Sabtu, 21 November 2020

HUKUM MEMBAWA ANAK KE MASJID

 

HUKUM MEMBAWA ANAK KE MASJID

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb!

              Ustadz Zuhdi rahimakumullah! Mohon penjelasan mengenai hukum membawa anak ke masjid. Boleh apa tidak? Bagaimana anak-anak pada masa Nabi , apakah ada yang ikut ke masjid? Demikian pertanyaan kami, dan terima kasih atas pencerahannya! (M. Hasan, Taman-Sidoarjo).

Wassalamu’alaikum wr. wb!

 Jawaban:

              Ada dua pendapat mengenai hukum membawa anak ke masjid. Sebagian ulama membolehkan, dan sebagian yang lain memakruhkan. Masing-masing pendapat memiliki dalil kuat berdasarkan hadis-hadis shahih.     

              Ulama yang membolehkan membawa anak ke masjid berargumentasi berdasarkan sejumlah hadis shahih bahwa pada masa Rasulullah , ditemukan beberapa peristiwa anak-anak berada di dalam masjid. Di antaranya sebagai berikut:

1.    Nabi membawa Umamah ke masjid dan menggendongnya saat shalat.

              Abu Qatadah berkata:

رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِى الْعَاصِ وَهِىَ ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنَ السُّجُودِ أَعَادَهَا

“Aku melihat Nabi mengimami shalat, sementara Umamah putri Abu al-Ash dan putri Zainab binti Nabi berada di gendongan beliau. Apabila ruku’, beliau meletakkan Umamah, dan apabila bangkit dari sujud, beliau mengangkatnya kembali (HR. al-Bukhari no. 5996 dan Muslim no. 1241).

              Hadis tersebut menjelaskan bahwa Nabi pernah membawa anak kecil ke dalam masjid, dan beliau menggendongnya ketika shalat. Saat itu beliau menjadi imam shalat berjamaah bersama para sahabat pada shalat wajib (Badruddin al-Aini, Umdat al-Qari Syarh al-Bukhari, XXXII/177).  Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang seseorang membawa anak saat sedang shalat, maka beliau membolehkan berdasarkan hadis dari Qatadah tersebut tentang peristiwa Umamah yang pernah digendong Nabi saat shalat berjamaah (Ibn Abd al-Barr, al-Istidzkar, II/349).

2.    Nabi pernah memperpendek bacaan shalatnya saat mendengar tangisan anak kecil di masjid.

 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنِّي لَأَدْخُلُ الصَّلَاةَ أُرِيدُ إِطَالَتَهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأُخَفِّفُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ بِهِ (رواه مسلم)

Anas bin Malik ra. mengatakan, Rasulullah bersabda: “Sungguh aku pernah memulai shalat yang ingin kupanjangkan, lalu karena kudengar tangisan seorang anak kecil, maka kuringankan (shalat tersebut), karena (aku sadar) kegusaran ibunya terhadapnya” (HR. Muslim no. 1084).

              Hadis tersebut menjelaskan bahwa dalam situasi shalat berjamaah (di masjid) yang diimami oleh Nabi , tiba-tiba terdengar tangisan seorang anak kecil yang berada di dekat ibunya. Saat itu Nabi mengambil kebijakan untuk tidak memperpanjang shalatnya, tetapi memperpendek shalatnya dengan membaca surat-surat pendek. Nabi memahami perasaan ibunya yang tidak tenang. Menurut Imam al-Syaukani, hadis tersebut menunjukkan (جواز إدخال الصبيان المساجد), bolehnya membawa anak ke dalam masjid (al-Syaukani, Nayl al-Authar, III/167).

3.      Kaum wanita dan anak-anak menunggu di masjid

Aisyah ra. mengatakan: “Pada suatu malam, Rasulullah pernah mengakhirkan shalat isya’, hal itu terjadi ketika Islam belum tersebar luas. Beliau tidak juga keluar hingga Umar berkata: “Para wanita dan anak-anak (yang menunggu di masjid) sudah tertidur“. Akhirnya beliau keluar dan mengatakan kepada mereka yang berada di masjid: “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menunggu shalat ini selain kalian” (HR. al-Bukhari no. 566 dan Muslim no.  1475).

              Menurut Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Qasthalani, yang dimaksud dengan para wanita dan anak-anak yang sudah tidur (نام النساء والصبيان) adalah mereka yang sedang berada di dalam masjid (al-‘Asqalani, Fath al-Bari, II/345; al-Qasthalani, Irsyad al-Sari, II/151). Al-Nawawi juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “para wanita dan anak-anak yang sudah tidur” adalah di antara orang-orang yang sedang menunggu di dalam masjid (al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘Ala Muslim, V/137).

4.       Nabi menggendong cucunya (Hasan-Husein) saat khutbah dan shalat.

Buraidah mengatakan: “Suatu saat Nabi berkhutbah, lalu datanglah Hasan dan Husain ra. yang memakai baju merah, keduanya berjalan tertatih-tatih dengan baju tersebut, maka beliau pun turun (dari mimbarnya) dan memotong khutbahnya, lalu beliau menggendong keduanya dan kembali ke mimbar, lalu mengatakan: “Maha benar Allah dalam firman-Nya:

(إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ) رَأَيْتُ هَذَيْنِ يَعْثُرَانِ فِي قَمِيصَيْهِمَا فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ كَلَامِي فَحَمَلْتُهُمَا

‘Sungguh harta-harta dan anak-anak kalian itu adalah fitnah (cobaan)’, aku melihat kedua anak ini tertatih-tatih dengan bajunya, maka aku tidak sabar, hingga aku memotong khutbahku, lalu aku menggendong keduanya (HR. al-Nasai no. 1413).  Syaikh al-Albani mensahihkan hadis ini (al-Albani, Shahih Wa Dhaif Sunan al-Nasai, IV/57).

Dalam hadis-hadis tersebut (hadis-hadis mengenai Nabi bersama anak kecil ketika shalat) menunjukkan bolehnya memasukkan anak ke masjid-masjid. Walaupun mereka masih kecil dan masih tertatih saat berjalan, bahkan kemungkinan mereka akan menangis keras. Karena Nabi menyetujui hal itu, dan tidak mengingkarinya, bahkan beliau mensyariatkan para imam agar meringankan bacaannya ketika ada tangisan bayi, karena dikhawatirkan akan memberatkan ibunya” (al-Albani, al-Tsamar al-Mustathab, I/761).  

 Di antara hikmah membawa anak ke dalam masjid adalah untuk membiasakan mereka dalam ketaatan dan menghadiri shalat berjamaah mulai sejak kecil, karena sesungguhnya pemandangan-pemandangan yang mereka lihat dan dengar saat berada di masjid seperti dzikir, bacaan al-Qur’an, takbir, tahmid, dan tasbih, itu semua memiliki pengaruh yang kuat dalam jiwa mereka, tanpa mereka sadari. Pengaruh tersebut tidak akan atau sangat sulit hilang saat mereka dewasa dan memasuki perjuangan hidup dan gemerlapnya dunia (al-Albani, al-Tsamar al-Mustathab, 1/761).

              Sebagian ulama memakruhkan atau tidak menganjurkan membawa anak-anak ke masjid, terutama anak-anak yang belum mumaiyiz (membedakan yang baik dan buruk). Menurut ulama yang memakruhkan ini, kehadiran bayi atau anak kecil di masjid bisa menimbulkan dampak negatif (mafsadat) yang lebih besar daripada positifnya (maslahat). Tangisan bayi atau teriakan anak kecil itu mengganggu bacaan imam. Ia juga mengusik ketenangan makmum dalam menyimak bacaan imam. Selain itu, anak kecil seringkali berjalan-jalan dan berlarian di hadapan makmum atau imam. Hal itu jelas mengganggu kekhusyukan imam dan makmum. Dalam hal ini Ibnu Katsir meriwayatkan: “Dahulu Umar bin al-Khattab ra. bila melihat anak-anak bermain-main di masjid, memukuli mereka dengan cambukan (ringan), dan setelah Isya’ beliau memeriksa masjid hingga tidak menyisakan satu orang pun (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, III/357).   

              Syekh al-Utsaimin berpendapat bahwa tidak boleh membawa anak-anak ke masjid apabila kehadiran mereka mengganggu jamaah lain yang shalat. Berdasarkan hadis dari Abu Said Al-Khudri ra., ia berkata: Rasulullah melakukan i’tikaf di dalam masjid. Dari dalam kemahnya, Rasulullah mendengar para sahabat membaca Al-Quran dengan suara yang keras. Maka beliau menyingkap tabir kemahnya, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya masing-masing di antara kalian sedang bermunajat dengan Rabbnya, maka janganlah sebagian kalian menganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaannya atas sebagian lainnya, atau Nabi bersabda: pada waktu shalat!” (HR. Abu Daud No.1334, al-Nasai 8092, dan Ahmad no.11915).

Apabila bacaan al-Qur’an yang keras bisa dianggap mengganggu kekhusyuan, maka anak-anak yang ramai lebih patut untuk dilarang. Namun apabila mereka tidak mengganggu, membawa mereka ke masjid adalah sesuatu yang baik. Karena membiasakan mereka untuk shalat berjamaah bisa menjadikan terikat hatinya dengan shalat berjamaah(al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin, XII/397).

              Imam Malik ra pernah ditanya tentang membawa anak ke masjid, maka beliau menjawab: “Apabila anak-anak itu tidak bermain walaupun usianya masih kecil, dan dia akan berhenti apabila dilarang bermain, maka aku berpendapat hal ini tidak mengapa. Akan tetapi, apabila dia masih bermain-main karena usianya masih kecil (padahal sudah diingatkan), maka aku berpendapat tidak perlu membawanya ke masjid” (Imam Malik, Al-Mudawwanah al-Kubra, I/252).

              Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa mengajak anak kecil ke masjid pada dasarnya boleh-boleh saja, tetapi orang tua atau walinya harus menjaganya termasuk menyiapkan pampersnya, dan selalu membimbingnya. Bila suatu saat terjadi kekacauan, misalnya anak menangis yang tak bisa dikendalikan, atau bermain-main, maka lebih baik dibawa pulang agar tidak mengganggu jamaah lainnya. Dalam hal ini berlaku kaidah “taqdim al-mashlahah al’ammah ‘ala al-mashlahah al-khashshah” (al-Syathibi, al-Muwafaqat, VII/325), kepentingan umum harus diprioritaskan daripada kepentingan yang bersifat khusus. Waallahu A’lam!