Kamis, 15 Agustus 2019

Manasik Haji Muhammadiyah


MANASIK HAJI
ANTARA HPT-1 DAN HPT-3[1]


Oleh



Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I[2]


Muqaddimah
           
            Makalah ini memaparkan tentang kajian manasik haji yang merujuk kepada buku HPT-1 dan HPT-3 untuk dibandingkan dan dikritisi (dikomentari) seperlunya. Yang dimaksud dengan HPT-1 adalah buku Himpunan Putusan Majelis Tarjih PP. Muhammadiyah yang berisi putusan-putusan tarjih mulai tahun 1929 sampai dengan tahun 1972. Khusus bab haji dalam HPT-1 dibahas sebanyak 39 halaman, mulai halaman 185 sd. 224. Sedangkan HPT-3 adalah himpunan putusan tarjih mulai tahun 2003 (Munas Tarjih ke-26 di Padang) sampai dengan tahun 2015 (Munas Tarjih ke-29 di Jogjakarta). Untuk bab haji, dalam HPT-3 dibahas sebanyak 49 halaman, mulai halaman 465 sd. 514.
Selain membandingkan antara dua HPT tersebut juga dibandingkan dengan buku lain atau pandangan masyarakat yang berkembang, terutama di kalangan warga Muhammadiyah sendiri. Adapun topik-topik yang dibahas dalam makalah ini adalah (1) Niat haji; (2) Miqat makani; (3) Tawaf; (4) Tarwiyah; (5) Wukuf di Arafah; (6) Mabit di Muzdalifah; (7) Manasik di Mina; (8) Hadyu/dam; (9)Badal haji; (10)Haji berkali-kali; dan  (11)Umrah berkali-kali.

1.     Niat Haji
       Dalam HPT-1, saat memulai (niat haji) tidak menggunakan istilah “niat haji” tetapi “ihram”, apabila engkau telah sampai di miqat (Dzul Hulaifah atau Juhfah atau Qarnul Manazil atau Yalamlam) di dalam bulan-bulan haji (Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah sampai tanggal 9) maka berihramlah untuk berhaji.
       Lebih lanjut mengenai niat haji ini tidak perlu membaca niat (mis. Nawaitu al-hajja…), tetapi cukup dengan ber-ihlal yang singkat sesuai dengan Sunnah Nabi. Untuk haji ifrad dan tamattu’ dengan membaca “labbaika hajjan”; sedangkan untuk haji qiran dengan membaca “labbaika umratan wahajjan”.[3] Lafal ihlal ini berdasarkan hadis dari Anas Ra:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا »
Aku mendengar Rasulullah Saw membaca (ihlal untuk haji qiran): “labbaika Umratan Wa Hajjan”, aku penuhi panggilanMu untuk umrah dan haji” (Muttafaqun ‘alaih).[4]
       Dalam HPT-3, terdapat istilah niat haji. Disebutkan dalam buku ini, niat haji atau umrah terkait dengan masalah ihram, yaitu berniat ikhlas di dalam hati karena Allah untuk melaksanakan haji dan umrah kemudian diiringi dengan mengucapkan lafal labbaika umratan atau labbaika umratan wa hajjan atau labbaika hajjan sesuai dengan jenis haji yang hendak dilakukan di tempat-tempat (miqat makani) yang sudah ditentukan.[5]
       Secara umum tidak ada perbedaan antara HPT-1 dengan HPT-3 dalam masalah niat haji. Bedanya, dalam HPT-1 hanya menggunakan istilah ihram haji atau ihram umrah, sedangkan dalam HPT-3 sudah menggunakan istilah niat haji, sekedar untuk memperjelas tentang niat haji. Sedangkan dalil-dalil yang digunakan dalam hal melafalkan ihlal (niat haji), secara umum sama, yaitu merujuk kepada hadis Muttafaqun alaih(al-Bukhari dan Muslim) dari Anas ra, dan lain-lain.

2. Miqat Makani
Dalam HPT-1, tentang miqat makani tidak dibahas khusus, hanya disinggung sedikit, yaitu “apabila engkau telah sampai di miqat (Dzul Hulaifah atau Juhfah atau Qarnul Manazil atau Yalamlam) di dalam bulan-bulan haji (Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah sampai tanggal 9) maka berihramlah untuk berhaji.[6]
Dalam HPT-3, pembahasan miqat makani dibahas agak panjang dan lebar. Miqat makani adalah batas yang menunjukkan tempat dimulainya seluruh rangkaian ibadah haji. Nabi Saw menetapkan ada tiga arah, yaitu (1) sebelah utara untuk penduduk Madinah dan Syam dengan miqatnya Dzul Hulaifah dan Juhfah; (2) sebelah timur untuk penduduk Najed dengan miqatnya Qarn al-Manazil; dan (3) sebelah selatan untuk penduduk Yaman dan Yalamlam. Hal ini berdasarkan hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَّتَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلأَهْلِ الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ، وَلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam. Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya, sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” (HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181).
Dalam HPT-3, lebih lanjut dijelaskan bahwa bagi mereka yang tidak melewati tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Nabi dalam hadis tersebut, seperti zaman sekarang maka harus memposisikan searah dan terdekat dari batas yang ada. Pandangan ini merujuk pada kebijakan atau ijtihad Umar bin al-Khattab yang  memerintahkan memulai ihram dari miqatnya kira-kira dua marhalah (90 km) dari Makkah. Ini jarak terpendek (Qarn al-Manazil) dari Makkah. Hal ini berdasarkan riwayat sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ اْلمِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ فَقَالُوْا: يَا أَمِيْرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْناً وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيْقِنَا، وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْناً شَقَّ عَلَيْنَا. قَالَ: فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيْقِكم. فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ.  (رواه البخاري)
 “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Ketika dua kota ini (Basrah dan Kufah) ditaklukkan, orang-orang menghadap Umar lalu mengatakan: Wahai Amirul-Mukminin, sesungguhnya Rasulullah saw telah menentukan Qarnul-Manazil (sebagai miqat) bagi penduduk Najd, tetapi tempat itu menjauh (menyimpang) dari jalan yang kami lalui. Kalau kami harus menuju Qarnul-Manazil maka kami merasa sukar. Lalu Umar berkata: Coba lihatlah arah yang setentang dengan Qarnul-Manazil pada jalan yang kamu lalui. Kemudian Umar menentukan Dzatu Irqin (sebagai miqat) bagi mereka.”(HR. al-Bukhari No. 1531).
       Berdasarkan hadis dan ijtihad Umar tersebut, HPT-3 menyimpulkan bahwa bagi jamaah yang menggunakan pesawat terbang tidak wajib berihram kecuali setelah mendarat di daratan yang akan ditempuh perjalanan selanjutnya. Karena Bandara Internasional untuk kedatangan jamaah haji yang langsung ke Makkah berada di Jeddah, maka jamaah yang datang melalui jalur penerbangan miqat berihramnya adalah Bandara King Abdul Aziz di Jeddah.[7]
       Pandangan HPT-3 ini agak mengejutkan, karena selama ini sejumlah warga Muhammadiyah dan KBIH yang bernaung dalam Muhammadiyah tidak sependapat dengan pandangan yang membenarkan miqat makani di Bandara King Abdul Aziz di Jeddah, yang jauh sebelumnya memang telah diputuskan oleh MUI tahun 1980 dan Kementerian Agama RI. Di antara KBIH yang menentang pendapat tersebut adalah KBIH Jabal Nur PDM Sidoarjo dengan alasan posisi Jeddah itu melampaui posisi kota Makkah. Ulama Saudi, dalam Fatwa Lajnah al-Daimah, termasuk yang tidak membenarkan Bandara King Abdul Aziz di Jeddah sebagai miqat makani bagi orang yang melewati batas-batas miqat yang ada. Jika seseorang naik pesawat melalui Madinah misalnya, maka miqatnya adalah sebelum atau saat melewati Madinah, yaitu Bir Ali.[8]
3. Tawaf.
Ada dua masalah yang menarik dicermati dalam tawaf ini, yaitu persyaratan suci bagi orang yang mau tawaf, dan hukum wanita haid sebelum tawaf ifadah.
Pertama, syarat suci dalam tawaf. Dalam HPT-1 tidak dijelaskan secara tegas mengenai dua hal tersebut. Secara tekstual dalam HPT-1 mensyaratkan tawaf dengan tidak berhadas besar.[9] Kesannya, kalau berhadas kecil boleh (?). Oleh Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah kemudian dijelaskan bahwa seseorang yang melakukan tawaf haruslah suci dari hadas kecil maupun besar. Apabila batal wuduknya maka harus wuduk lagi dan melanjutkan kekurangannya, tidak usah mengulangi dari permulaan.[10]
Berbeda dengan HPT-3 yang menjelaskan bahwa tawaf harus diusahakan dalam keadaan suci dari hadas dan najis, karena tawaf dalam banyak aspek sama dengan salat. Rasulullah Saw bersabda:
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ أَحَلَّ لَكُمْ فِيهِ الْكَلاَمَ، فَمَنْ يَتَكَلَّمُ فَلاَ يَتَكَلَّمُ إِلاَّ بِخَيْر
     Tawaf di Baitullah itu merupakan salat, hanya saja Allah Swt membolehkan kamu berbicara di dalamnya, akan tetapi barangsiapa berbicara, jangan bicarakan kecuali yang baik (HR. al-Hakim No. 1686; dan Ibn Hibban No. 3836). Al-Albani mensahihkan hadis ini.[11]
            Ada yang baru dari HPT-3, yaitu mengecualikan jika terjadi hadas kecil (batalnya wuduk) saat sedang tawaf dalam keadaan jamaah penuh sesak dan tidak memungkinkan mendapatkan air atau jika mendapatkan air akan sangat menyusahkan dan memberatkan, maka berdasarkan prinsip taisir (memudahkan) dan ‘adamul haraj (meniadakan kesulitan), maka tawaf dapat dilanjutkan tanpa mengulangi wuduk.[12] Prinsip memudahkan ini berdasarkan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185.
HPT-3 dengan sangat hati-hati terkesan tetap mempersyaratkan wudu sebelum melakukan tawaf, sehingga bila batal wuduk saat sedang tawaf tetap diperintahkan untuk mengulangi wuduknya, kecuali jika dalam kondisi yang sangat membahayakan, dalam hal ini tidak dituntut.[13]
Ada lompatan hukum dalam hal ini, yakni dari tidak bisa berwuduk karena kesulitan mendapatkan air (saat terjadi masyaqqah) langsung bebas tanpa wuduk. Mengapa tidak tayamum lebih dulu sebagai ganti wuduk jika mampu?
Kedua, hukum wanita haid tawaf ifadah. HPT-1 tidak membahas tentang ini. Sedangkan HPT-3 menyatakan bahwa wanita haid tetap dibolehkan melakukan tawaf ifadah, apabila kondisinya tidak memungkinkan lagi menunggu sampai berhentinya haid lantaran akan tertinggal rombongan yang harus segera meninggalkan kota Makkah. Ibn Taymiyah dan Ibn al-Qayyim mengemukakan bahwa suatu yang diharamkan dalam keadaan normal dibolehkan dalam keadaan darurat apabila ada keperluan mendesak. Seperti daging babi yang mestinya haram dalam keadaan normal akan dibolehkan saat keadaan darurat (QS. Al-Baqarah,173). Dengan demikian keadaan darurat tersebut (tertinggal rombongan apabila tidak segera tawaf) merupakan pembatasan (taqyid) dan pengecualian terhadap larangan melakukan tawaf bagi wanita haid.[14] Ibn Taymiyah mengatakan:
ويجوز للحائض الطواف عند الضرورة ولا فدية عليها
Orang yang sedang haid dibolehkan tawaf saat dalam keadaan darurat dan tidak perlu membayar fidyah.[15]
4. Tarwiyah
Dalam HPT-1, pembahasan tarwiyah hampir sama dengan HPT-3, yaitu menganjurkan para jamaah haji pada tanggal 8 Dzul Hijjah untuk ihram haji dari Makkah pada pagi hari, kemudian menuju ke Mina. Di Mina satu hari, mulai dhuhur, asar, maghrib, isya, sampai subuh tanggal 9 Dzul Hijjah.[16] Kebanyakan jamaah haji Indonesia pada hari itu berihram haji dari Makkah langsung ke Arafah. Karena itu, jamaah haji yang berhaluan lain, yaitu ke Mina dulu satu hari baru ke Arafah disebut dengan istilah tanazul (memisahkan diri dari program umum pemerintah).
HPT-1 dan HPT-3 mendasarkan pada hadis riwayat Jabir bin Abdillah:
فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ تَوَجَّهُوا إِلَى مِنًى فَأَهَلُّوا بِالْحَجِّ وَرَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَصَلَّى بِهَا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ ثُمَّ مَكَثَ قَلِيلاً حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ
 "Ketika hari Tarwiyyah maka mereka menuju Mina, lalu mereka berihram haji kemudian Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam menaiki untanya dan sampai di Mina beliau shalut zhuhur, Ashar, Maghrib, 'Isya, dan Subuh. Kemudian beliau berdiam sejenak sampai terbit matahari."_(HR. Muslim No.1218; Abu Dawud No. 1907; dan Ibn Majah No. 3074).[17]
 HPT-3 ada tambahan keterangan bahwa secara Sunnah memang pada tanggal 8 Dzul Hijjah (hari tarwiyah) disunnahkan ke Mina dulu baru ke Arafah, akan tetapi bilamana terjadi kemacetan (krodit) sehingga dikhawatirkan bisa mengganggu kegiatan wukuf di Arafah nantinya, maka pelaksanaan tarwiyah tidak perlu dilaksanakan.[18] Hal ini sesuai dengan kaidah: “الْوَاجِبُ لَا يُتْرَكُ لِسُنَّةٍ”, yang wajib tidak ditinggalkan karena yang Sunnah.[19]
5. Wukuf di Arafah
HPT-1 dalam membahas wukuf di Arafah terlalu singkat, hanya menjelaskan tentang keberangkatan dari Mina ke Namirah dulu (kalau bisa) lalu ke Arafah, setelah terbit matahari pagi tanggal 9 Dzul Hijjah. Setelah matahari mulai condong ke Barat (saat dzuhur), maka waktunya wukuf di Arafah, kemudian salat dhuhur dan asar dilaksanakan secara jama’ selanjutnya banyak berdoa.[20]
HPT-3 lebih lengkap dalam membahas wukuf di Arafah. Arafah adalah salah satu tempat pelaksanaan manasik haji yang terletak paling jauh dari Makkah. Arafah tidak termasuk dalam kawasan tanah haram (tanah suci).  
Ibadah yang dilakukan di Arafah setelah memulai wukuf adalah khutbah Arafah yang disampaikan oleh imam atau pemimpin rombongan, kemudian salat dzhuhur dan asar dengan qasar dan jamak takdim dengan satu adzan dan dua iqamat. Selanjutnya membaca tahmid, tahlil, takbir, berdoa, bertaubat, dan berdzikir kepada Allah serta membaca al-Qur’an.[21]   Nabi bersabda:
 خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ 
“Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah La Ilaaha IllAllah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syai-in qadir.” (HR. at-Tirmidzi, no.3585). al-Albani menghasankan hadis ini.[22]
       Lebih lanjut HPT-3 memaparkan bahwa setelah matahari terbenam pada hari Arafah, maka jamaah haji segera meninggalkan Arafah berangkat menuju Muzdalifah untuk mabit (bermalam) di sana. Salat maghrib dan isya dilakukan di Muzdalifah secara qasar dan jamak ta’khir. Jamaah yang tidak dapat segera meninggalkan Arafah karena problem keterlambatan transportasi dan harus menunggu di Arafah  dalam waktu lama dan tidak bisa diprediksi kapan datangnya penjembutan, maka jamaah dibolehkan melakukan salat maghrib dan isya secara qasar dan jamak di Arafah.[23] Solusi ini diambil berdasarkan prinsip taysir (memudahkan), yaitu kaidah: المشقَّةُ تجلِبُ التَّيسيرَ, kesulitan bisa membawa kemudahan.[24]
6. Mabit di Muzdalifah
HPT-1 secara singkat dan padat menjelaskan manasik haji saat berada di Muzdalifah, yaitu salat maghrib dan isya secara jamak, kemudian bermalam di sana. Bagi jamaah yang kondisinya lemah dibolehkan meninggalkan Muzdalifah menuju Mina sebelum fajar. Jamaah bisa ambil batu kerikil di Muzdalifah untuk persiapan lempar jumrah di Mina. Bagi jamaah yang normal, maka berangkatnya menuju ke Mina setelah salat subuh sebelum matahari terbit.[25]
Untuk manasik haji di Muzdaifah tidak ada perbedaan yang prinsip antara HPT-1 dengan HPT-3. Secara umum dalam HPT-3 juga dijelaskan tentang apa saja yang dilakukan jamaah saat berada di Muzdalifah, yaitu  salat maghrib dan isya dilakukan dengan qasar dan jamak ta’khir, setelah itu  boleh juga  mencari batu kerikil untuk persiapan melempar jumrah di Mina,  selanjutnya istirahat tidur sampai datangnya waktu subuh.[26] Hal ini berdasarkan hadis berikut ini:
عَنْ جَاَبِرٍ قاَلَ.....حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا ثُمَّ اضْطَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ وَصَلَّى الْفَجْرَ - حِينَ تَبَيَّنَ لَهُ الصُّبْحُ - بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ
Dari Jabir, ia berkata:…sampai di Mzdalifah beliau melakukan salat maghrib dan isya dengan satu kali adzan dan dua iqamat, dan tidak melakukan salat antara keduanya, kemudian beliau tidur hingga terbit fajar lalu salat subuh saat waktu subuh tiba dengan adzan dan iqamat (HR. Muslim No. 3009).
Setelah salat subuh, jamaah haji dianjurkan untuk banyak berdzikir dan berdoa menghadap kiblat.[27] Jabir meriwayatkan:
ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى أَتَى الْمَشْعَرَ الْحَرَامَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَدَعَاهُ وَكَبَّرَهُ وَهَلَّلَهُ وَوَحَّدَهُ فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا حَتَّى أَسْفَرَ جِدًّا فَدَفَعَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْس
Kemudian beliau naik unta meneruskan perjalanannya hingga ke Masy’aril Haram. Beliau kemudian menghadap kiblat, lalu membaca doa, takbir, dan tahlil. Beliau tetap berada di situ hingga terang benderang, lalu bertolak (menuju Mina) sebelum matahari terbit (HR. Muslim No. 3009).
Bagi jamaah yang lemah, boleh mabit di Muzdalifah sampai tengah malam saja, tidak harus menunggu sampai subuh. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
كَانَتْ سَوْدَةُ امْرَأَةً ضَخْمَةً ثَبِطَةً، فَاسْتَأْذَنَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُفِيضَ مِنْ جَمْعٍ بِلَيْلٍ، فَأَذِنَ لَهَا
“Saudah adalah perempuan yang lambat jalannya karena badannya gemuk. Beliau meminta ijin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan Muzdalifah di waktu malam. Lalu Rasulullah mengijinkannya.”  (HR. Bukhari no. 1680 dan Muslim no. 1290).
Riwayat di atas menunjukkan bolehnya orang-orang lemah dan perempuan (baik perempuan tersebut memiliki ‘udzur ataukah tidak) untuk meninggalkan Muzdalifah di waktu malam dan tidak menunggu sampai pagi (subuh).

7. Manasik di Mina
       HPT-1 dalam membahas manasik di Mina terdiri dari dua bagian yang ringkas, yaitu: Pertama, pada tanggal 10 Dzul Hijjah saat sudah tiba di Mina melaksanakan lempar jumrah ‘Aqabah dengan tujuh butir kerikil dengan mengucapkan: “Allahu Akbar, dan Allahummaj’alhu hajjan mabruran wa dzanban maghfuran (HR. Ahmad No. 4061). Setelah itu hendaklah menyembelih hadyu (dam), selanjutnya tahallul awal dengan mencukur rambut, maka halal segala hal yang tadinya dilarang saat berihram, kecuali bersetubuh. Setelah itu pergi menuju ke Makkah untuk tawaf dan sa’i .[28]
       Kedua, dari Makkah kembali ke Mina untuk mabit (bermalam) dua atau tiga malam, melempar jumrah ketiga-tiganya (Ula, Wusta, dan ‘Aqabah), setelah matahari condong ke barat pada tanggal 11, 12, dan 13 dengan cara seperti sebelumnya (melempar jumrah ‘Aqabah). Bila ingin segera ke Makkah, boleh meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzul Hijjah.[29]
       Pada HPT-3, masalah manasik di Mina isinya hampir sama dengan HPT-1. Bedanya, dalam HPT-3 ada beberapa tambahan penjelasan agak rinci tentang suatu ritual dan realitasnya di lapangan. HPT-3 ada penjelasan bahwa setelah melempar jumrah ‘Aqabah, ucapan takbir dan talbiyah pun dihentikan. Hal ini berdasarkan hadis Nabi riwayat al-Bukhari No. 1544.[30]
       Secara realistis, HPT-3 mengakui bahwa setelah melempar jumrah ‘Aqabah tanggal 10 Dzul Hijjah sangat sulit kemungkinannya untuk bisa langsung ke Makkah guna melakukan tawaf dan sa’i. Karena itu, pelaksanaan tawaf dan sa’i tidak harus langsung pada tanggal 10 Dzul Hijjah, tetapi boleh pada waktu lain yang memungkinkan (kebanyakan jamaah Indonesia melakukan tawaf dan sa’i setelah nafar awal atau nafar sani dari Mina ke Makkah, tanggal 13 atau 14 Dzul Hijjah).
       Dalam HPT-3 ada tambahan keterangan tentang amalan setelah melempar jumrah, khususnya setelah melempar jumrah ula dan jumrah wusta, yaitu mencari tempat yang kosong untuk berdoa apa saja yang dikehendaki dengan mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat. Adapun untuk jumrah ‘aqabah, setelah melemparnya tidak perlu berdoa, tetapi langsung keluar.[31] Hal ini berdasarkan hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " أَفَاضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ حِينَ صَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مِنًى، فَمَكَثَ بِهَا لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ، يَرْمِي الْجَمْرَةَ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، كُلُّ جَمْرَةٍ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ ، يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ ، وَيَقِفُ عِنْدَ الْأُولَى، وَعِنْدَ الثَّانِيَةِ، فَيُطِيلُ الْقِيَامَ وَيَتَضَرَّعُ ، وَيَرْمِي الثَّالِثَةَ لَا يَقِفُ عِنْدَهَا  
Aisyah ra berkata: “Rasulullah Saw melakukan tawaf ifadah di akhir harinya setelah beliau salat dhuhur, kemudian beliau kembali ke Mina dan tinggal di sana selama malam tasyriq. Beliau melempar jumrah saat matahari sudah condong, setiap lemparan dengan tujuh kerikil dan beliau bertakbir setiap melempar kerikil. Beliau berdiri (berhenti) di jumrah pertama (Ula) dan jumrah kedua (wusta), kemudian melamakan berdiri, mengkhusyukkan diri (berdoa), dan tidak berhenti lagi setelah melempar jumrah ketiga (Aqabah) (HR.Ahmad No. 24592, Abu Dawud No. 1975). Hadis ini sahih menurut al-Albani kecuali kalimat “حِينَ صَلَّى الظُّهْرَ”, setelah beliau salat dhuhur. Kata al-Albani, kalimat tersebut munkar.[32]
       Ada pandangan menarik dalam HPT-3 tentang waktu melempar jumrah, yaitu bolehnya melempar jumrah di luar waktu utama (afdaliyah) yang sesuai sunnah. Hal ini dibenarkan manakala situasi kawasan jamarat sangat padat dan membahayakan jiwa jika dipaksakan melempar jumrah pada waktu yang utama tersebut. Pandangan ini didasarkan kepada prinsip agama yang tidak mempersulit tetapi memudahkan (taysir).[33]
       HPT-3 juga mengemukakan pandangan yang longgar dan fleksibel tentang area Mina (Mina Jadid, perluasan Area Mina). Jamaah haji tetap dipandang mabit di Mina meski posisinya berarsiran dengan lokasi Muzdalifah. Karena bagian terluar dari Muzdalifah itu adalah batas terluar Mina, dan batas terluar Mina adalah batas terluar Muzdalifah.[34] Perluasan Mina dilakukan karena jumlah jamaah haji terus bertambah, sementara Area Mina tetap. Karena itu berlaku kaidah fiqhiyah  اذا ضاق الامر اتسع, “apabila segala sesuatu sudah sempit maka menjadi luas”.[35]
       Ada keterangan yang perlu dipertanyakan, baik dalam HPT-1 maupun HPT-3, tentang bacaan pada saat melempar jumrah, yaitu mengucapkan: “Allahummaj’alhu hajjan mabruran wa dzanban maghfuran. HPT-1 dan HPT-3 sama-sama mengutip hadis riwayat Ahmad berikut ini:
فَرَمَى بِهَا مِنْ بَطْنِ الْوَادِي بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ وَهُوَ رَاكِبٌ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ وَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُورًا وَذَنْبًا مَغْفُورًا ثُمَّ قَالَ هَاهُنَا كَانَ يَقُومُ الَّذِي أُنْزِلَتْ عَلَيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
…kemudian beliau melemparnya dari dalam lembah dengan tujuh kerikil sambil naik kendaraannya, beliau bertakbir setiap melempar dan berdoa: Allahummaj’alhu hajjan mabruran wa dzanban maghfuran. Kemudian beliau berkata lagi: “Di sinilah berdiri orang yang kepadanya diturunkan surat al-Baqarah” (HR. Ahmad No.4061).[36]
       Hadis tersebut menurut penelitian beberapa pakar hadis dinilai lemah (da’if). Menurut Syu’ayb al-Arnowt hadis tersebut sahih kecuali bacaan Allahummaj’alhu hajjan mabruran wa dzanban maghfuran, tambahan kalaimat doa ini lemah karena dalam rentetan sanadnya terdapat perawi bernama Lais bin Abi Sulaym yang dikenal lemah.[37] al-Bayhaqi dalam Sunan al-Kubra-nya menilai kelemahan hadis ini karena ada perawi bernama Abdullah bin Hakim yang dikenal sebagai perawi yang lemah.[38] Al-Albani juga menilai hadis tersebut lemah (da’if).[39]
       Atas dasar keterangan terebut, KBIH Jabal Nur milik PDM Kabupaten Sidoarjo tidak mengamalkan doa melempar jumrah tersebut, karena doa tersebut dianggap tidak masyru’ (tidak disyariatkan) dan tidak ma’tsur (tidak berdasarkan amalan Nabi Saw).[40]  
       Mengenai kegiatan salat selama di Mina, HPT-1 tidak menerangkannya. Sedangkan pada HPT-3, secara panjang lebar menjelaskan bagaimana salat qasar dan jamak pada saat safar termasuk pada saat suasana haji di Arafah, Muzdalifah, dan di Mina. HPT-3 menjelaskan bahwa selama di Mina, salat yang liwa waktu dilakukan dengan qasar tanpa dijamak. Hal ini berdasarkan pada hadis berikut ini:
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ صَلَّى صَلاَةَ الْمُسَافِرِ بِمِنًى وَغَيْرِهِ رَكْعَتَيْنِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ رَكْعَتَيْنِ صَدْرًا مِنْ خِلاَفَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا أَرْبَعًا.
Dari Salim bin Abdillah, dari ayahnya (Abdullah bin Umar), dari Rasulullah Saw (diriwayatkan) bahwa beliau pernah mengerjakan salat musafir di Mina dan di tempat lainnya (dengan diqasar) dua rakaat. Begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Usman pada awal pemerintahannya juga (melakukan  salat dengan diqasar) dua rakaat. Setelah itu dia (Usman) menyempurnakannya empat rakaat (HR. Muslim No. 1622).[41]

8.  Hadyu (dam).
        Pada HPT-1, tidak menyebutkan istilah hadyu atau dam, tetapi menyembelih kambing, baik pada saat menjelaskan kewajiban menyembelih karena suatu pelanggaran atau pun kewajiban terkait dengan ketentuan dalam ibadah haji dan umrah, seperti saat haji tamattu’.[42]
       Sedangkan dalam HPT-3, dijelaskan tentang pengertian dan perbedaan hadyu dan dam. Dam berasal dari bahasa Arab yang berarti darah. Maksudnya adalah binatang ternak yang darahnya ditumpahkan (disembelih) sebagai denda bagi suatu pelanggaran yang dilakukan di dalam urusan ibadah haji. Istilah dam adalah istilah yang digunakan ulama. Di dalam al-Quran dan hadis digunakan istilah hadyu. Hadyu lebih umum daripada pengertian dam, karena hadyu juga mencakup hewan-hewan yang disembelih bukan sebagai denda semata, tetapi juga dikarenakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, seperti yang dilakukan dalam rangkaian ibadah haji (tamattu dan qiran). Selain hadyu, dalam al-Quran juga menggunakan istilah nusuk (QS. Al-Baqarah, 196).[43]
       Pandangan HPT-3 yang menarik tentang pelanggaran adalah bahwa orang yang melanggar suatu larangan ihram karena lupa, maka ia tidak dikenai denda (dam). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Saw:
تَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Allah akan mengampuni dari umatku yang melakukan kesalahan karena tak sengaja, lupa, dan dipaksa (HR. Ibn Majah No. 2043; al-Hakim No. 2801 dan al-Baihaqi No. 5991). Menurut al-Albani hadis tersebut sahih.[44]
       HPT-3 juga mengemukakan pandangan yang berani tentang batas waktu penyembelihan dam atau hadyu. Menurut HPT-3, tidak ada dalil yang jelas mengenai batasan penyembelihan hadyu atau dam. Batasan penyembelihan hadyu atau dam hingga sampai hari tasyrik (tanggal 11,12, dan 13 Dzul Hijjah) hanya dijumpai dalam kitab-kitab Fiqh, dan dalilnya disamakan dengan batasan untuk ibadah kurban. HPT-3 menilai bahwa atas dasar prinsip ‘adam al-haraj, tidak menyusahkan, maka pembatasan penyembelihan hadyu dan dam adalah bulan haji iu sendiri, yaitu bulan Dzul Hijjah. Sedangkan pendistribusiannya bisa kapan saja, karena tiada dalil yang membatasinya.[45]

9.  Badal Haji
            HPT-1 tidak membahas sama sekali tentang badal haji. Sedangkan pada HPT-3 dibahas dengan cukup panjang dan lebar. Yang dimaksud dengan badal haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang untuk dan atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji, yakni karena orang tersebut ada uzur (berhalangan) sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka pelaksanannya didelegasikan kepada orang lain.[46]
            Salah satu asas umum penting dalam hukum Islam adalah asas personalia, yaitu setiap tanggung jawab perbuatan adalah atas pelakunya sendiri dan ia akan mendapat imbalan atau balasan atas perbuatan yang dilakukannya. Pengecualian terhadap prinsip ini hanya dapat dilakukan dengan nas-nas syariah sendiri. Beberapa ayat tentang dasar-dasar asas personalia dalam hukum syariah antara lain surat al-Baqarah ayat 286; Yasin ayat 54; dan al-Najm ayat 38-39. Allah Swt berfirman:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى  وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
 “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. Al-Najm, 38-39).[47]

            Terkait dengan ibadah haji, HPT-3 berpandangan bahwa pada dasarnya haji tidak dapat didelegasikan kepada orang lain, kecuali dalam hal-hal yang ditegaskan pengecualiannya oleh nas-nas syariah, yaitu boleh dibadali oleh (1) anak (menghajikan orang tua), terutama anak yang tertua, atau (2) saudara laki-laki maupun perempuan (membadali haji saudaranya) sebagaimana ditegaskan dalam hadis-hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِى الْحَجِّ وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَحُجِّى عَنْهُ ».
1.      Ibnu Abbas meriwayatkan dari al-Fadl: "Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?". Jawab Rasulullah: "Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!" (H.R. Muslim No. 3316).[48]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ ، فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ . حُجِّى عَنْهَا ، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ ، فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ »
2.      Ibnu Abbas ra meriwayatkan: " Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Nabi s.a.w., ia bertanya: "Wahai Nabi Saw, Ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya? Rasulullah menjawab: Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (H.R. Bukhari No. 1852).[49]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ :مَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ ».
3.      Ibnu Abbas meriwayatkan bahwasanya (pada saat melaksanakan haji), Nabi Saw. mendengar seorang lelaki berkata "Labbaik 'an Syubrumah" (Labbaik/aku memenuhi pangilanMu ya Allah, untuk Syubrumah), lalu Rasulullah bertanya "Siapa Syubrumah?". "Dia saudaraku, wahaiRasulullah", jawab lelaki itu. "Apakah kamu sudah pernah haji?" Rasulullah bertanya. "Belum" jawabnya. "Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah", lanjut Rasulullah. (H.R. Dawud No. 1813). Syekh al-Albani menilai hadis ini sahih.[50]

Berdasarkan beberapa hadis tersebut, mayoritas ulama membenarkan adanya syariat badal haji, dengan syarat orang yang melaksanakan badal haji sudah terlebih dahulu melaksanakan haji untuk dirinya sendiri.

Harus difahami bahwa Nabi Saw memiliki otoritas untuk menetapkan hukum sendiri selain berdasarkan al-Qur’an. Karena itu tidak semua hadis yang “terkesan” bertentangan dengan al-Qur’an lalu dinyatakan tidak sahih. Seperti hadis tentang bolehnya menghajikan orang lain (orangtua atau saudara) yang dianggap bertentangan dengan surat al-Najm ayat 39 yang menerangkan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali atas usahanya sendiri. Dalam kajian Ushul Fiqh dikenal adanya “takhshis”, yaitu pembatasan atau pengecualian terhadap ketentuan yang bersifat umum. Takhshis ini bisa berupa al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, dan bisa juga al-Qur’an dengan al-Hadis. Sebagai contoh QS. Al-Maidah,3 (tentang: diharamkan atas kamu bangkai, hewan yang mati tanpa disembelih). Oleh Nabi Saw kemudian di “takhshis”, dibatasi dengan mengecualikan bangkai ikan dan belalang (HR.Ahmad, Ibn Majah dan al-Baihaqi. Al-Albani menilainya sahih). Kalau orang tidak memahami sunnah atau hadis, maka akan mengatakan bahwa semua bangkai adalah haram berdasarkan ayat al-Qur’an tersebut. Tetapi, karena memahami adanya sunnah atau hadis yang berfungsi menjelaskaan al-Qur’an dan juga mengecualikan keterangan yang bersifat umum, maka bisa difahami bahwa semua bangkai itu haram kecuali yang dikhususkan oleh Nabi saw, yaitu bangkai ikan dan belalang.
Demikian juga tentang ayat yang menerangkan bahwa seseorang tidak akan dapat pahala kecuali dari usaha amalnya sendiri (QS. Al-Najm, 39). Oleh Nabi Saw, ayat yang bersifat umum tersebut dikecualikan dengan amalan badal haji, menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fisik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ini berarti bahwa badal haji itu dibenarkan menurut syariat. Pakar hadis termasyhur, Imam al-Bukhari dan Muslim termasuk ulama yang membolehkan badal haji.[51]
     HPT-3, sungguhpun membolehkan badal haji, namun memberikan rambu-rambu sebagai berikut: (1)Satu orang hanya boleh membadali haji satu orang dalam satu musim haji; (2)Biaya badal haji dibebankan kepada orang yang dibadali, kecuali anak atau saudara yang membadali itu dengan suka rela bersedekah untuk orang yang dibadali; (3)Pada dasarnya badal haji bukan kewajiban, tetapi hanya kebolehan yang timbul sebagai pengecualian dari prinsip umum bahwa seseorang hanya akan memperoleh sesuai apa yang dilakukannya, karena adanya nas-nas yang mengecualikannya; (4)Haji Sunnah tidak boleh didelegasikan kepada orang lain karena tidak adanya Sunnah.[52]  
Mayoritas ulama  memperbolehkan badal haji atau dalam istilah fiqihnya al-hajj ‘an al-ghair. Di antara ulama empat madzhab yang memperbolehkan badal haji adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Hanya Imam Maliki yang tidak memperbolehkannya, kecuali kepada orang yang sebelum wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan, maka dibolehkan. Ini pun dengan harta peninggalannya sejauh tidak melebihi sepertiganya.[53]

10. Haji berkali-kali
     HPT-1 tidak menjelaskan tentang kedudukan haji yang dilakukan oleh seseorang berkali-kali. Sedangkan pada HPT-3 disingung sedikit tentang haji berulang kali. HPT-3 menegaskan bahwa berdasarkan hadis Nabi Saw, kewajiban haji hanyalah sekali seumur hidup bagi yang mampu, selebihnya adalah Sunnah.[54] Ibn Abbas menceritakan bahwasanya al-Aqra bin Habis bertanya kepada Nabi Saw, ya Rasulullah (apakah) haji itu setiap tahun ataukah satu kali (seumur hidup)? Nabi Saw menjawab:
بَلْ مَرَّةً وَاحِدَةً فَمَنْ زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ
Hanya satu kali saja (seumur hidup). Barangsiapa yang menambah, maka itu tatawuk/Sunnah (HR. Abu Dawud No. 1725; Ibn Majah No. 2886; dan lain-lain). Menurut al-Albani, hadis ini sahih.[55]
     Karena haji yang kedua dan seterusnya itu hukumnya Sunnah, maka bagi yang ingin haji lagi wajib mendahulukan yang lain yang sudah berkewajiban haji tetapi belum berkesempatan haji. Jika orang yang sudah haji tetap ingin haji lagi, dan haji lagi, maka berarti orang ini mementingkan dirinya sendiri. Saat ini daftar tunggu untuk bisa berangkat haji sudah mencapai lebih dari 20 tahun. Jika orang yang sudah haji masih ingin haji lagi berarti ia menutup peluang orang lain untuk bisa segera berhaji. Sebagai solusinya, kepada orang yang berkelebihan harta hendaknya memprioritaskan penerapan ajaran al-Ma’un, yakni berkhidmad dalam pemberdayaan kaum duafa dan penyantunan mereka yang tidak mampu.[56]

11. Umrah berkali-kali
     HPT-1 tidak menyinggung sama sekali tentang ibadah umrah berkali-kali. Sedangkan HPT-3 membahasnya agak panjang. HPT-3 kurang sependapat dengan kebiasaan orang-orang yang melakukan umrah berkali-kali, yang biasanya dilakukan pada waktu antara seusai umrah qudum (baru masuk Makkah) dengan datangnya waktu haji hari tarwiyah. Mereka ini beralasan mumpung ada kesempatan tinggal di Makkah agak lama. Menurut HPT-3, umrah yang dilakukan berkali-kali ini bisa menambah keletihan sehingga persiapan hajinya tidak maksimal.
     HPT-3 juga tidak sependapat dengan dasar yang dijadikan pijakan mereka yang membolehkan umrah berkali-kali, yaitu dengan dalil hadis:
عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ - رضى الله عنه - ...ثُمَّ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى عَائِشَةَ - رضى الله عنها - فَوَجَدَهَا تَبْكِى فَقَالَ « مَا شَانُكِ ». قَالَتْ شَانِى أَنِّى قَدْ حِضْتُ وَقَدْ حَلَّ النَّاسُ وَلَمْ أَحْلِلْ وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَالنَّاسُ يَذْهَبُونَ إِلَى الْحَجِّ الآنَ. فَقَالَ « إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاغْتَسِلِى ثُمَّ أَهِلِّى بِالْحَجِّ ». فَفَعَلَتْ وَوَقَفَتِ الْمَوَاقِفَ حَتَّى إِذَا طَهَرَتْ طَافَتْ بِالْكَعْبَةِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ ثُمَّ قَالَ « قَدْ حَلَلْتِ مِنْ حَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ جَمِيعًا ». فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أَجِدُ فِى نَفْسِى أَنِّى لَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ حَتَّى حَجَجْتُ. قَالَ « فَاذْهَبْ بِهَا يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ فَأَعْمِرْهَا مِنَ التَّنْعِيمِ ». وَذَلِكَ لَيْلَةَ الْحَصْبَةِ
 
Dari Abu Al-Zubair dari Jabir bin Abdulah R.a, …Kemudian Rasulullah saw. menemui Aisyah R.a, dan beliau mendapatkannya sedang menangis, beliau bertanya, mengapakah engkau?’ Ia menjawab: “Sesungguhnya aku sedang berhaid, orang-orang sudah bertahallul sedangkan saya belum bertahallul dan belum tawaf di baitullah. Orang-orang akan pergi mengerjakan haji sekarang ini.’ Beliau besabda,’Hal ini adalah ketetapan Allah swt. kepada anak-anak perempuan Adam. Mandilah dan berihramlah dengan haji. Maka Aisyah pun melakukannya dan datangi setiap tempat peribadahan haji. Sehingga ketika ia bersih dari haid, ia bertawaf di baitullah dan sai antara shafa dan Marwah.’ Lalu Rasulullah saw. bersabda,’Engkau sudah halal dari haji dan umrahmu seluruhnya.’ Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah, Saya rasakan dalam hati, bahwa saya belum tawaf di baitullah sampai saya berhaji”. Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Abdurrahman, bawalah ia dan umrahkanlah dari Tan’im” (HR. Muslim No. 2996).

HPT-3 menerangkan bahwa kasus ‘Aisyah dalam hadis di atas tidak bisa menjadi dasar bagi disyariatkannya melakukan umrah berkali-kali selama satu musim haji. Nabi sendiri dan para sahabatnya, kecuali ‘Aisyah, tidak pernah melakukan umrah berulang kali. Yang disunnahkan bagi jamaah haji saat menunggu datangnya 8 Dzul Hijjah adalah memperbanyak ibadah tawaf sunnah, salat berjamaah di masjid al-Haram, membaca al-Qur’an, berdzikir, dan lain sebagainya.[57]
Al-Utsaimin menambahkan bahwa seandainya peristiwa yang terjadi pada Aisyah itu termasuk sesuatu yang disyariatkan pada semua orang, niscaya Nabi Saw akan mengerahkan para sahabat bahkan menganjurkan Abd al-Rahman bin Abu Bakar yang keluar bersama saudarinya untuk melaksanakan umrah, karena akan mendapatkan pahala. Dan telah maklum bahwa Rasulullah Saw pernah bermukim di Makkah pada tahun pembebasan kota Makkah selama sembilan belas (19) hari tetapi beliau tidak melaksanakan umrah, padahal bila mau beliau dengan mudah dapat melakukannya. Ini menunjukkan bahwa umrah berulang-ulang itu tidak disyariatkan, karena selain hal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin pun tidak pernah melakukannya.[58]
Memang ulama Fiqh berbeda pendapat mengenai hukum umrah berulang-ulang ini. Sebagian ada yang membolehkan, dan sebagian lagi ada yang tidak membolehkan atau memakruhkan. Abd al-Rahman al-Jaziri, dalam bukunya al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengemukakan: “Dianjurkan memperbanyak atau mengulang-ulang ibadah umrah, terutama di bulan Ramadlan sesuai dengan kesepakatan tiga imam madzhab (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali), kecuali Imam Maliki yang memakruhkan”.[59]
Ulama yang membolehkan umrah berulang-ulang berhujjah dengan hadis Aisyah di atas dan hadis dari Abu Hurairah yang dikatakan oleh Nabi Saw bahwasanya satu kali umrah ke umrah berikutnya dapat menjadi penghapus dosa di antara keduanya (HR. al-Bukhari No. 1773; dan Muslim No. 3355).[60]
Ulama yang tidak setuju dengan umrah berulang-ulang di antaranya adalah Ibn Taymiyah. Ia mengatakan bahwa tidaklah disunnahkan umrah berulang-ulang, baik dari Makkah atau dari selainnya. Mereka lebih utama (lebih baik) untuk memperbanyak tawaf sebagaimana dulu para sahabat Nabi saat tinggal di Makkah memperbanyak tawaf bukan memperbanyak umrah.[61] Pandangan ini diperkuat oleh Syekh Abdullah bin Baz yang mengatakan bahwa apa yang diperbuat oleh kebanyakan orang dengan memperbanyak umrah dari Tan’im, Ji’ranah dan lain-lain itu, sesudah haji dan sebelum haji, maka hal itu tidak ada dalil yang mensyariatkannya. Dalil-dalil yang ada justru lebih utama meninggalkannya, karena Nabi Saw dan para sahabatnya dulu juga tidak melakukan (umrah berulang kali) pada saat haji wadak.[62]

Ikhtitam
            Sebagai bagian dari kajian Fiqh, pembahasan mengenai manasik haji terus mengalami perkembangan. Demikian juga bahasan manasik haji dalam HPT-1 ke HPT-3 juga ada perubahan, perkembangan, dan penyesuaian. Hal ini terjadi karena beberapa hal, di antaranya karena jumlah jamaah haji yang terus bertambah sementara tempat atau lokasi untuk beribadah haji sudah tetap, sehingga perlu kebijakan baik mengenai fleksibilitas tata cara (kaifiyah) atau keluasan tempat ibadah. Kebijakan ini didasarkan pada prinsip atau kaidah fiqhiyah yang memudahkan dan meringankan (taysir) serta tidak memberatkan dan tidak menyulitkan (‘adam al-haraj).
            Munculnya perbedaan pandangan dalam fiqh haji pun tak terelakkan, karena memang dimungkinkan dan dibenarkan adanya perbedaan pendapat. Nabi Saw bahkan pernah bersabda: “Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala”(HR. al-Bukhari No. 3609 dan Muslim No. 2214). Karena itu HPT-1 dan HPT-3 adalah salah satu hasil ijtihad (musyawarah) ulama Muhammadiyah pada zamannya, yang memberikan konsekwensi sebagai sebuah fatwa yang boleh diikuti oleh warganya dan siapa saja yang menerimanya.
            Bilamana ada seseorang yang tidak sependapat dengan HPT-1/HPT-3, maka tidak dilarang, asal yang bersangkutan bisa mengemukakan dalil-dalil yang dapat diterima (maqbul). Sesuai prinsip yang dipegangi oleh Muhammadiyah bahwa bila terjadi perbedaan pendapat dalam suatu masalah, hendaknya dikembalikan (merujuk) kepada al-Qur’an dan al-Sunnah al-maqbulah.
            Wallahu A’lam Bissawab !

               

Daftar Pustaka

Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal, I, ed. Syu’ayb al-Arnowt. al-Qahirah: Muassasah Qurtubah, t.th.
al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Mukhtashar Irwa al-Ghalil, I. Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985.
___________. Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II. al-Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t,th.
___________. Sahih Abi Dawud, VI. Kuwayt: Muassasah Gharras Li al-Nasyr Wa al-Tawzi’, 2002.
___________. Al-Silsilah al-Da’ifah, III. Riyad: Dar al-Marif, 1992.
al-Bayhaqi, Abu Bakar. Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, V. Makkah al-Mukarramah, Maktabah Dar al-Baz, 1994.
Bin Baz, Abdullah. Majmu’ Fatawa bin Baz, XVI/162.
al-Bukhari. Matn al-Bukhari Bi hasyiah al-Sindi, I. Bairut: Dar al-Fikr,tt.
____________. Sahih al-Bukhari, IV. al-Qahirah: Dar al-Sya’b, 1987.
al-Dimasyqi, Abd al-Qadir bin Badran. al-Madkhal Ila Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, I. Bayrut: Muassasah al-Risalah, 1401 H.
Ibn Taymiyah. al-Fatawa al-Kubra, I. Bayrut: Dar al-Fikr, 1987.
____________. al-Fatawa al-Kubra, V. Bayrut: Dar al-Ma’rifah, 1386.
____________. Kutub Wa Rasail Wa Fatawa Ibn Taymiyah Fi al-Fiqh, XXVI. t.tp: Maktabah Ibn Taymiyah, t.th.
Ibn al-Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in, III. Bayrut: Dar al-Fikr, 2003.
al-Jazairi, Abd al-Rahman. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah,  I. Bayrur: Dar al-Fikr, 1986.
Muslim.  Sahih muslim,  I. Bairut: Dar al-Fikr, 1988.
___________. Sahih Muslim, IV. Bayrut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th.
al-Mubarakfuri. Tuhfat al-Ahwadzi Bi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, III. Bayrut: Dar al-Kutub al’Ilmiyah, t.th.
MTT-PPM. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah 3. Yogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2018.
___________, Tuntunan Manasik Haji. Yogjakarta: Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, 1998.
___________. Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama-2. Yogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2003.
PP. Muhammadiyah. Himpunan Putusan Majelis Tarjih. Jogjakarta: PPM, t.th.
al-Syaukani. Nayl al-Authar, V. t.tp: Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyah, t.th.
al-Subki, Tajuddin. al-Asybah Wa al-Nadha-ir, I. Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991.
al-Tibrizi, Muhammad bin Abdullah al-Khatib. Misykat al-Mashabih, III, ed. Al-Albani. Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985.
al-‘Utsaimin, Muhammad b.Shalih.  Fiqh al-‘Ibadat, 294-295.
Al-Zarkasyi. al-Mantsur Fi al-Qawa’id, I. al-Kuwayt: Wizarat al-Awqaf Wa  al-Syu’uniyah al-Diniyah, 1405 H.
al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, III. Suriyyah: Dar al-Fikr, t.th.
Zuhdi Dh, Achmad. et.al. Tuntunan Ibadah Haji dan Umrah Sesuai Sunnah Nabi Saw. Sidoarjo: KBIH Jabal Nur, 2012.



[1] Makalah disampaikan pada acara “Bedah Buku HPT-3” yang diselenggarakan oleh MTT-PWM Jawa Timur pada Sabtu, 6 Juli 2019 di Surabaya.
[2] Ketua Devisi Tarjih dan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur 2015-2020.
[3] PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih (Jogjakarta: PPM, t.th), 188.
[4] Ibid., 198. Teks hadis dapat dibaca dalam Kitab karya al-Syaukani, Nayl al-Authar, V (t.tp: Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyah, t.th), 36. Baca juga al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi Bi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, III (Bayrut: Dar al-Kutub al’Ilmiyah, t.th), 468.
[5] MTT-PPM, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah 3 (Yogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2018),  467.
[6][6] HPT-1, 188.
[7] HPT-3, 469-470.
[8] Muhammad Shalih al-Munajjid, Mawqi al-Islam Sual Wa Jawab, V (http://www.islamqa.com.15 Nopember 2009), 4075.
[9] HPT-1, 190.
[10] Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP.Muhammadiyah, Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama-2  (Yogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), 140.
[11] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Mukhtashar Irwa al-Ghalil, I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985), 25.
[12] HPT-3, 471.
[13] Ibid.
[14] Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, I (Bayrut: Dar al-Fikr, 1987), 443-472; Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, III (Bayrut: Dar al-Fikr, 2003), 11-23.
[15] Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, V (Bayrut: Dar al-Ma’rifah, 1386), 314.
[16] HPT-1, 192; HPT-3, 474.
[17] HPT-1, 210-211; HPT-3, 475.
[18] Ibid., 476.
[19] Tajuddin al-Subki, al-Asybah Wa al-Nadha-ir, I (Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), 23.
[20] HPT-1, 192.
[21] HPT-3, 478.
[22] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II (al-Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t,th), 106.
[23] HPT-3, 480.
[24] Abd al-Qadir bin Badran al-Dimasyqi, al-Madkhal Ila Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, I (Bayrut: Muassasah al-Risalah, 1401 H), 298.
[25] HPT-1, 193.
[26] HPT-3, 481.
[27] Ibid.,  482.
[28] HPT-1, 194.
[29] Ibid.
[30] HPT-3, 484.
[31] Ibid., 485.
[32] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sahih Abi Dawud, VI (Kuwayt: Muassasah Gharras Li al-Nasyr Wa al-Tawzi’, 2002), 213.
[33] HPT-3, 486.
[34] Ibid., 487.
[35] Al-Zarkasyi, al-Mantsur Fi al-Qawa’id, I (al-Kuwayt: Wizarat al-Awqaf Wa  al-Syu’uniyah al-Diniyah, 1405 H ), 120.
[36] HPT-1, 214; HPT-3, 483-484.
[37] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, I, ed. Syu’ayb al-Arnowt (al-Qahirah: Muassasah Qurtubah, t.th), 427.
[38] Abu Bakar al-Bayhaqi, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, V (Makkah al-Mukarramah, Maktabah Dar al-Baz, 1994), 129.
[39] Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Silsilah al-Da’ifah, III (Riyad: Dar al-Marif, 1992), 232.
[40] Achmad Zuhdi Dh et.al, Tuntunan Ibadah Haji dan Umrah Sesuai Sunnah Nabi Saw (Sidoarjo: KBIH Jabal Nur, 2012), 83.
[41] HPT-3, 490.
[42] HPT-1, 195.
[43] HPT-3, 494-495.
[44] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Irwa al-Ghalil, I (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985), 123.
[45] HPT-3, 499.
[46] MTT-PPM, Tuntunan Manasik Haji (Yogjakarta: Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, 1998), 129.
[47] HPT-3, 501.
[48] Muslim, Sahih Muslim, IV (Bayrut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th), 101.
[49] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, IV (al-Qahirah: Dar al-Sya’b, 1987), 502.
[50] Muhammad bin Abdullah al-Khatib al-Tibrizi, Misykat al-Mashabih, III, ed. Al-Albani (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985), 126.
[51] Imam al-Bukhari dalam Kitab Sahihnya  membuat judul: بَابُ الْحَجِّ وَالنُّذُوْرِ عَنِ الْمَيِّتِ وَالرَّجُلِ يَحُجُّ عَنِ الْمَرْأَةِ a. (bab tentang haji dan nadzar dari orang yang mati dan haji orang laki-laki untuk perempuan) باب الْحَجِّ عَمَّنْ لاَ يَسْتَطِيعُ الثُّبُوتَ عَلَى الرَّاحِلَة b. (bab tentang haji untuk orang yang tidak mampu duduk di atas kendaraan). Imam al-Bukhari, Matn al-Bukhari Bi hasyiah al-Sindi, Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr,tt), 318. Imam Muslim dalam Kitab Sahihnya  membuat judul: باب الْحَجِّ عَنِ الْعَاجِزِ لِزَمَانَةٍ وَهِرَمٍ وَنَحْوِهِمَا أَوْ لِلْمَوْت a. (bab tentang haji untuk orang yang lemah dikarenakan sakit yang tak ada harapan sembuh atau karena ketuaan, dsb atau karena kematian). Imam Muslim, Sahih muslim, Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), 614.
[52] HPT-3, 506-507.
[53] Abd al-Rahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol.I (Bayrur: Dar al-Fikr, 1986), 706-710. Baca juga Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, III (Suriyyah: Dar al-Fikr, t.th), 426-440.
[54] HPT-3, 507.
[55] Al-Albani, Sahih Abi Dawud, V, 405.
[56] HPT-3, 508-509.
[57] HPT-3, 513.
[58] Muhammad b.Shalih al-‘Utsaimin, Fiqh al-‘Ibadat, 294-295.
[59] Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, I/ 1078.
[60] al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, III/ 451.
[61] Ibn Taymiyah, Kutub Wa Rasail Wa Fatawa Ibn Taymiyah Fi al-Fiqh, XXVI (t.tp: Maktabah Ibn Taymiyah, t.th), 45.
[62] Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa bin Baz, XVI/162.