Selasa, 06 Juli 2021

DONASI NON-MUSLIM UNTUK MASJID DAN MADRASAH

 

DONASI NON-MUSLIM UNTUK MASJID DAN MADRASAH

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Pertanyaan:

              Assalamu’alaikum wr. wb.!

              Ustadz Zuhdi rahimakumullah! Mohon penjelasan tentang hukum menerima sumbangan atau donasi dari kalangan non-muslim, baik untuk kepentingan pribadi seperti makanan dan pakaian maupun kepentingan umum seperti membangun masjid, madrasah, dan lain-lain. Demikian, atas pencerahannya, kami sampaikan banyak terima kasih. Jazakumullah khairan katsiran! (Subhan, Sidoarjo).

Wassalamu’laikum wr.wb.!

Jawab:

Masalah menerima donasi atau sumbangan dari non muslim, setidaknya ada dua hadis yang terkesan bertentangan mengenai ini, yakni sebagai berikut:

1.      Hadis Riwayat al-Thabrani No. 15487. Dari Ka’b bin Malik, ia berkata:

جَاءَ مُلاعِبُ الأَسِنَّةِ إِلَى النَّبِيِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَدِيَّةٍ، فَعَرَضَ عَلَيْهِ الإِسْلامَ، فَأَبَى أَنْ يُسْلِمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"فَإِنِّي لا أَقْبَلُ هَدِيَّةَ مُشْرِكٍ".

“Ada seorang yang bergelar ‘pemain berbagai senjata’ (yaitu ‘Amir bin Malik bin Ja’far) menghadap Nabi saw. dengan membawa hadiah. Nabi lantas menawarkan Islam kepadanya. Orang tersebut menolak untuk masuk Islam. Nabi saw. lantas bersabda: “Sungguh aku tidak menerima hadiah dari orang musyrik” (HR. al-Thabrani No. 15487).

Beberapa ulama menilai hadis tersebut shahih tetapi mursal, di antara ulama tersebut adalah Abd al-Rauf al-Munawi dalam kitabnya (Faid al-Qadir Syarh al-Jami al-Shaghir, III/16); Badr al-Din al-‘Aini al-Hanafi dalam kitabnya (Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, XX/158); Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya  (Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, VIII/110); dan al-Syaukani dalam kitabnya (Nail al-Authar, VI/77). Sedangkan Syekh Nashirudin al-Albani cenderung pada penilaian hadis tersebut shahih. Menurut al-Albani, setelah mencermati berbagai jalur periwayatan ditemukan sejumlah syahid yang menunjukkan kesahihan hadis tersebut. Hadis tersebut mursal melalui periwayatan Abd al-Razzaq, tetapi kemudian dimarfu’kan atau dimaushulkan oleh Ibn al-Mubarak. Menurut al-Albani, Ibn al-Mubarak lebih terjaga hafalannya (ahfad) daripada Abd al-Razzaq (al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah al-Kamilah, IV/226).

 

2.      Hadis Riwayat al-Bukhari No. 1481, dari Abu Humaid al-Sa’idi ra., beliau mengatakan:

غَزَوْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – تَبُوكَ، وَأَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

“Kami mengikuti perang Tabuk bersama Nabi saw. Raja negeri Ailah memberi hadiah kepada beliau berupa baghal berwarna putih dan kain. Sang raja juga menulis surat untuk Nabi saw. (HR. Bukhari No. 1481).

              Sekilas, hadis tersebut tampak bertentangan. Hadis pertama Riwayat al-Thabrani menerangkan bahwa Nabi tidak mau menerima pemberian (donasi) dari orang musyrik (non-muslim). Sedangkan pada hadis kedua, Riwayat al-Baukhari menjelaskan bahwa Nabi saw. menerima hadiah dari raja yang masih musyrik (Raja Ailah).

Mengomentari adanya hadis yang terkesan bertentangan (antara yang menolak dan menerima pemberian (donasi) dari kalangan musyrik (non-muslim), Ibn Hajar al-Asqalani dalam Kitab Fath al-Bari Syarh Kitab Shahih al-Bukhari, menulis sebagai berikut: 

قَوْلُهُ :( بَاب قَبُولِ اَلْهَدِيَّةِ مِنْ اَلْمُشْرِكِينَ) أَيْ جَوَاز ذَلِكَ وَكَأَنَّهُ أَشَارَ إِلَى ضَعْف اَلْحَدِيث اَلْوَارِد فِي رَدِّ هَدِيَّة اَلْمُشْرِك

“Ungkapan Imam al-Bukhari pada “Bab menerima hadiah dari orang-orang musyrik”, maksudnya adalah bolehnya menerima hadiah dari kaum musyrikin. Dalam tulisan ini seakan-akan al-Bukhari memberi isyarat tentang lemahnya hadis yang menolak hadiah dari orang musyrik (al-Asqalani, Fath al-Bari, V/230).

Al-Asqalani juga mengutip beberapa pendapat ulama yang mengkomparasikan beberapa hadis yang bertentangan mengenai masalah tersebut. Menurutnya, pendapat yang kuat adalah bahwa hadis yang melarang menerima pemberian non-Muslim konteksnya adalah pemberian yang terindikasi kuat bertujuan menghancurkan umat Islam atau berdampak merugikan mereka. Sedangkan hadis yang membolehkannya diarahkan kepada tujuan menghibur dan untuk kepentingan mendakwahkan Islam.   

Ibn Hajar al-Asqalani lebih lanjut mengatakan: “Sang pengarang menyebutkan beberapa hadis yang menunjukkan kebolehan menerima hadiah non-Muslim. Imam al-Thabari membuat komparasi bahwa penolakan Nabi diarahkan kepada hadiah yang secara khusus diberikan kepada beliau, dan hadis yang menerima diarahkan kepada pemberian untuk umat Islam secara umum. Pendapat al-Thabari ini perlu dikaji ulang, sebab di antara dalil yang membolehkan adalah hadiah yang secara khusus diberikan kepada Nabi. Ulama lainnya memberikan jalan tengah bahwa penolakan Nabi konteksnya adalah non-Muslim yang bertujuan konspirasi (jahat), dan penerimaan Nabi konteksnya adalah non-Muslim yang dengan menerima hadiahnya dimaksudkan menghibur dan memberinya simpati agar masuk Islam. Al-Asqalani menyatakan: (وَهَذَا أَقْوَى مِنْ اَلْأَوَّل), pendapat yang ini lebih kuat dibandingkan yang pertama(al-Asqalani, Fath al-Bari, V/231; baca juga al-Syaukani, Nayl al-Authar, VI/77).

              Keterangan tersebut membuka ruang diskusi tentang hukum menerima donasi dari kalangan non-muslim. Termasuk di dalamnya adalah pembahasan mengenai bagaimana hukum seorang muslim menerima hadiah (pemberian) berupa makanan, baju dan selainnya dari keluarga atau temannya yang masih non-muslim, dan bagaimana hukum panitia pembangunan masjid atau madrasah menerima sumbangan (donasi) dari kalangan non-muslim.

 Menerima hadiah untuk kepentingan pribadi dari keluarga atau sahabat yang non-muslim

Dilihat dari cara mendapatkannya, suatu benda bisa menjadi haram diterima sebagai sedekah atau pemberian, jika suatu benda yang diberikan tadi diketahui atau diduga berasal dari  hasil mencuri, korupsi, manipulasi, memeras, menipu, menyogok, atau dari tindak kejahatan lainnya. Dalam hal ini, pemberian barang yang berasal dari hasil tindak kejahatan, baik dari muslim maupun non muslim, maka barang tersebut tidak boleh diterima. Sedangkan dilihat dari zatnya, jika suatu benda sudah dinyatakan haram oleh al-Qur’an atau al-Sunnah, seperti khamer atau minuman keras, daging babi, dan lain sebagainya, maka benda-benda tersebut tidak boleh diterima sebagai pemberian atau sedekah, baik dari seorang muslim maupun dari non-muslim.

Oleh karena itu, jika ada seorang non muslim bersedekah atau memberi sesuatu kepada seorang muslim berupa uang halal, makanan halal atau barang-barang yang halal menurut Islam, maka pemberian tersebut boleh diterima. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad diterangkan dari Amir bin Abdullah bin al-Zubair, ia berkata, “Qutailah (Ibu dari Asma’) pernah mendatangi anak perempuannya, Asma’ binti Abu Bakar dengan membawa beberapa hadiah, di antaranya daging, keju dan minyak samin, sedangkan ia (Qutailah) seorang yang musyrik, maka Asma’ menolak hadiahnya serta tidak mempersilakan ibunya masuk rumah. Aisyah ra. pun menanyakan peristiwa tersebut kepada Nabi Saw. maka Allah Swt. menurunkan Surat al-Mumtahanah ayat 8 (artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama).

فَأَمَرَهَا أَنْ تَقْبَلَ هَدِيَّتَهَا وَأَنْ تُدْخِلَهَا بَيْتَهَا.

 Maka Nabi Saw. pun memerintahkan Asma’ untuk menerima hadiah ibunya dan mempersilakan masuk rumah” (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, IV/4); Menurut al-Hakim, hadis ini sahih (Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, XXVI/135).

Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Asma binti Abi Bakr, ia berkata:

قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قُلْتُ، وَهِيَ رَاغِبَةٌ: أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ: نَعَمْ صِلِي أُمَّك

“Aku pernah didatangi ibuku yang masih musyrik pada masa Rasulullah saw. lalu aku meminta fatwa dari Rasulullah saw. Aku berkata: ’Sesungguhnya ibuku datang, dia begitu ingin(menemuiku), apakah aku sambungkan silaturahim dengan ibuku?’ beliau bersabda: ’Ya, sambungkanlah ibumu” (HR. Al-Bukhari No. 2620 dan Muslim No. 2372).

Dua hadis tersebut menunjukkan bahwa menyambung silaturrahim dan menerima pemberian atau sedekah dari seorang non-muslim itu diperbolehkan.

Panitia pembangunan masjid atau madrasah menerima donasi dari non-muslim

          Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid ketika ditanya tentang hukum menerima bantuan dari kalangan non-muslim, beliau menjawab: “Menerima pemberian orang-orang kafir(non-muslim) dan bantuan mereka, tanpa meminta terlebih dahulu, itu tidak mengapa. Dan boleh menggunakan harta pemberian tersebut untuk berbagai keperluan umat Islam. Adapun meminta bantuan dari orang kafir, di sana terdapat perkara-perkara yang perlu dijauhi diantaranya bersikap dzull (merendahkan diri) di depan mereka dan timbulnya kecenderungan hati dari peminta sehingga mudah dipengaruhi oleh mereka, jika permintaannya diberikan.

فلو خلا من هذه المحاذير فلا بأس ، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يستعين ( دون ذلّ ) في أمور الدعوة - وهو بمكة - ببعض المشركين كعمه أبي طالب وغيره

 

Jika tidak ada perkara-perkara yang terlarang ini, maka tidak mengapa. Nabi saw. dahulu pernah meminta bantuan (tanpa merendahkan diri) kepada sebagian kaum Musyrikin di Mekkah dalam urusan dakwah, semisal kepada paman beliau Abu Thalib dan yang selainnya” (al-Munajjid, Fatawa al-Islam Sual Wa Jawab, I/1918).

              Secara khusus Lajnah Daimah Ulama Saudi pernah ditanya tentang hukum menerima bantuan atau donasi dari non-muslim untuk pembangunan masjid dan madrasah, berikut jawabannya:

يجوز للمسلمين أن يمكنوا غير المسلمين من الإنفاق على المشاريع الإسلامية ، كالمساجد والمدارس إذا كان لا يترتب على ذلك ضرر على المسلمين أكثر من النفع.

“Boleh bagi kaum muslimin menerima infak (donasi) dari non-muslim untuk kegiatan Islam semisal membangun masjid dan sekolah atau pesantren, jika tidak ada bahaya yang lebih banyak yang menimpa kaum muslimin daripada manfaatnya (Fatawa al-Lajnah al-Daimah No. 21334, Vol.XXXI/256).

              Kesimpulannya, menerima donasi berupa uang, makanan, dan lain-lain untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan umum(umat) seperti pembangunan masjid, sekolahan dan juga pesantren, maka hukumnya diperbolehkan. Asal dalam pemberian donasi tersebut tidak ada maksud jahat untuk melemahkan umat Islam. Wallahu A’lam bishshawab!

 

 

 

 

HUKUM NON-MUSLIM IKUT BERKURBAN

 

HUKUM NON-MUSLIM IKUT BERKURBAN

 

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr.wb.!

              Ustadz Zuhdi rahimakumullah! Mohon penjelasan bagaimana hukum orang yang bukan muslim (non-muslim) ikut berkurban pada suasana Idul Adha. Apakah diperbolehkan? Atas penjelasan dan pencerahannya, kami sampaikan banyak terima kasih (Sri S dari Surabaya).

Wassalamu’alaikum wr.wb.!

Jawaban:

              Ada keterangan dari al-Quran bahwa amalan yang dilakukan oleh orang kafir (yang tidak beriman kepada Allah) maka amalnya tidak akan diterima. Allah swt. berfirman:

 وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya…” (QS. Al-Taubah, 54).

              Dalam surat Ibrahim ayat 18, Allah menegaskan: “Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia), yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”(QS. Ibrahim, 18).

              Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa amalan yang dilakukan oleh orang kafir (tidak beriman kepada Allah) maka amalannya akan sia-sia dan tidak akan diterima oleh Allah. Muhammad Bin Shalih al- ‘Utsaimin, dalam kitabnya (Fiqh al- ‘Ibadat, I/337-338) mengatakan bahwa syarat diterimanya amal ibadah itu ada dua. Pertama harus ikhlas, artinya semata-mata karena Allah dengan mengharapkan ridha dan pahala dari-Nya. Kedua harus mengikuti petunjuk Rasulullah (al-mutaba’ah lirasulillah saw.). Dalam sebuah hadis Riwayat al-Nasai, Nabi saw. bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amal yang tidak didasari oleh keikhlasan dan mencari ridha Allah swt. (HR. al-Nasai No. 3140). Hadis ini dinilai hasan shahih oleh al-Albani (Shahih Wa Dhaif Sunan al-Nasai, VII/212).

              Orang kafir, karena tidak beriman kepada Allah, maka amal-amal yang dilakukannya percuma, tidak diterima oleh Allah swt. Demikian juga, apabila ada orang kafir ikut serta ibadah kurban (menyembelih hewan kurban) pada saat suasana Idul Adha maka ibadahnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah Swt.  

              Selanjutya, bagaimana jika ada non-muslim ikut serta menitipkan hewan untuk disembelih pada suasana Idul Adha, apakah boleh diterima oleh panitia, dan bagaimana status hukumnya?

              Bila hewan yang diserahkan oleh non-muslim itu diniatkan untuk ibadah kurban, maka jelas tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah swt, karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu ibadah yaitu harus ikhlas karena Allah swt. Selama ia masih non-muslim, maka tidak mungkin amalnya bisa ikhlas karena Allah, karena ia tidak mengimaniNya.

              Sungguhpun demikian, bukan berarti panitia tidak boleh menerima hewan yang berasal dari non-muslim untuk disembelih. Dalam hal ini panitia masih boleh menerima hewan tersebut bukan sebagai hewan kurban tetapi sebagai hibah(pemberian). Tentang bagaimana hukum menerima hibah dari orang kafir, berikut ini beberapa hadis yang bisa dijadikan acuan:

 

1.      Hadis dari Abdurrahman bin Kaab bin Malik, beliau bercerita:

 

 جَاءَ مُلاعِبُ الأَسِنَّةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَدِيَّةٍ، وَعَرَضَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الإِسْلامَ، فَأَبَى أَنْ يُسْلِمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"فَإِنِّي لا أَقْبَلُ هَدِيَّةَ مُشْرِكٍ"

“Ada seorang yang bergelar ‘pemain berbagai senjata’ (yaitu ‘Amir bin Malik bin Ja’far) menghadap Rasulullah dengan membawa hadiah. Nabi lantas menawarkan Islam kepadanya. Orang tersebut menolak untuk masuk Islam. Rasulullah lantas bersabda: “Sungguh aku tidak menerima hadiah dari orang musyrik.” (HR. Abd al-Razzaq No. 19658 dan al-Thabrani No. 15486). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah al-Kamilah, IV/226).

 

2.      Hadis dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

غَزَوْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – تَبُوكَ، وَأَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

“Kami mengikuti perang Tabuk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Raja negeri Ailah memberi hadiah kepada beliau berupa baghal berwarna putih dan kain. Sang raja juga menulis surat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhari 1481).

 

Ibn Hajar al-Asqalani dalam Kitab Fath al-Bari Syarh Kitab Shahih al-Bukhari, menulis sebagai berikut:  

قَوْلُهُ :( بَاب قَبُولِ اَلْهَدِيَّةِ مِنْ اَلْمُشْرِكِينَ) أَيْ جَوَاز ذَلِكَ وَكَأَنَّهُ أَشَارَ إِلَى ضَعْف اَلْحَدِيث اَلْوَارِد فِي رَدِّ هَدِيَّة اَلْمُشْرِك

“Ucapan Imam al-Bukhari pada “Bab menerima hadiah dari orang-orang musyrik”, maksudnya kebolehan menerima hadiah dari kaum musyrikin. Dalam tulisan ini seakan-akan al-Bukhari memberi isyarat tentang lemahnya hadis yang menolak hadiah orang musyrik (al-Asqalani, Fath al-Bari, V/230).

Al-Asqalani juga mengutip beberapa pendapat ulama yang mengkomparasikan beberapa hadis yang bertentangan mengenai masalah tersebut. Menurutnya, pendapat yang kuat adalah bahwa hadis yang melarang menerima pemberian non-Muslim konteksnya adalah pemberian yang terindikasi kuat bertujuan menghancurkan orang Islam atau berdampak merugikan mereka. Sedangkan hadis yang membolehkannya diarahkan kepada tujuan menghibur dan kepentingan mendakwahkan Islam.   

Ibn Hajar al-Asqalani lebih lanjut mengatakan:

وَأَوْرَدَ اَلْمُصَنِّفُ عِدَّةَ أَحَادِيثَ دَالَّةٍ عَلَى اَلْجَوَازِ فَجَمَعَ بَيْنَهَا اَلطَّبَرِيُّ بِأَنَّ اَلِامْتِنَاعَ فِيمَا أُهْدِيَ لَهُ خَاصَّة وَالْقَبُول فِيمَا أُهْدِيَ لِلْمُسْلِمِينَ وَفِيهِ نَظَرٌ لِأَنَّ مِنْ جُمْلَةِ أَدِلَّةِ اَلْجَوَازِ مَا وَقَعَتْ اَلْهَدِيَّة فِيهِ لَهُ خَاصَّة ، وَجَمَعَ غَيْرُهُ بِأَنَّ اَلِامْتِنَاعَ فِي حَقِّ مَنْ يُرِيدُ بِهَدِيَّتِهِ اَلتَّوَدُّدَ وَالْمُوَالَاةَ وَالْقَبُولَ فِي حَقّ مَنْ يُرْجَى بِذَلِكَ تَأْنِيسُهُ وَتَأْلِيفُهُ عَلَى اَلْإِسْلَامِ وَهَذَا أَقْوَى مِنْ اَلْأَوَّلِ

“Sang pengarang menyebutkan beberapa hadits yang menunjukkan kebolehan menerima hadiah non-Muslim. Imam al-Thabari membuat komparasi bahwa penolakan Nabi diarahkan kepada hadiah yang secara khusus diberikan kepada beliau, dan hadis yang menerima diarahkan kepada pemberian untuk orang-orang Islam secara umum. Pendapat ini perlu dikaji ulang, sebab di antara dalil yang membolehkan adalah hadiah yang secara khusus diberikan kepada Nabi. Ulama lain memberikan jalan tengah bahwa penolakan Nabi konteksnya adalah non-Muslim yang bertujuan konspirasi (jahat), dan penerimaan Nabi konteksnya adalah non-Muslim yang dengan menerima hadiahnya dimaksudkan menghibur dan memberinya simpati agar masuk Islam. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dibandingkan yang pertama(al-Asqalani, Fath al-Bari, V/231; bac juga al-Syaukani, Nayl al-Authar, VI/77).

 Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah ada pertanyaan mengenai hukum menerima hadiah hewan hidup dari orang non-muslim untuk disembelih saat idul adha. Jawaban fatwa menyatakan:

فلا مانع من قبول الهدية من الكفار بأنواعهم سواء كانت الهدية شاة أضحية أو غيرها مما أباح الله الانتفاع به بشرط ألا يكون ذلك على حساب دين المسلم، وقد كان النبي- صلى الله عليه وسلم- وصحابته الكرام يقبلون الهدية من الكفار وربما أهدوا للكفار أيضا

Tidak masalah menerima hadiah dari orang kafir dalam bentuk apapun, baik berupa kambing qurban atau yang lainnya, yang Allah bolehkan untuk dimanfaatkan. Dengan syarat, jangan sampai ada latar belakang balas budi agama. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia, mereka menerima hadiah dari orang kafir, dan terkadang mereka juga memberikan hadiah kepada orang kafir (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 116210).

              Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa status hewan dari orang non-Muslim yang diserahkan kepada panitia untuk disembelih pada suasana Idul Adha adalah tidak sah sebagai ibadah kurban. Namun hewan sembelihan dari mereka tetap boleh diterima oleh orang Islam (panitia kurban) atas nama hibah atau sedekah, bahkan menjadi langkah yang baik untuk menjaga keharmonisan antarumat beragama. Hewan pemberian non-Muslim tersebut halal dimakan dengan syarat penyembelihnya dilakukan sesuai syariat Islam.  

              Masalah berikutnya, bagaimana jika yang non-muslim tersebut ikut bergabung (urunan) bersama tujuh orang untuk kurban seekor sapi, apakah bisa merusak niat kurbannya enam orang yang muslim?

 

              Mengenai masalah tersebut, Imam al-Nawawi mengatakan:

يجوز أن يشترك سبعة في بدنة أو بقرة للتضحية، سواء كانوا كلهم أهل بيت واحد أو متفرقين، أو بعضهم يريد اللحم فيجزئ عن المتقرب، وسواء أكان أضحية منذورة أم تطوعا، هذا مذهبنا وبه قال أحمد وداود وجماهير العلماء، إلا أن داود جوزه في التطوع دون الواجب. وبه قال بعض أصحاب مالك. وقال أبو حنيفة: إن كانوا كلهم متقربين جاز، وقال مالك: لا يجوز الاشتراك مطلقا كما لا يجوز في الشاة الواحدة.

Boleh urunan 7 orang untuk seekor onta atau sapi, baik mereka semua satu rumah, atau dari keluarga yang berbeda, atau ada sebagian yang tidak berniat qurban karena hanya menginginkan dagingnya dan sah untuk yang berniat qurban. Baik qurban nadzar atau qurban sunah. Inilah pendapat madzhab kami (syafiiyah), dan ini pendapat Imam Ahmad, Daud al-Zahiri, dan mayoritas ulama. Hanya saja, Daud membolehkan urunan jika qurbannya bukan qurban wajib. Dan ini pula yang menjadi pendapat sebagian Malikiyah. Sementara Abu Hanifah mengatakan, ’Jika mereka semua niatnya untuk qurban, boleh urunan.’ Kemudian Imam Malik mengatakan, ’Tidak boleh urunan secara mutlak, sebagaimana tidak boleh urunan untuk seekor kambing.

Dalam hal ini, Imam an-Nawawi menguatkan pendapat yang membolehkan urunan hewan qurban, meskipun ada yang tidak berniat untuk qurban. Pada lanjutan keterangannya, al-Nawawi membawakan sejumlah alasan untuk mendukung pendapat yang beliau nilai lebih kuat:

واحتج أصحابنا بحديث جابر قال { نحرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم البدنة عن سبعة والبقرة عن سبعة} رواه مسلم. وعنه قال { خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم مهلين بالحج، فأمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نشترك في الإبل والبقر كل سبعة منا في بدنة} رواه مسلم. قال البيهقي: وروينا عن علي وحذيفة وأبي مسعود الأنصاري وعائشة رضي الله عنهما أنهم قالوا ” البقرة عن سبعة ” وأما قياسه على الشاة فعجب، لأن الشاة إنما تجزئ عن واحد، والله أعلم.

Ulama kami (syafiiyah) berdalil dengan hadis Jabir yang mengatakan, ’Kami melakukan qurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seekor onta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7 orang.’ Riwayat Muslim. Juga dari Jabir, ’Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka melakukan haji. Kemudian beliau memerintahkan untuk urunan onta dan sapi, setiap 7 orang untuk satu ekor.’ Riwayat Muslim. al-Baihaqi mengatakan, ’Kami mendapat riwayat dari Ali, Hudzaifah, Abu Mas’ud al-Anshari, dan A’isyah radhiyallahu ’anhum, bahwa mereka berpendapat, ’Sapi boleh untuk 7 orang.’ Sementara diqiyaskan dengan kambing, ini sangat mengherankan. Karena kambing hanya boleh untuk satu orang.’ Allahu a’lam. (al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, VIII/398-399).

Berdasarkan keterangan keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa dibolehkan urunan qurban meskipun salah satu peserta tidak berniat untuk qurban. Termasuk ketika salah satu peserta adalah orang kafir. Karena masing-masing mendapatkan jatah sesuai niatnya. Yang qurban sah sebagai qurban, yang tidak qurban berhak mendapat apa yang diinginkan. Dan niat seseorang tidak mempengaruhi niat orang lain. Wallahu A’lam!