Jumat, 27 Maret 2020

MERENGGANGKAN SHAF SHALAT, BOLEHKAH ?


MERENGGANGKAN SHAF SHALAT, BOLEHKAH ?

Oleh:



Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I



Nabi saw. bersabda:

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
“Luruskan shaf kalian dan hendaknya kalian saling menempel, karena aku melihat kalian dari balik punggungku”(HR. Al-Bukhari No.719 dari Anas Bin Malik).
Status Hadis
            Hadis tersebut dinilai sahih oleh Imam al-Bukhari dalam al-Jami al-Sahih, I/184 hadis No. 719. Selain Imam al-Bukhari, beberapa ulama hadis yang meriwayatkan hadis tersebut adalah Imam Ahmad dalam  Musnad Ahmad Bin Hanbal, XIX/69 hadis No. 12011, Imam al-Nasai dalam Sunan al-Nasai, II/92 hadis No.814, Imam Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah, I/309 hadis No. 3536, Imam al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubra, II/21 hadis No. 2381, Imam al-Syafii dalam al-Sunan al-Ma’tsurah, I/72 hadis No. 65, Imam al-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar, XIV/286 hadis No.5632, dan Imam Abu Ya’la dalam Musnad Abi Ya’la, VI/460 hadis No. 3858.
Kandungan Hadis
            Hadis tersebut menunjukkan perintah untuk meluruskan shaf dalam shalat berjamaah dan perintah merapatkannya. Hadis tersebut juga menerangkan bahwa Nabi saw., dengan mukjizat dari Allah swt., bisa melihat orang di belakangnya tanpa membalikkan badan. Tentang kalimat wataraashshu(وَتَرَاصُّوا), Ibn Rajab menjelasan bahwa kalimat tersebut mengandung perintah untuk saling bergabung, berdekatan, dan menempel(Ibn Rajab, al-Fath al-Bari, IV/252). Sedangkan Al-Qasthalani menjelaskan bahwa makna wataraashshu adalah perintah untuk bergabung dan menempelkan satu sama lain sehingga berhubungan satu sama lain (al-Qasthalani, Irsyad al-Sari Lisyarh Shahih al-Bukhari, II/65).
            Mengenai pemahaman sahabat terhadap hadis tersebut dan bagaimana cara mengaplikasikannya pada shalat berjamaah dapat ditemukan dalam beberapa hadis, di antaranya hadis riwayat Anas Bin Malik dan hadis riwayat Nu’man Bin Basyir.   Anas Bin Malik menceritakan: “Seorang dari kami (para sahabat), merapatkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan merapatkan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR. Al-Bukhari No.725). al-Nu’man Bin Basyir juga mengatakan: “Maka saya melihat seseorang melekatkan (merapatkan) pundaknya dengan pundak temannya (orang di sampingnya), demikian pula antara lututnya dengan lutut temannya, dan antara mata kakinya dan mata kaki temannya. (H.R. Abu Dawud No.662). al-Albani mensahihkan hadis ini (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah, I/71).
Hukum Meluruskan Shaf dan Merapatkannya
            Jumhur ulama berpendapat bahwa meluruskan shaf dan merapatkannya hukumnya sunnah, tidak wajib. Hanya Ibn Hazm dari kalangan madzhab al-Dhahiriyah yang mewajibkannya(al-Suyuti, al-Hawi Li al-Fatawa, I/54). Menurut Ibn Hazm, karena menegakkan shalat itu wajib maka segala sesuatu yang terkait dengan penegakan shalat termasuk wajib, dengan demikian meluruskan shaf dan merapatkannya itu juga wajib (Ibn Hazm, al-Muhalla, IV/55). Sebagian ulama Hanabilah juga cenderung mewajibkan berdasarkan riwayat Abu Mas’ud bahwasanya dahulu Rasulullah saw. memegang pundak-pundak kami sebelum shalat, dan beliau bersabda: “luruskanlah (shaf) dan jangan bengkok, sehingga hati-hati kalian nantinya akan bengkok (berselisih) pula” (HR. Muslim No. 1000).
            Menurut Syekh al-Utsaimin, berdasarkan hadis tersebut, sebagian ulama berpendapat bahwasanya meluruskan shaf hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan perintah Nabi saw.  dalam hadits tersebut, dan ancaman beliau terhadap orang yang menyelisihi perintahnya. Maka perkara yang diperintahkan dan diancam pelakunya ketika meninggalkannya ini tidaklah mungkin dihukumi dengan hukum sunnah saja. Oleh karena itu maka pendapat yang rajih(kuat) dalam masalah ini adalah bahwa meluruskan shaf itu hukumnya wajib. Dan jama’ah yang tidak meluruskan shaf, mereka berdosa. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” (al-Utsaimin, Syarhul Mumthi’, III/10).
            Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat jumhur ulama seperti Madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafii yang berpendapat bahwa meluruskan shaf (termasuk merapatkannya) itu hukumnya sunnah. Perintah dalam hadis tersebut, yakni meluruskan dan merapatkan shaf, serta tidak merenggangkan, menurut jumhur ulama menunjukkan sunnah (al-Mubarakfuri, Misykat al-Mahsabih Ma’a Syarhihi Mir’at al-Mafatih, III/252). Ibn Abdillah al-Hamd mengatakan bahwa meluruskan shaf itu sunnah termasuk meluruskan dan merapatkannya dengan menempelkan pundaknya ke pundak temannya dan tumitnya ke tumit temannya (al-Hamd, Syarh Zad al-Mustaqni’, V/6). Intinya, jumhur ulama berpendapat bahwa meluruskan shaf dan merapatkannya itu tidaklah wajib, tetapi sunnah, untuk keutamaan dan kesempurnaan shalat berjamaah.
Hukum Merenggangkan Shaf di saat Darurat
             Dalam keadaan normal, hukum meluruskan shaf dan merapatkannya menurut jumhur ulama adalah sunnah, tidak sampai wajib. Dengan demikian, apabila jamaah shalat tidak sempat meluruskan shaf dan tidak merapatkannya, maka hal ini tidak sampai membatalkan shalatnya, tetapi kehilangan keutamaan dan kesempurnaannya.
            Ulama kalangan mazhab Syafii berpendapat bahwa kalau imam dan makmum berkumpul dalam satu masjid, maka status kemakmumannya dinyatakan sah meskipun jaraknya lebih dari 300 hasta (al-Jaziri, al-Fiqh Ala al-Madzahib al-Arba’ah, I/660). Imam al-Nawawi berkata bahwa sahnya makmum dalam shalat berjamaah itu adalah asal makmum bisa mengetahui gerakan-gerakan imam, sama saja apakah antara imam dan makmum itu dalam sebuah masjid atau di tempat yang lainnya (al-Nawawi, al-Majmu’, IV/309).
            Ibn Hajar al-Haytami mengatakan: “Disunnahkan merapikan shaf (barisan). Perintah itu berlaku untuk setiap orang, mulai dari imam sendiri, atau yang diseru (makmum) untuk benar-benar mematuhinya, dengan ancaman bagi yang mengabaikannya. Maksudnya adalah menyempurnakan shaf yang pertama dan seterusnya, kemudian menutup celah, dan meluruskan dada dengan orang yang di sebelahnya. Jika hal itu dilanggar, maka hukumnya makruh, tidak disukai”(Ibn Hajar al-Haytami, al-Minhaj al-Qawim, I/345).
            Dalam keadaan normal, pengaturan shaf yang tidak sempurna hanya dihukumi makruh, bagaimana jika situasinya dalam keadaan gawat darurat, seperti saat terjadi wabah yang menuntut setiap orang untuk mengambil jarak (social distancing) antara satu dengan yang lainnya? Apakah merenggangkan shaf dapat membatalkan shalat jamaahnya?
            Meluruskan dan merapatkan shaf memang disunnahkan dalam shalat berjamaah. Tetapi, bagaimana jika dengan merapatkan shaf lalu menimbulkan bahaya, yakni terjadinya penularan virus dari satu orang kepada orang lain yang berjarak dekat dengannya? Apakah meluruskan dan merapatakan shaf masih harus diterapkan?
            Mempertimbangkan kaidah-kaidah fiqhiyyah, (لاضررولاضرار), tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain(HR. Ibn Majah No.2340); (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح),  menolak kerusakan harus diprioritaskan daripada mencari kemaslahatan(al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith Fi Ushul al-Fiqh, IV/199); (المشقة تجلب التيسير), kesulitan bisa membuka adanya kemudahana(Ibn Badran, al-Madkhal, I/298); (الضرر يزال), bahaya harus dihilangkan; (الضرر يدفع بقدر الامكان), bahaya harus dicegah dalam batas-batas yang memungkinkan (al-Barakati, Qawaid al-Fiqh, I/19); (الضرورات تبيح المحظورات), darurat itu bisa membolehkan yang dilarang” (Abd al-Mukmin al-Hanbali, Taysir al-Wushul Ila Qawaid al-Ushul, I/58), maka meluruskan shaf dan merapatkannya bila dikhawatitkan bisa menjadi penyebab timbulnya bahaya; yakni terjadinya penularan virus wabah yang mematikan, maka boleh diabaikan, tidak perlu dipaksakan.
            Sesuai dengan prinsip al-maqashid al-syariah (tujuan diturunkannya syariat), di mana tujuan syariat Islam adalah mememlihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, maka dalam kondisi jiwa yang berpotensi tertular virus wabah seperti saat ini, agama membenarkan upaya tindakan atau prilaku yang dapat menyelamatkan jiwa seseorang. Dengan demikian, menyelenggarakan shalat berjamaah dengan cara merenggangkan shaf agar terhinfar dari wabah berbahaya dari jamaah lainnya adalah dibolehkan. Wallahu A’lam !