MENYIKAPI KHILAFIAH
MASALAH FIQH
MASALAH FIQH
Achmad Zuhdi Dh |
Pada mulanya, Islam dalam bentuk satu
ajaran telah datang dari Allah Swt. yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. yang akhirnya, melalui para ulama,
sampai juga kepada kita sekarang ini. Ada
dua sumber utama ajaran Islam, yaitu dari al-Kitab (al-Qur’an)
dan al-Sunnah (al-Hadits).
Ketika Nabi masih hidup, segala
persoalan kehidupan yang muncul pada waktu itu dapat segera diselesaikan,
karena dapat langsung ditanyakan kepadanya. Demikian juga ketika terjadi
perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para sahabat, semuanya dapat langsung dikonfirmasikan
kepada Nabi Saw. sehingga segera memperoleh penyelesaiannya.
Setelah
Nabi Saw. wafat, sementara umat Islam terus bertambah dan para sahabat yang
dulunya banyak memperoleh pengajaran dari Nabi Saw sudah bertebaran di berbagai
daerah dan negara, maka banyak fatwa
yang dikeluarkan oleh para sahabat dan murid-muridnya itu berbeda satu dengan
lainnya.
Banyak
faktor yang melatarbelakanginya. Di antaranya adalah karena tingkat kecerdasan
dan pengetahuan para sahabat yang tidak sama. Ada yang banyak menerima
informasi dari Nabi Saw., sementara yang lain hanya sedikit saja. Hal ini tentu
saja berpengaruh dalam menentukan suatu hukum. Seperti Abu Hurairah sempat
menyatakan batal puasanya bagi orang berpuasa yang masih dalam keadaan junub hingga
pagi hari. Fatwa itu diberikan Abu Hurairah lantaran ia tidak tahu kalau Nabi
Saw pernah mengalaminya, sebagaimana hadits yang diberitakan oleh ‘Aisyah dan
Ummu Salamah istri Nabi Saw di mana waktu itu Nabi Saw dalam keadaan junub
di pagi hari dalam keadaan berpuasa, sementara Nabi Saw masih melanjutkan
puasanya.[1]
Kemudian redaksi al-Qur’an itu sendiri, pada beberapa ayat ada
kata-katanya yang mengandung makna ganda
(lafadz musytarak), seperti kata “qur’u” yang bisa berarti
suci atau haid[2].
Begitu juga kata “al-mahidl” yang bisa berarti waktu haid atau tempat
haid[3].
Belum lagi perbedaan qira-at (bacaan) terhadap redaksi ayat al-Qur’an.
Seperti pada surat al-Maidah ayat 6 tentang apakah kata “wa arjulakum”
atau “wa-arjulikum” bacaan yang
dianggap benar. Perbedaan bacaan pada ayat tersebut akan berpengaruh kepada
penentuan hukum wudu. Jika dibaca “wa arjulakum” maka hukum yang wajib saat wudu, bagi kedua kaki, adalah
membasuhnya. Namun jika dibaca “wa-arjulikum” maka hukum yang wajib
saat wudu, bagi kedua kaki, adalah cukup mengusapnya.[4]
Keadaan
yang dialami para sahabat yang memunculkan fatwa yang berbeda-beda itu
dialami juga oleh para tabi’in kemudian oleh para tabi’i al-tabi’in
dan seterusnya dialami juga oleh ulama-ulama sesudahnya. Sampai akhirnya
melahirkan madzhab-madzhab, seperti madzhab Hanafi, madzhab
Maliki, madzhab Syafi’i, madzhab Hanbali dan lain-lain.
Masing-masing punya alasan dalam pemberian fatwanya. Bahkan tidak jarang para
pengikutnya kemudian berusaha mempertahankan pendapat dari madzhab yang
diikutinya.[5]
Masalahnya
sekarang adalah bagaimana menyikapi adanya perbedaan madzhab yang sering kita
hadapi di tengah-tengah masyarakat, terutama dalam masalah furu’iyah.
Seperti saat wudu, apakah harus mengusap seluruh rambut yang ada di kepala atau
cukup sebagian saja; dalam bertayamum, apakah mengusap kedua tangan sampai
kedua siku-siku atau cukup sampai dengan pergelangan tangannya; kemudian
masalah shalat apakah membaca ushalli
itu perlu atau tidak; membaca basmalah pada al-fatihah, apakah
dibaca jahar atau sirr; shalat shubuh dengan qunut atau tidak
qunut; shalat tarawih dengan 8 rakaat atau 20 rakaat; dzikr sesudah shalat dibaca jahar
atau sirr; menyentuh al-Qur’an bagi wanita haid, boleh atau tidak; dan
masih banyak lagi persoalan khilafiah yang disebabkan oleh perbedaan
madzhab.
Quraisy Syihab[6],
setelah memperhatikan ulama yang mengkaji teks-teks keagamaan, memperkenalkan
tiga konsep untuk tetap memelihara ukhuwah Islamiyah walaupun di antara umat
Islam terdapat perbedaan pendapat (khilafiah) atau perbedaan madzhab.
Pertama, konsep “tanawwu’
al-‘ibadah”, keragaman cara beribadah.
Konsep
ini mengakui adanya keragaman yang dipraktikkan oleh Nabi Saw. dalam bidang
pengamalan agama, sehingga mengantar
kepada pengakuan akan kebenaran semua praktik keagamaan, selama masing-masing
merujuk kepada sumber yang datangnya dari Rasulullah Saw. Tidak perlu heran
mendengar pernyataan ini, karena dalam konsep ini, agama-dalam bidang
perincian- tidak bertanya; berapa hasil penambahan 5 + 5, tetapi yang
ditanyakannya adalah 10 itu sama dengan berapa tambah berapa?
Dalam
konsep ini diperkenalkan bahwa sesungguhnya banyak cara yang dilakukan oleh
Nabi Saw. ketika melakukan ibadah. Seperti mengangkat tangan saat takbiratul
ihram; ada kalanya ia mengangkat kedua tangannya setentang bahu, sementara
pada kesempatana lain ia mengangkat kedua tangannya itu setentang kedua daun
telinganya[7].
Demikian juga dalam bacaan iftitah dalam shalat, tidak kurang dari dua
belas macam redaksi dari Rasulullah yang telah diajarkan[8].
Tentu masih banyak lagi contoh yang lain.
Kedua, konsep “al-mukhthi-u fi al-ijtihad lahu ajr”.
Ulama yang salah dalam
berijtihad (menetapkan hukum) pun dapat pahala. Ini berarti bahwa selama
seseorang mengikuti pendapat ulama, maka ia tidak akan berdosa bahkan tetap
dapat pahala dari Allah Swt. walaupun hasil ijtihad yang diikuti dan diamalkan
itu ternyata keliru[9].
Hanya saja yang perlu dicatat di sini
bahwa penentuan /memastikan yang benar dan salah itu bukan wewenang
makhluk, akan tetapi wewenang Allah Swt sendiri, yang baru akan diketahui
kepastiannya pada hari kemudian.
Sebagaimana
pula perlu digarisbawahi bahwa yang mengemukakan ijtihad dan atau diikuti
pendapatnya itu haruslah mereka yang memiliki otoritas keilmuan yang
disampaikannya setelah melakukan ijtihad (upaya yang bersungguh-sungguh untuk
menetapkan hukum setelah mempelajari dengan seksama dalil-dalil keagamaan dari
al-Qur’an dan al-Hadits).[10]
Ketiga, konsep “la
hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid”.
Konsep ini megatakan bahwa Allah belum menetapkan suatu
hukum sebelum upaya ijtihad seorang mujtahid. Ini berarti hasil ijtihadnya
itulah yang merupakan ketetapan hukum Allah bagi masing-masing, walau pun
berbeda-beda.
Sama halnya dengan gelas-gelas kosong yang disodorkan
oleh tuan rumah dengan beragam minuman yang telah disediakan. Tuan rumah
mempersilakan masing-masing tamunya untuk memilih minuman yang tersedia di atas
meja dan mengisi gelasnya penuh atau setengah sesuai dengan selera dan
kehendaknya masing-masing, selama yang dipilih itu dari minuman yang tersedia. Apa dan berapa
pun isinya adalah pilihan yang benar
bagi masing-masing pengisi. Kita tidak perlu menyalahkan orang lain yang
memilih mengisi gelasnya dengan kopi, jika kita kebetulan lebih berselera minum
air jeruk. Dan orang lain pun tidak berhak menyalahkan kita yang kebetulan beda
pilihan. Yang penting sesuai dengan yang telah disediakan oleh tuan rumah.
Memang al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Saw tidak selalu
memberikan interpretasi yang pasti dan absolut. Yang mutlak dan absolut adalah
Tuhan dan Firman-firmanNya, sedang interpretasi terhadap firman-firman itu
tidak demikian. Cara ulama memahami al-Qur’an dan hadits Nabi berkaitan erat
dengan banyak faktor; antara lain
lingkungan, kecerdsasan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping faktor-faktor yang menimbulkan
perbedaan pendapat yang akan dibahas lebih rinci pada bagian tersendiri.
Karena itu ulama pada umumnya bersikap rendah hati
terhadap hasil-hasil ijtihadnya. Mereka itu, terutama ulama imam madzhab,
sering mengingatkan kepada para pengikutnya agar tidak semata-mata mengikuti
pendapat sebagai hasil ijtihadnya, tetapi harus dikembalikan dan dilacak ulang
kepada sumber utamanya, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Mereka bahkan mengambil
sikap yang amat santun dan hormat kepada pendapat orang lain yang tidak sama
dengan pendapatnya. Imam al-Nasafi Rahimahullah berkata:
مَذْهَبُنَا صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَمَذْهَبُ مُخَالِفِنَا خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
“Pendapat
kami benar, tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat orang lain menurut hemat
kami keliru, tetapi boleh jadi itu yang benar.”[11]
Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu
menyadari bahwa sebagai manusia biasa mereka memiliki keterbatasan dan dengan
demikian tidak mungkin seorang akan
mampu menguasainya atau memastikan bahwa interpretasinya yang paling benar.
Jika
ulama kita punya sikap yang demikian terbuka dan sangat hormat terhadap
pendapat orang lain yang kebetulan berbeda dengannya, maka bagi kita sudah
selayaknya belajar dari mereka untuk berlapang dada, toleransi terhadap
saudara-saudara kita yang kebelutan punya madzhab atau pendapat yang berbeda
dalam suatu masalah. Dengan demikian insya Allah ukhuwwah islamiyah di
antara kita akan tetap terpelihara dengan baik.
[1] HR. Al-Bukhari dan Muslim. Baca juga
Mushthafa Sa’id al-Khan, Atsar al-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id al-Ushuliyah Fi
Ikhtilaf al-Fuqaha (Kairo: Mu’assasah al-Risalah, 1972), 46.
[5] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar
Ilmu Fiqh (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1999), 54-55.
[7] HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud. Baca
juga Achmad Zuhdi DH, Meneladani Tata-cara Shalat Nabi Saw (Surabaya:
PT. Karya Pembina Swajaya, 2005), 16.
[8] Muhammad Nashir al-Din al-Albani, Shifat
Shalat al-Nabi Min al-Takbir Ila al-Taslim Kaannaka Taraha (Riyad: Maktabah
al-Ma’arif, 1991), 91-95.
[11] Alawi Ahmad Al-Saqaf, al-Fawa-id
al-Makkiyah, 61 sebagaimana dikutip oleh Ahmad Dimyati Badruzzaman, Tanya
Jawab 75 Masalah Agama (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), vii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar