Selasa, 02 Agustus 2022

TANDA HAJI MABRUR

 

TANDA HAJI MABRUR


Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

أنَّ رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم قال... الحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الجَنَّةَ
(متفقٌ عليه عن أبى هريرة )

Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “…Haji yang mabrur itu

tiada balasannya kecuali surga” (HR. al-Bukhari No. 1773 dan Muslim No. 3355).

Status Hadis

              Hadis tersebut dinilai sahih oleh al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari No. 1773 dan oleh Muslim dalam Sahih Muslim No. 3355. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh beberapa ulama Hadis yang lain, di antaranya al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi No. 933, al-Nasai dalam Sunan al-Nasai No. 2629, Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah No. 2888, Ahmad dalam Musnad Ahmad No. 7354, Malik dalam Muwatta Malik No. 1257, Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah No. 12639, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 880, Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban No. 3696, Ibn Khuzaimah dalam Sahih Ibn Khuzaimah No. 2513, dan al-Bayhaqi dalam Sunan al-Bayhaqi No. 1344. Al-Albani juga menilai hadis tersebut sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah, III/274).

 

Kandungan Hadis

              Hadis tersebut menerangkan tentang keutamaan haji mabrur. Dalam versi yang agak lengkap diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda bahwasanya umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa antara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Al-Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “'tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga” adalah bahwasanya orang yang berhaji mabrur itu tidak cukup jika hanya dihapuskan dari sebagian dosanya, tetapi ia memang pantas masuk ke dalam surga"(al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, IX/119).

               Hadis yang sama dalam redaksi lain ada tambahan tentang tanda-tanda kemabruran haji. Nabi saw. ditanya:

وَمَا بِرُّهُ ؟ قَالَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلَامِ

Apa tanda-tanda kemabrurannya (haji)? Nabi menjawab: “Suka memberi makan (kaum dhu’afa’) dan santun bicaranya”. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Thabrani dengan sanad yang hasan, juga oleh Ibn Khuzaimah, al-Hakim, dan al-Bayhaqi dengan sanad yang sahih. Dalam Riwayat Ahmad dan al-Bayhaqi disebutkan “suka memberi makan dan suka memberi salam” (al-Mundziri, al-Targhib Wa al-Tarhib, II/106).

 

Pengertian Haji Mabrur

              Ibn Mandzur, dalam kitabnya (Lisan al- ‘Arab, IV/51), menjelaskan bahwa kata mabrur itu   mengandung dua arti:

Pertama, mabrur berarti baik, suci dan bersih. Dalam pengertian ini, haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan dengan baik, tidak diperbuat di dalamnya hal-hal yang dilarang seperti berkata kotor, berbuat fasik dan menyakiti atau mengganggu orang lain termasuk menyuap orang untuk kemudahan amalnya sementara orang lain mendapatkan kesulitan karenanya. Selain itu, bekal yang dibawa untuk berhaji adalah bekal yang halal dan bersih (Ibn Abd al-Barr, al-Tamhid, XXII/39; Ibn Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari, IV/435).

Kedua, mabrur berarti maqbul atau diterima dan diridhai oleh Allah swt. Dalam hal ini, haji mabrur adalah haji yang tata caranya dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan memperhatikan syarat-syarat dan rukunnya serta hal-hal yang wajib diperhatikan dalam berhaji (al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, V/12; al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi, III/586).

Dari dua keterangan tersebut dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan haji mabrur adalah haji yang diterima dan diridhai oleh Allah swt, karena ibadah hajinya telah dilakukan dengan baik dan benar serta dengan bekal yang halal, suci dan bersih.

 

Beberapa Indikator Haji yang Mabrur

Tidak mudah untuk mengetahui siapa-siapa yang berhasil meraih haji mabrur. Namun demikian, Rasulullah saw. pernah memberikan beberapa indikatornya. Di antaranya telah diterangkan dalam hadis sebagai berikut:

عَنْ جَابِرٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ قِيْلَ وَمَا بِرُّهُ ؟ قَالَ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ (رواه أحمد والطبرانى وغيرهما)

Artinya: Dari Jabir ra. Nabi saw bersabda: “Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga”. Rasul ditanya: “Apa tanda-tanda kemabrurannya?”. Nabi Saw menjawab: “Suka membantu memberikan makanan dan santun dalam berbicara” (HR. Ahmad, al-Tabrani, dan lain-lain). Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan hadis ini sahih li ghairih (al-Albani, Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, II/3).

Imam al-Nawawi dalam Kitabnya al-Idhah Fi Manasik al-Hajj wa al- ‘Umrah mengatakan:

اَلْحَجُّ الْمَقْبُوْلُ هُوَالَّذِيْ يَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ بَعْدَ رُجُوْعِهِ خَيْرًا مِمَّا كَانَ

Artinya: Haji yang maqbul (mabrur) itu tanda-tandanya adalah setelah ia pulang dari haji, keadaannya lebih baik daripada sebelumnya (al-Nawawi, al-Idhah Fi Manasik al-Hajj Wa al- ‘Umrah, 516).

              Dari keterangan hadis Nabi Saw dan penjelasan Imam al-Nawawi tersebut dapat difahami bahwa indikator kemabruran haji seseorang itu dapat dilihat dari tiga hal:

Pertama, suka memberi makanan (إطعام الطعام).

Perkataan “memberi makanan” ini harus difahami lebih luas, yaitu kesediaan untuk berbagi rasa dengan sesama serta kesanggupan untuk menyumbangkan sebagian harta kepada fakir miskin atau kaum dhu’afa. Dalam hal ini termasuk membantu dalam hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan (pengobatan), sandang, pangan maupun papan. Membantu orang-orang miskin termasuk hal terpenting dalam beragama. Allah bahkan terang-terangan menyebut sebagai pendusta agama, bagi orang yang tidak mau membantu orang-orang miskin dan menyayangi anak yatim. (QS. Al-Ma’un, ayat 1-3).

Tentang kemuliaan suka berbagi ini, terdapat kisah menarik. Suatu hari seorang ‘alim tertidur pulas di bawah pohon dalam menempuh perjalanan spiritualnya, mencari makna kearifan hidup. Ia bermimpi bertemu malaikat yang memberitahukan kepadanya bahwa di antara sekian banyak orang yang naik haji hanya satu yang berhasil meraih haji mabrur, sambil memberi tahu ciri-ciri orang yang beruntung itu. Setelah ia terbangun, segera mencari orang yang dimaksud itu. Betapa terkejutnya setelah bertemu, ternyata orang itu tidak menunaikan ibadah haji di musim haji tahun itu. Maka ia berusaha menemuinya dan bermalam di rumahnya untuk mencari tahu apa rahasianya sehingga ia mendapat pahala sekelas haji mabrur.

Setelah beberapa hari menginap di rumah orang itu, ia tidak menemukan hal-hal yang istimewa dari orang itu. Ibadahnya biasa-biasa saja. Akhirnya, orang itu cerita bahwa dulu pernah berniat menunaikan ibadah haji dan mengumpulkan bekal sedikit demi sedikit dari keringatnya sendiri. Setelah bekal itu cukup dan hendak digunakan untuk berangkat haji, tiba-tiba ada orang miskin yang sangat membutuhkan bantuannya. Karena ia tak tega melihat penderitaan si miskin itu, ia pun memberikan bekal hajinya itu untuk keperluan dan hajat si miskin, sehingga ia tidak jadi menunaikan ibadah haji.

Demikianlah kisahnya, ia tak jadi berangkat haji, tetapi malah mendapat predikat haji mabrur. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dalam hadis shahih al-Bukhari dan Muslim, Nabi Saw bersabda:

فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْ بِهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً (متفق عليه)

Artinya: “Barangsiapa berniat melakukan kebaikan (misalnya niat haji), kemudian ia tidak jadi melakukannya, maka ia dicatat oleh Allah mendapatkan pahala kebaikan (haji) yang sempurna”. (HR. Al-Bukhari No. 1491 dan Muslim No. 355).

Secara subtansial, hadis tersebut membenarkan kisah di atas. Ia sudah niat haji, tetapi tidak jadi berangkat haji karena ada keluarga miskin yang sangat membutuhkan pertolongannya, sehingga bekal hajinya diberikan kepadanya. Ini prioritas. Karena itu maka ia layak mendapatkan pahala haji mabrur.

Kedua, bertutur kata yang lembut (وطيب الكلام).

Kalimat thib al-kalam, selain difahami bertutur kata yang baik, juga bisa berarti berbudi pekerti yang luhur atau berakhlak yang mulia. Prilaku ini nampak pada orang-orang yang beribadah haji, baik saat berhaji maupun sesudahnya. Akhlak yang mulia ini nampak pada tutur katanya yang lembut, baik dan bersahaja. Tidak suka menyinggung dan menyakiti orang lain. Kalau berbicara kalimatnya sederhana, disesuaikan dengan orang yang diajak bicara. Raut mukanya diusahakan cerah, manis dan simpatik sehingga orang lain senang berbicara dan bergaul dengannya. Lidah dan tangannya dikendalikan sedemikian rupa agar tidak mengganggu orang lain.

Dalam haji, banyak orang tergoda untuk melakukan kesempurnaan ibadahnya, baik yang rukun, wajib maupun sunnahnya dengan berbagai cara. Ketika hendak mencium hajar aswad misalnya, banyak orang yang secara egois berusaha keras dengan cara menyingkirkan orang lain bahkan menyakitinya agar dia sendiri berhasil mencium hajar aswad itu. Dia tidak sadar bahwa ketika ia hendak meraih hajar aswad itu ia telah menyakiti banyak orang. Menurut agama, menyakiti orang lain itu hukumnya haram, sedangkan mencium hajar aswad itu hanyalah sunnah hukumnya. Prilaku ini termasuk akhlak yang rendah dan tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang sedang berhaji.
Orang yang akan meraih haji mabrur indikatornya mulai nampak pada saat ia berhaji. Ia tidak ingin mengganggu orang lain, tetapi ia malah berusaha untuk membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain sesama jama’ah haji. Hal ini nampak pada saat keberangkatan haji, naik kendaraan, antri pemeriksaan paspor, mencari kamar penginapan di hotel dan saat-saat pelaksanaan ibadah haji dari ketika ihram, wuquf di ‘Arafah, Muzdalifah, di Mina dan melempar jamarat, thawaf dan sa’i. Ia berusaha menghindari pertengkaran, berkata kotor dan berbuat fasik.
Nabi Saw. bersabda:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  (متفق عليه)

Artinya: “Barangsiapa menunaikan ibadah haji sedang ia tidak berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan maka ia kembali pulang dalam keadaan bersih seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).  Inilah janji Allah dan RasulNya.

Bagi orang yang ingin meraih haji yang mabrur maka ia harus berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya, lidahnya, tangannya agar tidak mengganggu orang lain. Sebaliknya ia seyogyanya berusaha untuk dapat membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain.

Ketiga, setelah pulang haji kehidupannya menjadi lebih baik daripada sebelum haji.

Indikator yang ketiga ini justru menjadi ukuran yang paling penting, karena apa yang dikatakan Imam al-Nawawi bahwa tanda-tanda kemabruran ibadah haji seseorang adalah kehidupannya setelah haji menjadi lebih baik ketimbang keadaannya sebelum haji, sebenarnya mengandung makna yang selaras dengan perkataan Nabi Saw. bahwa tanda-tanda kemabruran haji seseorang itu adalah suka membantu, memberikan makan orang lain dan suka bertutur kata yang lembut hingga orang lain banyak yang suka kepadanya.

Maksudnya, untuk mengetahui keadaan seseorang yang yang hajinya mabrur, dapat dilihat dari pola kehidupannya setelah pulang haji. Apakah ia setelah pulang dari hajinya kemudian suka membantu orang miskin, suka memberi makan, membantu pengobatan dan pendidikan serta memberikan pakaian dan kebutuhan lainnya? Apakah ia juga berusaha bertutur kata yang lembut, santun dan bersahaja. Tidak tinggi hati, tidak sombong, tidak meremehkan orang lain? Apakah ia berusaha menghindarkan diri dari perkataan atau perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain terganggu atau tersakiti? Apakah ia juga berusaha untuk dapat membantu dan memberikan kemudahan kepada orang lain?

Jika semuanya itu dapat dilakukan dengan baik, maka tanda-tanda kemabruran haji telah melekat pada dirinya. Insya Allah!

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Agustus 2022)