Sabtu, 25 Januari 2014

THAHARATUL QULUB

THAHARATUL QULUB
( طهارة القلوب )
Oleh:


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Thaharatul Qulub: Asal-usulnya

         Sebelum mendirikan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan sudah mengadakan pengajian, menggantikan KH Abu Bakar, sang ayah. Dalam kegiatan pengajiannya, KH Ahmad Dahlan memberikan nuansa yang agak berbeda dari pengajian-pengajian yang ada sebelumnya, yakni dengan sedikit inprovisasi dan format yang berbeda.
        Bermula dari keprihatinan KHA Dahlan terhadap kehidupan para juragan batik yang gemar bermewah-mewahan, maka diundanglah para juragan itu untuk hadir di rumah KHA Dahlan untuk kumpul-kumpul pada setiap malam Jumat. Pada malam Jumat pertama, para undangan yang terdiri dari para juragan itu disuguhi makanan-makanan yang istimewa, yaitu nasi gudeg manggar dan daging ayam. Malam jumat ke-2, para undangan disuguhi sate kambing dan gule kauman yang termasyhur itu, demikian pula pada pertemuan-pertemuan malam Jumat berikutnya. Akhirnya, para juragan penasaran dan bertanya-tanya: “Kyai! Kalau setiap malam Jumat begini kami diundang hanya untuk makan kemudian pulang, maka kami hanya dapat wareg (kenyang) saja. Kami senang disuguhi dengan makanan gratis, tetapi Kyai kan alim, seorang ulama, alangkah baiknya selain diberi makan kami juga diberi taushiyah!” Inilah pertanyaan yang sebenarnya ditunggu-tunggu oleh Kyai Dahlan. Kayi lalu bertanya: “Apa benar, panjenengan mau?” Para juragan secara serentak menjawab: “Mau Kyai, agar kami kecipratan ilmunya”.
      Sejak itu Kyai Dahlan memulai pengajian dengan mengangkat kisah-kisah zuhud Rasulullah Saw, Abu Bakar dan beberapa sahabat lainnya. Selain itu juga mengangkat cerita-cerita para pekerja, para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik batik para juragan. Dalam menyajikan materi pengajiannya, Kyai Dahlan mengutip beberapa surat al-Qur’an, di antaranya QS. Al-Ma’un, al-Humazah dan al-Takatsur. Intinya, dalam pengajian tersebut, disampaikan tentang pembersihan penyakit hati, kecintaan terhadap harta benda, kerakusan (tama’), kemewahan, dan perlunya perhatian kepada sesama dengan memberikan santunan kepada kaum lemah. Pengajian tersebut kemudian dikenal dengan nama pengajian "Thaharatul Qulub". 
     Dari pengajian tersebut akhirnya timbul kesadaran dari para juragan batik tentang arti hidup, fungsi kekayaan, dan pentingnya kepekaan sosial terhadap kaum fakir-miskin dan anak yatim. Akhirnya, di kemudian hari, para juragan menjadi tulang punggung bagi pendanaan gerakan Muhammadiyah.[1]

 Thaharatul Qulub: arti, urgensi dan macam-macamnya

       Thaharat atau thaharah artinya kebersihan atau kesucian. Al-qulub bentuk jamak dari qalb artinya hati. Jadi, thaharatul qulub artinya kebersihan atau kesucian hati. Istilah thaharatul qulub ini pernah dijadikan nama pengajian yang diasuh langsung oleh KH Ahmad Dahlan, yang bertujuan untuk membersihkan hati para jamaah yang tergabung dalam pengajian tersebut.
        Apa urgensinya membersihkan hati? Peran hati bagi seluruh anggota badan ibarat raja bagi prajuritnya. Semua tunduk kepadanya. Karena perintah hatilah, istiqamah dan penyelewengan itu terjadi; begitu pula dengan semangat untuk bekerja. Rasulullah SAW bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ (رواه البخارى ومسلم)
"Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Bila ia baik, maka baik pulalah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuh. ketahuilah daging itu adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
    Hati adalah raja. seluruh tubuh adalah pelaksana titah-titahnya, siap menerima hadiah apa saja. Aktivitasnya tidak dinilai benar, jika tidak diniatkan dan dimasukkan oleh sang hati. Di kemudian hari, hati akan ditanya tentang para prajuritnya, sebab setiap pemimpin itu bertanggungjawab atas yang dipimpinnya.
        Maka, Pembenaran dan pelurusan hati merupakan perkara yang paling baik, utamanya untuk diseriusi oleh orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah (salik). Demikian pula, mengkaji penyakit-penyakit hati dan metode mengobatinya merupakan bentuk ibadah yang utama bagi ahli ibadah.
          Menurut 'Ibn al-Qayyim, hati itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu hati yang sehat (al-qalb al-shahih), hati yang mati (al-qalb al-mayyit), dan hati yang sakit (al-qalb al-marid}).
       Hati yang sehat juga disebut dengan hati yang selamat (al-qalb al-Salim), yaitu hati yang selalu menerima, mencintai dan mendahulukan kebenaran. Pengetahuannya tentang kebenaran benar-benar sempurna, juga selalu taat dan menerima sepenuhnya. Hati yang sehat atau selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan  dengan perintah Allah dan dari setiap Syubhat, ketidakjelasan yang menyelewengkan dari kebenaran. Hati yang tidak pernah beribadah kepada selain Allah dan berhukum kepada selain Rasulullah.'Ubudiyah-nya murni kepada Allah. Iradah, mahabbah, inabah, khasyyah, raja', dan amalnya semuanya lillah, semata karena Allah.
      Jika ia mencintai, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya dilakukan karena Allah. Ini saja tidak dirasa cukup, sampai ia benar-benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah. Hatinya telah menjadikannya (Rasul) sebagai satu-satunya panutan, dalam perkataan dan  perbuatan. Ia tidak akan berani bersikap lancang, mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan ataupun perbuatan.

Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian bersikap lancang (mendahului) Allah dan Rasul-Nya, dan bertaqwalah kalian kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahi." (Al-Hujurat: 1)
Sedangkan hati yang mati atau keras (al-qalb al-qasi) adalah hati yang tidak mau menerima dan tidak taat pada kebenaran. Hati yang mati, adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabbnya. Ia tidak beribadah kepada-Nya, enggan menjalankan perintah-Nya atau menghadirkan sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Hati seperti ini selalu berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai oleh Allah Swt. Baginya yang penting adalah memenuhi keinginan hawa nafsunya. Ia menghamba kepada selain Allah.
            Jika ia mencinta, membenci, memberi dan menahan diri, semuanya karena hawa nafsu. Hawa nafsu telah menguasainya dan lebih ia cintai daripada keridhaan Allah. Hawa nafsu telah menjadi pemimpin dan pengendali baginya. Kebodohan adalah kemudinya, dan kelalaian adalah kendaraan baginya. Seluruh pikirannya dicurahkan untuk menggapai target-target duniawi.
            Ia diseru kepada Allah dan negeri akhirat, tetapi ia berada ditempat yang jauh, sehingga ia tidak menyambutnya. Bahkan ia setia mengikuti setan yang sesat. Hawa nafsu telah menjadikannya tuli dan buta terhadap kebenaran. Bergaul dengan orang yang hatinya mati adalah racun, dan majlis dengan mereka adalah bencana.

Adapun hati yang sakit, jika penyakitnya sedang kambuh, maka hatinya menjadi keras dan mati, dan jika ia mengalahkan penyakit hatinya, maka hatinya menjadi sehat dan selamat.[2] Hati yang sakit adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit. Ia akan mengikuti unsur yang kuat. Kadang-kadang ia cenderung kepada 'kehidupan', dan kadang-kadang ia cenderung kepada 'penyakit'. Padanya terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan dan tawakkal kepada Allah, yang merupakan sumber kehidupannya. Padanya pula ada kecintaan, ketaatan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad, kibir dan sifat ujub, yang merupakan sumber kehasutannya. Ia (hati yang sedang sakit) ada di antara dua penyeru; penyeru kepada Allah, Rasul dan hari akhir, dan penyeru kepada kehidupan duniawi dan hawa nafsu.
             
Cara menjaga dan mengendalikan hati agar tetap sehat

            Untuk memelihara hati agar selalu sehat dan selamat, jauh dari penyakit, maka dapat dilakukan dengan membiasakan sembilan kebiasaan emas atau yang disebut dengan The Nine Golden Habits,[3] yaitu:

1.      Kebiasaan shalat. Dalam hal ini hendaknya membiasakan shalat wajib yang lima waktu, dan hendaknya dilaksanakan dengan berjama’ah pada waktunya. Selanjutnya membiasakan shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat-shalat wajib,  shalat dhuha setiap pagi,  dan shalat tahajud setiap malam, terutama pada sepertiga malam terakhir.
2.      Kebiasaan berpuasa. Di samping puasa Ramadhan, kita laksanakan puasa-puasa sunnah, seperti  puasa syawal 6 hari, puasa arafah, puasa ‘asyura, puasa hari putih (13,14,15 setiap bulan qamariyah), puasa senin-kamis, dan puasa Nabi Daud.
3.      Kebiasaan ber ZIS (Zakat, Infak, dan Shadaqah). Setiap mendapatkan penghasilan, kita sisihkan terlebih dahulu sekurang-kurangnya 2,5% untuk ZIS.
4.      Kebiasaan melaksanakan adab Islam. Kita Laksanakan setiap aktifitas kita dengan adab Islami, seperti adab dalam keluarga, adab dalam berbicara, bergaul, berbusana, dan lain-lain.
5.      Kebiasaan membaca al-Qur’an. Sedapat mungkin sebulan kita khatamkan al-Qur'an 30 juz, atau rata-rata 1 juz perhari.
6.      Kebiasaan membaca. Sehari kita alokasikan lebih dari 1 jam untuk membaca;
 قال الشاعر: خَيْرُ جَلِيْسٍ فِىْ كُلِّ زَمَانٍ الْكِتَابُ
Penyair berkata: teman duduk yang paling baik  pada segala zaman adalah kitab (buku bacaan)
7.     Kebiasaan menghadiri pengajian, minimal sekali dalam seminggu.
8.      Kebiasaan tertib berorganisasi. Berorganisasi untuk jihad fi sabilillah dengan harta dan jiwa, sehingga kita laksanakan dengan sungguh-sungguh.
9.      Kebiasaan berpikiran positif dan murah senyum.
قَالَ اللَّهُ , عَزَّ وَجَلَّ : أَنَا عِنْدَ ظَنَّ عَبْدِي بِي ، إِنْ ظَنَّ خَيْرًا فَلَهُ ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ.وَرَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ
Allah 'azza wajalla berfirman: 'Sesungguhnya Aku sesuai dengan prasangkaan hamba-Ku terhadapa-Ku, jika ia berprasangka baik maka ia akan mendapatkannya, dan jika ia berprasangka buruk maka ia akan mendapatkannya.'" (HR. Muslim)
  





[1] Suara Muhammadiyah, edisi 03-2013.
[2] 'Ibn Qayyim al-Jawziyah, 'Ighathat al-Lahfan Min Mashaid al-Syaithan,Vol.I (Bayrut: Dar al-Ma’rifah, 1975), 10.