Senin, 28 Januari 2013

MENYIKAPI KHILAFIAH MASALAH FIQH


MENYIKAPI KHILAFIAH
MASALAH FIQH

Achmad Zuhdi Dh
         Pada mulanya, Islam dalam bentuk satu ajaran telah datang dari Allah Swt. yang  disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. yang akhirnya, melalui para ulama, sampai juga kepada kita sekarang ini. Ada  dua sumber utama ajaran Islam, yaitu dari al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Sunnah (al-Hadits).
          Ketika Nabi masih hidup, segala persoalan kehidupan yang muncul pada waktu itu dapat segera diselesaikan, karena dapat langsung ditanyakan kepadanya. Demikian juga ketika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para sahabat,  semuanya dapat langsung dikonfirmasikan kepada Nabi Saw. sehingga segera memperoleh penyelesaiannya.
           Setelah Nabi Saw. wafat, sementara umat Islam terus bertambah dan para sahabat yang dulunya banyak memperoleh pengajaran dari Nabi Saw sudah bertebaran di berbagai daerah dan negara, maka banyak  fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan murid-muridnya itu berbeda satu dengan lainnya.
       Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Di antaranya adalah karena tingkat kecerdasan dan pengetahuan para sahabat yang tidak sama. Ada yang banyak menerima informasi dari Nabi Saw., sementara yang lain hanya sedikit saja. Hal ini tentu saja berpengaruh dalam menentukan suatu hukum. Seperti Abu Hurairah sempat menyatakan batal puasanya bagi orang berpuasa  yang masih dalam keadaan junub hingga pagi hari. Fatwa itu diberikan Abu Hurairah lantaran ia tidak tahu kalau Nabi Saw pernah mengalaminya, sebagaimana hadits yang diberitakan oleh ‘Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw di mana waktu itu Nabi Saw dalam keadaan junub di pagi hari dalam keadaan berpuasa, sementara Nabi Saw masih melanjutkan puasanya.[1] Kemudian redaksi al-Qur’an itu sendiri, pada beberapa ayat ada kata-katanya  yang mengandung makna ganda (lafadz musytarak), seperti kata “qur’u” yang bisa berarti suci atau haid[2]. Begitu juga kata “al-mahidl” yang bisa berarti waktu haid atau tempat haid[3]. Belum lagi perbedaan qira-at (bacaan) terhadap redaksi ayat al-Qur’an. Seperti pada surat al-Maidah ayat 6 tentang apakah kata “wa arjulakum” atau  “wa-arjulikum” bacaan yang dianggap benar. Perbedaan bacaan pada ayat tersebut akan berpengaruh kepada penentuan hukum wudu. Jika dibaca “wa arjulakum” maka hukum yang wajib  saat wudu, bagi kedua kaki, adalah membasuhnya. Namun jika dibaca “wa-arjulikum” maka hukum yang wajib saat wudu, bagi kedua kaki, adalah cukup mengusapnya.[4]
        Keadaan yang dialami para sahabat yang memunculkan fatwa yang berbeda-beda itu dialami juga oleh para tabi’in kemudian oleh para tabi’i al-tabi’in dan seterusnya   dialami juga  oleh ulama-ulama sesudahnya. Sampai akhirnya melahirkan madzhab-madzhab, seperti madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, madzhab Hanbali dan lain-lain. Masing-masing punya alasan dalam pemberian fatwanya. Bahkan tidak jarang para pengikutnya kemudian berusaha mempertahankan pendapat dari madzhab yang diikutinya.[5]
         Masalahnya sekarang adalah bagaimana menyikapi adanya perbedaan madzhab yang sering kita hadapi di tengah-tengah masyarakat, terutama dalam masalah furu’iyah. Seperti saat wudu, apakah harus mengusap seluruh rambut yang ada di kepala atau cukup sebagian saja; dalam bertayamum, apakah mengusap kedua tangan sampai kedua siku-siku atau cukup sampai dengan pergelangan tangannya; kemudian masalah shalat apakah  membaca ushalli itu perlu atau tidak; membaca basmalah pada al-fatihah, apakah dibaca jahar atau sirr; shalat shubuh dengan qunut atau tidak qunut; shalat tarawih dengan 8 rakaat atau 20 rakaat;  dzikr sesudah shalat dibaca jahar atau sirr; menyentuh al-Qur’an bagi wanita haid, boleh atau tidak; dan masih banyak lagi persoalan khilafiah yang disebabkan oleh perbedaan madzhab.
       Quraisy Syihab[6], setelah memperhatikan ulama yang mengkaji teks-teks keagamaan, memperkenalkan tiga konsep untuk tetap memelihara ukhuwah Islamiyah walaupun di antara umat Islam terdapat perbedaan pendapat (khilafiah) atau perbedaan madzhab.

Pertama, konsep  “tanawwu’ al-‘ibadah”, keragaman cara beribadah.
           Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktikkan oleh Nabi Saw. dalam bidang pengamalan agama, sehingga  mengantar kepada pengakuan akan kebenaran semua praktik keagamaan, selama masing-masing merujuk kepada sumber yang datangnya dari Rasulullah Saw. Tidak perlu heran mendengar pernyataan ini, karena dalam konsep ini, agama-dalam bidang perincian- tidak bertanya; berapa hasil penambahan 5 + 5, tetapi yang ditanyakannya adalah 10 itu sama dengan berapa tambah berapa?
            Dalam konsep ini diperkenalkan bahwa sesungguhnya banyak cara yang dilakukan oleh Nabi Saw. ketika melakukan ibadah. Seperti mengangkat tangan saat takbiratul ihram; ada kalanya ia mengangkat kedua tangannya setentang bahu, sementara pada kesempatana lain ia mengangkat kedua tangannya itu setentang kedua daun telinganya[7]. Demikian juga dalam bacaan iftitah dalam shalat, tidak kurang dari dua belas macam redaksi dari Rasulullah yang telah diajarkan[8]. Tentu masih banyak lagi contoh yang lain.
           
Kedua, konsep “al-mukhthi-u fi al-ijtihad lahu ajr”.
            Ulama yang salah dalam berijtihad (menetapkan hukum) pun dapat pahala. Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat ulama, maka ia tidak akan berdosa bahkan tetap dapat pahala dari Allah Swt. walaupun hasil ijtihad yang diikuti dan diamalkan itu ternyata keliru[9]. Hanya saja yang perlu dicatat di sini   bahwa penentuan /memastikan yang benar dan salah itu bukan wewenang makhluk, akan tetapi wewenang Allah Swt sendiri, yang baru akan diketahui kepastiannya pada hari kemudian.
            Sebagaimana pula perlu digarisbawahi bahwa yang mengemukakan ijtihad dan atau diikuti pendapatnya itu haruslah mereka yang memiliki otoritas keilmuan yang disampaikannya setelah melakukan ijtihad (upaya yang bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum setelah mempelajari dengan seksama dalil-dalil keagamaan dari al-Qur’an dan al-Hadits).[10]

Ketiga, konsep “la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid”.
           Konsep ini megatakan bahwa Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad seorang mujtahid. Ini berarti hasil ijtihadnya itulah yang merupakan ketetapan hukum Allah bagi masing-masing, walau pun berbeda-beda.
            Sama halnya dengan gelas-gelas kosong yang disodorkan oleh tuan rumah dengan beragam minuman yang telah disediakan. Tuan rumah mempersilakan masing-masing tamunya untuk memilih minuman yang tersedia di atas meja dan mengisi gelasnya penuh atau setengah sesuai dengan selera dan kehendaknya masing-masing, selama yang dipilih itu  dari minuman yang tersedia. Apa dan berapa pun isinya   adalah pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi. Kita tidak perlu menyalahkan orang lain yang memilih mengisi gelasnya dengan kopi, jika kita kebetulan lebih berselera minum air jeruk. Dan orang lain pun tidak berhak menyalahkan kita yang kebetulan beda pilihan. Yang penting sesuai dengan yang telah disediakan oleh tuan rumah.
             Memang al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Saw tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan absolut. Yang mutlak dan absolut adalah Tuhan dan Firman-firmanNya, sedang interpretasi terhadap firman-firman itu tidak demikian. Cara ulama memahami al-Qur’an dan hadits Nabi berkaitan erat dengan  banyak faktor; antara lain lingkungan, kecerdsasan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping faktor-faktor yang menimbulkan perbedaan pendapat yang akan dibahas lebih rinci pada bagian tersendiri.
            Karena itu ulama pada umumnya bersikap rendah hati terhadap hasil-hasil ijtihadnya. Mereka itu, terutama ulama imam madzhab, sering mengingatkan kepada para pengikutnya agar tidak semata-mata mengikuti pendapat sebagai hasil ijtihadnya, tetapi harus dikembalikan dan dilacak ulang kepada sumber utamanya, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Mereka bahkan mengambil sikap yang amat santun dan hormat kepada pendapat orang lain yang tidak sama dengan pendapatnya. Imam al-Nasafi Rahimahullah berkata:

مَذْهَبُنَا صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ  وَمَذْهَبُ مُخَالِفِنَا خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ

“Pendapat kami benar, tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat orang lain menurut hemat kami keliru, tetapi boleh jadi itu yang benar.”[11]
            Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu menyadari bahwa sebagai manusia biasa mereka memiliki keterbatasan dan dengan demikian tidak  mungkin seorang akan mampu menguasainya atau memastikan bahwa interpretasinya yang paling benar.
            Jika ulama kita punya sikap yang demikian terbuka dan sangat hormat terhadap pendapat orang lain yang kebetulan berbeda dengannya, maka bagi kita sudah selayaknya belajar dari mereka untuk berlapang dada, toleransi terhadap saudara-saudara kita yang kebelutan punya madzhab atau pendapat yang berbeda dalam suatu masalah. Dengan demikian insya Allah ukhuwwah islamiyah di antara kita akan tetap terpelihara dengan baik.






[1] HR. Al-Bukhari dan Muslim. Baca juga Mushthafa Sa’id al-Khan, Atsar al-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf al-Fuqaha (Kairo: Mu’assasah al-Risalah, 1972), 46.
[2] Baca QS. Al-Baqarah, 228. Baca juga al-Khan, Atsar al-Ikhtilaf, 70.
[3] Baca QS. Al-Baqarah, 222. Baca juga al-Khan, Atsar al-Ikhtilaf, 85.
[4] Baca QS al-Maidah, 6. Baca juga al-Khan, Atsar al-Ikhtilaf, 38-39.
[5] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1999), 54-55.
[6] Quraish Shihab, “Biarlah Umat Berbeda Pendapat” dalam Republika, (Klipping, tanggal ?)
[7] HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud. Baca juga Achmad Zuhdi DH, Meneladani Tata-cara Shalat Nabi Saw (Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya, 2005), 16.
[8] Muhammad Nashir al-Din al-Albani, Shifat Shalat al-Nabi Min al-Takbir Ila al-Taslim Kaannaka Taraha (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1991), 91-95.
[9] Baca Hasan Ahmad al-Khatib, al-Fiqh al-Muqaran ( Kairo: Mathba’ah Dar al-Ta’lif, 1957), 37.
[10] Ibid., 34-35.
[11] Alawi Ahmad Al-Saqaf, al-Fawa-id al-Makkiyah, 61 sebagaimana dikutip oleh Ahmad Dimyati Badruzzaman, Tanya Jawab 75 Masalah Agama (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), vii.