Senin, 04 Maret 2019

TAHSINUL QUR’AN


TAHSINUL QUR’AN (2)


Oleh



Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I


عَنِ الْبَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ، فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيدُ الْقُرْآنَ حُسْنًا.
Dari al-Barra bin ‘Azib, Rasulullah Saw bersabda: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu (yang merdu), karena sesungguhnya suara yang indah(merdu) itu dapat menambah al-Qur’an semakin indah.” 
(HR.  Abu Dawud No. 1648, al-Nasa-i No. 1015, dan  al-Darimi No. 3501).


Status Hadis
Syaikh al-Albani menilai hadis tersebut shahih. Sanadnya jayyid (bagus), sesuai syarat Muslim (al-Albani, Silsilat al-Ahadis al-Shahihah, II/270). Husain Sulaim Asad juga menilai hadis tersebut shahih (al-Darimi, Sunan al-Darimi, ed.  Fawaz Ahmad Zamrali, II/565).

Kandungan Hadis
            Hadis tersebut mengandung perintah agar kita membaca al-Qur’an dengan cara yang baik dan indah. Dalam hal ini selain memperhatikan kaidah membacanya berdasarkan ilmu tajwid, juga dibaca dengan suara yang bagus, indah, dan merdu. Membaca al-Qur’an dengan suara yang merdu itu dapat memberikan kesan kepada pendengarnya semakin indah, enak didengar, dan  menakjubkan, terutama bagi para penikmatnya.
            Memperindah bacaan al-Qur’an disebut dengan istilah tahsinul qur’an, yaitu membaca al-Qur’an dengan cara yang baik dan benar serta dengan suara yang indah, yaitu memperindah dan memperbaiki bacaan al-Qur’an secara benar sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. Tajwid merupakan salah satu cabang ilmu al-Qur’an, yaitu ilmu tentang tatacara membaca al-Qur’an yang baik dan benar, baik cara melafalkan huruf, membunyikan hukum nun dan tanwin, bacaan mad, hukum waqaf wal ibtida’ dan lain-lain yang terkait dengan cara membaca al-Qur’an yang baik dan benar.

Urgensinya

Menjaga atau memperhatikan tahsinul Qur’an merupakan tanda bagusnya keimanan seseorang. Seorang muslim yang tidak berusaha memperbaiki bacaan al-Qur'an, maka keimanannya terhadap al-Qur'an sebagai kitab Allah patut diragukan. Karena bacaan yang bagus adalah cerminan rasa keyakinannya kepada kitab suci ini.

Dalam QS. al-Baqarah, 121, Allah berfirman:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُون
"Orang-orang yang diberikan al-Kitab (Taurat dan Injil) membacanya dengan benar. Mereka itulah orang-orang yang mengimaninya. Dan barangsiapa yang ingkar kepada al-Kitab, maka merekalah orang-orang yang merugi”.

Dalam hadis riwayat al-Bukhari disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ وَزَادَ غَيْرُهُ يَجْهَرُ بِهِ
Dari Abu Hurayrah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan (memperindah bacaan) Al-Qur’an.” Dalam riwayat yang lain ada tambahan: “membaca dengan suara yang jelas atau keras” (HR. al-Bukhari No.7089).

Sesuai dengan ayat al-Qur’an dan hadis tersebut, wajar jika ulama mengatakan bahwa membaca al-Qur’an dengan tajwid itu wajib. Barangsiapa tidak berusaha membacanya dengan baik dan benar sesuai kaidah ilmu tajwid, maka ia berdosa. Ibn al-Jazari, seorang ulama dan pakar Tajwid al-Qur'an mengatakan dalam Matan al-Jazariyah:

وَالأَخْذُ بِالتَّجْوِيدِ حَتْمٌ لاَزِمٌ مَنْ لَمْ يُجَوّدِ الْقُرَآنَ آثِمٌ لأَنَّهُ بِهِ الإِلَهُ أَنْزَلاَ وَهَكَذَا مِنْهُ إِلَيْنَا وَصَلاَ

Membaca al-Qur'an dengan tajwid adalah sebuah keharusan. Siapa yang tidak mentajwidkan al-Qur'an maka ia berdosa, karena dengan Tajwid Allah menurunkannya. Demikian juga al-Qur’an sampai kepada kita juga dengan tajwid (Ibn al-Jazari, al-Jazariyah, I/4).

Fadhilahnya

Membaca al-Qur’an memang harus dengan cara yang baik dan benar sesuai dengan kaidah tajwid, kemudian dengan suara yang jelas atau keras agar dapat didengar, dan juga dengan suara yang indah dan berirama sehingga dapat dinikmati oleh siapa pun yang mendengarkannya. Adapun faidah dan manfaat bagi orang yang membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, antara lain, sebagaimana disabdakan Nabi Saw:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُ بِهَا

"Akan dikatakan kepada Ahli Qur'an (pada hari kiamat): "Bacalah, naiklah (ke atas surga) dan bacalah dengan tartil sebagaimana kamu dulu pernah membacanya di dunia. Karena sesungguhnya kedudukanmu di surga terdapat pada akhir ayat yang kamu baca." (HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi). Al-Albani menshaihkannya.

Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang ahli al-Qur’an (gemar membaca al-Qur’an) akan mendapatkan kehormatan dan kedudukan yang tinggi di akhirat dan di surga. Kata-kata “naiklah”, adalah naik ke surga. Sedangkan maksud “kedudukan yang sesuai dengan akhir ayat al-Qur’an yang dibacanya” adalah seberapa banyak dan seringnya membaca al-Qur’an, maka semakin tinggi kedudukannya di surga (al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi Bisyarh Jami’ al-Tirmidzi, VIII/187) .

Hal ini berarti bahwa orang yang gemar membaca al-Qur’an dengan sabar, telaten, tartil, hati-hati agar sesuai dengan kaidah tajwid, serta dengan suara yang jelas dan berlagu indah (tahsinul Qur’an), maka di surga ia akan mendapatkan perlakuan yang sangat baik, sambutan yang hangat, pelayanan yang nyaman, dan kenikmatan yang tiada bandingnya.
“Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah al-utrujjah (limau); aromanya wangi dan rasanya enak. Orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti al-tamrah (buah kurma); tidak ada wanginya, tetapi rasanya manis. Orang munafik yang membaca Al-Qur’an adalah seperti tumbuhan al-raihaanah (kemangi); aromanya wangi tetapi rasanya pahit, sedangkan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti tumbuhan hanzhalah (labu); tidak ada wanginya dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari No. 5427; Muslim No.1896).
Membiasakan diri dengan tahsin al-Qur’an

Setiap muslim seharusnya mengejar posisi yang terhormat itu, dengan gemar membaca al-Qur’an, dan membiasakannya setiap hari satu juz (one day one juz) atau sebulan sekali khatam al-Qur’an. Hal ini berdasarkan pada hadis Nabi mengenai seorang sahabat yang bertanya kepada beliau tentang berapa kali sebaiknya mengkhatamkan al-Qur’an.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِى كَمْ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَالَ « فِى شَهْرٍ ».

Dari Abdullah bin Amru bahwasanya dia berkata; "Wahai Rasulullah, berapa lamakah aku harus mengkhatamkan Al Qur'an?" beliau bersabda: "Dalam sebulan (sekali khatam)." (HR. Abu Dawud, dan Al-Albani men-shahih-kannya)

Lebih lanjut Abdullah bin 'Amru berkata; "Sesungguhnya aku bisa lebih dari itu (sebulan bisa khatam lebih dari satu kali)." -Abu Musa (Ibnu Mutsanna) mengulang-ulang perkataan ini- dan Abdullah selalu meminta dipensasi (agar diizinkan mengkhatamkan al-Qur’an lebih dari satu kali) hingga beliau bersabda: "Jika demikian, bacalah al Qur'an (hingga khatam) dalam tujuh hari." Abdullah berkata; "Aku masih dapat menyelesaikannya lebih dari itu." Beliau bersabda: "Tidak akan dapat memahaminya orang yang mengkhatamkan Al Qur'an kurang dari tiga hari." (HR. Abu Dawud, dan Al-Albani men-shahih-kannya).

Hadis tersebut menggambarkan betapa tingginya keinginan sahabat untuk dapat sering membaca al-Qur’an dan mengkhatamkannya berulang-ulang. Nabi memberikan fatwa, idealnya mengkhatamkan al-Qur’an itu sebulan sekali. Tetapi, karena sahabat ini masih ingin lebih banyak lagi mengkhatamkan al-Qur’an, akhirnya Nabi Saw membolehkan khatam al-Qur’an seminggu sekali. Selanjutnya, Nabi memperingatkan agar mengkhatamkan al-Qur’an itu paling cepat tiga hari sekali. Karena, jika kurang dari tiga hari, selain tidak akan sanggup memahami isi al-Qur’an dengan baik, membacanya pun akan tidak bisa baik, tartil, dan indah ( tidak bisa melakukan tahsin al-Qur’an).

Bagaimana dengan kita, sudahkah membiasakan qiratul Qur’an setiap harinya?