Sabtu, 01 Agustus 2020

MENSYUKURI KEMERDEKAAN

MENSYUKURI KEMERDEKAAN

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, Fil I


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ

Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah”(HR. al-Tirmidzi No.1954).

Status Hadis

            Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi, III/403 No. 1954). Al-Tirmidzi menilai hadis tersebut sahih. Selain al-Tirmidzi,  para ahli hadis yang meriwayatkan hadis tersebut antara lain Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, XII/472 No. 7504; Imam al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, I/85 No. 218; Imam Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud, IV/403 No. 4813; Imam al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman, VI/516 No. 9119; Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, I/219 No. 520; dan Imam Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban, VIII/198 No. 3407. Al-Albani dalam Sahih al-Jami’ al-Shaghir, II/1114 No. 11487 juga menilai hadis tersebut sahih.

Kandungan Hadis

            Hadis tersebut menerangkan tentang hakikat bersyukur. Orang yang bersyukur atau berterima kasih kepada sesama yang telah berjasa, hakikatnya telah bersyukur kepada Allah. Karena berterima kasih kepada manusia yang telah berjasa merupakan perintah Allah. “Wala tansawul fadla bainakum (ولا تنسواالفضل بينكم)”, janganlah kamu melupakan keutamaan atau kebaikan di antara kalian (QS. Al-Baqarah, 237). 

            Makna syukur itu sendiri adalah “isti’mal al-ni’am fima khuliqat lahu”, mempergunakan segala nikmat untuk apa nikmat-nikmat itu dibuat/diberikan (Sayid Thanthawi, al-Tafsir al-Wasith, XIV/179). Mensyukuri nikmat baru dianggap sempurna apabila memenuhi tiga unsur. Pertama, mengakui dan meyakini bahwasanya nikmat itu berasal dari Allah. Kedua, mempergunakan nikmat sesuai dengan maksud Allah membuat atau memberikan nikmat itu kepada manusia. Ketiga, memuji Allah dengan ucapan alhamdulillah pada lisannya (Abd al-Halim Mahmud, Fatawa Abd al-Halim Mahmud, I/414). Ibn al-Qayyim, dengan gambaran yang hampir sama mengemukakan makna syukur sebagai berikut:

وَهُوَ ظُهُوْرُ أَثَرِ نِعْمَةِ اللهِ عَلَى لِسَانِ عَبْدِهِ: ثَنَاءً وَاعْتِرَافًا وَعَلَى قَلْبِهِ: شُهُوْدًا وَمَحَبَّةً وَعَلَى جَوَارِحِهِ: انْقِيَادًا وَطَاعَةً

“Syukur adalah menampakkan adanya nikmat Allah yang telah diterimanya. Secara lisan berupa pujian (ucapan alhamdulillah) dan pengakuan bahwa nikmat itu dari Allah, melalui hati berupa kesaksian dan kecintaan kepada Allah, dan melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Ibn al-Qayyim, Madarij al-Salikin, II/244).

            Ibn Ajibah (w. 1224 H/1809 M) menjelaskan bahwa cara manusia menyikapi nikmat itu ada tiga tingkatan, yaitu cara awam, khawas, dan khawas al-khawas (Ibn Ajibah, Iqadhul Humam  Syarh Matan al-Hikam, I/169). 

            Pertama (cara kaum awam), mereka bergembira dengan kenikmatan yang diterima, karena kenikmatan itu dianggap dapat memberikan kelezatan, kemudahan, dan gengsi serta martabat di lingkungan sosialnya. Selain itu, mereka beranggapan bahwa kenikmatan berupa kesuksesan dan hal-hal yang dapat membahagiakan itu adalah berkat kepandaian dan keahliannya semata. Mereka tidak menyadari bahwa kenikmatan yang telah diterimanya itu adalah karena anugerah Allah swt. Model manusia seperti ini termasuk golongan orang-orang yang lalai dan tersesat serta terancam siksaan dari Allah, sebagaimana dalam berfirman-Nya:

فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa” (QS. Al-An’am, 44).

            Kedua (cara kaum khawas), mereka bergembira dengan kenikmatan yang diterima, karena kenikmatan itu bisa memberikan kelezatan, kemudahan, dan gengsi serta martabat di lingkungan sosialnya. Bedanya dengan yang pertama, model manusia yang kedua ini masih meyakini bahwa kesuksesan dalam meraih kenikmatan itu tidak semata-mata karena kepandaian dan kelihaiannya, tetapi juga dikarenakan adanya campur tangan atau anugerah dari Allah swt. Model manusia seperti ini termasuk dalam kategori orang-orang yang terpuji dan selamat dari kehinaan, sebagaimana firman Allah swt.:

قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

"Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan" (QS. Yunus, 58).

            Ketiga (cara kaum khawas al-khawas), mereka bergembira bukan karena kenikmatan itu, dan juga bukan karena Allah telah memberikan kenikmatan itu, tetapi gembira karena bisa mengenal lebih dekat dengan sang pemberi nikmat. Mereka tidak tertarik dengan kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepadanya, mereka lebih tertarik dan gembira karena bisa dekat dengan Allah, sang Pemberi nikmat. Mereka ini tergolong manusia yang selamat, bermartabat tinggi dan sangat terpuji. Kemampuannya bisa makrifat (mengenal) pada Pemberi nikmat bukan karena nikmatnya itu, dapat menyelamatkannya dari segala macam tipuan nikmat. Mereka ini malah lenyap dalam kenikmatan mencintai Sang Pemberi. Inilah wujud syukur yang paling sempurna. Syukur yang demikian ini hanya bisa diraih oleh orang yang sangat istimewa (khash al-khawash), yaitu hamba-hamba Allah yang karena kedekatan dan cintanya kepada-Nya, mereka tidak lagi tertarik kepada yang selain Allah. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa suatu saat Nabi shalat malam hingga telapak kakinya bengkak merekah, lalu ‘Aisyah bertanya: “Kenapa engkau melakukan semua ini, padahal Allah swt. telah memberikan ampunan bagimu atas dosa-dosa-mu yang telah lalu dan yang akan datang?” Lalu beliau menjawab: “afala akunu ‘abdan syakura” (أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا), apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur (HR. al-Bukhari No. 1130 dan Muslim No. 7304).

            Banyak sekali nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita, bangsa Indonesia. Di antara nikmat terbesarnya adalah nikmat kemerdekaan yang setiap 17 Agustus selalu diperingati sebagai hari kemerdekaan Repubik Indonesia. Nikmat kemerdekaan ini sangat berharga bagi bangsa Indonesia, karena itu harus disyukuri. Cara mensyukurinya, pertama adalah dengan meyakini dan menyadari bahwa kemerdekaan itu dapat dicapai karena campur tangan Allah swt. Dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 disebutkan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”  Ungkapan ini menunjukkan bahwa pendiri bangsa ini adalah manusia-manusia yang relijius dan bertauhid. Mereka sadar benar bahwa pencapaian kemerdekaan bukanlah karena usahanya semata, tetapi dibangun dan merdeka atas berkat Rahmat Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pernyataan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” tersebut sangat relevan dengan pengertian kemerdekaan yang dikemukakan oleh Abdullah Qadiri yang mengatakan: “la hurriyyata illa bitauhidillah”, tidak ada kemerdekaan hakiki kecuali dengan bertauhid kepada Allah (al-Sibaq Ila al-‘Uqul, I/104). Maksudnya,  manusia tidak boleh menyerahkan diri dan tunduk kepada siapa pun selain Allah. Sebab, penyerahan diri dan ketundukan ini mengandung makna perendahan. Penghambaan manusia kepada sesama manusia, apalagi kepada makhluk lain yang lebih rendah, dapat merendahkan dan menjatuhkan harga diri manusia, bahkan melecehkan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam pespektif ini, hanya orang yang bertauhid (mengesakan Allah) yang dapat disebut sebagai orang yang benar-benar bebas dan merdeka. Dengan bertauhid pula, ia akan mampu membebaskan diri dari berbagai belenggu yang dapat menjauhkan dirinya dari kebenaran dan kepatuhan kepada Allah swt.

            Selain itu, cara kedua dalam mensyukuri kemerdekaan adalah dengan mengisi alam kemerdekaan ini melalui berbagai hal yang dapat membawa kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Jika kita bisa sepakat bahwa kemerdekaan itu merupakan “jembatan emas” menuju kemakmuran, maka setiap kegiatan dan aktifitas yang diarahkan untuk mencapai kemakmuran bangsa, pada hakikatnya adalah merupakan bentuk syukur terhadap kemerdekaan. Berangkat dari sini, sebagai bagian dari anak bangsa, kita berkewajiban untuk menjaga dan membawa kemerdekaan ini dengan mengisi kegiatan apa saja sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing demi tercapainya kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Bukan sekedar berteriak dan mengaku “aku NKRI”, “aku Pancasila”, “aku Indonesia”, dan semacamnya.

            Sedangkan cara ketiga dalam mensyukuri nikmat kemerdekaan adalah dengan banyak bertahmid, memuji Allah dengan ucapan alhamdulillah, dan banyak bersujud, termasuk sujud syukur, menunjukkan kataatan dan kepatuhan kepada Allah.

            Nah, kini, sudahkah kita mensyukuri kemerdekaan? Buatlah para pahlawan kemerdekaan dan pendiri bangsa ini tersenyum melihatmu, karena besarnya dedikasimu. Ingat kata berhikmah dari John F. Kennedy: “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country (http://www.jfklibrary.org/), jangan tanyakan apa yang dapat diberikan oleh negara untukmu,  tetapi tanyakan apa yang bisa kamu lakukan untuk negerimu.


Minggu, 26 Juli 2020

Khutbah Idul Adha 1441 H (10 menit)

IBADAH KURBAN

CINTA ALLAH DAN PEDULI SESAMA

 

Oleh:


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

اَلسَّـلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِىْ أَحْيَا قُلُوْبَ الْمُؤمِنِيْنَ بِوُسْـعِ رَحْمَتِهِ وَالَّذِىْ وَهَـبَ لَهُـمْ بَرَكةً فِىْ يَوْمِهِـمْ هَـذَا اَشْهَدُاَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَـرِيْكَ لَهُ وَاَشْـهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا اَرْسَـلَهُ بِالرَّأْفَةِ وَالرَّحْمَةِ  اَللَّهُـمَّ صَـلِّ وَسَـلِّمْ عَـلىَ مُحَمَّدٍ وَعَـلَى اَلِهِ  وَاَصْـحَابِه اَجْمَعِيْنَ اَمَّا بَعْد فَيَا اَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِىْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْن قَالَ تَعاَلى: إِنَّا اَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَـلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَـا نِئَكَ هُـوَ اْلأَبْتَرُ.  اَلله اَكْبَرُ  اَلله اَكْبَرُ لا اِلَهَ اِلاَّالله  وَالله اَكْبَرُ  اَلله اَكْبَرُ  وَللهِ الْحَمْدُ

  Saat ini kita merayakan Idul Adha” atau yang disebut dengan Idul Kurban. Karena setelah shalat Idul Adha, kita disyariatkan menyembelih hewan kurban, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. Idul Adha tahun ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena saat ini kita masih dalam suasana pandemic covid-19, yang mengharuskan kita tetap menjaga protokol kesehatan dengan suka memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Hal ini dimaksudkan ikut serta memutus mata rantai penyebaran covid19 yang masih membahayakan hingga kini. Kita berharap semoga covid-19 segera sirna dari muka bumi ini. 

 Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahil Hamd!

             Ibadah kurban adalah ibadah yang sangat tinggi nilainya. Setidaknya ada tiga hikmah yang bisa kita petik dari ibadah kurban ini:          

 Hikmah Pertama, sebagai bukti kepatuhan dan cinta kepada Allah yang sempurna;

Kurban adalah pendekatan diri kepada Allah secara sempurna. Hewan  yang akan dikurbankan, tidak boleh ada yang cacat. Artinya hewan yang disembelih harus yang sebaik-baiknya. Dari segi substansi, seorang yang berkurban tidak boleh setengah-setengah, harus total. Hal ini sesuai dengan sikap Nabi Ibrahim as. tatkala diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih sang putera bernama Ismail. Saat itu beliau secara total dan tanpa ragu, siap melaksanakannya. Di sini Nabi Ibrahim sanggup mengutamakan perintah Allah dibanding dengan yang lainnya, di sini Nabi Ibrahim menunjukkan cintanya kepada Allah di atas cintanya kepada yang lain, termasuk kepada putra kesayangannya. Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa dalam mencintai Allah itu tidak boleh setengah-setengah, dan harus dibuktikan dengan kepatuhan secara total dalam menghadapi segala perintah maupun larangan. Di sini, kita diuji, dapatkah kita mengutamakan Allah di atas kepentingan yang lain? Allah berfirman:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

 Kamu tidak akan memperoleh kebajikan(surga), sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha mengetahui. (QS. Ali Imran, 92)

Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahil Hamd!

Hikmah Kedua, Menumbuhkan semangat berbagi, peduli kepada sesama, terutama terhadap kaum dhu’afa;

Setelah hewan kurban disembelih, maka daging-dagingnya kemudian dibagikan kepada kerabat, tetangga, terutama kepada kaum dhu’afa.  Aktivitas ini mengajarkan kita bahwa hidup ini harus gemar berbagi, dan suka menolong kepada sesama. Kepedulian kepada sesama, terutama kepada kaum dhu’afa yang sangat membutuhkan, bisa bernilai lebih tinggi daripada ibadah haji (sunnah).

Ibn Katsir mengisahkan, suatu saat, Ibnul Mubarak (w.181 H) pergi haji bersama rombongan. Sesampainya di satu daerah, seekor burung yang mereka bawa, mati. Abdullah bin Mubarak pun menyuruh untuk membuangnya di tempat sampah. Tidak lama kemudian, ada seorang anak perempuan mengambil bangkai burung itu, kemudian lari masuk rumah.

Ibnul Mubarak penasaran, lalu mendatanginya dan bertanya: “Wahai ananda, kenapa engkau mengambil bangkai burung itu, dan mau kamu apakan?” Saat itu, anak perempuan pun menjawab: “Wahai paman, kami ini, saya dan saudara saya, sudah beberapa hari ini, tidak punya apa-apa, tidak bisa makan apa-apa. Hanya mengandalkan orang-orang membuang di tempat sampah itu. Apa pun yang ada di situ, kami ambil yang bisa kami makan. Karena itu, maka bangkai burung ini bagi kami halal, karena tidak ada yang kami makan lagi. Wahai paman, sebenarnya, kami ini orang yang berkecukupan, tetapi beberapa hari lalu datang perampok mendatangi rumah kami. Seluruh harta dikuras habis, dan orang tua kami dibunuh. Saat ini kami dalam keadaan papa dan yatim piatu”. Mendengar keterangan ini, Ibnul Mubarak lalu mengatakan kepada teman-temannya: “Sekarang, silakan bekal ibadah haji yang kita punya ini, kita kumpulkan dan kita serahkan kepada anak ini, kecuali sedikit saja yang bisa kita gunakan untuk dibawa pulang”. Lalu Ibnul Mubarak mengatakan: “Apa yang kita lakukan saat ini, menyedekahkan bekal haji kepada anak perempuan dan saudaranya ini, lebih baik daripada ibadah haji tahun ini yang akan kita lakukan”. (Ibn Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, Vol. X, 178).

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!

Untuk meringankan beban anak itu dan keluarganya, Ibnul Mubarak rela membatalkan hajinya, dan uang buat ongkos perjalanan hajinya dia berikan kepada anak itu.  Inilah yang namanya prioritas!

 Nah, ini yang harus diambil pelajaran atau hikmah dari ibadah kurban. Kita tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan orang lain. Nabi Saw bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه

 Seseorang di antara kamu belum pantas disebut mukmin, hingga ia sanggup  mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri” (HR. al-Bukhari No. 13; dan Muslim No. 179).

 Allahu Akabar, Allahu Akbar Walillahil Hamd

 Hikmah Ketiga, Tidak boleh melecehkan manusia;

Dari peristiwa Nabi Ibrahim yang begitu total dalam mematuhi perintah untuk menyembelih Ismail, dan akhirnya Allah menggantikan Ismail dengan seekor hewan qibas untuk disembelihnya, hal ini mengandung pelajaran, yakni jangan pernah menganggap sesuatu itu ‘mahal’ kalau untuk tujuan mempertahankan nilai kebenaran Ilahi. Selain itu, di sisi lain jangan sekali-kali melecehkan manusia, jangan sekali-kali mengambil hak-hak manusia, karena manusia itu makhluk agung yang sangat dikasihi Allah. Karena kasihnya Allah kepada manusia, maka digantilah Ismail, yang tadinya akan dikurbankan, lalu diganti dengan seekor hewan. Hal ini menunjukkan betapa mulianya manusia. Ia tidak boleh dihina dan tidak boleh dilecehkan.

Dalam hadis riwayat Abu Dawud dikisahkan, suatu ketika Abu Jurayy (Jabir bin Sulaim) datang kepada Rasulullah saw. minta dinasihati. Saat itu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi wasiat:

« لاَ تَسُبَّنَّ أَحَدًا ».

Jangan sekali-kali  engkau menghina seseorang(siapa) pun.

 

قَالَ فَمَا سَبَبْتُ بَعْدَهُ حُرًّا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ بَعِيرًا وَلاَ شَاةً

  Abu Jurayy Jabir bin Sulaim berkata: “Sejak itu, aku pun tidak pernah menghina seorang pun, baik kepada orang yang merdeka, seorang budak, seekor unta, maupun seekor domba.” (HR. Abu Dawud No. 4086). Hadis ini dishahihkan oleh Al Albani(Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib,  Vol. III/37).

 Allahu Akabar, Allahu Akbar Walillahil Hamd

             Sebagai akhir khutbah ini, marilah kita berdoa: “Ya Allah,  jadikanlah negeri ini, negeri yang aman dan tenteram yang dapat membahagiakan rakyatnya. Hindarkan kami dari segala macam bala dan bencana, termasuk bahaya covid-19 yang saat ini masih menghantui, agar kami dapat hidup dalam ketenteraman, kedamaian dan kebahagiaan. Ya Allah, hanya kepadaMu kami mengabdi dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan”.

 رَبَّنَا اَتِنَا فى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ  وَصَـلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْـحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

وَالسَّـلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ