Jumat, 06 Januari 2023

SAAT USIA 60 TAHUN

 

SAAT USIA 60 TAHUN

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْذَرَ اللهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً

(رواه البخارى)

 Dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda: “Allah mengangkat udzur seseorang yang Dia panjangkan ajalnya hingga usianya mencapai enam puluh tahun”.

(HR. al-Bukhari No. 6419)

Status Hadis

            Hadis tersebut dinilai sahih oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam kitab Shahih al-Bukhari No. 6419. Beberapa ulama lain yang meriwayatkan hadis tersebut, di antaranya adalah Ahmad (w. 241 H) dalam Musnad Ahmad No. 8262, al-Hakim (w.405 H) dalam al-Mustadrak No. 3597, al-Bayhaqi (w.458 H) dalam al-Sunan al-Kubra No. 6754, al-Isybili (w. 581 H) dalam al-Ahkam al-Syar’iyah al-Kubra, III/341, Ibn al-Atsir (w. 606 H) dalam Jami’ al-Ushul, I/393 No. 187, dan al-Muttaqi al-Hindi (w.975 H) dalam Kanz al-Ummal, IV/414 No. 10334. Al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah al-Kamilah, III/163).

Kandungan Hadis

            Hadis tersebut menerangkan bahwa Allah akan mengangkat udzur seseorang, yakni tidak akan memberikan toleransi untuk beralasan lagi kepada orang yang telah diberi umur panjang hingga 60 tahun. Dalam hadis yang lain ditegaskan:

مَنْ أَتَتْ عَلَيْهِ سِتُّونَ سَنَةً فَقَدْ أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَيْهِ فِى الْعُمُرِ

Barangsiapa diberi umur 60 tahun, maka ia tidak diberi alasan lagi dengan umurnya itu (HR. Ahmad No. 8245). Syu’aib al-Arnout mengatakan sanad hadis ini kuat.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menerangkan:

وَالْمَعْنَى أَنَّهُ لَمْ يَبْقَ لَهُ اعْتِذَارٌ كَأَنْ يَقُولَ لَوْ مُدَّ لِي فِي الْأَجَلِ لَفَعَلْتُ مَا أُمِرْتُ بِهِ ….وَإِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عُذْرٌ فِي تَرْكِ الطَّاعَةِ مَعَ تَمَكُّنِهِ مِنْهَا بِالْعُمُرِ الَّذِي حَصَلَ لَهُ فَلَا يَنْبَغِي لَهُ حِينَئِذٍ إِلَّا الِاسْتِغْفَارُ وَالطَّاعَةُ وَالْإِقْبَالُ عَلَى الْآخِرَةِ بِالْكُلِّيَّةِ

Hadis tersebut bermakna bahwa udzur dan alasan sudah tidak ada (tidak diberikan), misalnya ada orang mengatakan: “Andaikan usiaku dipanjangkan, aku akan melakukan apa yang diperintahkan kepadaku…”. Apabila dia tidak memiliki udzur untuk meninggalkan ketaatan, sementara sangat memungkinkan baginya untuk melakukan ketaatan itu dengan usia yang dia milikinya, maka saat itu tidak ada yang layak untuk dia lakukan selain istighfar, melakukan ketaatan, dan fokus sepenuhnya untuk kepentingan akhirat (al-Asqalani, Fath al-Bari, XI/240).

Allah swt. memperingatkan bahwa pada hari kiamat kelak, penghuni neraka meminta kepada Allah agar mereka dikeluarkan dari neraka dan dikembalikan lagi ke dunia untuk bisa melakukan amal kebajikan:

 Mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal saleh tidak seperti amalan yang telah kami kerjakan (kekufuran)”. Allah menjawab permintaan mereka dengan berfirman:

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ

Bukankah Aku telah memanjangkan usia kalian dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu al-Nadzir (pemberi peringatan)? Maka rasakanlah (adzab kami), dan bagi orang yang dzalim tidak ada seorang penolong pun (QS. Fathir: 37).

Ayat ini menjelaskan bahwa usia yang Allah berikan kepada umat manusia menjadi hujjah dan alasan Allah untuk mengadili manusia, disamping adanya al-Nadzir yang datang kepadanya. Ibn al-Jauzi (w. 597 H) dalam Tafsirnya Zad al-Masir menerangkan ada empat pendapat tentang apa yang dimaksud dengan al-Nadzir.

Pertama, yang dimaksud dengan al-Nadzir adalah uban di rambut. Maksudnya Allah telah memperingatkan manusia dengan adanya uban di rambut sebagai tanda tidak muda lagi agar semakin sadar untuk menghadapi kematian. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Umar, Ikrimah, dan Sufyan bin Uyainah. Kedua, kehadiran Nabi saw. Maksudnya kehadiran Nabi saw. telah memberi pencerahan dan peringatan kepada manusia agar mendekatkan diri kepada Allah. Pendapat ini didukung oleh Qatadah, Ibn Zaid, Ibn al-Saib, dan Muqatil. Ketiga, kematian keluarga atau kerabat dekat, dan keempat sakit demam. Keduanya adalah tanda-tanda dekatnya kematian. Keduanya merupakan pendapat al-Mawardi (Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir, V/182).

 Ketika seseorang sudah memasuki usia 60 tahun, sudah mulai menua, maka kekuataan fisik sedikit demi sedikit menyusut, ketajaman mata pun mulai berkurang sehingga dibutuhkan alat bantu untuk melihat. Daya ingatnya menurun dan kulit pun mengendur serta guratan-guratan tanda penuaan pun mulai tampak. Rambut-rambut pun mulai memutih sedikit demi sedikit menghiasai kepalanya, bahkan sebagian orang ada yang sudah putih semuanya. Penyakit-penyakit degeneratif pun bermunculan pada fase ini. Allah swt. memperingatkan:

وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلَا يَعْقِلُونَ

Dan barang siapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadiannya. Maka apakah mereka tidak memikirkannya? (QS. Yasin, 68).

Imam Ibnu Katsir (w. 774 H/1372 M) menjelaskan: “Allah swt. mengabarkan bahwa seorang hamba ketika usianya semakin tua, maka ia dikembalikan dari kuat menjadi lemah, dan dari gesit menjadi lamban” (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, VI/588). Kemudian Abd al-Rahman al-Sa’di (w.1957 M) menerangkan bahwa manusia akan kembali ke dalam keadaan semula, keadaan yang lemah, lemah dalam pikiran dan lemah dalam kekuatan. Manusia mulai berkurang dalam berbagai hal. Karena itu hendaknya mereka (manusia) memanfaatkan kekuatan dan daya pikirnya untuk melakukan ketaatan kepada Tuhannya (Abd al-Rahman al-Sa’di, Tafsir al-Sa’di, I/698).

Berusia hingga 60 tahun termasuk usia yang panjang. Usia yang panjang memang termasuk kenikmatan, sehingga banyak orang berdoa untuk dipanjangkan umurnya. Namun, harus difahami bahwa usia panjang itu bukan mutlak kenikmatan, tetapi kenikmatan yang muqayyad (dengan batasan tertentu), artinya berusia panjang tidak otomatis lebih nikmat dan berbahagia daripada orang yang memiliki usia pendek. Usia panjang baru berarti dan menjadi nikmat yang sebenar-benarnya, apabila usia yang panajang tadi bisa dimanfaatkan dengan baik, yakni dimanfaatkan untuk melakukan urusan-urusan kebaikan, amal shaleh dan ketaatan kepada Allah swt.  Nabi saw. bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمُلُهُ

Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya (HR. al-Tirmidzi No. 2329).  Al-Albani menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib, III/170).

 Hadis tersebut mengingatkan kita, terutama yang sudah tua, seperti yang sudah berusia 60 tahun, atau siapa saja yang menginginkan panjang usia, bahwa yang penting itu bukan usianya yang panjang, tetapi yang lebih banyak dan lebih baik amalnya dalam mengisi kehidupannya. Usia pendek tidak mengapa asal amal salehnya banyak.

Sebagai contoh, Imam al-Nawawi (w. 676 H/1277 M) yang hanya berusia 45 tahun namun menghasilkan karya yang luar biasa, sehingga berjasa bagi orang banyak. Jumlah karyanya sekitar 40 kitab, di antaranya yang sangat monumental adalah Kitab Syarah Shahih Muslim, dan al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab. Di negeri kita Indonesia ada nama Jendral Sudirman (w. 1950 M) hanya berusia 34 tahun. Beliau dikenal sebagai Jendral Besar berbintang lima yang sangat berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Syaikh Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin mengatakan, “Seyogyanya orang yang sudah tua memperbanyak amal shaleh. Meskipun para pemuda juga seharusnya demikian (membiasakan beramal saleh), karena manusia tidak tahu kapan dia akan meninggal. Bisa saja, seorang pemuda meninggal pada usia mudanya atau ajalnya tertunda hingga ia tua. Akan tetapi, yang pasti, orang yang sudah berusia senja, ia lebih dekat kepada kematian, lantaran telah menghabiskan jatah usianya” (al- ‘Utsaimin, Syarah Riyad al-Shalihin, I/132).

Karena itu, saat usia sudah mulai tua, hendaknya banyak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematiannya demi bekal dan kebahagiaan hidup setelah mati, hidup di akhirat nanti. Ada dialog menarik dan inspiratif antara Imam al-Fudhail bin Iyadh (w.187 H) dengan seseorang yang sudah berusia 60 tahun:

“Berapa usia anda?”, tanya Fudhail.

“60 tahun.”, jawab orang itu.

“Anda selama 60 tahun berjalan menuju Tuhan anda, dan sebentar lagi anda akan sampai”, komentar Fudhail.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, orang itu keheranan.

“Anda paham makna kalimat itu? Anda paham tafsirnya?”, tanya Fudhail.

“Tolong jelaskan tafsirnya!”, orang itu balik meminta.

“Anda menyatakan: innaa lillaah (kita milik Allah), artinya kita adalah hamba Allah dan kita akan kembali kepada Allah. Siapa yang yakin bahwa dia hamba Allah dan dia akan kembali kepada-Nya, seharusnya dia menyadari bahwa dirinya akan berdiri di hadapan Allah. Dan siapa yang meyakini hal ini, dia harus sadar bahwa dia akan ditanya. Dan siapa yang yakin hal ini, dia harus menyiapkan jawabannya”, jelas Fudhail.

“Lalu bagaimana jalan keluarnya?”, tanya orang itu.

“Caranya mudah”, tegas Fudhail.

Kemudia Imam Fudhail menyampaikan sebuah kata hikmah yang sangat indah dan penuh makna:

تُحْسِنُ فِيمَا بَقِيَ يُغْفَرُ لَكَ مَا مَضَى وَمَا بَقِيَ فَإِنَّكَ إِنْ أَسَأْتَ فِيمَا بَقِيَ أُخِذْتَ بِمَا مَضَى وَمَا بَقِيَ

Berbuat baiklah di sisa usiamu, dengan begitu akan diampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Karena jika kamu masih rajin bermaksiat di sisa usiamu maka kamu akan dihukum karena dosamu yang telah lalu dan dosamu yang akan datang (Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyat al-Awliya’, VIII/113).

            Pesan al-Fudhail ini perlu direnungkan dengan seksama, selanjutnya ditindaklanjuti dengan banyak beramal shaleh selagi usia masih ada, banyak istighfar dan banyak berdoa. Di antara doa yang baik untuk dibaca adalah doa yang diriwayatkan oleh Aisyah, Rasulullah saw. pernah berdoa:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ أَوْسَعَ رِزْقِكَ عَلَيَّ عِنْدَ كِبَرِ سِنِّي وَانْقِطَاعِ عُمْرِي

“Ya Allah, jadikan keluasan rizki-Mu padaku di masa usia tuaku dan saat terputusnya umurku” (HR. al-Hakim No. 1987 dan al-Thabrani No. 3611). Al-Albani: hadis ini hasan (al-Albani, Shahih al-Jami’ al-Shaghir, II/170).

 (Artikel tersebut telah dimuat pada Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Januari 2023)