Minggu, 14 Juni 2020

SHALAT SAMBIL MEMBACA MUSHAF

SHALAT SAMBIL MEMBACA MUSHAF


Oleh:


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-: أَنَّهَا كَانَ يَؤُمُّهَا غُلاَمُهَا ذَكْوَانُ فِى الْمُصْحَفِ فِى رَمَضَانَ

Dari Ibn Abi Mulaikah, dari Aisyah ra. isteri Nabi saw. memberitakan bahwasanya ia pernah shalat di bulan Ramadhan diimami oleh hamba sahayanya bernama Dzakwan dengan membaca mushaf (HR. al-Bayhaqi No. 3497)

Status Hadis

            Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubra, II/253, hadis No. 3497. Imam al-Nawawi menyatakan bahwa sanad hadis tersebut shahih (al-Nawawi, Khulashat al-Ahkam, I/500 No. 1665). Selain oleh al-Bayhaqi, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh sejumlah imam ahli hadis, di antaranya: al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, I/321 No. 691; Abdullah Ibn Wahab dalam al-Jami’ Li Ibn Wahab, I/184 No. 305; Ibn al-Mulqin dalam al-Badr al-Munir, IV/519; Ibn al-Atsir dalam Jami al-Ushul Fi Ahadis al-Rasul, V/582 No. 3825; Ibn Nashr al-Marwazi dalam Qiyam Ramadhan, I/32; dan Ibn Abi Dawud dalam Kitab al-Mashahif, I/457 No. 794.

Kandungan Hadis

            Hadis tersebut menerangkan praktik shalat berjamaah yang diikuti oleh Aisyah ra. dengan imam seorang hamba sahaya bernama Dzakwan di bulan Ramadhan. Ada dua persoalan dalam hadis tersebut. Pertama tentang hukum seorang hamba sahaya menjadi imam bagi orang merdeka. Masalah ini ada dua pendapat, sebagian ulama tidak membolehkan, tetapi jumhur ulama membolehkan, karena yang penting menjadi imam itu adalah yang paling menguasai bacaan Alquran (Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, II/185). Kedua tentang hukum shalat sambil membaca mushaf. Masalah ini, muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum mengimami shalat sambil membaca dan memegang mushaf. Setidaknya ada empat pendapat mengenai hal ini, berikut rinciannya:

Pendapat pertama, mengatakan bahwa shalat sambil membaca mushaf itu dapat merusak  shalat.  Ini adalah pendapat  Abu  Hanifah (al-Kasani, Bada’i al-Shana’i Fi Tartib al-Syarai’, 1/236; Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).

Al-Kasani (w. 587 H) memaparkan dua alasan mengapa Abu Hanifah ( w. 150 H) menganggap hal ini membatalkan shalat. Pertama, bahwa orang yang shalat sambil membawa mushaf, membolak-balik halaman mushaf, melihat mushaf, dan seterusnya adalah gerakan yang terlalu banyak, padahal itu bukan bagian dari shalat, dan juga tidak diperlukan ketika shalat, sehingga dapat merusak shalatnya. Kedua, orang yang menjadi imam sambil membawa mushaf itu berarti ia membaca teks dari mushaf. Padahal orang yang membaca teks termasuk belajar, sebagaimana dia belajar dari teks yang lain, sehingga ini bisa membatalkan shalat (al-Kasani, Bada’i al-Shana’I Fi Tartib al-Syarai’, 1/236).

Dalil dari hadis adalah riwayat Abdullah bin Abi Aufa bahwasanya ada seseorang yang  mendatangi Rasulullah dan berkata: “Sesungguhnya aku tidak mampu membaca Alquran sedikit pun maka ajarkanlah bacaan yang mudah bagiku. Beliau bersabda: Bacalah subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, Allahu akbar dan la haula wa La quwwata illa billah” (Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I/308 No. 832). Al-Albani menilai hadis ini statusnya hasan (al-Albani, Shahih Wa Dha’if Sunan Abi Dawud, I/2).

Menurut pendapat pertama ini, hadis tersebut mengandung makna bahwa Nabi memerintahkan kepada orang  yang tidak hafal Alquran sedikit pun untuk menggantinya dengan  zikir  dan tidak memerintahkan untuk melihat mushaf. Ini menunjukkan bahwa melihat mushaf itu tidak sah dan merusak shalat. Karena kalau hal itu diperbolehkan dan tidak merusak shalat, Rasulullah pasti memerintahkannya sebelum memerintahkan untuk berzikir.

Pendapat kedua, mengatakan bahwa shalat sambil membaca mushaf itu hukumnya makruh, tidak sampai merusak shalat. Ini adalah pendapat Abu Yusuf (w.182 H) dan Muhammad bin Hasan (w. 189 H), keduanya shahabat Abu Hanifah. Alasannya, melihat mushaf ketika shalat itu menyerupai (tasyabuh) dengan ahli  kitab,sedangkan pembuat  syariat  (Allah  Ta’ala)  melarang  kita  untuk  menyerupai mereka. Shalat sambil membaca mushaf ini lebih baik ditinggalkan terutama dalam shalat fardhu. Sedangkan dalam shalat sunnah seperti qiyam Ramadhan (tarawih) boleh jika benar-benar dibutuhkan (al-Kasani, Bada’i al-Shana’i Fi Tartib al-Syarai’, 1/236; Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525). 

Pendapat ketiga, mengatakan bahwa shalat sambil membaca mushaf itu makruh dalam shalat fardhu, tidak dalam shalat sunah kecuali  bagi yang sudah hafal Al-Qur’an, ia tetap dimakruhkan membaca dengan melihat mushaf, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunah. Ini pendapat mazhab Maliki (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, XXXIII/57; Fatawa al-Azhar, VIII/475 ).

Dalil pendapat ketiga ini adalah hadis Aisyah yang bermakmum kepada Dzakwan, saat mengimaminya membaca mushaf (HR. al-Bayhaqi No. 3497). Bedanya dengan pendapat kedua, pendapat ini hanya menyatakan makruh dalam shalat fardhu, sedangkan pada shalat sunnah hukumnya boleh. Namun bagi orang yang sudah hafal (hafidz), makruh juga membaca mushaf dalam shalat sunnah.

Pendapat keempat, mengatakan bahwa shalat sambil membaca mushaf itu sah dan tidak makruh. Ini pendapat Syafi’iyah dan mayoritas mazhab Hambali (al-Nawawi, Al-Majmu’, IV/95; Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).

Dalil yang dipakai oleh pendapat keempat ini adalah hadis dari Abu Hurairah, dari Aisyah ra, bahwasanya beliau pernah bermakmum  kepada  hamba sahayanya, Dzakwan yang saat mengimaminya sambil membaca mushaf (HR. al-Bukhari No. 691 dan al-Bayhaqi No. 3497).

Hadis tersebut menjadi petunjuk diperbolehkannya shalat dengan melihat mushaf. Pendapat ini didukung oleh ulama madzhab Syafii dan Hanbali, baik dalam shalat fardhu maupun shalat Sunnah (al-Bahuti, Kisyaf al-Qina’, I/383; Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).

Badruddin al-‘Aini (w. 855 H) mengatakan: “Zahir hadis tersebut menunjukkan bolehnya membaca mushaf ketika shalat. Ini merupakan pendapat Ibnu Sirin, Hasan al-Bashri, al-Hakam, dan Atha’. Anas bin Malik juga pernah menjadi imam, sementara ada anak di belakang beliau yang membawa mushaf. Apabila beliau lupa satu ayat, maka si anak tadi membukakan mushaf untuk beliau. Imam Malik juga membolehkannya ketika qiyam Ramadhan (shalat tarawih). Sementara al-Nakhai, Said bin al-Musayib, dan al-Sya’bi tidak menyukainya. Mereka mengatakan bahwa hal itu menyerupai perbuatan orang Nasrani”(Badr al-Din al-‘Aini, Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, VIII/384).

            Pendapat bahwa shalat dengan membaca mushaf itu menyerupai ahli kitab, ditolak oleh Imam Syafii (w. 204 H). Menurut al-Syafii, shalat dengan membaca mushaf itu bukan tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, karena kita juga makan apa yang mereka makan, dan itu tidak disebut meniru kebiasaan ahli kitab (al-Kasani, Bada’i al-Shana’i Fi Tartib al-Syarai’, 1/236)

 Ibn Nashr al-Marwazi (w. 294 H)menegaskan bahwasanya membaca Alquran terlalu jauh untuk disebut meniru (tasyabuh) dengan ahli kitab, dibandingkan membaca buku-buku matematika. Karena membaca Alquran termasuk amal shalat, sementara buku-buku berhitung tidak termasuk bagian shalat. Maksud al-Marwazi, sebagaimana kita boleh membaca buku umum yang bermanfaat dan itu tidak teramasuk tasyabbuh terhadap ahli kitab, maka membaca Alquran lebih layak untuk tidak disebut meniru kebiasaan orang kafir (al-Marwazi, Qiyam Ramadhan, I/33; Fatwa Lajnah Daimah, 579).

Imam al-Nawawi (w. 676 H) dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhaddzzab lebih tegas mengatakan sebagai berikut:

 لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ مِنْ الْمُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ أَمْ لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ وَلَوْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا فِي صَلَاتِهِ لَمْ تَبْطُلْ

“Apabila  orang yang sedang shalat membaca Alquran dari mushaf maka shalatnya tidak batal, baik ia hafal Alquran atau tidak. Bahkan ia wajib melakukan hal itu jika tidak hafal surat Al-Fatihah sebagamaina keterangan yang telah dijelaskan. Apabila ia sesekali membolak balik lembaran mushaf maka salatnya  tetap tidak batal” (al-Nawawi, al-Majmu’, IV/95).

Dari keempat pendapat tersebut, mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa membaca mushaf saat shalat itu hukumnya boleh (mubah). Kebolehan ini berlaku, baik pada saat shalat sunnah maupun shalat fardhu. Imam al-Nawawi bahkan mewajibkannya apabila seseorang tidak hafal Alquran dan tidak hafal surat al-Fatihah, karena membaca al-Fatihah merupakan salah satu rukun dalam shalat.

            Ibnu Nashr al-Marwazi dalam kitabnya Qiyam Ramadhan, mengutip Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H) ketika ditanya mengenai hukum orang yang mengimami shalat di bulan Ramadhan sambil membaca mushaf. Al-Zuhri rahimahullah mengabarkan:

مَا زَالُوْا يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ مُنْذُ كَانَ الْإِسْلاَمُ، كَانَ خِيَارُنَا يَقْرَءُونَ فِي الْمَصَاحِفِ

 “Kaum muslimin senantiasa melakukan seperti itu (shalat sambil membaca mushaf) sejak zaman Islam dahulu, dan orang-orang terbaik di antara kami juga biasa membaca Alquran dari mushaf”(al-Marwazi, Qiyam Ramadhan, I/32; Ibn Qudamah, al-Syarh al-Kabir, I/638).

Keterangan al-Zuhri tersebut memperkuat pendapat bolehnya membaca mushaf saat shalat. Kebolehan ini berlaku pada shalat sunnah maupun shalat fardhu. Intinya, orang yang shalat sambil membawa dan membaca mushaf itu tidak dilarang, terlebih jika saat shalat malam (tarawih) yang biasanya membutuhkan banyak bacaan ayat atau surat Alquran. Kebolehan ini tentu dengan syarat tidak banyak gerakan yang tidak berhubungan dengan shalat yang bisa membatalkannya, dan tidak mengganggu kekhusyu’an. Namun demikian, bagi orang yang ditunjuk menjadi imam shalat, dianjurkan untuk berusaha menghafalkan Alquran. Bila belum sanggup menghafal semuanya, paling tidak sebagiannya, sehingga tidak perlu membawa Alquran ketika shalat atau menjadi imam. Dengan shalat tanpa membaca mushaf akan lebih bisa menjaga kesempurnaan shalat, seperti menundukkan pandangan pada tempat sujud dan meletakkan kedua tangan di dada. Pendapat ini sejalan dengan MTT.PPM (SM, 26 Januari 2016). Wallahu A’lam!

Berikut ini bisa dilihat versi youtube-nya:



https://www.youtube.com/watch?v=nhl4xCXROak