpin handal dan ideal, Allah mengisyaratkan adanya empat kreteria yang harus dimilikinya:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ  
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. Al-Maidah, 55).
Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kewengan yang sangat besar dalam menentukan arah dan kebijakan strategis yang berdampak sangat besar bagi kehidupan kaum Muslimin di suatu wilayah tertentu. Karena itu seorang pemimpin harus kuat, dan memiliki kemampuan yang memadai. Memilih seorang pemimpin bukan sekedar bagian dari urusan dunia, tetapi juga sekaligus urusan akhirat.  Islam tidak mengenal dikotomi atau sekulerisasi yang memisahkan antara  dunia dan akhirat, termasuk dalam memilih pemimpin.
Berdasarkan Surat al-Maidah ayat 55 tersebut, ada empat kreteria seseorang yang layak menjadi pemimpin.
Pertama, harus beriman kepada Allah (وَالَّذِينَ آمَنُوا), mukmin dan muslim yang baik, yakni seorang Muslim yang memiliki dua sifat, seperti disebutkan dalam Alquran Surah Yusuf ayat 55, “hafizhun ‘alim” (إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ).
“Hafizhun”, artinya seorang yang pandai menjaga. Yakni, seorang  yang punya integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur dan berakhlak mulia, sehingga patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang amanah, akan berusaha sekuat tenaga untuk menyejahterakan rakyatnya, walaupun sumber daya alamnya terbatas. Sebaliknya pemimpin yang khianat sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarga serta kolega-koleganya, dan membiarkan rakyatnya tak berdaya. Jabir bin Abdillah berkata:
الأَمَانَةُ تَجْلِبُ الرِّزْقَ وَالْخِيَانَةُ تَجْلِبُ الْفَقْرَ
Sifat amanah itu akan membawa keberkahan, sedangkan sifat khianat itu akan mendorong kepada kefakiran (al-Manawi, Faidh al-Qadir, III/183
Adapun “’Alim”, artinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai untuk memimpin rakyatnya dan membawa mereka pada kehidupan yang lebih sejahtera. Masuk dalam ketegori ini adalah memiliki sifat “fathanah”, artinya cerdas dan tangkas dalam menghadapi berbagai problem yang menghadang. Bila seorang pemimpin memiliki sifat seperti ini, maka akan lebih cepat dalam menyelesaikan persoalan yang muncul.
Kedua, untuk menjadi seorang pemimpin, menurut al-Maidah ayat 55,  haruslah rajin menegakkan shalat (يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ). Sebab, shalat adalah barometer akhlak manusia. Shalat dapat menumbuhkan sikap tanggung jawab dan kedisiplinan. Shalat juga dapat menumbuhkan optimisme, karena dengan semakin dekatnya kepada Allah, ia akan mudah untuk mendapatan bimbingan berupa ilham. Allah menyatakan:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Maka ingatlah kepada-Ku, pasti Aku pun akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan jangan mengingkari nikmat-Ku (QS. Al-Baqarah, 152)
Ketiga, untuk menjadi seorang pemimpin, menurut al-Maidah ayat 55, adalah gemar menunaikan zakat dan sedekah (وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ). Zakat itu bukan membersihkan harta yang  kotor, melainkan membersihkan harta kita (harta yang bersih) dari hak orang lain. Seorang pemimpin yang rajin berzakat dan berinfak dengan penuh kesadaran, tidak mungkin akan korupsi. Sebab terhadap harta yang dimilinya saja mau dibersihkan, buat apa korupsi yang  malah akan mengotori hartanya. Allah mengingatkan:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ 
Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu menyuap dengan  harta itu kepada hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah, 188)
Keempat,  syarat pemimpin yang keempat menurut al-Maidah ayat 55,  adalah suka berjamaah (وَهُمْ رَاكِعُونَ). Artinya suka bergaul dengan masyarakat, berusaha mengetahui keadaan rakyatnya dengan sebaik-baiknya, dan mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Sifat suka berjamaah atau memperhatikan masyarakat ini, ditunjukkan dalam shalat fardhu berjamaah. Rasulullah setiap selesai shalat fardhu berjamaah lalu duduk menghadap kepada jamaah. Hal itu,  bertujuan untuk mengetahui kondisi jamaah, termasuk memperhatikan apakah jumlah jamaah tersebut lengkap atau tidak. Kalau ada yang tidak hadir shalat berjamaah, maka ditanya apa penyebabnya. Kalau ternyata orang tersebut sakit, Rasulullah bersama para sahabatnya lalu menjenguk orang yang sakit tersebut.
Shalat berjamaah juga mengandaung pelajaran sikap yang demokratis, dalam arti seorang pemimpin(imam) harus siap dikoreksi kalau salah. Pemimpin juga harus memperhatikan kondisi jamaah (makmum) atau masyarakat yang dipimpinnya. Semangat berjamaah atau memperhatikan masyarakatnya inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sehingga masarkat yang dipimpinnya merasa diperhatikan dan dilayaninya.
Kita bisa membayangkan betapa hebatnya bangsa dan negara ini bila pemimpin yang kita pilih memiliki empat kreteria tersebut, yakni (1) beriman kepada Allah dengan memiliki integritas yang tinggi, kredibel dan kapabel sebagai seorang pemimpin; (2) suka menegakkan shalat, sehingga dalam menjalankan tugasnya senantiasa dibimbing oleh Allah Swt; (3) sadar zakat, sehingga tidak ingin korupsi dan manipulasi; dan (4) suka berjamaah, perhatian kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Allah Swt berfirman:
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (QS. Al-Baqarah, 56).

BERGESER TEMPAT UNTUK SHALAT SUNNAH BAKDIYAH


PINDAH TEMPAT UNTUK SHALAT SUNNAH BAKDIYAH

Oleh


Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I

Teks Hadis
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ قَالَ عَن عَبْدِ الْوَارِثِ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ أَوْ عَن يَمِينِهِ أَوْ عَن شِمَالِهِ زَادَ فِي حَدِيثِ حَمَّادٍ فِي الصَّلَاةِ يَعْنِي           فِي السُّبْحَةِ[1]
 Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Apakah kalian kesulitan - Musaddad berkata dari Abdul Warits- untuk maju atau mundur, geser ke kanan atau ke kiri ketika shalat”. Dalam hadis riwayat Hammad di tambahkan- dalam shalat yaitu shalat sunnah"(HR. Abu Dawud No. 1006)
Status Hadis
            Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya hadis nomor 1006. Selain Abu Dawud, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bazzar  dalam Musnadnya hadis No. 9819; Ibn Majah dalam Sunannya hadis No. 1427; Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya hadis No. 9492; dan Ibn Abi Syaibah dalam Mushannafnya hadis No. 16; Menurut al-Albani, hadis tersebut shahih.[2]
Kandungan Hadis
            Hadis tersebut menjelaskan bahwa setelah shalat wajib yang lima waktu, khususnya pada shalat-shalat yang dianjurkan shalat sunnah setelahnya (sunnah bakdiyah), seperti pada shalat dhuhur atau jumat, shalat maghrib dan shalat isya, maka jika hendak melakukan shalat sunnah bakdiyah dianjurkan untuk pindah tempat dari tempat shalat wajib yang dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini, boleh bergeser tempat ke sebelah kanan atau sebelah kiri, ke depan atau ke belakang.
            Tentang pindah tempat untuk shalat sunnah bakdiyah setelah shalat wajib  ini ada tiga tingkatan. Pertama, setelah shalat wajib selesai (dzikir dan doa) langsung pergi pulang dan shalat sunnah bakdiyah di rumah. Kedua, setelah shalat wajib selesai (dzikir dan doa)lalu bergeser tempat ke sebelah kanan atau ke kiri, ke depan atau belakang kemudian di situ shalat sunnah bakdiyah. Ketiga, setelah shalat wajib selesai (dzikir dan doa) maka ia shalat sunnah bakdiyah di tempat yang sama saat ia shalat wajib.
            Melakukan shalat Sunnah di rumah adalah lebih utama dan sangat dianjurkan oleh Nabi Saw. Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari, Zaid bin Tsabit menceritakan bahwasanya Nabi Saw bersabda:
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَة[3]
“Maka shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya seutama-utama shalat adalah shalat seseorang yang dilakukan di rumahnya sendiri, kecuali shalat wajib” (HR. al-Bukhari No. 731).
            Menurut Imam al-Nawawi, dianjurkannya shalat sunnah di rumah itu karena lebih dapat merahasiakan dan lebih dapat terjaga dari sikap riya serta hal-hal yang merusak ibadah. Selain itu dengan shalat sunnah di rumah diharapkan menjadi sebab turunnya barakah dan rahmat, serta bisa mengundang datangnya Malaikat ke dalam rumah dan mengusir setan.[4]
Bila tidak langsung pulang, maka shalat sunnah bakdiyah dapat dilakukan tetap di dalam masjid dengan cara pindah tempat dari tempat ia shalat wajib sebelumnya. Caranya bisa dengan bergeser ke kanan atau ke kiri, ke depan atau ke belakang. Anjuran pindah tempat ketika shalat sunnah bakdiyah ini, selain berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud No.1006 di atas juga dikuatkan dengan keterangan sahabat, dari Atha’ bahwa Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Abu said, dan Ibnu Umar ra. mengatakan:
لَا يَتَطَوَّعُ حَتَّى يَتَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ الْفَرِيضَةَ[5]
“Hendaknya tidak melakukan shalat sunnah, sampai berpindah dari tempat yang digunakan untuk shalat wajib”.

Al-Nawawi, dalam kitabnya al-Majmu’  mengatakan:
 فإن لم يرجع إلى بيته وأراد التنفل في المسجد يستحب أن ينتقل عن موضعه قليلاً لتكثير مواضع سجوده ، هكذا علله البغوي وغيره[6]
“Jika seseorang tidak langsung pulang ke rumahnya setelah shalat wajib, dan ingin shalat sunnah di masjid maka dianjurkan untuk bergeser sedikit dari tempat shalatnya, agar dapat memperbanyak tempat sujudnya. Demikian alasan yang disampaikan Al-Baghawi dan yang lainnya” (al-Majmu’, III/455).
             Al-Baghawi dan ulama lain memahami bahwa di antara hikmah berpindah tempat (untuk shalat Sunnah) dari tempat shalat wajib sebelumnya itu adalah dimaksudkan agar dapat memperbanyak tempat sujud dan memperbanyak tempat ibadah. Karena tempat yang digunakan untuk sujud itu kelak akan menjadi saksi bagi orang yang bersujud di tempat tersebut. Dalam QS. al-Zalzalah (99) ayat 4 Allah Swt berfirman yang artinya:  “bumi akan mengabarkan apa yang diperbuat kepadanya”. Ayat ini menunjukkan bahwa bumi akan menjadi saksi untuk setiap perbuatan yang dilakukan manusia, perbuatan yang baik maupun yang buruk. Makna ini diisyaratkan oleh al-Syaukani dalam Nailul Authar. Berikut ini pernyataan Imam Al-Syaukani:
وَالْعِلَّةُ فِي ذَلِكَ تَكْثِيرُ مَوَاضِعِ الْعِبَادَةِ كَمَا قَالَ الْبُخَارِيُّ وَالْبَغَوِيُّ لِأَنَّ مَوَاضِعَ السُّجُودِ تَشْهَدُ لَهُ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى { يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا } أَيْ تُخْبِرُ بِمَا عُمِلَ عَلَيْهَا[7]
“Illat di balik (anjuran untuk bergeser sedikit, pen) adalah memperbanyak tempat ibadah sebagaimana dikemukakan Al-Bukhari dan Al-Baghawi. Sebab tempat sujud kelak akan menjadi saksi baginya sebagaimana firman Allah: ‘Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,’ (QS. Al-Zalzalah [99]: 4). Maksudnya adalah bumi akan mengabarkan apa yang diperbuat di atasnya” (Al-Syaukani, Nailul Authar, III/241).
Anjuran pindah tempat ketika shalat sunnah bakdiyah ini sejalan dengan peristiwa yang dialami oleh Nafi bin Jubair, saat beliau shalat jumat bersama Muawiyah bin Abi Sufyan ra. Saat itu setelah salam, Nafi bin Jubair langsung melaksanakan shalat sunnah. Begitu selesai shalat, Muawiyah mengingatkan:
 لاَ تَعُدْ لِمَا صَنَعْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلاَ تَصِلْهَا بِصَلاَةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِذَلِكَ أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ بِصَلاَةٍ حَتَّى يَتَكَلَّمَ أَوْ يَخْرُجَ.[8]
“Jangan kau ulangi perbuatan tadi. Apabila kamu selesai shalat Jumat, jangan disambung dengan shalat yang lainnya, hingga engkau berbicara atau keluar masjid. Karena Nabi Saw memerintahkan hal itu. (Nabi Saw bersabda):“Janganlah engkau sambung shalat wajib dengan shalat sunnah, sampai engkau berbicara atau keluar.” (HR. Abu Daud No.1129).
Apabila tidak pulang ke rumah, dan tidak bisa (enggan) bergeser dari tempat shalat wajib yang telah dilakukan, maka ia boleh shalat sunnah bakdiyah di tempat yang sama saat ia shalat wajib dengan cara diselingi pembicaraan setelah salam dari shalat wajib sebelum shalat sunnah.

Imam al-Nawawi mengatakan:
فَإِنْ لم يَنْتَقِلْ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَفْصِلَ بَيْنَ الْفَرِيضَة وَالنَّافِلَة بِكَلَامِ إِنْسَانٍ[9]
“Namun jika ia enggan berpindah atau bergeser ke tempat lain, maka sebaiknya ia memisah antara shalat wajib dan shalat sunnah dengan cara berbicara dengan orang lain,” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Vol. III/455).

Termasuk cakupan makna “berbicara” dalam hadis riwayat Abu Dawud No. 1129 tersebut adalah berdzikir setelah salam, seperti membaca istighfar tiga kali, kemudian membaca Allaahumma antassalaam wa minkassalaam tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam, dan dzikir-dzkir lainnya yang biasa dibaca setelah selesai shalat.  Dengan adanya ucapan atau bacaaan tadi bisa menjadi pemisah yang jelas antara shalat wajib dengan shalat sunnah, sehingga tidak dikira shalat sunnahnya menjadi bagian dari shalat wajib.[10]
Wallahu A’lam!


[1] HR. Abu Dawud No. 1006
[2] M. Nashiruddin al-Albani, al-Jami’ al-Shahih, Vol.I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1988), 519.

[3] HR. al-Bukhari No. 731.
[4] Imam al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘Ala  Muslim, III/129 hadis No. 1296).
وَإِنَّمَا حَثَّ عَلَى النَّافِلَة فِي الْبَيْت لِكَوْنِهِ أَخْفَى وَأَبْعَدَ مِنْ الرِّيَاء، وَأَصْوَنُ مِنْ الْمُحْبِطَات، وَلِيَتَبَرَّك الْبَيْت بِذَلِكَ وَتَنْزِل فِيهِ الرَّحْمَة وَالْمَلَائِكَة وَيَنْفِر مِنْهُ الشَّيْطَان
[5] Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf Fi al-Ahadits Wa al-Atsar, II(Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1409 H), 23.
[6] An-Nawawi, Al-Majmu’, Vol. III(Bayrut: Dar al-Fikr, 1997), 455.
[7]Al-Syaukani, Nailul Awthar, Vol. III(T.tp: Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyah, t.th), 241.
[8]Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Vol. I (Bayrut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th), 438.
[9] An-Nawawi, Al-Majmu’, Vol. III/ 455.
[10] Abdullah Aziz bin Abdullan bin Baz, Majmu’ Fatawa Bin Baz, XII/335
والتكلم يكون بما شرع الله من الأذكار كقوله : أستغفر الله. أستغفر الله. أستغفر الله. اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام، حين يسلم، وما شرع الله بعد ذلك من أنواع الذكر، وبهذا يتضح انفصاله عن الصلاة بالكلية حتى لا يظن أن هذه الصلاة جزء من هذه الصلاة .