Kamis, 22 September 2011

WUKUF DI ARAFAH SETELAH MAGHRIB

WUQUF DI ARAFAH SETELAH MAGHRIB, APAKAH SAH?

Oleh:

Achmad Zuhdi Dh

www.zuhdidh.blogspot.com

0817581229

Bagaimana solusinya, jika ada jamaah yang tersesat sehingga sampainya di Arafah setelah maghrib ? apakah ia masih bisa melakukan wuquf? Dan apakah hajinya masih sah ?

Sesuai syariat, wukuf di padang Arafah dimulai setelah waktu dhuhur tiba dan berakhir sampai saat terbenamnya matahari, tetapi boleh juga berakhir sampai dengan waktu sebelum fajar, tanggal 10 Dzulhijjah. Nabi Saw bersabda:

الْحَجُّ عَرَفَةُ ، فَمَنْ جَاءَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ لَيْلَةَ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ (رواه أحمد والنسائى ،وغيره)

“Haji adalah Arafah, barangsiapa datang (di Arafah) sebelum terbit fajar pada “laylat jam’in” (tanggal 10 Dzulhijjah) maka sungguh telah sempurna hajinya” (HR. Ah}mad, al-Nasa>-i>, dan lain-lain). Al-Alba>ni> dan Shu’ayb al-Arnout menilai bahwa hadis ini sahih.

Berdasarkan hadits tersebut maka orang yang tersesat jalan saat menuju Arafah, dan sampai di Arafah baru setelah maghrib, maka ia masih boleh melakukan wuquf dan hajinya tetap sah.

Kegiatan wukuf di Arafah dimulai dengan khutbah, kemudian adzan lalu qamat untuk shalat dhuhur dua rakaat, kemudian qamat lagi untuk shalat ashar dua rakaat. Di sini jamaah haji melakukan shalat dhuhur dan ashar dengan cara qashar dan jama’ taqdi>m. Nabi SAW tidak melakukan shalat sunnah apa pun di antara keduanya. (Muslim, S{ah}i>h} Muslim IV/ 39. Al-Alba>ni>, H{ajjat al-Nabi> S{aw, I/71.)

Disebutkan dalam hadits riwayat Muslim dari Jabir bin Abdillah sbb:

فَخَطَبَ النَّاسَ وَقَالَ «إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ ...............ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Maka beliau berkhotbah dan berkata: “Sesungguhnya darahmu dan harta kekayaanmu adalah kehormatan bagi kalian......dst. Setelah itu (Bilal) melakukan adzan kemudian qamat lalu shalat dhuhur kemudian qamat lagi lalu shalat ashar. Beliau tidak melakukan shalat apapun antara keduanya. (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah).

Imam al-Nawawi dalam al-Minhaj, I/128 berkata:

وَاَللَّهُ أَعْلَمُ ثُمَّ يَخْطُبُ الْإِمَامُ بَعْدَ الزَّوَالِ خُطْبَتَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي بِالنَّاسِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمْعًا. وَيَقِفُوا بِعَرَفَةَ إلَى الْغُرُوبِ، وَيَذْكُرُوا اللَّهَ تَعَالَى وَيَدْعُوه

Allah yang lebih tahu, kemudian seorang Imam berkhotbah dua kali setelah matahari condong ke barat, setelah itu baru shalat dhuhur dan ashar secara jama. Mereka wuquf di ‘Arafah dengan banyak berdzikir dan berdoa kepada Allah swt hingga matahari terbenam.

Tentang khotbah Arafah, ada dua pendapat:

Pertama, khutbah dua kali. Pendapat ini dianut oleh madhhab Syafi’i;

Kedua, khutbah satu kali. Pendapat ini dianut oleh madhhab Hanafi, madhhab Maliki dan madhhab Hanbali.

(Imam al-Nawawi, Kitab al-Idlah Fi Manasik al-Hajj wa al-’Umrah, 1996:272)

Setelah selesai shalat dhuhur dan ashar, selanjutnya memperbanyak dhikir dan doa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meraih ridhaNya. Di antara doa yang paling banyak dibaca oleh Rasulullah SAW pada saat di padang Arafah adalah bacaan di bawah ini:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ (رواه الترمذى)

Artinya: Tidak ada Tuhan kecuali Allah sendiri dan tidak ada sekutu baginya. Segala kerajaan itu adalah milik Allah, bagiNya lah segala puji dan Dia itu Maha Kuasa atas segala sesuatu. (HR.al-Tirmidhi>)

Selaain dzikir tersebut, baik juga membaca doa atau bacaan Sayyidul Istighfar, yakni sbb:

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّى ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ، خَلَقْتَنِى وَأَنَا عَبْدُكَ ،وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَىَّ وَأَبُوءُ بِذَنْبِى ، اغْفِرْ لِى ، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ »

Artinya: ”Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku. Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku akan menunaikan janjiku kepada-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku mohon perlindungan kepada-Mu dari kejahatan yang telah kuperbuat. Aku menyadari dan mengakui kenikmatan yang telah Engkau berikan kepadaku dan aku mengakui akan dosaku. (Karena itu) ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau”

Nabi Saw bersabda:

وَمَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا ، فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِىَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهْوَ مُوقِنٌ بِهَا ، فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ (صحيح البخارى)

“Barangsiapa membacanya (sayyidul istighfar) di siang hari dengan penuh keyakinan, maka (jika) ia mati pada hari itu sebelum datangnya sore hari, maka ia termasuk ahli surga. Dan barangsiapa membacanya di malam hari dengan penuh keyakinan, kemudian ia mati sebelum datangnya subuh, maka ia termasuk ahli surga” (HR. al-Bukha>ri>)

THAWAF WADA BAGI WANITA HAID

THAWAF WADA BAGI WANITA H{AID{

Oleh

Achmad Zuhdi Dh

www.zuhdidh.blogspot.com

0817581229

Jika ada seorang wanita sedang haid, sementara jadwal waktu pemulangan sudah tiba, padahal ia belum melakukan thawaf wada, apakah ia harus menunggu sampai selesai haidnya, dan berpisah dengan kloternya yang akan segera berangkat? Ataukah ada solusi lain?

T{awa>f wada>’ adalah akhir dari semua rangkaian ibadah haji. Jika seseorang telah melakukan t}awa>f wada>’ hendaknya berdoa kepada Allah agar diberi kesempatan untuk dapat kembali lagi ke Baitullah. Setelah itu kemudian keluar dari Masjidil Haram secara wajar, tidak perlu dengan cara berjalan mundur, tetapi berjalan biasa dengan membelakangi ka’bah.

Kemudian, jika sudah pulang menuju pemondokan, hendaknya tidak melakukan kegiatan lain lagi kecuali sekedar yang diperlukan untuk makan dan sebagainya sambil menunggu kendaraan untuk pemulangan.

Jika ia masih melakukan jual-beli lagi seperti mau bermukim dan dalam waktu yang lama, hendaknya ia mengulangi lagi t}awa>f wada>’nya.

Sesuai perintah Nabi SAW bahwa t}awa>f wada>’ adalah akhir dari segala kegiatan selama berhaji. Nabi SAW bersabda:

لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ

Artinya: Janganlah seseorang di antara kamu pulang melainkan akhir yang dilakukannya adalah thawaf di Baitullah (HR.Muslim,IV/93)

Adapun bagi wanita h}aid, sementara waktu pemulangan sudah segera tiba, maka bagi wanita haid tersebut diberikan dispensasi untuk tidak melakukan t}awa>f wada>’. Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW berikut ini:

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ

Artinya: Orang-orang (yang menunaikan ibadah haji) diperintahkan oleh Nabi Saw agar mengakhirinya dengan thawaf di Baitullah, kecuali bagi wanita yang tengah h}aid, ia diberi keringanan atau dispensasi (tidak harus melakukannya). (HR. al-Bukhari dan Muslim)

قال الإمام النووى :ليس على الحائض ولا على النفساء طواف وداع ولا دم عليها لتركه لانها ليست مخاطبة به للحديث السابق لكن يستحب لها ان تقف على باب المسجد الحرام وتدعو) المجموع ج8 ص(255

Al-Iman al-Nawawi berkata: “Bagi wanita yang sedang haid atau nifas, mereka tidak diwajibkan melakukan thawaf wada’ dan juga tidak terkena dam karena tidak diperintahkan sesuai hadits sebelumnya, hanya saja disunnahkan untuk berdiri di depan pintu masjid al-Haram sambil berdoa”.Al-Majmu’ , VIII/255

Rabu, 21 September 2011

LARANGAN SELAMA IHRAM

Hal-hal yang dilarang selama ihram

oleh:


Achmad Zuhdi Dh
www.zuhdidh.blogspot.com/ 0817581229

1. Bagi pria tidak boleh memakai pakaian yang berpotongan, seperti baju, kemeja, kaos, celana panjang/ pendek, cawat, tutup kepala/ songkok/ sorban/ peci, sepatu yang menutup mata kaki.
2. Bagi wanita tidak boleh menutup muka dan telapak tangan, pakaian harus menutup seluruh badan.
3. Bagi pria/wanita, tidak boleh memakai pakaian yang dicelup za'faran atau lainnya yang wangi.
4. Bagi pria/wanita tidak boleh memakai minyak wangi atau wangi-wangian.
5. Bagi pria/wanita tidak boleh mencukur rambut atau menggunting rambut sebelum waktunya/ tahallul.
6. Bagi pria/wanita tidak boleh berburu binatang buruan dan makan daging hasil buruannya atau buruan orang lain.
7. Bagi pria/wanita tidak boleh meminang, menikah atau dinikahkan.
8. Tidak boleh berjima' atau melakukan hubungan suami-istri.
9. Bagi pria/wanita tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor, kata-kata keji, berbantah-bantahan atau bertengkar.
10. Bagi pria/wanita tidak boleh mengganggu atau merusak pohon-pohonan yang tumbuh di Mekkah dan Madinah, baik pada waktu ihram atau tidak, dengan mengambil durinya, kulitnya, dahan-rantingnya apalagi memotongnya.
DAM dan FIDYAH
Dam atau fidyah adalah merupakan denda yang harus dibayar bagi orang yang sedang berihram kemudian melanggar larangan-larangan yang telah ditentukan. Dalam hal ini ada empat kategori, yakni sbb:
A. Apabila yang dilanggar berupa:
1). mencukur rambut; 2). memotong kuku; 3), memakai pakaian berjahit (bagi pria); 4). memakai tutup muka dan sarung tangan (bagi wanita); dan 5). memakai wewangian; maka dendanya boleh memilih di antara 3 hal, yaitu:
1. Menyembelih seekor kambing; atau
2. Memberi makan 6 orang miskin @ 1,5 kg; atau
3. Puasa tiga hari
Allah Swt berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ "
Jika ada di antara kamu yang sakit atau gangguan di kepalanya (lalu bercukur), wajib baginya membayar fidyah, (yaitu) berpuasa, bersedekah, atau berkurban. (QS. Albaqarah: 196)
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ أَتَيْتُهُ يَعْنِى النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ « ادْنُ » . فَدَنَوْتُ فَقَالَ « أَيُؤْذِيكَ هَوَامُّكَ » . قُلْتُ نَعَمْ . قَالَ « فِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ » . وَأَخْبَرَنِى ابْنُ عَوْنٍ عَنْ أَيُّوبَ قَالَ صِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ، وَالنُّسُكُ شَاةٌ ، وَالْمَسَاكِينُ سِتَّةٌ (رواه البخارى ومسلم)
Dari Ka'ab bin Ujrah RA, ia berkata “Aku pernah mendatangi Nabi Saw, kemudian beliau berkata: “Mendekatlah”, lalu aku mendekat. Kemudian beliau berkata: "Tampaknya rasa pusing di kepalamu itu membuatmu sakit?" Aku menjawab: "Betul, ya Rasulullah!" Rasulullah SAW pun bersabda, "(Cukurlah rambutmu itu), lalu fidyah dengan berpuasa, bersedekah atau berkurban." Ibn ‘Aun dari Ayyub berkata, yakni berpuasa tiga hari atau berkorban seekor kambing atau memberi makan enam orang miskin”. (HR.al-Bukhari dan Muslim)
B. Apabila yang dilanggar berupa:
Membunuh hewan (kecuali ular, kala, tikus dan lain-lain yang dipandang membahayakan) maka wajib membayar dam (menyembelih seekor kambing, atau sebanding dg hewan yang dibunuhnya). Harga kambing per ekor sekitar 300 SR.
Atau (bila tidak mampu) fidyah dengan bersedekah makanan seharga hewan tersebut (sekitar 300 SR)
Atau (bila tidak mampu) berpuasa selama sekitar 10 hari (sbg ganti menyediakan makan 10 orang @ 30 SR (semuanya 300 SR)
Allah Swt berfirman dalam QS. al-Maidah, 95
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu. (QS. al-Maidah, 95)
C. Bila yang dilanggar berupa:
Bersetubuh sebelum tahallul awwal, maka hajinya batal dan wajib membayar kifarat dengan menyembelih seekor unta atau sapi; dan wajib qadla thn depan.
Bersetubuh setelah tahallul awal, maka hajinya tetap sah tetapi tetap wajib membayar kifarat dengan menyembelih seekor unta atau sapi.
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ وَعَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ وَأَبَا هُرَيْرَةَ سُئِلُوا عَنْ رَجُلٍ أَصَابَ أَهْلَهُ وَهُوَ مُحْرِمٌ بِالْحَجِّ فَقَالُوا يَنْفُذَانِ يَمْضِيَانِ لِوَجْهِهِمَا حَتَّى يَقْضِيَا حَجَّهُمَا ثُمَّ عَلَيْهِمَا حَجُّ قَابِلٍ وَالْهَدْيُ قَالَ وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَإِذَا أَهَلَّا بِالْحَجِّ مِنْ عَامٍ قَابِلٍ تَفَرَّقَا حَتَّى يَقْضِيَا حَجَّهُمَا (رواه مالك)
Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib dan Abu Hurairah ditanya tentang orang yang sedang berihram mengumpuli isterinya, maka mereka menjawab: keduanya harus melaksanakan hajinya (tahun itu) sampai selesai kemudian tahun depan keduanya harus haji lagi (mengqadha) dan membayar hadyu (dam). Ali berkata: Apabila (tahun depan) keduanya memulai hajinya (haji qadha), keduanya harus terpisah hingga menyelesaikan kegiatan hajinya. (HR. Malik)
D. Apabila yang dilanggar itu berupa:
Mengadakan akad nikah saat masih ihram maka pernikahannya batal, tetapi hajinya tetap sah dan tidak wajib membayar dam.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ ».
Dari Utsman bin ‘Affan, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan serta tidak boleh meminang”. (HR. Muslim)

Senin, 19 September 2011

SILLABI MK ORIENTALISME

PEMBAGIAN TUGAS PEMAKALAH MATA KULIAH ORIENTALISME

FAKULTAS ADAB JURUSAN SPI SMT V A,B & C TA 2011-2012

Dosen: Achmad Zuhdi Dh

NO

TOPIK BAHASAN

NAMA MAHASISWA

1

ORIENTASI MATAKULIAH

2

ORIENTALISME DAN SEJARAH LAHIRNYA

3

ORIENTALISME DAN GERAKAN KRISTENISASI

4

MOTIVASI ORIENTALIS MENGKAJI ISLAM

5

PROGRAM-PROGRAM ORIENTALIS

6

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP AL-QUR’AN

7

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP AL-HADIS

8

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP HUKUM ISLAM

9

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP TASAWUF

10

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP NABI SAW

12

SIKAP UMAT ISLAM DALAM MENGHADAPI GERAKAN ORIENTALISME

13

H.A.R. GIBB DAN GOLDZIHER SERTA PANDANGANNYA TENTANG ISLAM

14

ERNEST RENAN DAN EDWARD GIBON SERTA PANDANGANNYA TENTANG ISLAM

TAHLILAN

HUKUM TAHLILAN KEMATIAN


Oleh:


Achmad Zuhdi Dh
0817581229/www.zuhdidh.blogspot.com

Mengenai kedudukan hukum tahlilan, di kalangan para ulama ahli fiqh terpetakan menjadi dua kelompok pendapat yang satu sama lain saling bertentangan yaitu pendapat ulama yang menerima atau memperbolehkannya versus pendapat ulama yang menolak atau melarangnya.

Alasan ulama yang menerima dan memperbolehkan tahlilan

Dalil-dalil yang dipakai kelompok ulama yang menerima dan memperbolehkan tahlilan, yaitu dalil aqli dan dalil naqli serta pendapat ulama.

1. Dalil Aqli, yaitu dalil yang diambil berdasarkan pertimbangan akal.
Menurut pertimbangan akal, kegiatan ritual tahlil yang diselenggarakan sesudah kematian itu ada beberapa hal yang dinilai positif dan bernilai ibadah, di antaranya adalah kegiatan dzikr berupa pembacaan al-Qur’an, shalawat, tahlil, tasbih dan takbir dan doa-doa serta pengiriman pahala untuk si mayit. Di sana juga terdapat kegiatan bersedekah berupa mengeluarkan hidangan makanan kepada mereka yang hadir; dan juga kegiatan silaturrahim, yaitu dengan berkumpulnya banyak orang di rumah ahli mayit dengan maksud menghibur keluarga mayit yang sedang berduka.

2. Dalil Naqli, yaitu dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits.
a). Al-Qur’an Surat al-Ahzab, ayat 41:
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْااذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًاكَثِيْرًا (الاحزاب ٤١)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikr yang sebanyak-banyaknya (QS.al-Ahzab,41).
b). Hadits Shahih riwayat Muslim dari Aisyah ra :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أُمِّىْ افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَمْ تُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْتَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم)
Artinya:Dari Aisyah ra., bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw dan bertanya: sesungguhnya ibuku meninggal tiba-tiba, saya menduga jika ia sempat bicara sebelumnya tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan dapat pahala jika aku bersedekah untuknya? Nabi Saw menjawab, ya! (HR. Muslim).

Imam Nawawi berkata bahwa di dalam hadits ini dinyatakan boleh bersedekah menggantikan orang yang sudah mati, bukan saja boleh tapi dianjurkan, dan pahala sedekah itu sampai kepada orang yang mati dan berfaidah untuk orang yang bersedekah. Hal ini telah menjadi ijma’ orang Islam menfatwakannya (Syarah Shahih Muslim, XI, 84).

c). HR. Abu Dawud dari Ma’qal bin Yasar ra:
عَنْ مَعْقَلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِقْرَأُوْا يَس عَلَى مَوْتَاكُمْ (رواه أبو داود)
Artinya: “Dari Ma’qal bin Yasar, Nabi Saw bersabda: Bacakanlah surat Yasin untuk orang yang mati” (HR. Abu Dawud, Juz III, 91).

Dalam hadits ini dinyatakan bahwa orang yang telah mati itu baik sekali dibacakan surat Yasin, yang faidah (pahala) membacanya itu dihadiahkan kepada orang yang telah mati. Menurut Sirojuddin Abbas, Arti kata “mautaakum” pada hadits tersebut adalah orang yang telah mati, dengan bukti bahwa Imam Abu Dawud memberi judul hadits ini dengan “babu qira-ati ‘inda al-mayyiti” (bab membaca ayat al-Qur’an di hadapan orang yang mati (40 Masalah Agama, I, 206).

Tetapi hadits ini dinilai oleh al-Albani dan Aiman Shalih Sya’ban sebagai hadits da’if, karena terdapat dua nama perawi (Abu Utsman dan ayahnya) yang tidak dikenal (majhulani).

Alasan ulama yang menolak dan melarang tahlilan

Dalil-dalil yang dipakai kelompok ulama yang menolak dan melarang tahlilan, yaitu dalil aqli dan dalil naqli serta pendapat ulama.

1. Dalil Aqli, yaitu dalil yang diambil berdasarkan pertimbangan akal.
Menurut pertimbangan akal, penyelenggarakan kegiatan tahlilan dengan cara menghidangkan makanan buat para undangan yang hadir di rumah ahli mayit dan diisi dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dengan maksud mengirimkan pahala bagi si mayit, mengandung beberapa hal yang negative, di antaranya adalah memberatkan keluarga si mayit, karena harus menyediakan hidangan makanan buat mereka yang hadir di rumahnya. Hal ini akan semakin memberatkan jika keluarga si mayit itu tergolong orang yang tidak mampu; selain itu rasanya kurang etis, ketika orang sedang berduka cita, di rumahnya ada kegiatan makan-makan seperti acara pesta. Padahal seharusnya pada saat suasana sedang berduka, yang lainnya juga ikut berduka; dan rasanya terbalik, mestinya keluarga yang sedang berduka itu disantuni dan dibantu dengan menyediakan makanan oleh para tetangga atau handai taulan, tetapi malah yang dirundung duka harus sibuk melayani para tetangga yang datang ke rumahnya dengan menyediakan makanan ala pesta (syukuran).

2. Dalil Naqli, yaitu dalil yang bersumber dari al-Qur’an, al-hadits dan al-Atsar.
a. Dari al-Qur’an:

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (البقرة ١٨٥)

Artinya:“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian semua, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian semua”. (QS. Al-Baqarah, 185).
أَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنَ لَيْسَ لِلْإِ نْسَانِ إِلاَّ ماَ سَعَى (النجم ٣٨-٣٩)
Artinya: “Bahwasanya seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, dan seseorang tidak akan mendapatkan (pahala) kecuali sesuai apa yang telah ia usahakan”. (QS. Al-Najm, 38-39).

Berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat difahami bahwa sesungguhnya Allah tidak ingin memperberat hambanya dalam memikul beban hidupnya. Allah mengingatkan bahwa masing-masing orang akan bertanggung jawab sesuai dengan amal perbuatannya sendiri. Seorang ayah tidak akan dapat menolong anaknya, dan seorang anak pun tidak dapat menolong bapaknya, apalagi menolong orang lain. Atas dasar ini, ulama yang melarang tahlil berpendapat bahwa mengirim pahala pada orang yang sudah mati, yang biasa dilakukan pada acara tahlilan itu tak ada manfaatnya sama sekali.

b. Dalil dari hadits dan atsar:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِصْنَعُوْا ِلأَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ (رواه أحمد وأبو داود والترمذي وابن ماجة والشافعى والطبراني)
Artinya: Abdullah bin Ja’far berkata: “Ketika tersiar khabar terbunuhnya Ja’far, Nabi Saw bersabda: “Hendaklah kalian membikin makanan untuk keluarga Ja’far, lantaran mereka itu telah ditimpa perkara yang menyusahkan mereka” (Hadits shahih riwayat Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Syafi’i dan al-Thabrani).

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعُهُمُ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد وابن ماجة بسند صحيح)
Artinya: “Dari sahabat Jarir bin ’Abdullah, beliau berkata: Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah (meratapi mayat yang hukumnya haram)”. (HR. Ahmad dan Ibn Majah dengan sanad yang shahih).

Dari hadits dan atsar tersebut menjelaskan bahwa apabila ada kematian, maka Nabi Saw memerintahkan agar para tetangganya memberikan bantuan berupa makanan atau santunan kepada keluarga yang berduka. Bukan sebaliknya, keluarga ahli mayit yang malah disibukkan menyediakan makanan buat orang yang hadir ke rumah ahli mayit. Atas dasar ini para ulama yang menolak tahlil berpendapat bahwa sesungguhnya kumpul-kumpul di rumah ahli mayit untuk menyelenggarakan kegiatan tahlil itu tidak diperbolehkan.

Catatan:
Sesuai hasil Muktamar Nahdhatul Ulama ke-1 di Surabaya pada tanggal 13 Rabiuts Tsani tahun 1345 H/ 21 Oktober 1926 M tentang keluarga mayit yang menyediakan makanan kepada penta’ziah disebutkan bahwa menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu,..... Di antara dasar yang dipegangi oleh muktamirin adalah kitab I’anat al-Thalibin (karya Sayyid al-Bakri) yang menjelaskan: “Makruh hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali yang berkata: “Kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian ratapan (yang dilarang)”. Baca Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdhatul Ulama (1926-1999), terj. Djamaluddin Miri, Cet.II (Surabaya: LTN NU Jawa Timur dan Diantama, 2005), 16.